Latest Article
Paskah Subuh (Yesaya 65:17-25 ; Mazmur 118:1-2, 13-23; 1 Korintus 15:19-26; Lukas 24:1-12)

Paskah Subuh (Yesaya 65:17-25 ; Mazmur 118:1-2, 13-23; 1 Korintus 15:19-26; Lukas 24:1-12)

Dasar Pemikiran

Sikap umat Kristen sering berada di antara dua sikap yang ekstrem, yaitu: menolak dan mencurigai semua upaya ilmu pengetahuan, atau sebaliknya: senantiasa menerima setiap kebenaran asalkan dengan label “ilmu pengetahuan.” Sikap umat yang menolak dan mencurigai semua upaya ilmu pengetahuan karena menganggap kebenaran Allah hanya dinyatakan dalam Kitab Suci (baca: Alkitab). Mereka menutup mata terhadap karya Allah yang terjadi dalam dunia ilmu pengetahuan. Seakan-akan perkembangan dan hasil-hasil ilmu pengetahuan terjadi di luar kendali kuasa Allah. Sebaliknya ada pula sebagian umat yang senantiasa menerima setiap kebenaran yang memiliki label ilmu pengetahuan. Akibatnya mereka terlalu cepat untuk meragukan semua hal yang dipersaksikan oleh Alkitab. Mereka tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan juga mengandung keterbatasan dan kelemahan-kelemahan tertentu. Ilmu pengetahuan hanya mampu menyelidiki berbagai hal yang sifatnya fisik atau unsur yang kelihatan secara inderawi. Bagaimanakah kedua sikap tersebut dalam memandang kisah kebangkitan Kristus? Sikap yang pertama jelas menghasilkan suatu respons yang menolak seluruh upaya para ahli ilmu pengetahuan untuk menyelidiki kebenaran kisah kebangkitan Kristus. Mereka hanya berpegang kepada kesaksian Alkitab dengan pengertian “menurut pola penafsirannya sendiri”. Sedang sikap yang kedua akan menghasilkan sikap yang sebaliknya, yaitu umat meragukan kesaksian Alkitab, dan hanya mempercayai apa yang dikatakan oleh para “ilmiawan” tentang kebangkitan Kristus.

Kita tidak dapat dapat melarang pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan seharusnya gereja mendorong pengembangan dan penelitian ilmu pengetahuan, tetapi dengan suatu kesadaran bahwa tidak setiap misteri yang non-fisik, yaitu yang supranatural dan ilahi dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Tepatnya ilmu pengetahuan juga perlu bersikap rendah-hati agar tidak pongah dengan menganggap hasil-hasil penelitiannya telah mampu menyingkap semua aspek kebenaran, termasuk kebenaran ilahi. Misteri kisah kebangkitan Kristus tidaklah dapat diteliti dengan metode ilmu pengetahuan yang mengandalkan pembuktian secara empiris-fisikal. Sebab kebangkitan Kristus merupakan peristiwa ilahi yang hanya dapat dipahami dalam sikap iman. Sebaliknya perlu disadari pula bahwa makna suatu kesaksian Alkitab dipengaruhi oleh pula oleh latar-belakang yang dimiliki para pembaca atau penafsir Alkitab. Karena itu penafsiran seseorang atau sekelompok umat tidak senantiasa mencerminkan pandangan keseluruhan umat. Penafsiran ayat dan perikop ditentukan oleh konteks pembaca atau penafsir Alkitab. Karena itu tidaklah bijaksana jika tafsiran seseorang atau sekelompok orang dipaksakan dan dianggap paling benar dari pada tafsiran orang lain atau suatu kelompok yang berbeda. Kebenaran hanya dapat diperoleh melalui kesediaan untuk belajar bersama antara seseorang dengan sesamanya, antara suatu kelompok dengan kelompok lain, antara umat beriman dengan para ilmiawan yang beriman. Jadi kebenaran akan dialami bersama jikalau didasari sikap yang haus mencari kebenaran, tetapi senantiasa rendah-hati menyadari keterbatasannya masing-masing.

Tafsiran 

 Tafsir Yesaya 65:17-25

            Dua kali Deutero-Yesaya menggunakan kata ”mencipta” (bara‘), yaitu di Yesaya 65:17 dan 18. Di Yesaya 65:17 mempersaksikan Allah yang mencipta langit yang baru dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati. Karya penciptaan Allah yang baru ini hendak menegaskan hadirnya suatu realita bumi dan langit yang mengalami kebaruan, sehingga segala beban sejarah dan trauma yang pernah melukai umat manusia telah diselesaikan dengan baik. Lalu di Yesaya 65:18 mempersaksikan tindakan Allah yang menciptakan Yerusalem sehingga penduduknya mengalami kegirangan. Karya penciptaan Allah tersebut menghadirkan kehidupan Yerusalem sebagai kota Allah dalam pengertian yang sesungguhnya. Kota Allah adalah kota keselamatan, sehingga setiap umat yang tinggal di dalamnya mengalami makna “syalom”. Sebagaimana dipahami bahwa sejarah kota Yerusalem telah dilalui dengan berbagai penderitaan, air mata, dan kematian melalui berbagai peperangan. Tetapi di zaman yang baru itu tersedia suatu janji ilahi bahwa Allah akan mengubahnya menjadi kota yang menghadirkan sukacita dan kegirangan. Karena itu mulai ayat 20-25, Deutero-Yesaya melukiskan secara detail bagaimana efek dari karya penciptaan Allah yang baru, yaitu penciptaan kosmis dan penciptaan Yerusalem.

Pada intinya karya penciptaan Allah yang baru itu menghadirkan suatu kehidupan yang ideal bagi setiap umat manusia, yaitu: umur panjang, tersedianya tempat tinggal yang layak dengan kebun-kebunnya, mampu menikmati hasil jerih payahnya, terciptanya suatu relasi yang harmonis dengan Allah, dan hidup damai tanpa permusuhan. Dengan demikian kehidupan yang serba ideal tersebut merupakan karunia Allah, dan bukan ditentukan oleh hasil usaha peradaban umat manusia. Apa yang tidak pernah terpikirkan oleh manusia akan menjadi suatu kenyataan hidup, yaitu Allah menciptakan kehidupan yang serba baru. Janji Allah di masa depan tersebut perlu direspons oleh umat dalam kehidupannya di masa kini agar di masa “kekiniannya” janji Allah Allah tersebut berproses dalam realita sejarah dan peradaban manusia. Untuk itu setiap umat dipanggil untuk membuka diri diciptakan secara baru oleh Allah. Sebab makna penciptaan langit dan bumi, serta Yerusalem yang baru bukan sekedar penciptaan benda-benda fisik, tetapi penciptaan kehidupan. Langit, bumi, dan Yerusalem, serta seluruh tempat tinggal menjadi rusak karena perilaku umat manusia (bdk. Kej. 6:5). Karena itu perubahan karakter dan perilaku umat manusia seharusnya yang menjadi tujuan utama dari penciptaan dan pembaruan. Selama karakter dan perilaku manusia belum diciptakan ulang secara baru maka seluruh budaya, adat-isitiadat, kebiasaan, sistem nilai, agama, dan peradabannya akan dipenuhi dengan kekerasan dan kejahatan.

 Tafsir Mazmur 118:1-2, 13-23

            Pemazmur melukiskan umat yang diserang oleh musuh seperti lebah (Mzm. 118:12). Ini mengingatkan kita akan penyerangan bangsa Amori kepada umat Israel (Ul. 1:44). Bangsa Amori menyerang dalam jumlah yang begitu banyak seperti lebah, sehingga umat Israel kalah. Di Mazmur 118:13, umat yang diserang oleh musuh juga mengalami kekalahan. Umat didorong sampai jatuh dan hampir diinjak sehingga tidak dapat bangkit lagi. Tetapi kini Tuhan menolongnya. Allah menyelamatkan mereka di saat yang paling kritis. Pengalaman inilah yang melahirkan nyanyian pengakuan iman umat, sehingga umat berkata: ”TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku; Ia telah menjadi keselamatanku(Mzm. 118:14). Tuhan tampil sebagai kekuatan: עז (`oz), dan mazmur: זמרה (zimrah), sehingga Allah menjadi sang penyelamat (yĕshuw`ah). Nyanyian pengakuan iman tersebut tampaknya diinspirasikan dari nyanyian Musa (Kel. 15:2; bdk. Yes. 12:2). Inspirasi dari nyanyian Musa tersebut memiliki alasan yang kuat, yaitu ada persamaan makna kisah. Di saat umat Israel tidak memiliki harapan akan pertolongan, di situlah Allah berkarya menyelamatkan mereka secara ajaib. Nyatalah “Tangan kanan TUHAN melakukan keperkasaan” (Mzm. 118:15). Semula Allah menghajar dengan keras dan menyerahkan kepada musuh, tetapi ternyata Allah memberi kehidupan. Situasi mereka semula seperti batu yang dibuang oleh tukang bangunan. Tetapi Allah mengubahnya menjadi batu penjuru (Mzm. 118:22).

Tujuan karya keselamatan Allah dengan memberi kehidupan tersebut adalah agar umat menceritakan perbuatan-perbuatan TUHAN (Mzm. 118:17). Keselamatan dan pertolongan Allah tersebut harus dideklarasikan oleh umat agar seluruh umat manusia juga mengalami pengalaman yang sama. Selain itu karya keselamatan Allah tersebut mendorong umat untuk mengucap syukur dengan memasuki pintu gerbang di pelataran Bait Suci. Pintu gerbang di Bait Suci itu disebut ”pintu gerbang kebenaran atau keadilan” (Mzm. 118:19), sebab sebelum umat diizinkan memasukinya mereka harus membuktikan kesungguhannya. Umat yang akan memasuki pintu gerbang kebenaran adalah umat yang tidak memiliki dosa yang tidak dapat diampuni, dan tidak memiliki maksud yang jahat sebagaimana dijelaskan syarat-syaratnya di Mazmur 15:1-5.

 Tafsir 1 Korintus 15:19-26

Peristiwa kematian sering disebut dengan hadirnya kuasa maut sehingga menyebabkan situasi ketiadaan (“non-being”). Dalam situasi ketiadaan diri tersebut, kita tidak dapat menggambarkan secara persis bagaimana realita keberadaan kita sebagai individu. Kita bertanya di dalam hati, “apakah keadaanku setelah mati seperti pada saat kini sebagai manusia?” Apakah keadaan setelah mati yang substansial telah berubah akan membawa diri kita menjadi lebih baik atau lebih buruk? Apakah kita kelak akan hidup di suatu tempat yang menyenangkan bernama “sorga” ataukah berada di tempat yang begitu mengerikan yang disebut dengan “neraka”? Ataukah keadaanku sama sekali lenyap atau habis secara menyeluruh? Jadi apakah ada kemungkinan tetap eksis/hidup walau dengan bentuk yang berbeda maupun kemungkinan lenyap setelah kematian tetap merupakan realita yang sangat menakutkan bagi setiap orang yang akan mengalaminya. Pertanyaan-pertanyaan teologis tersebut juga dapat dikenakan kepada Kristus setelah Dia mengalami kematian di atas kayu salib. Apakah eksistensi diri Kristus tetap hidup ataukah lenyap? Kalau eksistensi diri Kristus tetap hidup apakah berarti yang hidup hanyalah RohNya saja? Kalau memang RohNya saja yang hidup, apakah berarti tubuhNya akan lenyap atau hancur seperti yang dialami oleh setiap umat manusia? Apabila eksistensi diri Kristus lenyap, bukankah kisah kebangkitan Kristus sebenarnya hanyalah sekedar imaginasi jemaat Kristen perdana karena mereka dipenuhi oleh harapan yang terlalu berlebihan terhadap Kristus? Jadi apabila kisah kebangkitan Kristus hanyalah sekedar hasil imaginasi atau rekaan harapan jemaat Kristen perdana karena mereka saat itu dirundung oleh rasa putus-asa, untuk apakah kita merayakan peristiwa kebangkitan Kristus setiap hari Paskah?

Pertanyaan-pertanyaan teologis tersebut sering membuat kita ragu, bimbang dan pesimistis terhadap kisah kebangkitan Kristus. Kita bertanya untuk apakah kita beriman kepada Tuhan jikalau kehidupan ini lenyap setelah kematian menjemput diri kita. Apa maknanya kita percaya kepada Kristus jikalau ternyata Dia tidak bangkit dari kematian? Bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan peristiwa kebangkitan Kristus? Di lain pihak pertanyaan-pertanyaan tersebut juga mendorong diri kita untuk mendalami makna iman dari kisah kebangkitan Kristus, sehingga kita terdorong untuk diteguhkan dan diperkaya dalam menghayati makna dan tujuan kehidupan ini. Karena makna dan tujuan kehidupan ini berkaitan dengan misteri yang tidak seluruhnya mampu diungkap dan diulas secara kognitif? Kita diingatkan bahwa peristiwa kebangkitan Kristus pada satu segi mungkin dapat dijelaskan dengan pemahaman dan argumentasi teologis. Tetapi pada segi yang lain tidaklah mungkin dapat dijelaskan secara menyeluruh dan memuaskan sebab peristiwa kebangkitan Kristus tetap merupakan misteri ilahi. Namun yang pasti, peristiwa kebangkitan Kristus yang dipersaksikan oleh Alkitab atau jemaat perdana telah membawa dampak yang begitu besar. Kehidupan para murid Yesus dan jemaat yang terbentuk telah diubah oleh Kristus secara substansial sehingga mereka mampu mengalami suatu kehidupan yang sama sekali baru. Para jemaat perdana dan orang-orang yang mengalami kuasa kebangkitanNya telah diubahkan seluruh perspektif hidupnya sehingga mereka dimampukan untuk membawa perubahan bagi dunia atau orang-orang di sekitarnya.

Secara faktual-historis jemaat Kristen setelah kematian Kristus terbukti mampu menunjukkan perubahan sikap yang positif sehingga mereka dapat berperan secara konstruktif. Tetapi menurut orang-orang yang kurang percaya kepada kisah kebangkitan Kristus menganggap bahwa perubahan sikap jemaat Kristen perdana tersebut dapat dijelaskan secara psikologis. Dalam teori psikologis dijelaskan bagaimana perubahan sikap seseorang dapat terjadi, khususnya yang disebabkan oleh cognitive dissonance. Maksud dari cognitive dissonance secara harafiah menunjukkan “ketidakcocokan atau melesetnya suatu pemahaman seseorang terhadap sesuatu”. Pengertian cognitive dissonance tersebut kemudian secara khusus diterapkan untuk menunjuk keadaan dari kepercayaan-kepercayaan dari suatu komunitas keagamaan yang secara faktual meleset. Namun dalam perjalanan waktu ternyata komunitas keagamaan mereka tidak runtuh. Malahan setelah tahu kalau keyakinan mereka meleset, mereka menjadi lebih bersemangat dari pada sebelumnya. Jadi unsur yang sangat penting dari teori cognitive dissonance adalah bahwa meleset atau gagalnya kepercayaan yang semula dipegang teguh oleh suatu komunitas keagamaan justru kemudian menimbulkan tekanan dan dorongan psikologis yang sangat kuat.

Menurut teori ini akibat dari tekanan dan dorongan psikologis tersebut, para pengikut komunitas tersebut justru makin termotivasi untuk lebih bersemangat dan menjadi militan. Dorongan semangat yang militan tersebut terjadi karena sebenarnya mereka ingin mengurangi atau meniadakan kegagalan yang dialami sebelumnya. Jadi apakah perubahan sikap jemaat Kristen perdana yang disaksikan oleh Alkitab sebenarnya lebih didorong oleh kompleks cognitive dissonance, bukan oleh kuasa kebangkitan Kristus?

Rasul Paulus menegaskan kesaksiannya bahwa jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan umat dan umat masih hidup dalam dosanya (1 Korintus 15:17). Kesaksian rasul Paulus tersebut berdasarkan tradisi yang diterimanya. Tetapi tradisi tersebut diteguhkan dari pengalaman hidupnya yang berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Kemudian pengalaman hidup rasul Paulus yang telah berjumpa dengan Kristus yang hidup diteguhkan pula oleh para saksi yang lain. Itu sebabnya rasul Paulus menguraikan para saksi kebangkitan di 1 Korintus 15:5-8 seperti: Kefas, kedua belas murid, limaa ratus saudara, Yakobus, dan dirinya sendiri. Kesaksian rasul Paulus tersebut hendak menegaskan bahwa iman kepada Kristus yang bangkit akan mempersekutukan umat dengan Dia. Kehidupan umat tidak lagi berada dalam persekutuan dengan Adam, tetapi dengan Kristus (1 Kor. 15: 21-22).

Tafsir Lukas 24:1-12

            Kitab Injil-Injil termasuk Injil Lukas tidak pernah mempersaksikan tentang proses kebangkitan Kristus. Para perempuan yang datang untuk merempah-rempahi jenasah Yesus mendapati batu penutup kubur telah terguling. Dalam situasi bingung mereka menjumpai dua orang malaikat. Gambaran dua orang malaikat merupakan simbolisasi kehadiran Allah sendiri yang menjelaskan realita kubur yang kosong, yaitu Kristus yang bangkit. Kedua malaikat tersebut menegur para perempuan yang hendak merempah-rempahi jenasah Yesus: Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit. Ingatlah apa yang dikatakan-Nya kepada kamu, ketika Ia masih di Galilea, yaitu bahwa Anak Manusia harus diserahkan ke tangan orang-orang berdosa dan disalibkan, dan akan bangkit pada hari yang ketiga” (Luk. 24:5-7). Dengan demikian melalui para malaikat itu, Allah mengingatkan para perempuan terhadap ucapan Yesus ketika Ia masih ada bersama-sama dengan mereka.

Ucapan yang diucapkan oleh Yesus dahulu, kini telah menjadi suatu kenyataan. Tetapi suatu kenyataan yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dan dibuktikan secara real. Para perempuan tersebut menghadapi suatu kenyataan yang penuh misteri, walaupun Allah telah menjelaskan melalui kehadiran dua orang malaikat. Ini berarti peristiwa kebangkitan Kristus merupakan suatu misteri yang di mana umat dipanggil untuk menangkap maknanya dengan sikap iman. Tetapi ketika para perempuan menyampaikan kepada para murid Yesus yang lain, ucapan dan kesaksian mereka hanya dianggap omong kosong belaka (Luk. 24:11). Pada zaman itu tidaklah mudah umat mempercayai kesaksian seseorang atau beberapa orang perempuan. Pada sisi lain Petrus berupaya membuktikan kebenaran ucapan para perempuan tersebut dengan pergi ke makam Yesus. Di makam Yesus, Petrus hanya menjumpai kain kafan-Nya saja. Dengan demikian peristiwa kebangkitan Kristus hanya dapat dibuktikan melalui dua hal saja, yaitu batu kubur yang telah terguling dan kain kafan Yesus yang tergeletak di dalam makam. Melalui dua benda tersebut justru merupakan media yang menyimpan makna dan rahasia kebangkitan Kristus. Umat diajak untuk melihat kebenaran bukan kepada kedua benda tersebut secara empiris, tetapi melihat kebenaran Allah yang melampaui seluruh pikiran dan pengetahuan manusia. Tepatnya umat percaya dipanggil untuk menempatkan iman bukan kepada bukti-bukti fisik tersebut, tetapi kepada pengalaman perjumpaan mereka kepada Kristus yang bangkit. Perjumpaan tersebut terjadi karena Kristus yang bangkit berkenan menyatakan diri-Nya, sehingga para murid dan umat dikaruniakan iman untuk percaya kepada-Nya.

 Refleksi

Sebagai umat percaya, makna kebangkitan Kristus seharusnya dipahami sebagai karya Allah yang membangkitkan Kristus dari kuasa maut. Melalui kebangkitan Kristus, Allah menyatakan kemuliaan dan kuasa-Nya kepada umat manusia. Di dalam peristiwa kebangkitan Kristus, Allah menyatakan karya kreatif-Nya terjadi di dalam sejarah kehidupan umat manusia. Di Yes. 65:17, disaksikan: “Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru, dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati”. Kuasa kreatif Allah di dalam peristiwa kebangkitan Kristus sebenarnya bukan hanya bertujuan untuk membangkitkan Kristus dari kuasa maut atau kematian. Karena Kristus tidak akan pernah dapat ditundukkan oleh kuasa maut. Kristus adalah sang Firman yang kekal. Dialah yang mencipta dan sehakikat dengan Allah.

Lebih dari pada itu melalui kebangkitan Kristus, Allah telah menaklukkan kuasa maut sehingga di dalam iman kepada Kristus, umat percaya di masa kini memperoleh keselamatan dan pengampunan dosa. Dengan demikian melalui peristiwa kebangkitan Kristus, terciptalah suatu kehidupan yang baru sebagaimana yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya, yaitu penciptaan langit dan bumi yang baru. Jadi yang lebih utama dalam memahami peristiwa kebangkitan Kristus bukan lagi mengenai soal misteri kebangkitan Kristus dapat dibuktikan atau tidak secara ilmiah. Upaya tersebut akan sia-sia belaka dan kurang relevan dalam kehidupan iman umat percaya. Namun yang lebih penting dalam memahami makna kebangkitan Kristus adalah apakah umat percaya sungguh-sungguh mengalami dampak dan pengaruh yang sangat signifikan kuasa kebangkitan Kristus. Manakala peristiwa kebangkitan Kristus hanya menjadi kisah yang memesona dan indah untuk didengar dan dikhotbahkan, sesungguhnya berita kebangkitan Kristus hanya akan menjadi suatu kisah yang sia-sia belaka. Kisah kebangkitan Kristus yang dipersaksikan oleh Alkitab bertujuan agar menjadi kisah kehidupan umat sehari-hari, yaitu kehidupan yang telah dibarui oleh kuasa Allah. Perilaku dan karakter umat harus senantiasa diproses dalam karya kebangkitan Kristus, sehingga melahirkan suatu pembaruan hidup. Jadi hanya melalui pembaruan hidup karena karya penebusan Kristus dan pengudusan dari Roh Kudus, kita dapat mempersaksikan bahwa Kristus sungguh bangkit.

Kebangkitan Kristus juga meneguhkan suatu pengharapan bahwa kehidupan yang dijalani oleh umat bukanlah kehidupan tanpa tujuan. Sebaliknya melalui kebangkitan Kristus, umat manusia khususnya umat percaya diteguhkan bahwa bahwa kehidupan di dunia saat ini akan terus berlangsung dalam keabadian, yaitu dalam persekutuan dengan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Dalam terang kebangkitan Kristus, eksistensi umat percaya tidak binasa oleh kematian. Namun eksistensi umat dipersekutukan dengan Kristus yang bangkit, sehingga hidup kekal bukan lagi suatu kemustahilan tetapi suatu jaminan. Dengan perkataan lain, tanpa kebangkitan Kristus umat manusia tidak memiliki pengharapan. Perspektif kehidupannya hanya terbatas pada kehidupan di dunia ini saja. Setelah kematian, manusia akan binasa tanpa ada jaminan kebangkitan. Jika demikian, betapa pentingnya makna hidup dalam persekutuan dan sikap iman kepada Kristus. Lebih utama lagi adalah betapa pentingnya memberlakukan sikap iman kepada Kristus yang bangkit dengan kuasa kasih-Nya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply