Kemenangan atas Kekuatiran
(1 Yohanes 4:16-21)
Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.
Dalam hal inilah kasih Allah sempurna di dalam kita, yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman, karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini.
Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.
Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.
Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.
Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.
Ungkapan yang paling fundamental untuk menggambarkan realitas kehidupan dari zaman ke zaman termasuk pada masa kini dapat dinyatakan dengan kata “kekuatiran.” Hampir di antara kita tidak ada yang tidak kuatir akan masalah yang terjadi dan hari esok. Bahkan banyak orang yang hidup tiap-tiap hari dengan kekuatiran. Makna rasa kuatir lebih luas dan mendalam daripada rasa takut. Sebab makna perasaan takut berkaitan dengan suatu bahaya yang jelas dan konkrit. Misalnya kita wajib takut dengan bahaya penyebaran penyakit virus Covid-19. Berbeda dengan perasaan kuatir (anxiety) muncul walau tidak selalu terlihat bahaya yang tampak kasat mata.
Hakikat kekuatiran atau kecemasan bersifat eksistensial, artinya setiap orang akan mengalami kecemasan saat melakukan sesuatu yang menantang atau baru pertama kali. Sangat wajar kita akan mengalami kecemasan saat menghadapi ujian, mengemudikan mobil pertama kali, seorang calon pendeta yang pertama kali berkhotbah, suami yang sedang menunggu istri melahirkan, dan sebagainya. Tetapi akan menjadi kecemasan yang negatif atau merusak ketika faktor pemicu tersebut tidak ada namun terus-menerus dicengkeram oleh perasaan cemas. Dia terus cemas tanpa alasan yang jelas, rasional dan faktual. Problem inilah yang akan kita bahas, yaitu kekuatiran atau kecemasan yang negatif dan merusak. Judul yang perlu ditekankan adalah: “Kemenangan atas Kekuatiran yang Merusak.”
Menurut Paul Tillich seorang teolog Jerman dalam bukunya yang berjudul “Systematic Theology” Jilid II menyatakan bahwa perasaan kuatir yang mendasar dari kehidupan pribadi setiap orang dapat dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu: “ketiadaan yang absolut” dan “ketiadaan yang relatif.” Apa yang dimaksud dengan arti “ketiadaan yang absolut?” Setiap orang akan mengalami ketiadaan yang absolut saat mengalami kematian. Sedang ketiadaan yang relatif adalah saat seseorang dikuasai oleh perasaan putus-asa saat mengalami berbagai masalah, tekanan, kehilangan sesuatu yang berharga misal pekerjaan, kesehatan sehingga ia sakit, atau orang-orang yang ia kasihi. Dalam kedua realitas tersebut di atas tidak ada seorang pun yang bisa menghindarinya. Sangat menarik dalam pemikiran Paul Tillich ini adalah bahwa pengalaman kecemasan atau kekuatiran terjadi karena seseorang menghadapi realitas KETIADAAN (Non-being), yaitu ketiadaan yang absolut dan ketiadaan yang relatif.
Pertanyaan yang mendasar adalah mengapa setiap manusia harus mengalami kecemasan atau kekuatiran yang berlebihan saat ia menghadapi realitas ketiadaan? Bukankah realitas ketiadaan baik ketiadaan yang absolut mau pun ketiadaan yang relatif adalah realitas yang konkret dan eksistensial? Bukankah seharusnya setiap orang mampu menghadapi realitas ketiadaan tersebut tanpa harus terlalu cemas atau kuatir? Tuhan Yesus berkata di Matius 6:34, yaitu: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Kita boleh cemas, tetapi seharusnya proporsional saja. Tetapi praktiknya kita sering terus-menerus hidup dalam kecemasan atau kekuatiran. Kita mengetahui setiap orang pasti akan mati. Setiap orang pasti mengalami persoalan, tekanan, dan kehilangan semua hal yang ia miliki.
Menurut Paul Tillich semua pengalaman akan “ketiadaan” tersebut menjadi tidak dapat diatasi adalah karena manusia berada dalam “situasi keterasingan.” Manusia sering terasing dengan dirinya sendiri (man against himself). Makna “keterasingan” diterjemahkan dari kata estrangement yang biasanya diterjemahkan alienasi. Manusia mengalami alienasi dengan dirinya. Karena seseorang mengalami keterasingan atau alienasi, maka ia tidak sanggup menghadapi realitas “ketiadaan.” Situasi keterasingan (alienasi) tersebut merupakan pengalaman hidup manusia yang secara fundamental terputus relasinya dengan Allah. Keterputusan relasi dengan Allah tersebut merupakan situasi kejatuhan atau keberdosaan manusia. Paul Tillich menafsirkan kisah Kejadian pasal 3 merupakan gambaran keterputusan atau keterasingan dengan Allah. Jadi jelas bahwa perasaan takut atau cemas yang menguasai hidup manusia secara tidak wajar saat ia menghadapi kematian atau berbagai problem, tekanan, kegagalan dan kehilangan pada hakikatnya bersumber pada keterputusan relasi manusia dengan Allah.
Secara riil makna keterputusan relasi manusia dengan Allah terjadi saat kita berbuat dosa atau pelanggaran secara etis-moral. Di Yesaya 59:2 berkata: “Tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.” Semakin hidup kita tidak berkenan dengan melanggar kekudusan, semakin hidup kita rapuh sehingga akan dikuasai oleh kecemasan dan kekuatiran yang merusak. Para pelaku kejahatan atau kriminal tidak akan pernah mampu hidup tenang. Mereka selalu dikejar oleh perasaan bersalah, gelisah, cemas dan takut. Namun perlu kita pahami bahwa makna dan lingkup dosa tidak terbatas pada perbuatan yang melanggar etis-moral atau melakukan kejahatan semata.
Makna “dosa” dalam iman Kristen memiliki lingkup yang lebih luas. Dosa secara fundamental adalah peristiwa terputusnya relasi manusia dengan Allah, sehingga tidak dapat mengalami anugerah atau rahmat Allah. Kita mungkin dianggap termasuk kelompok orang yang disebut “baik dan saleh” tetapi tidak menjamin bahwa hidup kita berada dalam relasi kasih dengan Allah. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita lebih cenderung mengandalkan pengertian, kesalehan, kebajikan, perbuatan baik, kepandaian, keahlian dan kedudukan sosial yang ada daripada menghidupi karakter dan kehendak Allah? Tepatnya keterputusan yang menyebabkan kita mengalami keterasingan atau alienasi dengan Allah saat kita bersikap sombong di hadapan Allah. Firman Tuhan di Amsal 3:5 berkata: “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”
Makna situasi keterasingan atau alienasi dengan Allah dalam praktik hidup sehari-hari tidak sederhana penyelesaiannya. Solusi atas situasi keterasingan dan keterputusan dengan Allah tidak sekadar pelatihan spiritual seperti meditasi, yoga, dan berpuasa. Beberapa tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 11 Agustus 2014 dunia sempat heboh ketika mendengar seorang aktor yang lucu dan sering membuat orang tertawa terbahak-bahak mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Aktor tersebut adalah Robbin Williams. Ia mengalami kekuatiran yang begitu besar saat menyadari sulit menghafal teks skenario lawakannya. Sebenarnya kesulitan Robbin Williams terjadi karena penyakit neurodegeneratif yang ia derita. Penyakit tersebut menggerogoti kemampuan Robin, khususnya di bagian memori/ otak Robin Willams. Rasa cemas dan takut akan ketidakmampuannya itu yang mendorong Robbin Willims putus-asa sehingga memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bahkan bisa terjadi pada seorang Pendeta yang mengalami ketakutan karena besok ia akan diemiritasi (pensiun). Tampaknya pada malam itu ia begitu cemas sehingga semalaman tidak bisa tidur. Lebih daripada itu dari perasaan cemas yang mencengkeram, terjadilah ekses pada lambung dan disfungsi pada bagian ususnya. Hasil otopsi menunjukkan tingkat stress yang berlebihan. Akibatnya pada hari ia direncanakan diemiritasi berubah menjadi ibadah tutup peti. Dengan dua contoh tersebut di atas kita dapat melihat bahwa persoalan kuatir atau kecemasan adalah masalah yang fundamental dan eksistensial. Setiap orang yang hidupnya “baik-baik saja” tidak luput dari rasa cemas atau kekuatiran yang merusak.
Rasa kuatir atau cemas tidak hanya mepengaruhi kesehatan fisik, tetapi dalam praktik hidup sehari-hari mempengaruhi pola berpikir dan spiritualitas yang dibangun. Kita pernah mendengar adigium atau pepatah yang dikemukakan oleh Lord Acton, yaitu: “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely” (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak benar-benar merusak). Kalau kita renungkan sebenarnya alasan orang menyalahgunakan kekuasaan adalah karena ia takut kehilangan kekuasaan. Ketakutan kehilangan kekuasaan yang mendorong seseorang untuk menciptakan kekuasaan yang absolut. Problem relasi menjadi ketegangan dan konflik dalam relasi agama-agama adalah karena takut dan kuatir dengan perkembangan agama lain. Penutupan dan perusakan gereja-gereja dilakukan oleh orang-orang yang takut dengan perkembangan agama lain. Para pelakunya bermental ego-insecurity (pribadi yang tidak aman) sehingga sensitif dengan perkembangan agama lain. Sikap kuatir atau cemas menghasilkan sikap sensitif yang agresif. Kita tidak bisa membayangkan apabila kodrat manusia karena dosa cenderung kuatir atau cemas lalu dikuatkan melalui ajaran agama yang membenarkan penguasaan atau superioritas terhadap agama lain. Hasilnya adalah para penganutnya akan menjadi liar dan intoleran. Kondisi inilah yang sekarang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.
Firman Tuhan di Surat 1 Yohanes 4:18 berkata: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” Seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam ketakutan merupakan manifestasi dari para pribadi yang di dalam dirinya tidak mengenal kasih. Hidup mereka sesungguhnya berada dalam hukuman. Bentuk “hukuman” yang dimaksud adalah batin yang tidak pernah tenang sehingga tidak mampu memproduksi ucapan dan tindakan kasih. Karena itu seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam ketakutan menghasilkan perilaku yang sewenang-wenang, kasar, berpikir negatif tentang orang lain, iri-hati dan menghalalkan cara. Mereka tidak mengalami kasih Allah walau pun taat beragama. Firman Tuhan di Surat 1 Yohanes 4:19 berkata: “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Sumber kasih yang sesungguhnya adalah Allah. Di dalam Yesus Kristus Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita. Karena Allah telah mengasihi kita, maka kita mampu mengasihi orang lain dan para musuh kita.
Melalui pembahasan di atas semakin menyadarkan kita bahwa kekuatiran atau kecemasan merupakan masalah yang fundamental dan eksistensial. Karena itu solusi atas kekuatiran atau kecemasan tidak bisa diatasi hanya dengan intensitas ritual agama, filsafat, ilmu pengetahuan, hobi, kuliner dan berbagai macam hiburan. Kita semua membutuhkan pemulihan melalui cinta-kasih yang dianugerahkan Allah melalui penebusan Yesus Kristus. Kasih dalam penebusan Kristus yang diwujudkan dalam pemahaman dan pengalaman, sehingga hati kita dipenuhi oleh damai-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Tuhan Yesus berkata: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu” (Yoh. 14:27).
Cara yang perlu kita tempuh untuk memperoleh kasih dan damai-sejahtera adalah hidup dalam iman. Jadi kemenangan atas kekuatiran hanya dapat diperoleh melalui iman, sebab melalui iman kepada Kristus kita akan memperoleh kasih yang dianugerahkan dan damai-sejahtera. Lawan dari kekuatiran atau kecemasan bukanlah “keberanian,” tetapi sikap iman. Di Matius 14:29-30 mengisahkan bagaimana Petrus semula dapat berjalan di atas air mendekati Yesus, tetapi kemudian ia dkuasai oleh ketakutan sehingga tenggelam. Sikap Tuhan Yesus adalah menegur Petrus dengan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang? (Mat. 14:31). Dengan sikap iman kepada Kristus seharusnya kita memiliki keberanian untuk menghadapi realitas sehingga kekuatiran atau kecemasan kita menjadi sirna. Melalui iman kita dimampukan untuk mengelola setiap kekuatiran atau kecemasan yang hendak menguasai dan mengendalikan kita.
Orang-orang yang digerakkan oleh kasih dan damai-sejahtera karena iman akan terdorong untuk menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut. Ia akan menyuarakan kenabian, bukan mempertahankan perasaan aman bagi diri sendiri. Kita menjumpai banyak orang Kristen yang baik hati tetapi takut memberitakan Kristus, karena kuatir akan menyinggung atau merusak relasi dengan sesama. Ia tidak bisa membedakan antara Kristus sebagai esensi keselamatan dan cara atau pola pendekatan yang kurang tepat. Apabila hidup kita dipenuhi oleh kasih dan damai-sejahtera kita akan dimampukan memberitakan Kristus dengan cara yang tepat dan bijaksana. Sebab seluruh hidup kita dikuasai oleh iman, bukan oleh kekuatiran atau kecemasan. Pemberitaan Injil yang tidak bijaksana didasari oleh kehidupan yang tidak dilandasi oleh iman, tetapi kekuatiran atau kecemasan atas keselamatannya sendiri. Mengapa gereja tidak tumbuh dan berkembang karena umatnya dikuasai oleh kekuatiran atau kecemasan. Mengapa kita tidak bisa menjalankan tugas dengan baik sebagai organ civitas-akademika? Jawabannya adalah karena kita takut akan hari esok, sehingga tidak menghidupi iman kepada pemeliharaan Allah dan pemulihan dalam penebusan Kristus.
Firman Tuhan di 1 Yohanes 4:18-19 berkata:
“Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono