Latest Article
Mengasihi Allah dan Sesama (Markus 12:28-34)

Mengasihi Allah dan Sesama (Markus 12:28-34)

Perintah 613 hukum di dalam Taurat diringkas oleh Tuhan Yesus menjadi dua hukum utama, yaitu: Pertama, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Mark. 12:30). Kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mark. 12:31). Perintah Allah dalam kehidupan umat manusia ternyata tidak rumit, sederhana namun mendalam dan relevan. Jikalau setiap agama dan kepercayaan mempraktikkan kedua hukum Tuhan tersebut secara konsisten niscaya kehidupan umat manusia akan aman, damai dan sejahtera.

            Namun mengapa dua hukum Allah tersebut gagal dipraktikkan sehingga dalam praktik hidup mengalami distraksi dan penyimpangan? Dengan akibat manusia sepanjang zaman gagal dalam mengasihi Allah dan sesama manusia.

            Kegagalan manusia untuk mengasihi Allah dan sesama manusia terlihat dalam 3 tipe orang menyikapi Allah dan sesamanya, yaitu:

  1. Tipe Membela Allah: Orang-orang yang berjuang membela nama Allah dengan melakukan kekerasan dan penyerangan kepada sesama yang dianggap berbeda secara iman, pandangan teologi (doktrin, dogma), dan berseberangan atau berbeda secara agama.
  2. Tipe Memperalat nama Allah: Orang-orang  yang secara lahiriah beragama, namun untuk membenarkan kepentingan dan pemikirannya sendiri memilih untuk memperalat nama Tuhan. Dengan memperalat nama Tuhan, maka mereka memperoleh legitimasi teologis bahwa apa yang mereka lakukan dapat dibenarkan atau disetujui oleh firman Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam ayat-ayat Kitab Suci.
  3. Tipe Mengabaikan Allah: Orang-orang yang tidak peduli dengan religiusitas dan kaitannya dengan Tuhan. Hidup dipandang sepenuhnya sekuler sebab manusia adalah pusat dan penentu nasibnya sendiri.

Dari ketiga sikap tersebut di atas, maka sikap 1 dan 2 dilakukan oleh kelompok orang-orang beragama (theistis). Sedangkan sikap 3 dilakukan oleh orang-orang yang atheistis dan agnostik.

Kelompok yang membela Allah menampilkan diri sebagai orang-orang yang tampak mengasihi Allah sehingga mereka bersedia mengorbankan nyawa, harta dan kedudukan. Mereka mengerahkan segala daya dan dana untuk  menyerang dan menaklukkan agama-agama atau kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan perintah Allah. Tipe kelompok ini agresif dan reaktif sehingga cenderung mudah tersinggung. Dalam bentuk ekstrem kelompok ini beberapa di antaranya bersedia mati sebagai syahid dengan cara membunuh para lawan. Kita dapat melihat para teroris yang dimotivasi oleh agama merupakan kelompok yang membela Allah dengan mati-matian. Padahal pembelaan Allah dengan cara demikian, semakin menunjukkan bahwa Allah mereka itu lemah, tidak berdaya dan inferior. Sebab apabila Allah itu mahakuasa Ia tidak perlu dibela. Allah yang mahakuasa justru seharusnya mampu membela dan melindungi setiap umat.

Kelompok yang memperalat nama Allah menampilkan diri sebagai orang-orang yang tampak sangat saleh sebab mereka selain menguasai ayat-ayat Alkitab dan pengertiannya, tetapi juga fasih mengutip. Namun dalam penguasaan dan kefasihan untuk mengutip ayat-ayat Kitab Suci, mereka mengidentikkan pandangan pribadi atau kepentingan tertentu dengan ayat-ayat Kitab Suci. Mereka mencari pembenaran atas nama Tuhan dengan menggunakan ayat-ayat Kitab Suci atau ajaran agama. Padahal motif utama adalah sikap munafik, yaitu pola spiritualitas yang tidak lurus di hadapan Tuhan. Firman Tuhan yang dipelajari dengan sungguh-sungguh ternyata tidak mengubah karakter insani yang lemah dan berdosa. Firman Tuhan dimengerti tetapi tidak dihayati dan dihidupi. Sebaliknya karakter insani yang buruk itu mendominasi cara berpikir tentang ayat-ayat Kitab Suci.

Kelompok yang mengabaikan Tuhan menampilkan diri sebagai orang-orang yang mandiri dan terpelajar yang memiliki keyakinan bahwa dengan kekuatan, keahlian, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki mampu mengatasi setiap persoalan hidup. Mereka menganggap agama dan Tuhan bukan bagian hidup yang esensial. Tuhan dianggap hanya sebagai kepercayaan yang tidak rasional. Sikap beriman kepada Tuhan dipandang sebagai sosok yang lemah, rapuh dan tidak bertanggungjawab. Sebab sosok Allah dipahami sebagai hasil proyeksi (pantulan) batin manusia terhadap dirinya sendiri. Mereka tidak percaya bahwa Allah yang mahatinggi dan Pencipta berkenan menyatakan atau mewahyukan diri-Nya kepada manusia.

Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa panggilan dan perintah untuk mengasihi Allah dan sesama manusia tidaklah mudah. Penghalang atau rintangan manusia untuk mengasihi Allah dan sesama manusia adalah:

  1. Sikap iman yang lemah dan inferior sebab beriman kepada Allah yang menuntut dilindungi dan dijaga sehingga memiliki role-model yang defensif. Sikap defensif mendorong seseorang untuk bersikap curiga, sensitif, dan agresif.
  2. Sikap munafik yang manipulatif sehingga mencari pembenaran untuk hal-hal yang tidak benar.
  3. Sikap sombong dengan mengandalkan kepada kekuatan insani yang fana dan terbatas.

Sebaliknya sikap mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi serta mengasihi sesama seperti diri sendiri lahir dari sikap iman yang dewasa, hati yang lurus dan rendah-hati.

  1. Sikap iman yang dewasa adalah spiritualitas yang dilandasi oleh anugerah Allah yang memampukan dia untuk bersandar penuh kepada Tuhan dan mengintegrasikan dalam peran yang bertanggungjawab sehingga melahirkan sikap kasih yang tulus. Iman yang dewasa dinyatakan secara proaktif untuk berinisiatif mengasihi daripada dikasihi, kesediaan berkurban daripada mengorbankan orang lain. Role-model tentang Allah dihayati Allah sebagai Pribadi Ilahi yang perkasa dan kuat namun penuh kasih, sehingga ia merasa aman dalam penyertaan dan perlindungan. Karena itu pribadi dengan iman yang dewasa menyebarkan dan membela Allah di dalam kasih dan pengampunan.
  2. Hati yang lurus lahir dari integritas diri, sehingga mampu mengenal dan mengevaluasi diri secara kritis. Ia akan menolak segala bentuk kemunafikan atau kesalehan yang palsu. Ia juga menolak dorongan dan praktik untuk memanipulasi kebenaran demi kepentingan yang duniawi dan jahat. Karena itu seorang dengan hati yang lurus tampil apa adanya, tanpa polesan, sederhana dan murni. Firman Tuhan diberitakan dengan hati yang murni dan penuh kasih, sehingga sedikit pun tidak diarahkan untuk pembenaran diri.
  3. Rendah-hati lahir dari kesadaran yang eksistensial bahwa dirinya bukanlah pusat. Karena itu ia menyadari bahwa hidupnya merupakan anugerah dari Tuhan, sehingga ia menempatkan Tuhan sebagai pusat atau inti dari seluruh pemikiran, perasaan dan kehendaknya. Kecerdasan, keahlian, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki hanyalah pemberian dari Tuhan sehingga ia sama sekali tidak memiliki alasan untuk bermegah atau menyombongkan diri.

Di dalam iman kepada Kristus seharusnya setiap umat percaya memiliki 3 model spiritualitas yaitu iman yang dewasa, hati yang lurus dan kerendahan-hati sebab hasil atau dampak dari karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh Kudus. Tujuan utama Kristus wafat dan bangkit adalah memulihkan umat manusia di hadapan Allah serta menganugerahkan keselamatan di dalam kasih-Nya. Namun dalam praktik hidup kita menjumpai bahwa tidak setiap umat Kristen memiliki 3 model spiritualitas tersebut. Kita menjumpai orang-orang Kristen yang hidupnya menjadi batu sandungan. Kesalehan dan pelayanan yang dilakukan hanyalah kedok belaka. Bahkan tidak jarang orang-orang Kristen tersebut dalam kehidupan sehari-hari melakukan kejahatan. Penyebabnya karena mengikut Kristus seharusnya berarti mengamini syarat mengikut Yesus, yaitu: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23).

Pribadi dengan iman yang dewasa, berjiwa lurus dan rendah hati diproses dalam sikap penyangkalan diri, kesediaan untuk memikul salib Kristus setiap hari dan kesediaan meneladani segala hal yang dilakukan oleh Kristus. Ketiga aspek dalam bentuk penyangkalan diri, memikul salib dan mengikut Kristus merupakan filter atau penyaring semua aspek ketidakmurnian hati. Anugerah keselamatan di dalam penebusan Kristus direspons oleh umat percaya dengan tanggungjawab etis-iman yaitu: menyangkal diri, bersedia memikul salib Kristus dan meneladani pola hidup Kristus. Dengan respons iman tersebut umat percaya akan mengalami proses pertumbuhan rohani yang semakin dewasa.

Bagaimana wujud konkret mengasihi Allah dan sesama manusia yang benar? Wujud konkret mengasihi Allah dan sesama manusia yang sempurna dapat kita lihat dalam kehidupan dan karya Kristus. Role-model kasih kepada Allah dan sesama adalah diri Kristus sendiri. Ia adalah teladan yang sempurna. Kristus adalah Teantopik (Theos = Allah, Anthropos = manusia).  Kristus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Karena itu wujud kasih kepada Allah dan sesama dalam iman Kristen bukanlah suatu imaginasi, harapan dan cita-cita umat manusia. Kasih kepada Allah dan sesama manusia juga bukanlah suatu kemustahilan, tetapi sesuatu yang nyata. Sebab di dalam Kristus, Ia membuktikan bagaimana Ia mengasihi Bapa dengan taat sampai mati dengan menyerahkan nyawa-Nya. Dalam kodrat-Nya selaku manusia Kristus mengasihi setiap orang dengan peduli akan persoalan, sakit dan penderitaannya. Yesus menyembuhkan orang-orang sakit, memberi makan kepada mereka yang lapar, menyelamatkan dari bahaya dan membangkitkan yang mati serta memberi penghiburan kepada orang-orang yang berduka.

Jadi makna “mengasihi Allah dan sesama manusia” adalah spiritualitas yang selalu mengulurkan tangan untuk mempersembahkan, memberi dan menyerahkan hidup dengan kasih yang tanpa syarat. Karena itu tindakan mengasihi Allah dan sesama manusia hanyalah mungkin apabila kita berhasil mengalahkan dan mematikan semua bentuk hawa-nafsu dan keinginan duniawi dalam anugerah penebusan Kristus. Lalu dengan pertolongan Roh Kudus hati kita dimurnikan sehingga dimampukan mempermuliakan dan menyembah Allah serta memperlakukan sesama seperti kita memperlakukan diri sendiri.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono