“Lalu tampillah keluar seorang pendekar dari tentara orang Filistin. Namanya Goliat, dari Gat. Tingginya enam hasta sejengkal. Ketopong tembaga ada di kepalanya, dan ia memakai baju zirah yang bersisik; berat baju zirah ini lima ribu syikal tembaga. Dia memakai penutup kaki dari tembaga, dan di bahunya ia memanggul lembing tembaga. Gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun, dan mata tombaknya itu enam ratus syikal besi beratnya. Dan seorang pembawa perisai berjalan di depannya” (1Sam. 17:4-7).
Tokoh Goliat sering disebut bertubuh raksasa. Tinggi badan Goliat disebut 6 hasta sejengkal (= 3,2 meter). Dari penggalian kerangka mayat di sejumlah makam Timur Tengah umumnya tinggi manusia pada zaman dahulu sekitar 150-175 cm. Beberapa naskah seperti Gulungan Laut Mati, tulisan dari Flavius Josephus, Codex Vaticanus, dan Codex Alexandrinus menyatakan bahwa ukuran tinggi badan Goliat adalah 4 hasta (= 2 meter). Karena itu apabila tinggi Goliat mencapai 6 hasta sejengkal, pada zaman itu akan dianggap memiliki perawakan yang sangat tinggi.
Kondisi tinggi badan Goliat tersebut didukung oleh baju zirah yang beratnya 5000 syikal tembaga. Berat 1 syikal adalah 11,4 gram. Jadi berat baju ziarah Goliat adalah 5000×11,4 gram = 57.000 gram (= 57 kg) tembaga. Lalu berat mata tombak Goliat disebut 600 syikal (= 6, 84 kg). Kita dapat membayangkan sosok Goliat yang sangat kuat, besar, dan tinggi.
Sosok Goliat juga disebutkan di kitab 2 Samuel 21:19-20, yaitu: “Dan terjadi lagi pertempuran melawan orang Filistin, di Gob; Elhanan bin Yaare-Oregim, orang Betlehem itu, menewaskan Goliat, orang Gat itu, yang gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun.
Lalu terjadi lagi pertempuran di Gat; dan di sana ada seorang yang tinggi perawakannya, yang tangannya dan kakinya masing-masing berjari enam: dua puluh empat seluruhnya; juga orang ini termasuk keturunan raksasa.” Dari sumber kitab 2 Samuel 21:19-20 menegaskan 2 hal yaitu orang-orang yang tinggi, besar, dan kuat itu disebut sebagai keturunan raksasa. Pernyataan ini juga dikuatkan dari kitab 2 Samuel 21:18, yaitu: “Sesudah itu terjadi lagi pertempuran melawan orang Filistin di Gob; pada waktu itu Sibkhai, orang Husa, memukul kalah Saf, yang termasuk keturunan raksasa.” Mereka bukan manusia, tetapi keturunan raksasa.
Di Kejadian 6:4 menyatakan: “Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan.” Istilah “orang-orang raksasa” di Kejadian 6:4 dalam bahasa Ibrani disebut Nephilim. Arti nama “nephilim” secara spesifik bukan sekadar raksasa, tetapi sosok yang besar dan kuat tersebut karena lahir dari perkawinan “anak-anak Allah” dengan “anak-anak manusia.”
Sebutan sosok nephilim juga dapat kita jumpai dalam Bilangan 13:32-33, yaitu: “Juga mereka menyampaikan kepada orang Israel kabar busuk tentang negeri yang diintai mereka, dengan berkata: Negeri yang telah kami lalui untuk diintai adalah suatu negeri yang memakan penduduknya, dan semua orang yang kami lihat di sana adalah orang-orang yang tinggi-tinggi perawakannya. Juga kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami.” Hasil pemantauan atau penyelidikan para mata-mata Israel di tanah Kanaan adalah mereka menjumpai orang-orang yang tinggi perawakannya dan juga orang-orang raksasa. Kata “orang-orang raksasa” dalam konteks ini disebut dengan nephilim.
Namun tidak semua orang-orang yang tinggi perawakannya senantiasa disebut “nephilim.” Di Ulangan 3:11 menyatakan, yaitu: “Hanya Og, raja Basan, yang tinggal hidup dari sisa-sisa orang Refaim. Sesungguhnya, ranjangnya adalah ranjang dari besi; bukankah itu masih ada di kota Raba bani Amon? Sembilan hasta panjangnya dan empat hasta lebarnya, menurut hasta biasa.” Kata “refaim” menunjuk pada orang-orang raksasa. Karena itu raja Og sebagai “refaim” memiliki tempat tidur besi yang panjangnya 9 hasta (= 4,20 meter) dan lebarnya 4 hasta (= 1,8 meter).
Kejadian 14:5 menyebut sosok “refaim” yaitu: “Dalam tahun yang keempat belas datanglah Kedorlaomer serta raja-raja yang bersama-sama dengan dia, lalu mereka mengalahkan orang Refaim di Asyterot-Karnaim, orang Zuzim di Ham, orang Emim di Syawe-Kiryataim.” Tampaknya sosok yang seperti “raksasa” itu tersebar luas di Kanaan, sehingga mereka disebut dengan berbagai nama, misalnya: Refaim, Zuzim, Emim, dan Anakim.
Jikalau demikian sebutan “nephilim” lebih spesifik yaitu menunjuk sosok yang memiliki perawakan tinggi, besar, dan kuat bagaikan raksasa sebab mereka lahir dari perkawinan “anak-anak Allah” dan anak-anak manusia.” Dalam konteks ini apakah Goliat termasuk kelompok “nephilim” ataukah “refaim” atau bukan keduanya?
Sebagaimana disebutkan sekilas arti dari “nephilim” adalah orang-orang raksasa yang lahir dari hasil perkawinan “anak-anak Allah” dengan “anak-anak manusia.” Namun siapakah yang dimaksud dengan “anak-anak Allah” dalam konteks ini? Umumnya ada tiga pandangan utama tentang identitas diri dari “anak-anak Allah” menurut Kejadian 6:1-4, yaitu: 1). Para malaikat yang jatuh, 2). Penguasa yang berkuasa, 3). Keturunan Set yang saleh
Teori 1 para malaikat yang jatuh (fallen angels): Mereka dahulu adalah anak-anak surga tetapi melakukan pelanggaran atau dosa kepada Allah, sehingga mereka dihukum. Dalam konteks ini para malaikat yang jatuh terpikat kepada para perempuan manusia juga dikemukakan oleh kitab 1 Henokh 7:2. Di kitab 1 Henok 7:2 menyatakan bahwa anak-anak surga terpikat kepada mereka dan berkata seorang kepada yang lain, “Marilah, marilah kita memilih isteri-isteri bagi kita dari antara keturunan manusia, dan beranakcuculah kita.” Tampaknya kitab Henokh mengambil sumber dari kitab Kejadian 6. Namun kitab Henokh secara eksplisit mengartikan “anak-anak Allah” tersebut sebagai para malaikat. Di surat 2 Petrus 2:4 kita juga menemukan kesaksian, yaitu: “Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman.” Surat 2 Petrus 2:4 menyatakan peristiwa para malaikat yang jatuh sehingga melemparkan mereka ke dalam neraka.
Teori 2 adalah penguasa yang berkuasa: keluarga kerajaan atau para penakluk sehingga mereka dianggap sebagai manusia superior. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka mengawini siapa saja yang disukai.
Teori 3 adalah keturunan Set yang saleh: Mereka hidup bergaul dengan Allah dan mengutamakan kehendak serta firman-Nya. Karena itu mereka dikenal sebagai orang-orang pilihan. Tetapi kemudian keturunan Set tersebut tergoda untuk mengawini para perempuan dari keturunan Kain. Perkawinan campur antara keturunan Set dan keturunan Kain tersebut menghasilkan orang-orang yang melakukan kejahatan di atas bumi.
Kelemahan dari 3 teori tersebut adalah:
- Anak-anak Allah sebagai malaikat yang jatuh dianggap bertentangan dengan perkataan Yesus di Matius 22:30 yang menyatakan: “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.” Para malaikat di sorga dalam pemikiran dan kesaksian Tuhan Yesus adalah mahluk ilahi di sorga yang hidup kudus. Mereka tidak lagi memiliki keinginan, hasrat, dan nafsu untuk melakukan hubungan seksual.
- Dalam teori 2 pengertian “anak-anak Allah” adalah para penguasa yang berkuasa, dan dalam teori 3 menunjuk pada keturunan Set. Kelemahan dari teori 2 dan 3 tentang “anak-anak Allah” menunjuk pada sosok manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin laki-laki biasa yang menikahi perempuan biasa dari sesama manusia dapat menghasilkan keturunan “raksasa” atau sosok dengan fisik dan kemampuan yang luar biasa?
Dari kelemahan 3 teori tersebut muncul anggapan bahwa teori 1 yang lebih kuat. Di kitab Ayub 1:6 menyatakan: “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datanglah juga Iblis.” Sosok “anak-anak Allah” dalam konteks ini menunjuk pada para malaikat yang menghadap TUHAN. Kesaksian yang sama juga dikemukakan oleh Ayub 2:1 yaitu: “Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap TUHAN dan di antara mereka datang juga Iblis untuk menghadap TUHAN.” Jadi karena mereka adalah para malaikat, maka mereka juga dapat menghadap Allah. Lalu bagaimana dengan pernyataan Tuhan Yesus di Matius 22:30 bahwa para malaikat di sorga tidak akan hidup dalam perkawinan atau melakukan hubungan seksual?
Gereja menerima dan membenarkan perkataan Tuhan Yesus bahwa para malaikat di sorga tidak lagi memiliki hasrat seksualitas, sehingga mereka tidak kawin. Mereka hidup kudus dalam keilahian Allah. Padahal konteks Kejadian 6:4 menunjuk pada para malaikat yang telah jatuh ke dalam dosa. Para malaikat ini dihukum sehingga dibuang dari sorga. Dalam keberdosaannya para malaikat yang jatuh itu ternyata memiliki hasrat atau nafsu seksualitas.
Selain itu Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyatakan bahwa para malaikat dalam beberapa peristiwa menampakkan diri dalam rupa dan wujud manusia. Ibrani 13:2 menyatakan: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.” Surat Ibrani memberi nasihat kepada jemaat agar menyatakan kepedulian dan keramahtamahan kepada orang-orang asing. Di antara orang-orang asing tersebut bisa hadir para malaikat yang menyamar sebagaimana yang pernah dialami oleh Abraham (Kej. 18:1-5).
Kesaksian Markus 16:5 menyatakan: “Lalu mereka masuk ke dalam kubur dan mereka melihat seorang muda yang memakai jubah putih duduk di sebelah kanan. Merekapun sangat terkejut.” Dalam peristiwa kebangkitan Yesus, seorang malaikat menampakkan diri dalam rupa manusia. Selain itu teks di Kejadian 10:1-5 mengisahkan bagaimana orang-orang Sodom dan Gomora ingin berhubungan seks dengan dua malaikat yang sedang bersama dengan Lot. Para malaikat dalam konteks ini berbentuk manusia laki-laki sehingga orang-orang Sodom dan Gomora ingin melakukan sodomi.
Kata “nephilim” (anak-anak Allah) memang multi arti, yaitu menunjuk orang-orang raksasa hasil perkawinan para malaikat yang jatuh, ataukah orang-orang yang berkuasa dan umat pilihan dari keturunan Set.
Makna “nephilim” dalam arti sebagai malaikat yang jatuh, sehingga sebutan “anak-anak Allah” tersebut menunjuk pada keturunan yang lahir dengan sosok yang istimewa. Mereka besar, tinggi, kuat, dan menjadi para penakluk di zamannya. Sedangkan makna “nephilim” sebagai sosok manusia menunjuk pada para penguasa yang berkuasa. Sosok “nephilim” tersebut juga menunjuk pada keturunan Set yang saleh, yaitu orang-orang yang hidup suci dan berhasil mengukir prestasi gemilang, atau orang-orang yang membawa pengaruh yang sangat besar. Tetapi kemudian mereka melakukan kawin campur dengan keturunan Kain, sehingga melahirkan keturunan yang melakukan kejahatan.
Jika demikian sosok Goliat termasuk “nephilim” ataukah “refaim”?
Sangat jelas bahwa Goliat bukan “nephilim.” Goliat termasuk golongan “refaim” yaitu orang-orang dengan tubuh raksasa. Kesaksian kitab 2 Samuel 21:20 menyatakan: “Lalu terjadi lagi pertempuran di Gat; dan di sana ada seorang yang tinggi perawakannya, yang tangannya dan kakinya masing-masing berjari enam: dua puluh empat seluruhnya; juga orang ini termasuk keturunan raksasa.” Mereka memiliki tangan dengan 6 jari dengan perawakan yang tinggi. Tampaknya Goliat termasuk kelompok “refaim” sebab teks tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya, yaitu: “Dan terjadi lagi pertempuran melawan orang Filistin, di Gob; Elhanan bin Yaare-Oregim, orang Betlehem itu, menewaskan Goliat, orang Gat itu, yang gagang tombaknya seperti pesa tukang tenun” (2Sam. 21:19). Goliat bukan manusia, tetapi keturunan raksasa.
Problem muncul, siapakah yang membunuh Goliat? Sebab di kitab 2 Samuel 21:19 menyatakan bahwa yang membunuh Goliat adalah Elhanan bin Yaare-Oregim. Jadi siapakah yang membunuh Goliat? Daud ataukah Elhanan bin Yaare-Oregim?
Kita mengetahui bahwa baik Daud maupun Elhanan berasal dari Bethlehem. Karena itu beberapa orang menyamakan diri Daud dengan Elhanan. Dalam pengertian ini nama lain (alias) Daud adalah Elhanan. Tetapi bagaimana dengan kesaksian 1 Tawarikh 11:26 yang menyatakan Elhanan sebagai triwira raja Daud, yaitu: “Pahlawan-pahlawan yang gagah perkasa ialah juga Asael, saudara Yoab, selanjutnya Elhanan bin Dodo, dari Betlehem.” Apabila benar Elhanan bukanlah Daud, tetapi salah seorang perwiranya, maka identitas “Goliat” bukan menunjuk pada satu pribadi. Sebutan “Goliat” menunjuk pada nama umum yaitu orang-orang raksasa dari Gat dengan keahlian berperang.
Narasi teks 1 Samuel 17:40-51 yang mengisahkan pertempuran antara Daud dengan Goliat menunjukkan bahwa salah seorang raksasa yang bernama Goliat menantang dan merendahkan kekuatan tentara Israel. Tetapi Daud dengan keahlian mengumban dengan batu berkata kepada Goliat, yaitu: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu” (1Sam. 17:45). Goliat sang raksasa itu akhir terbunuh, sehingga Daud dapat memenggal kepalanya (1Sam. 17:51). Kecongkakan Goliat dengan tubuh raksasa dan keahlian perangnya dapat dipatahkan oleh kecerdikan dan kuasa nama Allah dalam diri Daud dari Bethlehem.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering berperan seperti Goliat yang menganggap diri kuat, dan tak terkalahkan. Sikap arogansi tersebut melahirkan perilaku yang merendahkan orang lain. Padahal setiap kesombongan merupakan awal dari keruntuhan. Sebaliknya Daud tidak rendah diri menghadapi sosok Goliat yang lebih tinggi, kuat, dan perkasa. Ia mengetahui sumber kekuatannya adalah Allah dan keahliannya yang terlatih sebagai seorang gembala. Bagaimana peran dan karakter kita dalam kehidupan sehari-hari, apakah sebagai Goliat ataukah Daud?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono