Istilah “fundamentalisme” umumnya berkonotasi negatif dan tidak mendatangkan sikap simpatik. Namun sesungguhnya setiap kepercayaan dan agama bersifat fundamentalistik. Sebab dengan ungkapan “fundamentalistik” menunjuk bagaimana pondasi kepercayaan atau iman dari setiap kepercayaan atau agama tersebut dibangun. Kita tidak bisa membayangkan apabila hakikat yang fundamental dari iman Kristen disingkirkan. Hakikat yang fundamental dari iman Kristen adalah: 1). Allah yang esa di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus, 2). Inkarnasi dan karya penebusan Kristus, 3). Alkitab adalah Firman Tuhan, 4). Karya pencurahan dan pembaruan Roh Kudus, 5). Kristus adalah satu-satunya jalan, kebenaran dan hidup. Dari 5 pondasi iman Kristen tersebut setiap umat percaya adalah para “fundamentalis” sebab pokok-pokok ajaran itu dihayati sebagai landasan iman yang begitu berharga. Untuk pondasi iman tersebut, kita semua bersedia mempertaruhkan nyawa.
Untuk itu kita perlu membedakan iman yang dihayati secara fundamentalistik dengan fundamentalisme agama. Makna “iman yang fundamentalistik” memberikan kepada setiap umat percaya dasar pijakan yang benar dan mendatangkan keselamatan. Hakikat iman yang fundamentalistik juga merupakan identitas diri selaku umat yang telah ditebus oleh darah Kristus. Di dalam iman Allah Trinitas yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus kita ditebus, diselamatkan dan dibenarkan.
Sebaliknya berbeda dengan “fundamentalisme agama.” Sebab dalam makna “fundamentalisme agama” bukan sekadar yakin dan percaya akan kebenaran dari doktrin yang diajarkan, tetapi utamanya adalah sikap picik dan dangkal dalam menafsirkan pondasi atau landasan imannya. Problem dari fundamentalisme agama adalah: 1). Sikap hermeneutik atau menafsirkan ayat-ayat Alkitab, 2). Sikap yang mengabaikan rasionalitas, 3). Spiritualitas yang memandang realitas dengan kacamata “putih-hitam,” 4). Sikap eksklusif dan curiga dengan keberagaman atau perbedaan, 5). Menyetujui tindakan kekerasan sebagai bagian dari ekspresi iman/kepercayaannya.
- Sikap Hermeneutik: Cara pandang yang legalistik dan dangkal dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab atau doktrin gereja. Dengan sikap hermeneutik yang seperti itu, kaum fundamentalistik agama hanya dapat menafsirkan ayat-ayat Alkitab dari salah satu sisi saja, misalnya pendekatan harafiah. Mereka juga juga menolak hasil-hasil penemuan arkeologi, perlunya pemahaman dengan pendekatan sastra, nilai-nilai kesejarahan, dan latar-belakang sosial-politik-ekonomi yang membentuk suatu teks Alkitab.
- Sikap yang mengabaikan rasionalitas, sehingga mereka lebih mengedepankan keyakinan yang berkobar-kobar. Kaum fundamentalisme agama lebih dominan dikuasai oleh fanatisme terhadap kebenaran yang diyakini. Mereka tidak mampu membuat analisa yang kritis dan mendalam. Karena itu kaum fundamentalisme agama terjebak dalam pola pikir yang irasionalitas dalam menghayati dan mempraktikkan imannya, misalnya mereka percaya secara membabi-buta kisah-kisah takhayul atau supranatural yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Misalnya bagaimana mengusir setan dengan batu, atau mengisahkan semalaman naik sorga. Kita semua selaku umat percaya mengimani karya mukjizat Allah dan Kristus, tetapi kita Imani secara utuh dan memahami untuk menemukan maknanya dalam realitas kehidupan di masa kini.
- Spiritualitas yang memandang realitas dengan kaca-mata “hitam-putih” sebab cara pandang dan penghayatan iman mereka tidak memiliki kapasitas untuk memotret realitas secara utuh. Makna kacamata hitam-putih adalah menunjuk perspektif atau cara pandang bersyarat, yaitu: “jika …, maka…” Syarat-syarat yang dimaksudkan bersifat subjektif, yaitu sesuai dengan apa yang ingin mereka pikirkan dan inginkan. Syarat-syarat penilaian dalam realitas kehidupan memang tidak terhindarkan, tetapi seharusnya bersifat objektif, dapat diukur, rasional dan sesuai dengan fakta. Selama persyaratan bersifat subjektif, maka makna “kebenaran” hanya benar sejauh sesuai dengan penilaian pribadi.
- Sikap eksklusif kaum fundamentalisme agama senantiasa bersifat tertutup. Mereka hanya mampu hidup dalam kelompok atau komunitasnya sendiri. Sebenarnya dalam konteks tertentu sikap eksklusif wajar karena setiap orang ingin hidup dalam kelompok atau komunitasnya sendiri. Tetapi masalah utama bagi kaum fundamentalisme agama adalah sikap eksklusif tersebut lahir dari perasaan curiga, kuatir dan takut. Umumnya kaum fundamentalisme agama bersikap eksklusif karena merasa terancam dengan keberadaan komunitas yang berbeda atau beragam. Sumber perasaan terancam adalah trauma, pengalaman-pengalaman pahit atau peristiwa yang menyakitkan sehingga membentuk suatu gambaran diri (self-image) yang berat sebelah. Mereka mengalami kondisi ego-insecurity (perasaan diri tidak aman).
- Pola kekerasan sering ditempuh sebagai solusi oleh kaum fundamentalisme agama. Kekerasan yang dimaksud dalam bentuk verbal atau fisikal. Motif kekerasan dilakukan karena mereka anggap bahwa cara tersebut diyakini mampu menyingkirkan atau menghapus berbagai hal yang dianggap “salah” secara doktrinal dan etis-moral. Dengan kekerasan verbal atau fisikal, mereka juga mengekspresikan keyakinan tentang kebenaran yang dihayati sebagai satu-satunya kebenaran yang absolut. Karena itu kaum fundamentalisme agama dalam praktik sehari-hari menjadi kelompok radikal.
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa kaum fundamentalisme agama sebenarnya menghadapi masalah psikologis dan spiritual dalam diri mereka. Kebenaran yang mereka hayati tidak mendatangkan kebenaran yang membebaskan sebagaimana Tuhan Yesus berkata: “Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:32). Kaum fundamentalisme terjebak pada “pembenaran-pembenaran diri” (justifikasi) tetapi gagal menghayati kebenaran (truth) Allah. Iman yang fundamentalistik kepada Allah yang hidup seharusnya lahir dari kebenaran yang membebaskan atau memerdekakan diri kita dari belenggu subjektivisme, irasionalitas, ego-insecurity (perasaan diri tidak aman), legalistik, dan fanatisme. Sebab dengan belenggu-belenggu mental-spiritual tersebut kita tidak akan mampu menemukan kebenaran Kristus yang menyelamatkan. Kita juga gagal menghayati dan mempraktikan kasih yang empatis kepada sesama. Sebab cara berpikir senantiasa bersyarat (conditional) menuntut sesama untuk melakukan sesuatu. Bukankah hakikat kasih ilahi bersifat tanpa syarat (unconditional) dengan menempatkan diri di tempat orang lain? Firman Tuhan berkata: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat. 7:12).
Iman kepada Kristus seharusnya dihayati dengan penyangkalan diri (Luk. 9:23). Pikiran kita seharusnya disalibkan agar dijiwai oleh pikiran Kristus. Karena itu sebelum kita memberi penilaian dari sudut doktrin, etis-moral dan spiritual kita perlu terlebih dahulu mengevaluasi, memeriksa, meneliti dan memikirkan secara rasional serta faktual. Ekspresi iman kita harus mampu dipertanggungjawabkan dengan itikad yang baik, rasional, terhormat dan cara yang benar. Pencarian dan menghidupi kebenaran yang membebaskan hanya mungkin apabila setiap umat percaya mempraktikkan kekudusan di hadapan Allah. Firman Tuhan berkata: “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.”
Kekudusan di dalam penebusan Kristus menghasilkan kebenaran Allah yang menyelamatkan dan membebaskan. Sebaliknya sikap hati yang duniawi dan cemar menghasilkan pembenaran-pembenaran diri yang membinasakan dan membelenggu walau mengklaim atas nama Tuhan.”
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono