Minggu, 1 Mei 2016
Kasih Kristus, Kekuatan Baru dengan Visi yang Baru
(Kis. 16:9-15; Mzm. 67; Why. 21:10, 22 – 22:5; Yoh. 14:23-29)
Pada Minggu Paskah VI dua teks bacaan Alkitab memperlihatkan karya Roh Kudus, walau secara khusus karya Roh Kudus terjadi pada hari Pentakosta. Teks bacaan dari Yohanes 14:26 menyatakan tentang janji kehadiran Roh Kudus sebagai “Penolong yang lain” yaitu: Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya.” Keberadaan “penolong yang lain” dalam Yohanes 14:26 disebut oleh Yesus dengan sebutan: “Penghibur yaitu Roh Kudus.” Penghibur yaitu Roh Kudus yang akan diutus oleh Bapa dalam nama Yesus, akan mengajarkan segala sesuatu dan akan mengingatkan kita akan semua yang telah Dia katakan. Demikian pula dalam bacaan kedua di Kisah Para Rasul 16:9-15 mengisahkan Roh Kudus yang melarang namun memberi petunjuk bagaimana seharusnya para murid melaksanakan tugasnya. Kedua teks bacaan Alkitab menegaskan peran Roh Kudus dalam kehidupan umat. Roh Kudus yang menjadi daya penggerak, penolong dan penghibur bagi setiap umat percaya di tengah-tengah tugas panggilannya.
Namun apabila kita membaca cermat, Roh Kudus sebagai daya penggerak, penolong dan penghibur bagi setiap umat percaya ternyata tidak selalu menyenangkan hati. Sebab konteks Kisah Para Rasul 16 menyatakan Roh Kudus mencegah para murid sebanyak dua kali saat memberitakan Injil. Pertama, di Kisah Para Rasul 16:6 menyatakan: “Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia.” Kedua, di Kisah Para Rasul 16:7 menyatakan: “Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Yesus tidak mengizinkan mereka.” Dalam teks Kisah Para Rasul 16:6-7 disebut Roh Kudus “mencegah” dan “tidak mengizinkan” mereka. Pertanyaan yang timbul adalah: “Masakan Roh Kudus mencegah dan tidak mengizinkan para murid atau orang percaya untuk memberitakan Injil di suatu tempat? Bukankah Roh Kudus senantiasa yang menggerakkan dan mendorong setiap umat percaya memberitakan Injil? Jika demikian apa arti Roh Kudus mencegah dan tidak mengizinkan para murid untuk memberitakan Injil di suatu tempat? Apa parameter atau ukuran untuk menyimpulkan Roh Kudus mencegah dan tidak mengizinkan pemberitaan Injil di suatu tempat? Teks di Kisah Para Rasul 16:6-7 tidak memberi keterangan atau penjelasan apapun. Apakah ukuran atau parameter untuk mengetahui Roh Kudus mencegah dan tidak mengizinkan adalah dalam bentuk penolakan atau kegagalan? Kita tidak mengetahui dengan pasti. Kemungkinan tetap terbuka bahwa peristiwa penolakan atau kegagalan para murid untuk melayani di suatu tempat merupakan tanda Roh Kudus mencegah dan tidak mengizinkan mereka.
Apapun bentuk kemungkinan yang terjadi, namun pernyataan Roh Kudus mencegah dan tidak mengizinkan para murid untuk memberitakan Injil di suatu tempat merupakan hal yang pahit dan tidak menyenangkan hati. Yesus berjanji menyertai mereka dengan Roh Kudus sebagai “Penolong” tetapi faktualnya tidak selalu langkah dan perjuangan mereka disetujui oleh Roh Kudus. Mereka berusaha memberitakan Injil di Asia, lalu di Bitania tetapi Roh Kudus mencegah mereka. Apa artinya? Roh Kudus menyertai dan menolong para murid dalam memberitakan Injil, tetapi mereka dipanggil untuk bersedia “terluka” apabila keinginan dan rencana mereka dicegah oleh Roh Kudus.
Di tengah-tengah perasaan terluka dan tidak berkenan karena keinginan para murid dicegah oleh Roh Kudus, pertanyaan yang utama adalah bagaimanakah respons mereka? Apakah mereka putus-asa dan bersungut-sungut? Kitab Kisah Para Rasul 16:9 menyatakan bagaimana Roh Kudus ternyata menyuruh para murid pergi ke suatu tempat, yaitu daerah Makedonia, yaitu: “Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” Mereka mendapat visi berupa penglihatan tentang seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: “Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” Respons mereka dinyatakan dalam sikap taat dan melaksanakan kehendak Roh Kudus. Kesaksian Kisah Para Rasul 16:10 adalah: “Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana.” Visi mereka dibangun di atas ketaatan kepada kehendak Allah di dalam Roh Kudus. Karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa pesan utama dari kesaksian Kisah Para Rasul 16:9-15 adalah “Ketaatan yang visioner kepada kehendak Allah.” Ternyata selain Kisah Para Rasul 16:10-11 menekankan aspek ketaatan, juga di Yohanes 14:23 Yesus menyatakan bahwa setiap orang yang mengasihi Dia pastilah akan menuriti firman-Nya. Dua bacaan dalam The Revised Common Lectionary pada masa Paskah VI menekankan aspek ketaatan, yaitu menuruti firman Allah.
Di Yohanes 14:23 Yesus berkata: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” Ketaatan adalah wujud dari tindakan kasih. Kata “ketaatan” dalam konteks ini memakai tereo yang berarti: “menjaga, melaksanakan, mematuhi.” Namun makna ketaatan yang dimaksudkan Yesus adalah ketaatan yang bersumber pada relasi personal dengan diri-Nya, sehingga menghasilkan ketaatan yang diinspirasi dan digerakkan oleh kekuatan kasih Allah. Makna ketaatan yang bersumber pada relasi personal dengan Kristus berbeda dengan makna ketaatan yang sifatnya legalistis (hurufiah). Sebab ketaatan yang legalistis (hurufiah) menafsirkan dan memaknai realita sekadar “hitam-putih” tetapi kehilangan roh untuk memahami konteks dan maknanya yang terdalam. Sebaliknya ketaatan yang bersumber dari relasi dan kasih adalah ketaatan yang memahami secara holistik baik dalam relasi personal maupun dimensi makna yang sesungguhnya. Di hadapan Sang Penyata Allah, yaitu Kristus umat dipanggil mengasihi Dia dengan ketaatan dalam relasi personal untuk terus-menerus diperbarui dalam kuasa kasih-Nya.
Ketaatan yang visioner kepada kehendak Allah perlu dibangun dalam relasi personal dengan Kristus, bukan didasarkan pada ketaatan yang legalistis. Relasi personal dengan Kristus memampukan kita menyelami isi hati dan perasaan dengan Dia sehingga tidak mudah disesatkan dengan “Penolong” yang palsu. Kita mengetahui bahwa makna “penolong yang lain” di Yohanes 14:26 yaitu Roh Kudus disebut dengan “parakletos.” Di Surat 1 Yohanes 2:1 juga menyebut Yesus sebagai “parakletos,” yaitu: “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil.” Kata “pengantara” di sini adalah terjemahan “parakletos.” Dengan demikian Yesus adalah “parakletos” dan Dia akan mengutus “parakletos yang lain” untuk menyertai para murid dan umat percaya.
Namun dalam kenyataan identitas Roh Kudus sebagai parakletos (penghibur) beberapa kali berusaha diganti dengan makna “periklutos” yang berarti: “yang terpuji” untuk menunjuk keberadaan diri nabi Muhammad. Kedua istilah “parakletos” dan “periklutos” sepintas mirip bunyinya, tetapi memiliki makna yang sama sekali berbeda. Dalam pengertian “periklutos” tersebut nabi Muhamad dipahami sebagai yang melanjutkan karya Yesus. Padahal teks Yohanes 14:26 secara eksplisit menegaskan “parakletos” sebagai Roh Kudus yang akan mempermuliakan Yesus. Apalagi kata “periklutos” (yang artinya: “yang terpuji”) tidak pernah satu kalipun dipakai dalam tulisan-tulisan di Perjanjian Baru. Upaya menggantikan kata “parakletos” dengan “periklutos” sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat, namun sekadar suatu perkiraan dan pembenaran ajaran tertentu yang tidak didukung oleh teks apapun dalam Perjanjian Baru. Sebaliknya melalui Parakletos yaitu Roh Kudus, Yesus akan menyertai para murid dan umat percaya. Kenyataan ini mau menyatakan bahwa bahwa ketaatan yang visioner tanpa relasi personal dengan Kristus akan membawa umat kepada penyimpangan sehingga gagal membedakan antara makna “parakletos” dengan makna “periklutos.”
Penyimpangan atau penyesatan terjadi karena realitas kebenaran diisi oleh persepsi-persepsi subjektif. Persepsi subjektif menjadi penentu pemaknaan suatu realitas, sehingga makna yang sesungguhnya dari realitas telah bergeser menjadi makna yang sesat. Parakletos yang artinya “penghibur” (Roh Kudus) diubah menjadi periklutos, artinya “yang terpuji” dalam kaitan seorang tokoh yang diagung-agungkan. Realitas faktual ditundukkan menjadi realitas imaginatif dan doktrinal. Demikian pula ketaatan yang visioner dalam memahami kehendak Tuhan diubah menjadi ketaatan yang ilusif. Hakikat “visi” diubah menjadi “ilusi,” sehingga bayangan pikiran (halusinasi) yang sifatnya pribadi dianggap sebagai rencana dan kehendak Allah. Karena itu ketaatan sering dilakukan dengan semangat seorang martir karena merasa diri paling benar. Mereka menilai dengan menghakimi secara “hitam-putih.” Namun ketaatan tersebut dihidupi dengan cara pandang yang ilusif, yaitu angan-angan pribadi menjadi media pembenaran diri dan tolok ukur bagi orang lain. Betapa tragisnya kehidupan bersama sebab pandangan dan sikap orang lain diukur dari angan-angan pribadi seseorang yang ilusif.
Visi yang baru umat percaya adalah spiritualitas dengan cara pandang iman yang menempatkan Kristus sebagai satu-satunya Jalan, Kebenaran dan Hidup (Yoh. 14:6), sehingga seluruh persepsi yang ilusif dieliminir di hadapan-Nya. Sebaliknya di dalam iman kepada Kristus kita dimampukan untuk menilai dan mengukur realitas berdasarkan pandangan dan visi Kristus. Di Surat 2 Korintus 5:16 Rasul Paulus berkata: “Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.” Di dalam Kristus, sudut pandang kita diubah dan diperbarui sehingga kita menilai tidak lagi dari persepsi dan ukurang-ukuran subjektif. Karena itu di dalam Kristus, setiap ucapan dan perkataan kita senantiasa dilandasi oleh data-data yang akurat dan faktual. Hasil survey dan pengumpulan data yang akurat melengkapi cara pandang dan spiritualitas kita sehingga menghasilkan ketaatan yang visioner. Jika demikian sejauh mana gereja dalam menyusun visi, misi, dan program pelayanannya menggunakan hasil survey dan data-data yang akurat sehingga memampukan setiap umat melaksanakan pelayanan yang dilandasi oleh realitas yang faktual dan bukan didorong oleh persepsi-persepsi subjektif yang ilusif?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono