Reformasi Spiritualitas Iman Kristen di Era Milenial
Reformasi gereja diawali oleh Martin Luther pada tanggal 31 Oktober 1517 dengan menempelkan 95 dalil di depan pintu gereja Wittenberg. Makna protes yang dikemukakan oleh Martin Luther adalah upaya pembaruan dalam kehidupan internal gereja. Reformasi gereja pada mulanya bukan dimaksudkan untuk memisahkan dan mendirikan gereja atau denominasi gereja yang baru. Bila pada akhirnya gerakan protes Martin Luther menjadi suatu denominasi baru adalah karena gereja (Katolik) pada waktu itu tidak mampu menyikapi secara bijaksana untuk menerima kritik dari Martin Luther. Sebab semula Luther yakin bahwa dia dapat memperbarui Gereja Katolik-Roma untuk kembali kepada prinsip iman Kristen sesuai pengajaran Alkitab dan para bapa gereja. Tetapi karena Luther menyangkal hak ilahi jabatan Paus dan menyangkal Gereja Katolik di bawah pimpinan Paus sebagai prasyarat keselamatan dalam perdebatan dengan John Eck pada tanggal 27 Juni – 18 Juli 1519, maka Gereja Katolik-Roma mengeluarkan ekskomunikasi dalam akta Exsurge Domine pada tanggal 15 Juni 1520.
Upaya penyelesaian terakhir terhadap protes yang diajukan oleh Martin Luther dilakukan oleh Kaisar Charles V dalam persidangan Imperial Diet et Worms pada tanggal 26 Mei 1521. Dalam persidangan tersebut, Kaisar Charles V akhirnya menerbitkan Edik Worms yang menyatakan bahwa melarang siapapun baik dengan kata-kata atau tindakan memberi pembelaan dan dukungan terhadap Martin Luther. Sebaliknya Martin Luther harus ditangkap dan dihukum sebagai seorang bidaah. Dengan demikian sejak tanggal 26 Mei 1521 gerakan Martin Luther telah menyebabkan pemisahan secara formal dari gereja Roma Katolik. Persidangan yang menerbitkan Imperial Diet et Worms telah mengabsahkan sikap protes Martin Luther (kemudian disebut: Protestanisme) sebagai bidaah telah membuka peluang menjadi suatu denominasi gereja yang baru. Jadi Protestanisme Luther sebagai gereja akan berulang-tahun ke-500 pada tanggal 26 Mei 2021.
Kalau kita melihat dari uraian sekilas sejarah di atas, maka terdapat rentang waktu sekitar empat tahun, yaitu antara tanggal 31 Oktober 1517 – 26 Mei 1521. Selama rentang waktu tersebut telah terjadi berbagai percakapan, pembahasan dan perdebatan yang sengit dalam lingkup yang semakin luas. Tetapi pergulatan pemikiran dan sikap selama rentang 4 tahun tersebut ternyata tidak membawa hasil yang memuaskan. Gereja Katolik-Roma pada akhirnya secara resmi menyatakan pengajaran dan pemikiran Martin Luther sebagai bidaah. Dengan pernyataan tersebut gereja Katolik-Roma waktu itu menutup kesediaan diri untuk melakukan pembenahan diri. Masalah penjualan surat penghapusan dosa (indulgensia) tidak pernah dinyatakan sebagai kesalahan dan tindakan gerejawi yang telah merendahkan karya keselamatan dan penebusan Kristus. Dengan keputusan gerejawi dalam Edik Worms juga tidak menjawab masalah yang fundamental yaitu sejauh mana gereja mengakui dengan tegas supremasi Alkitab sebagai Firman Tuhan yang seharusnya berada di atas supremasi kekuasaan Paus atas gereja. Barulah pada Konsili Trente (1545-1563) gereja Roma Katolik menanggapi ajaran-ajaran yang menyimpang sebagai dikritik oleh Martin Luther.
Penjualan surat penghapusan dosa (indulgensia) pada waktu itu dilakukan oleh pejabat gerejawi, yaitu Johann Tetzel seorang Imam dari ordo Dominikan yang mendapat tugas dari Uskup Agung Albert dari Mainz. Motif penjualan surat penghapusan dosa (indulgensia) tersebut adalah mengumpulkan dana untuk renovasi Basilika St. Petrus di Roma. Dalam konteks ini kita dapat melihat bahwa penjualan surat penghapusan dosa tersebut dilatarbelakangi oleh motif ekonomis. Gereja waktu itu membutuhkan dana yang begitu besar tetapi tidak memperoleh dukungan dari umat, sehingga melakukan praktik penjualan barang suci. Dengan menjual surat penghapusan dosa, maka hanya umat yang mampu membeli surat tersebut akan mendapat pernyataan pengampunan secara resmi dari gereja. Tetapi bagaimana dengan umat yang tidak memiliki uang? Tentu mereka tidak akan mendapat pernyataan jaminan resmi dari gereja bahwa dosa-dosa mereka diampuni. Dalam Dalil ke-32 Luther menyatakan: “Orang yang percaya bahwa melalui surat pengampunan dosa, mereka dijamin mendapatkan keselamatan mereka akan dihukum secara kekal bersama dengan guru-guru mereka.”
Letak problem teologisnya adalah penyalahgunaan kewenangan yang diberikan Kristus kepada para murid-Nya untuk mengampuni dosa. Penyalahgunaan tersebut dilakukan Paus dengan mengilahikan dirinya. Perkataan Kristus kepada Petrus: “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” (Mat. 16:18-19). Gereja Katolik menghayati makna ucapan Yesus bahwa Paus adalah pewaris otoritas Petrus yang secara signifikan dinyatakan Yesus bahwa di atas diri Petrus, Kristus mendirikan jemaat-Nya. Dengan otoritas dan kuasa yang diberikan Kristus kepada Petrus dan penggantinya, maka gereja Katolik memiliki hak untuk mengikat dan melepaskan, yaitu: “Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”
Penyalahgunaan wewenang juga didasari pada ucapan Yesus di Yohanes 20:22-23 Yesus berkata: “Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Kristus memberi mandat dan wewenang kepada para murid untuk mengampuni dosa atau menyatakan dosa tersebut belum diampuni. Atas dasar ucapan Kristus tersebut gereja mewujudkannya dalam sakramen Pengakuan Dosa. Tetapi kini sakramen Pengakuan Dosa tersebut dimanipulasi dalam bentuk Surat Penghapusan Dosa (Indulgensia). Karena itu umat tidak perlu lagi mengakui dosa dengan sikap pertobatan tetapi cukup membeli surat tersebut.
Martin Luther sebagai seorang rahib tentunya dia menghormati supremasi kekuasaan Paus. Tetapi supremasi kekuasaan Paus ditolak Luther apabila supremasi kekuasaan tersebut ditempatkan di atas kewibawaan firman Tuhan yaitu Alkitab. Dalam Dalil ke-5 Luther menyatakan: “Paus tidak memiliki kekuatan maupun kuasa untuk mengampuni kesalahan apapun, kecuali yang telah ia diberikan dengan otoritasnya sendiri atau oleh peraturan.” Lalu pada Dalil ke-62 Luther menyatakan: “Kekayaan gereja yang sejati adalah Injil kudus dari kemuliaan dan kasih-karunia Allah.” Dengan demikian, supremasi tertinggi dari seluruh kehidupan gereja adalah Alkitab, firman Tuhan. Aspek yang ditekankan oleh Martin Luther adalah pengakuan iman yang total dari umat (gereja) terhadap kewibawaan firman Tuhan di dalam Alkitab. Kedudukan Alkitab adalah sebagai pengukur dan pedoman bagi seluruh kehidupan umat percaya termasuk kedudukan dan kekuasaan Paus. Itu sebabnya menempatkan supremasi kekuasaan Paus di atas otoritas firman Tuhan yang dinyatakan di dalam Alkitab adalah suatu penyimpangan dan kesesatan. Dalam Dalil-ke-75 Luther menyatakan: “Berpikir bahwa surat pengampunan Paus memiliki kuasa sedemikian besar sehingga mereka bisa membebaskan manusia, bahkan jika, – meskipun itu tidak mungkin, ia telah bersalah kepada Bunda Allah, adalah suatu kegilaan” (to consider papal indulgences so great that they could absolve a man even if he had done the impossible and had violated the mother of God is madness). Dalam konteks ini Gereja Katolik-Roma waktu itu telah terjebak dalam sindrom kekuasaan yang manipulatif.
Dari uraian di atas kita dapat melihat dua motif utama yang dikritik oleh Martin Luther, yaitu ekonomis dan kekuasaan. Kedua motif tersebut menjadi virus yang menggerogoti kehidupan gereja, sehingga gereja mengabaikan spiritualitas yang merendahkan diri di hadapan kewibawaan Allah melalui firman-Nya. Gereja juga kehilangan fokus utamanya yaitu Kristus dan kemuliaan-Nya, sehingga gereja lebih mengutamakan kemuliaan dan kekuasaan duniawi. Kristus dan kuasa-Nya hanya diakui sebatas ritualitas dalam ibadah Misa, tetapi tidak menjadi sumber dan kekuatan transformatif yang meresapi seluruh aspek kehidupan gereja serta umat percaya. Reformasi gereja terjadi karena gereja telah mengabaikan otoritas Kristus dan mengeraskan hatinya dengan tidak bertobat sehingga Allah merobek tubuh Kristus, yaitu gereja-Nya. Sejauh gereja menempatkan Kristus sebagai dasar dan pusat gereja, serta dijiwai oleh spiritualitas untuk selalu berbenah-diri dalam pertobatan, Allah akan menjaga keesaan gereja sehingga dunia semakin percaya dunia percaya bahwa Allah yang mengutus Kristus sebagai Juruselamat dunia (Yoh. 17:21).
Kini gereja-gereja Tuhan memiliki berbagai ragam denominasi utama, yaitu: Katolik-Roma, Gereja Orthodoks Timur, Lutheran, Calvinis, Metodis, dan Anglikan serta Pentakostal. Pertanyaan yang fundamental adalah sejauh mana gereja-gereja Tuhan tersebut tunduk secara total kepada Kristus yang memiliki kuasa di sorga dan di bumi? Sejauh mana gereja setia dan taat terhadap kebenaran firman Tuhan sebagaimana yang dinyatakan dalam kesaksian Alkitab? Tolok ukur yang dapat dipakai adalah efek spiritualitas dari seluruh kehidupan dan pelayanan gereja atau umat percaya dalam kehidupan sehari-hari. Di Matius 12:33 Yesus berkata: “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal.” Melalui buah yang dihasilkan oleh setiap gereja-gereja tersebut akan terlihat apakah kita telah setia kepada Kristus dan karya penebusan-Nya serta taat dalam firman-Nya yang dipersaksikan oleh Alkitab.
Buah kebenaran yang dihasilkan oleh Tubuh Kristus tidaklah cukup terbatas pada institusi gereja, tetapi utamanya adalah kehidupan iman yang tercermin dalam spiritualitas umat. Tolok ukur yang menentukan akhirnya bukanlah nama/kredibilitas insitusi gerejawi, tetapi buah dari kehidupan iman dan rohani dari setiap umat yang berada di dalamnya. Sebab apa artinya institusi gereja dengan nama besar tetapi di dalamnya begitu banyak orang-orang yang mengingkari komitmen iman dan kesetiaannya kepada Kristus. Dalam konteks ini LWF (The Lutheran World Federation) dalam rangka memperingati reformasi gereja ke-500 membuat tema: Liberated by God’s Grace dengan sub-tema, yaitu: “Salvation, Human Beings and Creation – Not for Sale.” Pesan dari sub-tema tersebut hendak menegaskan bahwa keselamatan Allah, keberadaan umat manusia dan ciptaan bukan untuk dijual. Dalam iman Kristen bisnis bukanlah usaha yang duniawi, tetapi bisnis dapat menjadi duniawi apabila profit-oriented dengan cara yang tidak etis. Sering terjadi untuk mengejar keuntungan/laba semata, seseorang melakukan bisnis dengan segala macam cara, termasuk cara yang manipulatif dan tidak etis.
Pada masa kini justru bisnis yang meyakinkan dan berpengaruh kepada banyak orang adalah memperdagangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan iman/keagamaan. Reformasi gereja sesungguhnya merupakan panggilan Allah agar terjadi pembaruan hidup umat percaya di tengah-tengah realitas dan konteks hidupnya. Pembaruan hidup tersebut dinyatakan dengan kesediaan umat untuk mengevaluasi dan koreksi-diri agar mereka berfokus dan mempermuliakan Allah di dalam Kristus. Surat 1 Yohanes 4:1 memberi nasihat agar setiap umat percaya selalu kritis dan menguji setiap roh, yaitu: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.” Pembaruan hidup akan terwujud apabila kita bersedia menguji setiap roh yaitu setiap kuasa dan nilai yang mempengaruhi hidup kita, apakah roh atau kuasa tersebut berasal dari Allah ataukah bukan dari Allah.
Roh yang berasal dari Allah adalah senantiasa memberitakan dan menawarkan kepada setiap umat manusia anugerah keselamatan Allah dalam karya penebusan Kristus sebagai pemberian rahmat Allah yang tanpa syarat. Karya penebusan Kristus pada hakikatnya satu kali terjadi, sempurna, dan berlaku selama-lamnya. Tetapi sebaliknya roh yang tidak berasal dari Allah akan memberitakan dan menawarkan keselamatan yang diperoleh manusia dengan usaha dan jasanya. Roh dunia akan mengajarkan keselamatan dengan cara menjual “produk-produk rohani.” Manusia di era milenial berada dalam kondisi spiritual yang labil sebab mereka hidup dalam ketidakpastian, membutuhkan pegangan, mengalami kekosongan rohani, kesepian, dan nilai-nilai yang direlatifkan. Karena itu manusia di era milenial mudah dibujuk dan dipengaruhi oleh pengajaran keagamaan yang memberi harapan-harapan semu, bentuk simbol yang dapat dialami secara inderawi, kisah yang adikodrati dan penghiburan yang sesaat. Kebutuhan rohani banyak orang yang artifisial tersebut ditangkap oleh para pelaku bisnis rohani. Karena itu para pelaku bisnis rohani tersebut menjual janji keselamatan, kesejahteraan dan penghiburan.
Bagaimana dengan fenomena “bisnis rohani” dalam kehidupan gereja yaitu: menjual “minyak urapan,” kampanye sakramen Perjamuan Tuhan dalam bentuk roti dan anggur sebagai kekuatan ilahi yang berkhasiat. Kita juga perlu menguji realitas kebaktian yang menjanjikan mukjizat kesembuhan dan kemakmuran, persembahan persepuluhan dengan iming-iming akan memperoleh berkat Allah dan hukuman bagi mereka yang melalaikan, memanipulasi emosi melalui musik dan pujian sebagai entertainment dalam kebaktian, serta baptisan yang lebih afdol di Sungai Yordan. Bukankah fenomena dalam berbagai praktik “bisnis rohani” dalam kehidupan gereja merupakan tawaran anugerah Allah yang diperoleh dengan prinsip bisnis yang manipulatif? Penghayatan makna minyak urapan dan sakramen Perjamuan Tuhan tidak berbeda dengan kepercayaan kepada kekuatan jimat. Motif umat datang ke kebaktian untuk memperoleh kesembuhan dan kemakmuran materiil semata seperti orang pergi ke Gunung Kawi. Memberi persembahan persepuluhan agar umat mendapat balasan yang berlipat-ganda tidak berbeda jauh dengan menyuap Tuhan, pujian yang memanipulasi emosi sekadar untuk hiburan. Tawaran berziarah ke Israel dengan baptisan di Sungai Yordan agar acara bisnis travel semakin laku. Jadi apa bedanya praktik bisnis-rohani tersebut dalam kehidupan gereja di masa kini dengan sikap gereja Katolik-Roma pada abad XVI yang dikritik oleh Martin Luther?
Dalam konteks fenomena “bisnis-rohani” tersebut di atas, umat Kristen yang berlatarbelakang gereja reformatoris sering merasa bebas dari praktik yang tidak terpuji. Mereka mengklaim sebagai para pengkritik yang Alkitabiah atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok gereja Pentakostal. Tetapi bagaimana dengan praktik “bisnis-rohani” dalam gereja-gereja reformatoris, yaitu: mengkultus-individukan seorang pemimpin sehingga tidak mungkin salah dalam pengajaran dan sikapnya? Padahal sikap kultus-individu itulah yang dikritik oleh Martin Luther terhadap supremasi kekuasaan Paus. Praktik membuat sekat-sekat dengan “isme-isme” berupa kebanggaan diri sekaligus menghakimi yang lain misalnya: dia bangga sebagai kaum evangelikal seraya menghakimi orang-orang yang dianggap “liberal.” Sebaliknya orang-orang yang bangga sebagai kelompok “liberal” akan menghakimi orang-orang yang tidak sependapat dengan sebutan sebagai kelompok “fundamentalisme.” Sekat-sekat dengan “isme-isme” tersebut tidak berbeda jauh dengan praktik gereja abad XVI yaitu apabila dijumpai suatu pemikiran yang tidak sesuai dengan pola pengajaran akan disebut sebagai “bidat.”
Kristus, Sang Juruselamat dan Kepala Gereja berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk. 9:23). Inti pembaruan dalam kehidupan gereja sebagai institusi-komunal dan personal berpusat pada spiritualitas penyangkalan diri. Makna penyangkalan-diri adalah kapasitas rohani yang mampu melepaskan diri dari dimensi “kemelekatan” “keinginan-keinginan duniawi” (keinginan daging). Karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh Kudus adalah menghadirkan anugerah Allah yang membarui kehidupan umat secara menyeluruh. Dengan menghayati karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh Kudus seluruh hidup umat akan berpusat kepada kemuliaan Allah. Umat akan menghasilkan buah Roh dalam kehidupannya. Dengan menyangkal diri kita dimampukan untuk senantiasa kritis melibatkan diri dalam praktik “bisnis-rohani” (aspek ekonomis), sindrom kekuasaan, dan kenikmatan inderawi. Ketiga aspek duniawi inilah yang sering menggerogoti iman umat, yaitu dimensi materiil-ekonomis, kekuasaan dan kenikmatan inderawi baik secara sekuler maupun rohani. Tiga aspek duniawi tersebut yang menyebabkan gereja sebagai komunitas dan personalitas jatuh dalam bentuk: pemujaan diri, menghalalkan segala macam cara untuk mencari kemuliaan dan kebenaran diri, dan menghakimi setiap pihak yang berbeda dengan persepsi pemahamannya.
Makna ecclesia semper reformanda est tidak boleh berhenti pada reformasi gereja abad XVI saja. Pembaruan gereja terus berlaku di setiap waktu. Gereja yang memuliakan Allah di dalam Kristus dan persekutuan Roh Kudus ditandai oleh pembaruan yang sinambung, korektif-kritis, dan menghadirkan pemulihan Kristus di tengah-tengah dunia. Jadi reformasi spiritualitas iman Kristen ditandai oleh sikap korektif-kritis terhadap diri mereka sendiri dan kemampuan menghadirkan karya pemulihan Kristus sehingga menyembuhkan setiap luka-luka manusia akibat kuasa dosa.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono