Latest Article
Berpegang Teguh pada Kebenaran (2 Timotius 3:10-17)

Berpegang Teguh pada Kebenaran (2 Timotius 3:10-17)

“Namun, hendaknya engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau
yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu” (2Tim. 3:14).

Kebenaran sering menjadi ketidakbenaran. Sebab setiap orang baik dan jahat berbicara tentang “kebenaran.” Makna “kebenaran” sering menjadi realitas ketidakbenaran sebab dipahami, dimaknai, dan ditafsirkan menurut sudut pandang setiap orang. Karena itu makna “kebenaran” menjadi subjektif, tergantung persepsi dan tujuan personal/komunal dari orang yang menyampaikan. Kebenaran menjadi ketidakbenaran saat makna kebenaran (truth) diidentikkan dengan “pembenaran” (self-justification). Saat kita melakukan sesuatu yang didasarkan pada pembenaran-pembenaran, sesungguhnya kita tidak menghidupi kebenaran, tetapi sebaliknya ketidakbenaran. Padahal ketidakbenaran (kejahatan) adalah musuh dari kebenaran Allah. Karena itu lebih mudah memahami kebenaran matematis daripada kebenaran filosofis, teologis dan etis. Kebenaran matematis jelas dan tidak menimbulkan persepsi yang beragam. Misal 2×2 = 4.

Jikalau demikian, apa yang dimaksud dengan kebenaran (truth)? Bagaimana kita memahami kebenaran tanpa dipengaruhi dan dikuasai oleh pembenaran? Bukankah kecenderungan manusia yang paling mendasar adalah pembenaran diri (self-justirication) sebagaimana yang dilakukan oleh manusia pertama, Adam dan Hawa di taman Eden? Mereka memilih tidak mau mengakui kesalahan. Adam dan Hawa di hadapan Allah justru membuat pembenaran (rasionalisasi) sehingga mereka merasa tidak bersalah. Pembenaran senantiasa memberikan berbagai alasan yang masuk akal (rasionalisasi) agar suatu kesalahan atau kejahatan tersebut menjadi kabur (tidak jelas). Karena itu semakin kita mengaburkan atau membuat samar suatu kesalahan, sebenarnya kita sedang melakukan pembenaran alias melawan kebenaran itu sendiri. Semakin pandai kita membuat argumentasi atau alasan-alasan yang masuk akal untuk menutupi kesalahan sesungguhnya kita adalah musuh atau lawan dari kebenaran. Di pihak lain siapapun yang menjadi musuh kebenaran adalah musuh Allah walaupun dia seorang yang melayani Tuhan dengan giat. 

Kebenaran yang bagaimana agar tidak menjadi pembenaran atau rasionalisasi? Kebenaran adalah kebenaran apabila ia bersifat dan menghasilkan pembebasan atau pemerdekaan. Dalam Yohanes 8:31-32, Tuhan Yesus berkata, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Kebenaran adalah kebenaran apabila ia memerdekakan atau membebaskan kita dari setiap belenggu dosa atau kebiasaan buruk yang mengikat.

Sifat utama dari pembenaran diri senantiasa membelenggu atau mengikat kita pada pola hidup yang lama dan bersifat kedagingan. Kita membiarkan pola yang lama dan kedagingan tersebut menjadi kekhasan dan kebanggaan secara personal dan komunal. Misalnya suatu adat mengizinkan seseorang minum sampai mabuk asalkan teman-teman semakin menjadi akrab, sehingga ia lebih diterima sebagai bagian dari komunitas tersebut. Persoalan utama dalam masyarakat NTT (Nusa Tenggara Timur) adalah ingin dianggap penting dan terpandang. Untuk tujuan dianggap penting dan terpandang, kebanyakan masyarakat NTT akan melaksanakan ritual budaya dengan anggaran besar. Problem utamanya adalah anggaran besar tersebut  sering diperoleh dengan cara berhutang. Akibatnya cukup banyak masyarakat NTT terjebak dalam kemiskinan. Sebab setelah melaksanakan pesta adat, anggota masyarakat akan sibuk  bekerja melunasi utang. Apabila ritual adat dengan biaya besar sebagai kebenaran, maka seseorang atau komunitas menghalalkan segala macam cara melaksanakan pesta adat. Karena itu tidak mengherankan demi tuntutan sosial itu seseorang melakukan korupsi. Dalam lingkup yang lebih luas, korupsi bisa mendarahdaging bagi para pejabat, para pegawai, pemuka agama, dan anggota masyarakat demi gengsi dalam adat tersebut. 

Selama kita membenarkan bahwa adat-istiadat lebih tinggi dan unggul dibandingkan dengan kebenaran firman Tuhan, sesungguhnya kita adalah musuh kebenaran. Sebab “kebenaran-kebenaran” yang dihidupi itu sesungguhnya hanyalah pembenaran-pembenaran insani yang semakin menjatuhkan harkat dan martabat kita sebagai manusia. Sebaliknya sifat dari kebenaran Allah di dalam Kristus adalah kebenaran yang memerdekakan dan mengangkat harkat-martabat setiap orang. Firman Tuhan menyatakan, “Namun, hendaknya engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu” (2Tim. 3:14). Kata “berpegang pada” (mene en) menunjuk pada makna “tinggal, berdiam” yaitu suatu sikap atau spiritualitas berada di dalam atau senantiasa menetap.

Jadi makna “berpegang” dalam konteks ini menempatkan firman Tuhan lebih tinggi, unggul, dan berkuasa dibandingkan seluruh nilai yang telah diwariskan oleh budaya atau nilai-nilai yang diajarkan oleh dunia ini. Karena lebih unggul, dan berkuasa seharusnya setiap umat percaya lebih taat kepada firman Tuhan. Nilai-nilai budaya dan adat-istiadat dari para leluhur tetap dipelihara sejauh telah dikritisi dan diterangi oleh kebenaran firman Tuhan.

Nilai-nilai budaya atau adat-istiadat yang negatif, kurang membangun, menghambat, dan melemahkan seharusnya direvisi dan dibuang. Sebaliknya budaya dan adat-istiadat yang positif, membangun, dan mengangkat martabat masyarakat NTT semakin diperkuat dan diteguhkan oleh berita Injil. Karena misi Injil Tuhan Yesus Kristus yang utama adalah menghadirkan Kerajaan Allah di atas muka bumi. Melalui gereja-gereja khususnya GMIT, Allah di dalam Kristus juga hendak menghadirkan Kerajaan Allah di bumi NTT.  

Nilai-nilai kebenaran kerajaan Allah yang membebaskan dalam firman Tuhan akan terwujud apabila memenuhi 3 syarat utama, yaitu: 

  1. Kebenaran yang membebaskan dari firman Tuhan, yaitu Alkitab. Melalui Alkitab kita menemukan kebenaran yang diilhamkan oleh Allah. Firman Tuhan berkata, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2Tim. 3:16). Sifat dari kebenaran senantiasa mengajar (edukasi), menyatakan kesalahan (teguran), memperbaiki kelakukan (koreksi), dan mendidik orang dalam kebenaran (membarui). Karena itu ayat-ayat Alkitab tidak boleh dikutip bagian-bagian yang hanya menghibur dan memberi kekuatan (pembenaran diri), tetapi juga harus menerima ayat-ayat Alkitab yang menegur dengan keras (menghidupi kebenaran). 
  2. Kebenaran akan kokoh apabila diajarkan sejak dari kecil dalam keluarga. Basis pendidikan yang utama dan pertama adalah keluarga, barulah sekolah atau pendidikan perguruan tinggi. Firman Tuhan berkata, “Dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2Tim. 3:15). Dalam realitas sehari-hari, kebanyakan orang-tua tidak mendidik anak-anak mereka mulai dari kecil untuk memahami Alkitab, sebaliknya di rumah orang-tua hanya mengajarkan budaya dan adat-istiadat yang kurang mendidik. Di gereja, kita tampak Alkitabiah, tetapi di rumah berubah menjadi penganut adat yang membabi-buta.  
  3. Kebenaran hanya menjadi kebenaran saat ia dihidupi dan diteladankan. Tanpa keteladanan, kebenaran yang diajarkan akan menjadi kemunafikan. Bukankah cukup banyak anak yang tidak ingin dilahirkan dari keluarga papa-mamanya karena menganggap orang-tua tidak dapat menjadi teladan? Orang-tua kehilangan wibawanya karena bapak-ibu, papa-mama dianggap munafik? Mereka mengajarkan hal-hal yang baik, tetapi tidak dilakukan dalam kehidupan sehari. Misalnya: Orang-tua melarang anaknya merokok seraya mereka merokok, melarang minum dan mabuk, tetapi orang-tua sulit lepas dari sopi dan moke (minuman khas NTT). Firman Tuhan berkata, “Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.” (2Tim. 3:10). Dalam konteks ini rasul Paulus membuktikan hidupnya sebagai teladan dalam setiap aspek, yaitu: ajaran, cara hidup, pendirian, iman, kesabaran, kasih dan ketekunannya bagi Timotius.  


Apabila kita perhatikan ketiga prinsip dari kebenaran Allah yang membebaskan, maka kebenaran yang membebaskan tersebut mengandung hal-hal yang kurang mengenakkan. Kita dibuat tidak nyaman karena ditegur dan dikoreksi. Kita harus mendidik dan mendisiplinkan anak-anak mulai dari kecil menghidupi dan memberi sanksi apabila mereka tidak membaca Alkitab. Siapapun yang melanggar firman Tuhan akan dikenai sanksi sebagai edukasi. Akhirnya, kebenaran harus dibuktikan dalam perilaku. Kebenaran harus diteladankan. Namun, dampak dari 3 prinsip kebenaran tersebut akan membawa perubahan dan pembaruan dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat NTT akan dibebaskan dari belenggu kemiskinan, korupsi, budaya royal dalam melaksanakan pesta adat, dan gengsi atau pamer agar dianggap terpandang oleh masyarakat. Melalui firman Tuhan ini, setiap anggota jemaat GMIT lebih memiliki komitmen mengutamakan pendidikan semakin tinggi daripada anggaran untuk pesta adat. Semakin banyak anggota masyarakat NTT yang mencapai gelar sarjana, magister dan keahlian tertentu akan membawa masyarakat NTT kepada peradaban yang membebaskan.

Gengsi yang terpuji dan tidak lekang oleh waktu apabila semakin banyak anggota masyarakat yang berpendidikan tinggi dan memiliki keahlian. Dengan catatan bahwa kemampuan akademis dan keahlian tersebut telah terintegrasi dengan nilai-nilai iman kepada Kristus. Tanpa integrasi antara kemampuan akademisi-skill dan karakter iman Kristen, kita hanya mencetak semakin orang-orang munafik yang berpendidikan tinggi dan memiliki keahlian. Dalam konteks ini musuh kebenaran akan menjadi semakin sulit dan berbahaya. Sebab kemunafikan selain dibungkus dengan pembenaran akan diperkuat dengan kemampuan rasionalisasi dari orang-orang yang berpendidikan tinggi dan ahli. Kita dapat membayangkan bagaimana apabila orang-orang ini menjdi pemimpin. Mereka akan merusak kehidupan masyarakat dengan kemunafikan. 

Dalam kehidupan sehari-hari bukankah anggota masyarakat yang lemah, miskin, dan kurang berpendidikan sering menjadi korban eksploitasi dari orang-orang yang kuat secara ekonomis, dan berpendidikan tinggi? Mereka memanipulasi kebenaran dan mengekspoitasi orang-orang yang marginal secara ekonomis, dan kurang berpendidikan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Paradoksnya para pelaku kejahatan tersebut sering merasa nyaman dan tidak bersalah, karena semua hal yang jahat dilakukan dibungkus dengan pembenaran diri. Itu sebabnya mereka semakin jauh dari kebenaran. Mereka merasa nyaman asalkan sudah memberi uang persembahan yang fantastis kepada gereja padahal uang diperoleh dari hasil memeras dan merampok harta orang-orang miskin. Aspek mendasar dari kebenaran menurut firman Tuhan adalah keadilan. Karena kata “dikaiosune” artinya: kebenaran dan keadilan. Karena itu siapapun yang hidup dalam kebenaran harus memberlakukan keadilan. 

Mengimplementasikan firman Tuhan dengan “Berpegang teguh pada kebenaran” memanggil setiap umat, para pendeta, dan para penatua untuk mewujudkan dalam realitas hidup sehari-hari. Barangsiapa yang tidak berpegang teguh pada kebenaran firman Tuhan, yaitu Kristus Sang Firman yang Hidup dan Alkitab sebagai Firman yang Tertulis akan binasa. Apabila Allah telah  menjadi musuh sebab kita hidup dengan melawan kebenaran, siapakah yang dapat melindungi dan menyelamatkan kita? Jangan takabur, seluruh harta milik dan jabatan kita akan menjadi jerami yang terbakar habis apabila Allah tidak lagi berpihak. Jadi, takutlah kepada Allah daripada kepada manusia atau anggapan masyarakat. Karena itu jemaat-jemaat GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) dipanggil menjadi pemberita firman yang mempersaksikan suara kenabian. Setiap jemaat GMIT adalah pemberita kebenaran Kristus. Mereka dipanggil menyampaikan teguran yang membangun. Kritik yang menyadarkan. Nasihat yang membuka wawasan iman. Tugas ini tidak mudah! Karena melawan musuh kebenaran, setiap orang percaya akan mengalami aniaya. Menyampaikan kebenaran berarti siap menderita. Kesaksian rasul Paulus menyatakan, “Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya” (2Tim. 3:11). 

Menghidupi ketiga prinsip kebenaran, yaitu: 1). Membuka hati untuk dididik dalam ajaran Alkitab, 2). Menghidupi firman Tuhan sejak kecil dalam keluarga dan sekolah, 3). Membuktikan firman Tuhan dalam keteladanan akan memampukan kita berdiri kokoh dalam menghadapi aniaya dan kebenaran. Apabila NTT sebagai mayoritas umat Kristen namun masih dikuasai oleh korupsi, pungutan liar, eksploitasi, dan manipulasi adalah karena ketiga prinsip kebenaran tersebut belum tertanam dengan kuat. Dalam konteks ini jemaat-jemaat GMIT tidak boleh kalah dengan ketidakbenaran. Karena hasil dari ketidakbenaran adalah pembodohan, pemiskinan, pengeksploitasi, dan penurunan derajat/martabat. Padahal NTT adalah mutiara di Indonesia.

Selaku umat yang telah ditebus oleh Kristus, kita dipanggil untuk menjaga dan memurnikan mutiara dari Tuhan tersebut. Jangan biarkan mutiara yang indah tersebut dikaburkan oleh ketidakbenaran, kemunafikan, dan kejahatan. Untuk mencapai tujuan itu setiap anggota jemaat dan pimpinan di NTT bersedia membayar harganya, yaitu siap menderita karena Kristus. Firman Tuhan berkata, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya, sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan disesatkan” (2Tim. 3:12-13). Apakah saudara bersedia menderita untuk kebenaran? Tuhan Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh karena kebenaran, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga” (Mat. 5:10). 

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono