Dasar Pemikiran
Dalam ibadah Minggu Transfigurasi, umat merayakan peristiwa Yesus menyatakan kemuliaan-Nya. Di hadapan ketiga orang murid-Nya, tubuh Yesus memancarkan kemuliaan ilahi-Nya. Musa dan Elia juga hadir dalam peristiwa transfigurasi Yesus. Keduanya juga berada dalam kemuliaan ilahi. Peristiwa transfigurasi Yesus terjadi sesaat sebelum Ia menderita, disalibkan dan bangkit dari kematian-Nya. Dengan demikian kematian Yesus di atas Gunung Golgota diapit oleh dua peristiwa kemuliaan-Nya, yaitu peristiwa transfigurasi dan kebangkitan-Nya. Di Markus 9:9, Tuhan Yesus berkata: “Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka jangan menceriterakan kepada seorangpun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.” Jadi ketiga orang murid-Nya akan memahami dengan benar makna peristiwa transfigurasi manakala mereka kelak menyaksikan kematian dan kebangkitan Kristus. Tubuh kemuliaan Yesus pada saat transfigurasi-Nya berkaitan erat dengan tubuh kebangkitan-Nya. Karena itu seandainya kebangkitan Kristus tidak didahului dengan transfigurasi, maka kisah kebangkitan hanya akan menjadi mitos. Sebab dalam peristiwa kebangkitan Yesus tidak ada para saksi. Namun dalam peristiwa transfigurasi Yesus, ketiga orang murid-Nya yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus menyaksikan secara langsung. Peristiwa transfigurasi dan kebangkitan Yesus mempersaksikan jati-diri Yesus yang sesungguhnya sebagai Anak Allah yang kekal, mulia, dan berkuasa.
Peristiwa kematian Yesus di atas kayu salib diapit oleh dua peristiwa kemuliaan ilahi yaitu peristiwa transfigurasi dan kebangkitan-Nya, karena itu kematian Yesus adalah wujud dari kemuliaan Allah dalam perendahan-Nya. Penderitaan dan kematian Kristus ditempatkan dalam rencana kekal keselamatan Allah, sehingga melalui penderitaan dan kematian Kristus, Allah menyatakan pendamaian dan pemulihan yang menyeluruh bagi seluruh semesta dan umat manusia. Transfigurasi Yesus dinyatakan Allah bukan sekedar agar Yesus siap untuk menderita dan wafat di atas kayu salib, namun lebih daripada itu. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus, umat percaya dihisapkan dalam kemuliaan ilahi. Sebagaimana Musa dan Elia dimuliakan dalam peristiwa transfigurasi Yesus, demikian pula umat percaya akan dimuliakan dalam terang ilahi, yaitu persekutuan dengan Kristus. Dalam terang kemuliaan Kristus saat transfigurasi-Nya, keberadaan kemanusiaan kita pada saatnya akan dimuliakan Allah. Karena itu panggilan setiap umat untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan harkat kehidupan sesama adalah bagian yang esensial dalam memahami makna transfigurasi Yesus.
Hermeneutika Leksionaris
Markus 9:2 menyatakan, “Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes ….” Tampaknya penggunaan kata “enam hari kemudian” sebagai rumusan yang dipengaruhi pola penulisan pengalaman iman umat Israel di Gunung Sinai. Pola penulisan ini terlihat di Keluaran 24:16, yaitu: “Kemuliaan TUHAN diam di atas gunung Sinai, dan awan itu menutupinya enam hari lamanya; pada hari ketujuh dipanggil-Nyalah Musa dari tengah-tengah awan itu.” Allah menyatakan kemuliaan-Nya selama enam hari, dan pada hari ketujuh Allah memanggil Musa memasuki kemuliaan-Nya. Demikian pula di Yosua 6:6-20 menyatakan Yosua dan umat Israel yang merebut kota Yerikho dengan mengelilingi sebanyak tujuh kali pada hari ketujuh. Pola penulisan di Markus 9:2 menyatakan bahwa makna “enam hari kemudian” merupakan waktu untuk menunjuk klimaks kisah pada hari ketujuh, yaitu peristiwa transfigurasi Yesus.
Secara khusus, Tuhan Yesus hanya membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Relasi khusus Tuhan Yesus dengan Petrus, Yakobus, dan Yohanes bukan dimulai dalam Markus 9, yaitu kisah transfigurasi, melainkan telah terjalin sebelumnya. Markus 5:37 menyatakan bagaimana Tuhan Yesus membawa ketiga murid itu dalam suatu peristiwa khusus, yaitu membangkitkan anak perempuan kepala rumah ibadah yang telah mati. Demikian pula, Tuhan Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes saat menghadapi malam terakhir sebelum Ia disalibkan (Mrk. 14:33). Injil Markus juga menyatakan bagaimana Tuhan Yesus memberi nama khusus kepada Simon menjadi Petrus (Mrk. 3:16), dan juga menyebut Yakobus dan Yohanes sebagai “Boanerges” yang berarti “anak-anak guruh” (Mrk. 3:17). Hubungan khusus tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Yakobus dan Yohanes untuk meminta suatu kedudukan dalam kemuliaan Kristus kelak (Mrk. 10:35-37). Untuk itu, Tuhan Yesus meminta Yakobus dan Yohanes untuk terlebih dahulu minum cawan penderitaan dan menerima baptisan dalam kematian (Mrk. 10:38). Rasul Paulus menyebut ketiga murid tersebut sebagai sokoguru jemaat (Gal. 2:9). Dengan demikian, Petrus, Yakobus, dan Yohanes ditempatkan sebagai wakil para rasul yang menyatakan kemuliaan Kristus dalam peristiwa transfigurasi.
Respons Petrus saat menyaksikan peristiwa transfigurasi Yesus adalah “Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia” (Mrk. 9:5). Menurut Stefan Leks dalam Tafsir Injil Markus, “kemah” merupakan tempat komunikasi antara Allah dan manusia. Ucapan Petrus tersebut berkaitan dengan konteks Hari Raya Pondok Daun. Sebelum masuk Tanah Terjanji, umat Israel tinggal dalam kemah atau pondok selama empat puluh tahun di gurun. Nostalgia pengalaman itu diabadikan oleh umat Israel dengan menyelenggarakan Hari Raya Pondok Daun. Pesta itu berlangsung selama seminggu. Itu sebabnya Yesus membawa ketiga murid-Nya ke gunung sesudah enam hari, artinya pada hari ketujuh (hari penutupan pesta) (Leks 2003, 291). Selama melaksanakan Hari Raya Pondok Daun, umat Israel menantikan kedatangan Mesias. Dengan demikian melalui peristiwa transfigurasi, Yesus menyatakan diri bahwa Ia adalah Sang Mesias yang dinantikan.
Ke-Mesias-an Yesus bukan hanya dinyatakan dalam peristiwa kemuliaan-Nya, melainkan juga dinyatakan oleh penetapan Allah sendiri dari langit yang berfirman, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (Mrk. 9:7). Relasi yang khusus dengan Allah tersebut tidak diperuntukkan bagi Musa dan Elia. Markus 9:8 menyatakan, “Dan sekonyong-konyong waktu mereka memandang sekeliling mereka, mereka tidak melihat seorangpun lagi bersama mereka, kecuali Yesus seorang diri.” Dengan kesaksian tersebut, Injil Markus menyatakan bahwa Sang Mesias bukanlah Musa walaupun ia pernah memandang wajah Allah di atas gunung Sinai. Sang Mesias juga bukan Elia walaupun ia pernah membuat berbagai mukjizat dan tidak mengalami kematian. Sang Mesias yang ditentukan Allah bagi umat manusia adalah Yesus yang akan menderita dan wafat. Pernyataan Allah dalam peristiwa transfigurasi Yesus tersebut merupakan puncak jawaban atas pertanyaan yang diajukan Yesus kepada para murid, yaitu: “Menurut kata orang, siapakah Aku ini?” dan “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mrk. 8:27, 29).
Kisah 2 Raja-Raja 2:1-12 memuat dua siklus, yaitu kisah Nabi Elia yang terangkat ke surga, dan kisah Nabi Elisa yang menjadi penggantinya. Elia digambarkan sebagai seorang nabi Allah yang sulit dipahami, sebab ia tiba-tiba tampil dan kemudian menghilang (bdk. 1Raj. 18:11-12). Kitab 2 Raja-Raja 2:11 menyatakan Elia diangkat oleh kereta berapi dan kuda berapi ke surga dalam angin badai. Kisah yang menyatakan keunggulan kualitas rohani Elia tersebut membentuk suatu legenda dalam pengharapan eskatologis umat Israel. Karena itulah, Kitab Maleakhi menyatakan bahwa Allah akan mengutus Elia menjelang datangnya hari Tuhan yang besar dan dahsyat. Kedatangan Nabi Elia tersebut adalah untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya, dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya supaya Allah tidak menghukum mereka (Mal. 4:5-6). Dalam periode Hellenisme, penulis Kitab 1 Makabe menyatakan bahwa Elia diangkat ke surga karena ia adalah seorang yang taat kepada Hukum Taurat. Kitab 1 Makabe 2:58 berkata, “Elia telah diangkat ke surga, karena kegiatannya yang hangat untuk hukum Taurat.” Sosok Elia juga ditempatkan dalam tradisi rabinik dan umat Kristen perdana yang meyakini bahwa Elia akan mendahului kedatangan Mesias.
Kisah Elia yang diangkat ke surga berkaitan pula dengan kisah Elisa yang diangkat sebagai penggantinya. Permohonan Elisa untuk memperoleh dua bagian dari roh Elia dikabulkan, yaitu dengan Elia meninggalkan jubahnya (2Raj. 2:9, 13). Dengan jubah Elia tersebut, Elisa melakukan perbuatan mukjizat, misalnya memukul sungai Yordan sehingga terbelah menjadi dua (2Raj. 2:14). Kesaksian 2 Raja-Raja 2:1-12 secara khusus menyatakan hubungan yang erat antara Elia dan Elisa, yaitu hubungan seorang bapa dengan anaknya. Hubungan tersebut dinyatakan dengan pewarisan jubah Elia sebagai simbol pewarisan rohnya. Tindakan Elisa tersebut menyatakan bahwa dengan roh Elia, ia melanjutkan karya Allah sebagaimana terjadi dalam kehidupan Musa. Dengan demikian melalui kehidupan Musa, Elia, dan Elisa terdapat kesinambungan dalam melaksanakan karya keselamatan Allah.
Musa dan Elia adalah insan manusia yang diperkenankan mengalami transfigurasi bersama dengan Yesus, sehingga ketiganya mengalami kemuliaan ilahi. Kesaksian ini menegaskan bahwa bersama Kristus yang dimuliakan, setiap umat juga akan dimuliakan sebagaimana Musa dan Elia telah mengalaminya. Jadi dalam transfigurasi Yesus, kemanusiaan umat dihargai dan diilahikan dalam persekutuan Allah, sehingga dalam kebangkitan Kristus, umat percaya memperoleh karunia untuk dimuliakan dalam kebangkitan-Nya.
Mazmur 50 merupakan suatu bagian dari liturgi yang terkait dengan perayaan pembaruan perjanjian dalam kehidupan umat Israel (Mzm. 50:5). Karakter profetis Kitab Mazmur 50 ini sebagian besar diidentifikasi sebagai kata-kata ilahi yang diucapkan nabi-nabi yang beribadah. Marie Clarie Barth dan Pareira menyebut Mazmur 50 sebagai kelompok “mazmur kenabian” (Barth dan Pareira 2001, 495). Mazmur 50 ini terdiri atas tiga bagian, yaitu: lukisan teofani Allah (ayat 1-5) dan peringatan iman (ayat 6); kecaman atas ibadah yang keliru (ayat 8-13) dan seruan untuk membawa korban yang benar (ayat 14-15), kecaman atas kesalehan yang palsu (ayat 16-21b), peringatan dan ancaman (ayat 21c-22), pernyataan dan janji (ayat 23).
Mazmur 50:1-6 diawali dengan pernyataan nama Allah, yaitu “Yang Mahakuasa, Tuhan Allah”. Menurut Craigie and Marvin E. Tate penyebutan nama “Tuhan” (Yahweh) dipakai pemazmur untuk menunjuk Allah yang memimpin umat Israel keluar dari tanah Mesir, dan Allah yang membuat perjanjian di Sinai (Craigie and Marvin E. Tate 2004, 365). Karena itu, Mazmur 50:2-3 menyatakan ingatan umat Israel akan kisah teofani, yaitu penyataan diri Allah di Gunung Sinai (Kel. 19:16-19), melalui peristiwa pemberian Sepuluh Firman. Ingatan umat Israel tersebut kemudian dinyatakan pemazmur: “Dari Sion, puncak keindahan, Allah tampil bersinar. Allah kita datang dan tidak akan berdiam diri, di hadapan-Nya api menjilat, sekeliling-Nya bertiup badai yang dahsyat.” Peristiwa teofani Allah di Gunung Sinai tersebut kini terpancar di Yerusalem karena Sion, yaitu Yerusalem adalah “puncak keindahan” (Mzm. 50:2). Di Yerusalem, bersemayamlah Tuhan, Yang Mahatinggi (bdk. Mzm. 46), Sang Raja (bdk. Mzm. 47, 48:3). Allah yang tampil bersinar dan “tidak akan tinggal diam” merupakan kesaksian bahwa Allah tidak berpangku tangan. Dia akan mengadili umat-Nya (Mzm. 50:4) (Barth dan Pareira 2001, 498). Pancaran kemuliaan Allah yang penuh keindahan di Yerusalem itu kemudian dianalogikan pemazmur dengan “dari terbitnya matahari sampai kepada terbenamnya” (Mzm. 50:1b).
Di 2 Korintus 4:3, Rasul Paulus menyatakan: “Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka yang akan binasa.” Colin Kruse dalam The Second Epistle of Paul to the Corinthians menafsirkan pernyataan Rasul Paulus tersebut sebagai responsnya terhadap orang-orang yang menolak Injil yang diberitakan. Orang-orang yang menolak Injil tersebut adalah para pemimpin agama Yahudi (bdk. Kis. 13:44-45; 17:5-9; 18:5-6, 12-31; 19:8-9). Dengan demikian, kondisi ketertutupan terhadap makna Injil yang diberitakan itu disebabkan oleh sikap para pendengarnya. Mereka dibutakan oleh ilah dunia ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus yang adalah gambaran Allah (2Kor. 4:4).
Isi berita Injil yang disampaikan Rasul Paulus adalah mengenai kemuliaan Kristus. Dalam konteks ini, kemuliaan Kristus terjadi karena Ia adalah gambar Allah yang sesungguhnya. Namun pada saat yang sama, Kristus adalah gambar Allah, dan pada hakikatnya Ia adalah Tuhan (Kruse 1991, 103). Karena itu, Rasul Paulus menyatakan, “Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan” (2Kor. 4:5) sebagai suatu penegasan bahwa kemuliaan Allah yang terpancar di dalam Kristus merupakan pancaran keilahian-Nya sebagai Tuhan.
Di Surat 2 Korintus 4:5 terdapat hubungan teologis dengan 1 Korintus 1:23 yang berkata, “Tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan.” Hubungan teologis adalah bahwa umat dipanggil merespons keberadaan diri Yesus selaku Tuhan dengan kesetiaan pada salib-Nya, sebagaimana Kristus yang adalah Tuhan taat dan setia sampai pada akhirnya. Sikap umat yang taat kepada Kristus yang tersalib akan membawa suatu pembaruan hidup, yaitu umat percaya akan mengalami terang sehingga mereka dapat melihat kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus (2Kor. 4:6). Dengan demikian, salib yaitu penderitaan dan kematian Kristus justru merupakan media penyingkapan jati diri Kristus selaku Tuhan.
Benang Merah Teologis
Hubungan teologis dari hasil penafsiran kisah transfigurasi Yesus di Markus 9:2-9 dengan kesaksian 2 Raja-Raja 2:1-12, Mazmur 50:1-6, dan 2 Korintus 4:3-6 adalah sebagai berikut.
Hubungan Penafsiran Markus 9:2-9 dengan 2 Raja-Raja 2:1-12
Elia merupakan salah seorang yang dipersaksikan hadir dalam peristiwa transfigurasi Yesus. Elia tidak mengalami kematian. Dia tidak mengalami kematian sebab ia diangkat Allah dalam kemuliaan-Nya. Yesus mengalami kematian tetapi berakhir dengan kebangkitan dan diangkat Allah ke surga dalam kemuliaan-Nya. Sosok Elia dipercaya akan hadir sebelum Mesias datang (Mal. 4:5). Dengan demikian, kehadiran Elia dalam peristiwa transfigurasi Yesus meneguhkan pemahaman eskatologis, yaitu Elia telah menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesias. Kehadiran Elia yang mempersiapkan kedatangan Mesias sebelum peristiwa transfigurasi dinyatakan dalam kehadiran dan pelayanan Yohanes Pembaptis. Di Markus 9:13, Tuhan Yesus berkata, “Memang Elia sudah datang dan orang memperlakukan dia menurut kehendak mereka, sesuai dengan yang ada tertulis tentang dia.” Perkataan Yesus tersebut jelas menunjuk kepada diri Yohanes Pembaptis yang telah dibunuh oleh Herodes Antipas (Mat. 14:1-12).
Bila para murid tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias, atau melalui pengakuan Petrus, karena mereka salah memahami makna ke-Mesias-an Yesus. Untuk itulah Musa dan Elia hadir sebagai saksi yang menyatakan ke-Mesias-an Yesus. Ke-Mesias-an Yesus tersebut akan ditempuh melalui penderitaan dan kematian-Nya. Musa sebagai nabi yang telah membawa umat Israel dari tanah perbudakan di Mesir dan penyampai Hukum Taurat, dan Elia sebagai nabi yang penuh kuasa menyatakan kehendak Allah dalam peristiwa transfigurasi itu. Mereka berdua hadir sebagai saksi yang melihat kemuliaan Kristus dan meneguhkan identitas diri Yesus selaku Mesias, sekaligus mereka berdua mengalami kemuliaan ilahi. Peristiwa transfigurasi Yesus itu menyatakan bahwa penyataan dan karya keselamatan Allah berpuncak dalam kehidupan Yesus Kristus yang akan ditempuh melalui penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.
Hubungan Penafsiran Markus 9:2-9 dengan Mazmur 50:1-6
Mazmur 50 dibuka dengan lukisan tentang teofani Allah. Teofani Allah tersebut diungkapkan dengan suatu pernyataan “Yang Mahakuasa, Tuhan Allah” (Mzm. 50:1). Dengan pernyataan itu Mazmur 50 menegaskan bahwa Tuhan (Yahweh) adalah Allah yang agung dan dahsyat, mengatasi semua ilah dan kekuasaan di dunia ini (Ul. 10:17) (Barth dan Pareira 2001, 497). Dalam peristiwa transfigurasi Yesus, Allah menyingkapkan kemuliaan dan keilahian Yesus. Di tengah-tengah keraguan dan kebingungan ketiga murid Yesus, Allah berfirman dari dalam awan, “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (Mrk. 9:7). Kemudian, Mazmur 50:2-3 menyatakan peristiwa teofani Allah yang semula dinyatakan di Sinai dan kemudian berpindah ke Sion. Namun kini di dalam peristiwa transfigurasi Yesus, kemuliaan Allah tidak lagi dinyatakan di suatu tempat tertentu, namun dalam diri Yesus. Peristiwa transfigurasi Yesus juga dipakai sebagai gambaran tentang kemuliaan Allah yang kelak akan datang untuk menghakimi umat manusia. Bandingkan dengan kesaksian Mazmur 50:3, yaitu: “Allah kita datang dan tidak akan berdiam diri, di hadapan-Nya api menjilat, sekeliling-Nya bertiup badai yang dahsyat.”
Hubungan Penafsiran Markus 9:2-9 dengan 2 Korintus 4:3-6
Di Surat 2 Korintus 4:3, Rasul Paulus mengingatkan bahwa jika Injil yang ia beritakan masih tertutup, penyebabnya adalah respons umat yang masih hidup dalam ketidakpercayaannya. Latar belakang Markus 9 sebagaimana tercermin di Markus 8:27-37 memperlihatkan adanya sikap ketidakpercayaan para murid. Pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias di satu pihak itu benar, tetapi di pihak lain masih gagal memahami makna Mesias itu sendiri. Itu sebabnya Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur Yesus yang menyatakan bahwa Ia akan dibunuh oleh para pemuka agama. Petrus menolak gambaran Mesias yang dideskripsi Yesus sebagai “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari” (Mrk. 9:31). Petrus tidak dapat melihat cahaya kemuliaan Kristus dalam penderitaan dan kematian-Nya. Rasul Paulus menyebut kondisi ketertutupan hati orang-orang terhadap berita Injil itu dikarenakan mereka telah dibutakan oleh ilah dunia. Ilah dunia menghendaki sosok Mesias yang selalu berjaya dalam dunia politik, militer, dan ekonomi, tetapi jauh dari sikap bela rasa dan berkurban dengan setiap orang yang menderita.
Sebagaimana telah diulas bahwa ada hubungan teologis antara pernyataan Rasul Paulus di Surat 2 Korintus 4:5 dengan Surat 1 Korintus 1:23 yang berkata, “Tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan.” Hubungannya adalah bahwa umat dipanggil untuk merespons keberadaan diri Yesus selaku Tuhan dengan kesetiaan pada salib-Nya, sebagaimana Kristus yang adalah Tuhan telah taat dan setia sampai pada akhirnya (Kruse 1991, 104). Ini berarti bahwa iman yang taat kepada Kristus yang tersalib akan membawa suatu pembaruan hidup, yaitu umat percaya akan mengalami terang sehingga mereka dapat melihat kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus (2Kor. 4:6). Di Markus 9:9, Tuhan Yesus berpesan kepada ketiga murid-Nya agar mereka jangan menceritakan kepada seorang pun apa yang mereka lihat, sebelum Ia bangkit dari antara orang mati. Ini berarti bahwa peristiwa transfigurasi Yesus berhubungan erat dengan peristiwa kebangkitan-Nya. Hubungan antara peristiwa transfigurasi dan kebangkitan itu dijalin dalam peristiwa salib. Dengan demikian, iman kepada Kristus yang tersalib akan memampukan umat untuk hidup dalam kemuliaan Allah, yaitu sesuai dengan gambar dan rupa-Nya.
Refleksi
Pendahuluan
Ulasan refleksi dapat diawali dengan menyampaikan panggilan umat percaya. Menurut Johanes Calvin panggilan umat percaya adalah mewujudkan “teater kemuliaan Allah.” Namun perlu dipahami bahwa makna “kemuliaan Allah” adalah pernyataan teologis yang abstrak dan mengandung kedalaman rohani yang tidak mudah dijelaskan dengan kata-kata. Dalam peristiwa transfigurasi Yesus, ketiga murid Yesus yaitu Petrus, Yakobus, dan Yohanes diperkenankan melihat realitas kemuliaan Allah. Mereka melihat bagaimana Yesus dan wajah-Nya berubah rupa dengan memancarkan keilahian Allah. Jika demikian makna teater kemuliaan Allah bukan sekedar suatu cita-cita atau ungkapan keagamaan yang saleh, namun kebenaran yang dinyatakan Allah melalui peristiwa Kristus dimuliakan. Di dalam Kristus, umat mengalami kehadiran kemuliaan Allah yang berkuasa mengubah dan membarui. Dengan demikian umat percaya dipanggil untuk bersekutu dengan Kristus dalam kematian-Nya, dan juga dalam kebangkitan-Nya. Hidup kita diilahikan Allah sebagai anak-anak Allah melalui kematian dan kebangkitan Kristus.
Isi
Pengkhotbah menguraikan dengan menguraikan lebih dahulu kesaksian Markus 9:1, yaitu perkataan Tuhan Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat bahwa Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa.” Di antara mereka yang tidak akan mati sebelum melihat Kerajaan Allah telah datang dengan kuasa adalah tampaknya menunjuk kepada Petrus, Yakobus, dan Yohanes. Sebab makna “Kerajaan Allah yang datang dengan kuasa” tersebut sesungguhnya dinyatakan dalam peristiwa transfigurasi Yesus. Makna “Kerajaan Allah” di Injil Markus tersebut diperjelas maknanya oleh Matius 16:28 yang menunjuk kepada diri Yesus sebagai Anak Manusia yang akan datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya. Sebagaimana dalam peristiwa transfigurasi Yesus menampakkan kemuliaan ilahi-Nya sebagai Anak Allah, demikian pula kelak pada kedatangan-Nya di akhir zaman Tuhan Yesus akan menyatakan kemuliaan-Nya yang sempurna.
Identifikasi diri Yesus sebagai Mesias, yaitu perwujudan Kerajaan Allah ditegaskan dengan kedatangan nabi Elia. Sebab nabi Elia dipercaya akan hadir sebelum kedatangan Mesias (Mal. 4:5). Karena itu kehadiran Elia dalam peristiwa transfigurasi Yesus meneguhkan pemahaman eskatologis, yaitu Elia telah menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesias. Di samping nabi Elia juga hadir nabi Musa dalam peristiwa transfigurasi Yesus. Kehadiran Musa menegaskan bahwa seluruh janji dan nubuat dalam Taurat Musa berpuncak pada diri Yesus, sebab Dialah Sang Firman Allah. Musa dan Elia hadir sebagai saksi yang melihat kemuliaan Kristus dan meneguhkan identitas diri Yesus selaku Mesias, sekaligus mereka berdua mengalami kemuliaan ilahi. Uraian tafsir di bagian ini dapat diperdalam dengan membandingkan kesaksian Mazmur 50:2-3. Di Mazmur 50:2-3 menyatakan peristiwa teofani Allah yang semula dinyatakan di Sinai dan kemudian berpindah ke Sion. Namun kini di dalam peristiwa transfigurasi Yesus, kemuliaan Allah tidak lagi dinyatakan di suatu tempat tertentu, namun dalam diri Yesus. Peristiwa transfigurasi Yesus juga dipakai sebagai gambaran tentang kemuliaan Allah yang kelak akan datang untuk menghakimi umat manusia.
Bilamana para murid tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias sebagaimana terlihat dalam pengakuan Petrus adalah karena mereka salah memahami makna ke-Mesias-an Yesus. Untuk itulah Musa dan Elia hadir sebagai saksi yang menyatakan ke-Mesias-an Yesus dalam transfigurasi-Nya. Ke-Mesias-an Yesus tersebut akan ditempuh melalui penderitaan dan kematian-Nya. Petrus tidak dapat melihat cahaya kemuliaan Kristus dalam penderitaan dan kematian-Nya. Demikian pula orang-orang Yahudi, dan umat manusia pada umumnya. Rasul Paulus menyebut kondisi ketertutupan hati orang-orang terhadap berita Injil itu dikarenakan mereka telah dibutakan oleh ilah dunia. Ilah dunia menghendaki sosok Mesias yang selalu berjaya dalam dunia politik, militer, dan ekonomi, tetapi jauh dari sikap bela rasa dan berkurban dengan setiap orang yang menderita.
Peristiwa transfigurasi Yesus itu menyatakan bahwa penyataan dan karya keselamatan Allah berpuncak dalam kehidupan Yesus Kristus yang akan ditempuh melalui penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus ditempatkan dalam perpektif penyataan kemuliaan Kristus sebagai Anak Allah. Apalagi melalui kebangkitan Kristus semakin menjadi nyata bahwa Yesus benar-benar Anak Allah yang berkuasa, sehingga kuasa kematian dan dosa ditundukkan.
Penutup
Renungan dapat diakhiri dengan menjelaskan bahwa tujuan utama dari peristiwa transfigurasi Yesus adalah jaminan keselamatan Allah di dalam Kristus. Jaminan keselamatan Allah tersebut dinyatakan kelak secara paripurna pada akhir zaman, yaitu tubuh kita akan dimuliakan dalam kemuliaan Kristus. Sebagaimana Musa dan Elia dimuliakan dalam peristiwa transfigurasi Yesus, demikian pula umat percaya akan dimuliakan dalam terang ilahi, yaitu persekutuan dengan Kristus. Dalam terang kemuliaan Kristus saat transfigurasi-Nya, keberadaan kemanusiaan kita pada saatnya akan dimuliakan Allah. Sebab penderitaan dan kematian Kristus ditempatkan dua sumber kebenaran ilahi, yaitu peristiwa transfigurasi dan kebangkitan-Nya. Melalui sikap iman kepada Tuhan Yesus, umat percaya dipanggil untuk bersekutu dalam penderitaan dan kematian Kristus. Karena itu makna bersekutu dalam penderitaan Kristus berarti umat menanggung penderitaan karena kebenaran dan keadilan, bukan karena pelanggaran dan kesalahan mereka. Makna bersekutu dalam kematian Kristus berarti umat menghayati dan menerima realitas kematian dengan ketaatan dan kesetiaan kepada Allah. Pada pihak lain umat dalam kehidupan sehari-hari mempraktikkan sikap penghargaan yang tinggi kepada realitas kehidupan sesama dengan cinta-kasih dan pengampunan. Teater kemuliaan Allah diwujudkan dalam panggung kehidupan nyata sehingga kita mampu meniadakan berbagai bentuk kekerasan (KDRT, kekerasan atas nama Allah dan agama), ketidakadilan (eksploitasi kepada sesama yang dianggap lemah), diskriminasi (perlakuan yang tidak adil karena gender, suku, kelompok disabilitas, dan agama).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono