Latest Article
Beriman di Tengah-tengah Ketidakadilan

Beriman di Tengah-tengah Ketidakadilan

(Wahyu 11:15-19)

Lalu malaikat yang ketujuh meniup sangkakalanya, dan terdengarlah suara-suara nyaring di dalam sorga,
katanya: “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya,
dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why. 11:15).

Latar (setting) tempat dalam perikop Wahyu 11:15 adalah sorga. Dalam karya sastra arti “setting tempat” adalah tempat yang menjadi lokasi peristiwa yang dikisahkan. Bukankah “latar sorga” merupakan daya tarik manusia sepanjang masa sehingga muncul berbagai imaginasi atau gambaran tentang kehidupan ilahi setelah manusia mati? Sorga dipercaya sebagai tempat beradanya Allah bersama para malaikat. Beberapa kepercayaan atau agama menggambarkan sorga sebagai tempat yang begitu indah dan kesenangan yang tidak terkatakan. Kesenangan di sorga bahkan dikaitkan dengan “anugerah” untuk menikahi 72 bidadari. Anugerah ilahi tersebut diberikan khususnya kepada orang-orang yang bersedia mati syahid demi membela agama atau Tuhan. Tidak mengherankan apabila gambaran atau imaginasi tentang sorga yang demikian dipraktikkan dengan kekerasan, kekejaman dan ketidakadilan. Kita mengetahui motif utama para teroris adalah melakukan bom bunuh diri agar dapat mencapai sorga dan menikahi 72 bidadari.

            Seorang filsuf bernama Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) memberikan pandangan bahwa keberadaan Tuhan yang diajarkan oleh agama sebenarnya pantulan (proyeksi) manusia tentang kodratnya sendiri. Gambaran tentang Allah merupakan  hasil kesadaran manusia akan kodratnya sendiri. Dengan demikian keberadaan Allah menurut Feuerbach sebenarnya eksistensi Allah tidak ada. Jadi realitas dan eksistensi Allah tidak ada! Yang ada hanyalah produk imaginasi manusia tentang kualitas-kualitas yang tersimpan dalam kemanusiaannya, lalu dinamakan dengan sebutan “Allah, atau Tuhan.” Gambaran tentang Allah terjadi karena kualitas-kualitas yang tersimpan dalam kemanusiaannya itu berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan yang dialami ketika ia ingin mewujudkan keinginan-keinginannya. Karena itu manusia menciptakan gambaran tentang Allah yang tak terbatas atau mahakuasa untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan insani yang tidak bisa dicapainya.

Dalam penilaian saya, pandangan Feuerbach tersebut sebagian bernilai benar. Eksistensi “Allah” ternyata hanya sekadar pantulan (proyeksi) imaginasi manusia. Para dewa tersebut tidak memiliki kuasa. Sebaliknya untuk menyenangkan “hati” para dewa yang tidak berkuasa, manusia justru bertindak membuat ritual pengorbanan apakah dengan mempersembahkan korban hewan ataukah dengan korban manusia.  Demikian pula dalam kasus gambaran kesenangan sorga yang dinikmati dengan pesta seks 72 bidadari. Kasus ini membuktikan bahwa tesis atau pandangan Feuerbach tersebut benar. Tesis Feuerbach juga benar bahwa pencapaian sorga dengan kesediaan mati sebagaimana yang dilakukan oleh para teroris merupakan pantulan imaginasi manusia belaka. Sorga dengan 72 bidadari yang ditempuh dengan kekerasan hanyalah hasil khayalan atau ilusi manusia yang sakit.

            Kepercayaan kepada Tuhan yang ilusif dapat membuat manusia sehat menjadi sakit sejauh dilepaskan dengan sikap iman. Makna sikap iman seharusnya didasarkan kepada spiritualitas yang terbuka dengan rasionalitas sekaligus suprarasionalitas, sehingga mampu menolak segala bentuk irasionalitas. Sikap iman justru seharusnya jauh dari sikap irasionalitas yang mudah percaya pada hal-hal yang bersifat ilusi dan takhayul. Tanpa sikap iman yang rasional, kita akan menelan semua bentuk kepercayaan walau merendahkan martabat manusia. Misalnya: hukum rajam bagi perempuan yang dianggap berzinah, sunat kepada para perempuan, pembenaran hukuman mati kepada orang yang dianggap kafir.

Kesimpulannya pandangan Feuerbach bernilai benar apabila kepercayaan kepada Tuhan didasari oleh sikap yang irasional, yang menyamakan takhayul dengan eksistensi Allah.

Lalu bagaimana dengan sikap iman rasional yang menolak dimensi suprarasional? Dengan sikap rasionalistis belaka kita akan menjadi orang-orang yang mengandalkan dan memuja pengertian dan pengetahuan insani yang terbatas/picik. Jadi ada dua kutub yang berbahaya dalam pola pikir orang-orang beragama yaitu: 1). Kepercayaan yang irasional, dan 2). Kepercayaan yang serba rasionalis.

            Dalam kepercayaan yang irasional, seseorang atau sekelompok orang akan menghidupi imannya kepada Tuhan secara ilusif. Umumnya mereka menjadi orang-orang yang fundamentalistis dan bersikap radikal dalam menghayati keagamaannya. Mereka tidak mampu bersikap kritis dengan ajaran agamanya. Karena itu mereka tidak bisa membedakan antara penyataan (wahyu) Allah yang sebenarnya dengan penyataan (wahyu) Allah yang palsu. Walau seandainya mereka diperhadapkan dengan data-data arkeologis dan sejarah, mereka akan menutup pintu hati untuk mengoreksi kepercayaannya yang salah. Pola kepercayaan yang ilusif dihayati sebagai pola berpikir ideologis. Dengan pola berpikir kepercayaan sebagai ideologis akan melumpuhkan kemampuan rasional dan kritis seseorang.

Tidaklah demikian halnya dengan kepercayaan yang rasional-suprarasional. Sebab kepercayaan yang rasional-suprarasional akan memampukan seseorang untuk berpikir secara jernih dan kritis. Ia akan membuang kepercayaan yang mendorong manusia untuk mempercayai takhayul. Sebaliknya ia akan menguji kebenaran imannya apakah bertentangan dengan kaidah-kaidah etis universal tentang martabat kemanusiaan. Semua ajaran etis keagamaan yang bertentangan dengan nilai yang mengangkat martabat manusia seharusnya ditolak. Sebab agama dianugerahkan Tuhan untuk mengangkat martabat kemanusiaan, dan bukan sebaliknya. Jadi seharusnya setiap umat beragama menghayati iman secara rasional-suprarasional, dan bebas dari sikap irasional.

            Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa ciri kepercayaan yang serba rasional (rasionalistis) tidak memberi tempat kepada dimensi suprarasional (adikodrati). Dalam dimensi suprarasional sesungguhnya merupakan realitas ilahi yang berkenan menyatakan diri-Nya dalam sejarah dan kehidupan umat manusia. Firman Tuhan yang diwahyukan di dalam Alkitab merupakan produk dari realitas suprarasional. Allah yang transenden berkenan menyatakan diri-Nya secara natural sehingga pesan atau firman-Nya dapat dipahami oleh manusia. Dalam konteks ini Feuerbach tidak tepat! Feuerbach tidak memberi tempat bagi dimensi suprarasional! Feuerbach hanya sampai di tingkat rasionalistis belaka. Ciri kepercayaan yang rasionalistis hanya berhenti pada kapasitas dan kemampuan berpikir rasional manusia. Padahal kemampuan rasional manusia sangat terbatas. Kapasitas rasionalitas manusia tidak mampu memahami misteri kehidupan secara lengkap. Rasul Paulus berkata: “Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna” (1Kor. 13:9). Akibat kepercayaan yang rasionalistis akan menumbuhkan sikap atheistis (tanpa Tuhan)  atau agnostisme (percaya Allah yang tidak dikenal atau diketahui).

            Kesaksian tentang sorga sebagaimana yang dilihat dan dialami oleh rasul Yohanes bukanlah ilusif. Bahkan penglihatan-penglihatan yang dipersaksikan di dalam kitab Wahyu bukanlah hasil proyeksi mental sebagaimana yang dikatakan oleh Feuerbach. Sebaliknya penglihatan yang dialami oleh rasul Yohanes merupakan penyingkapan dari realitas suprarasional, yaitu penyingkapan diri Allah kepada umat percaya tentang karya dan rencana-Nya dalam sejarah umat manusia.

            Bagaimana kita dapat mengukur bahwa kesaksian rasul Yohanes dalam kitab Wahyu khususnya tentang sorga bukanlah hasil ilusi atau proyeksi pikiran atau batin manusia tentang Allah?

            Di Wahyu 11:15 menyatakan: “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya.” Dalam kesaksian nubuat ini sangat jelas bahwa sorga bukan realitas ilahi yang menyediakan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Sebaliknya sorga dipahami sebagai tempat Allah yang memerintah sebagai raja. Allah yang memerintah itu dilakukan bersama dengan Dia yang diurapi, yaitu Kristus. Sorga merupakan realitas pemerintahan Allah Trinitas, yaitu Bapa-Anak-Roh Kudus. Sorga menunjuk kepada kedaulatan dan kuasa Allah yang kudus dan adil. Allah yang esa di dalam Kristus adalah Sang Raja yang memiliki kuasa untuk mengadili bangsa-bangsa. Kedudukan Kristus selaku Raja telah dinyatakan dalam Wahyu 7:9 yaitu: “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka.” Di Akhir Zaman, Kristus selaku Sang Anak Domba Allah menjadi raja yang akan mengadili dan menghakimi segala bangsa, suku, kaum dan bahasa.

            Dari kesaksian Wahyu 11:15 kita dapat melihat bahwa realitas sorga yang sungguh-sungguh merupakan penyataan Allah, dan bukan dari proyeksi atau ilusi manusia memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:

Pemerintahan AllahAllah adalah pribadi ilahi yang mencipta, memelihara, dan menyelamatkan umat manusia serta seluruh ciptaan-Nya. Karena itu Allah berdaulat dengan kuasa-Nya atas seluruh kehidupan.
Allah yang EsaAllah yang esa menyatakan diri-Nya dalam Bapa-Anak-Roh Kudus. Di dalam keesaan-Nya Allah menyatakan diri-Nya melalui Sang Firman dan Roh Kudus.
KeadilanAllah menegakkan keadilan bagi setiap umat, sehingga hukuman bagi para pelaku kejahatan merupakan manifestasi dari kekudusan-Nya. Sebab kekudusan Allah akan membakar setiap kecemaran dan kejahatan.
KekalKekekalan sorga merupakan realitas ilahi yang telah ada, sudah ada dan tetap ada. Realitas sorga tidak dipengaruhi oleh perubahan zaman, gambaran dari manusia dan harapan-harapannya.

            Dari keempat kriteria tersebut di atas, realitas sorga dalam kesaksian kitab Wahyu bukan merupakan hasil imaginasi, ilusi dan proyeksi manusia. Dasar pemikirannya adalah:

  1. Manusia dalam kodrat insaninya yang berdosa akan cenderung untuk menempatkan egonya sebagai yang paling dominan. Manusia tidak suka diperintah, bahkan oleh Allah.
  2. Pemikiran tentang Allah yang esa dalam Bapa-Anak-Roh Kudus berada di luar gambaran atau konsep manusia pada umumnya. Manusia lebih mudah menerima gambaran tentang Allah yang monoteistik secara bilangan atau politeistik.
  3. Manusia lebih mudah dan cenderung menggambarkan sorga sebagai tempat kenikmatan dan kebahagiaan, tetapi bukan sebagai keadilan terakhir yang didasari oleh kekudusan Allah.
  4. Gambaran tentang sorga lebih mudah bila disesuaikan dengan kondisi riil manusia yang fana dan bersifat insani.   

Kesaksian kitab Wahyu 11:15 tentang sorga di mana Allah memerintah dan mengadili dengan keadilan-Nya memberikan penghiburan dan harapan. Khususnya kepada umat Tuhan yang sering melihat dan mengalami ketidakadilan di dalam realitas dunia ini. Dalam konteks kitab Wahyu umat percaya waktu itu mengalami penganiayaan dan pembasmian oleh kaisar Domitianus. Mereka sangat menderita namun setia. Dalam konteks di masa kini, selaku insan manusia kita sering kecil hati saat melihat bagaimana kejahatan berada di atas angin, tidak terjamah dan berkuasa. Kita sering bertanya, mengapa Tuhan sepertinya membiarkan kejahatan terjadi? Bagaimana keadilan Tuhan kepada para korban pembantaian dalam peristiwa 1965? Bagaimana dengan para pelaku yang melakukan pembunuhan dan pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998? Bagaimana dengan kejahatan perang di berbagai tempat yang telah membunuh banyak orang yang lemah? Lalu mengapa Tuhan membiarkan Rusia melakukan serangan militer yang mematikan ribuan rakyat Ukraina? Daftar pertanyaan masih bisa puluhan dan ratusan atau ribuan tentang kejahatan yang pernah terjadi dalam kehidupan manusia termasuk 6 juta lebih orang-orang Yahudi yang dibasmi oleh Hitler dalam perang dunia ke-2. Mengapa Tuhan tidak bertindak untuk menyelamatkan?

Bagi umat yang hanya memiliki kepercayaan yang ilusif dan rasional akan cenderung merespons dari sudut pandang yang subjektif. Dalam kepercayaan yang ilusif, mereka menjadikan sorga sebagai tempat pelarian untuk memperoleh kenikmatan daging. Bahkan mereka menjadikan sorga sebagai alasan untuk melakukan kekerasan asalkan mereka dapat menerima pahala berupa kenikmatan seksual. Sebaliknya bagi umat yang memiliki kepercayaan rasionalistis akan cenderung menolak iman kepada Allah. Orang-orang yang rasionalistis akan cenderung menyingkirkan kuasa dan kedaulatan Allah dengan sikap atheistis. Pilihan kedua adalah mereka masih tetap percaya kepada Tuhan, tetapi Allah yang tidak diketahui atau dijelaskan sehingga menolak Kristus selaku Tuhan dan Juruselamat.

Namun sebagai umat percaya kita akan mengimani bahwa Allah akan bertindak sesuai dengan kedaulatan dan waktu-Nya. Allah dapat bertindak di masa kini, tetapi yang pasti pembalasan dan keadilan Allah akan terjadi pada Akhir Zaman. Di Wahyu 11:18 menyatakan: “Dan semua bangsa telah marah, tetapi amarah-Mu telah datang dan saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi dan untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Mu, nabi-nabi dan orang-orang kudus dan kepada mereka yang takut akan nama-Mu, kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar dan untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi.” Di dalam Kristus, Allah akan mengadili semua umat tanpa terkecuali. Apabila saat ini kita melihat para pelaku kejahatan masih dapat menikmati kemenangan, kita percaya bahwa mereka kelak akan dihakimi. Allah akan memberikan upah yang adil. Para pembinasa keji, pemerkosa, perampok dan semua pelaku kejahatan tidak akan lolos dari pengadilan Allah (bdk. Why. 22:15). Perhatikan frasa: “saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi dan untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Mu, nabi-nabi dan orang-orang kudus dan kepada mereka yang takut akan nama-Mu, kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar dan untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi.”

Sikap beriman di tengah-tengah ketidakadilan berarti kita dipanggil agar mengandalkan Allah dan kuasa-Nya, sehingga kita tidak merespons dengan kejahatan. Sebaliknya kita menyerahkan kepada kedaulatan Allah seraya dengan hikmat-Nya kita mencari jalan keluar agar keadilan diperjuangkan dan diwujudkan. Tuhan Yesus berkata: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati” (Mat. 10:16). Dalam konteks ini kita dapat belajar dari seorang perempuan bernama Ester, dan Mordekhai. Bagaimana mereka mengandalkan pertolongan Allah seraya dengan cerdik mengatasi rencana kejahatan Haman bagi umat Yahudi yang tinggal di kerajaan Medi-Persi dalam pemerintahan raja Ahasyweros (485-465 sM). Di tengah-tengah ketidakadilan, firman Tuhan mengajar: “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rm. 12:21). Spiritualitas iman tidak akan lahir dari sikap ilusif, atau pun sikap rasionalistis tetapi dari sikap rasional-suprarasional.

Dengan sikap iman kepada Kristus, kita telah mengalami kehadiran realitas sorga tengah-tengah kehidupan yaitu pemerintahan damai-sejahtera Allah walau di tengah ketidakadilan, dan akan mengalami kepenuhannya saat kita mengalami persekutuan personal di sorga dengan Allah Trinitas: Bapa-Anak-Roh Kudus. Jika demikian setiap orang membutuhkan Kristus dalam peziarahan di dunia ini. Melalui, dengan dan di dalam Kristus kita dipanggil menghadirkan damai-sejahtera yang didasari oleh keadilan dan kebenaran.

Sumber ilustrasi/gambar: https://www.jw.org/en/bible-teachings/questions/go-to-heaven/

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono