Sekitar 11 tahun yang silam (tahun 2004) saat saya menginjakkan kaki dan mulai melayani di GKI Perniagaan, saya melihat tulisan di area mimbar gereja yang menantang: “Satu bawa satu.” Motto tersebut hendak mengingatkan setiap jemaat agar mereka terus bersaksi dengan membawa anggota keluarga, teman, atau orang yang mereka kenal untuk dibawa ke gereja sehingga mengenal Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamatnya. Tanpa respons dari umat, maka ajakan tersebut akan menjadi suatu motto belaka. Panggilan untuk bersaksi bukanlah sekedar suatu motto. Bersaksi adalah panggilan dan gaya hidup umat percaya. Tanpa kesaksian secara verbal (kata-kata) dan teladan (tindakan), maka kita bukanlah umat percaya. Kesaksian hidup yang menyatakan sikap iman, pengharapan, dan kasih kepada Kristus adalah ciri hidup yang khas sebagai umat Kristen. Sebab sikap percaya kepada Kristus pada hakikatnya merupakan kehidupan yang telah dibarui, yaitu kehidupan yang telah memeroleh keselamatan dari Allah dan dikuduskan oleh Roh Kudus. Karena itu sikap percaya kepada Kristus senantiasa membawa suatu efek yang positif dan membangun kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Di Surat 2Timotius, Rasul Paulus mempersaksikan bahwa karya keselamatan Allah tidak senantiasa direspons secara positif. Ada beberapa orang yang disebut sebagai kawan sekerja Allah untuk memberitakan Injil, yaitu Lukas, Tikhikus, dan Timotius (2Tim. 4:11-12). Namun ada beberapa orang yang disebut secara negatif, yaitu: “Demas yang telah mencintai dunia ini dan meninggalkan aku,” dan “Alexander, tukang tembaga itu telah banyak berbuat kejahatan terhadap aku” (2Tim. 4:10, 14). Kesaksian ini hendak menyatakan bahwa gereja Tuhan dari masa ke masa senantiasa hidup dalam suatu kondisi yang tidak terlalu ideal. Tidak setiap anggota jemaat bersikap positif, mampu bekerja sama, mengutamakan kehendak Allah, dan kebenaran. Dalam praktik kita sering terhambat untuk menyatakan kesaksian iman karena sikap sesama anggota jemaat yang masih mengutamakan kehidupan duniawinya. Mereka memaksakan kehendak dan keinginan pribadi, dan cenderung menghakimi sesama yang dianggap tidak sesuai dengan keinginannya. Namun di tengah-tengah kondisi yang tidak ideal tersebut Rasul Paulus memberi nasihat: “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2Tim. 4:2). Bersaksi sebagai panggilan dan gaya hidup tidak ditentukan oleh situasi, sebab “didukung atau tidak didukung kesaksian tentang Kristus harus tetap dinyatakan.”
Kecenderungan setiap orang adalah mudah dipengaruhi oleh situasi. Namun bila kita membiarkan diri untuk dipengaruhi situasi, maka sebenarnya kita bukanlah para pribadi yang mandiri secara rohani. Seharusnya sikap iman kepada Kristus yang mengendalikan hidup kita daripada situasi yang mengendalikan diri kita. Karena kita menyadari bahwa sikap iman seharusnya meresapi, menjiwai, dan menguasai setiap aspek kehidupan kita agar dapat merespons dan memaknai situasi secara tepat. Bukan sebaliknya: situasi yang meresapi, menjiwai, dan menguasai setiap aspek hidup kita sehingga kita gagal merespons dan memaknai sikap iman kepada Kristus secara bertanggungjawab. Di 2Timotius 4:5 Rasul Paulus memberi nasihat agar kita mampu menguasai diri dalam segala hal, yaitu: “Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita, lakukanlah pekerjaan pemberita Injil dan tunaikanlah tugas pelayananmu!” Bahkan seandainya kesaksian iman kita tersebut menuntut kita untuk mengorbankan hidup kita. Saya terkesan dengan kesaksian anak-anak remaja yang kehilangan orang-tuanya di Syria karena dianiaya dan dibunuh karena Kristus. Mereka berkata: “I’ll die upon my faith” (aku akan mati karena imanku). Saudara dapat menyaksikan video kesaksian mereka yang menyentuh di youtube: http://gnli.christianpost.com/video/the-second-coming-of-jesus-christ-16173. Itu sebabnya di tengah-tengah dunia yang membenci para pengikut Kristus, Rasul Paulus sendiri telah memberi teladan: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2 Tim. 4:6-7).
Di tengah dunia yang kompleks dan global tentunya bentuk kesaksian kita tidak dapat hanya dibatasi dengan suatu metode tertentu. Saya teringat dengan bentuk kesaksian tentang Kristus yang efektif melalui seni kareografer dan lukisan dari karya Bagong Kussudiardja, karya sastra dan sikap Romo Y.B. Mangunwijaya yang membela warga Kedungombo Jogjakarta, karya teologi dari Pdt. Eka Dharmaputera dan T.B. Simatupang, serta karya para teolog di Indonesia. Demikian pula sikap hidup salah seorang mantan anggota GKI Perniagaan, yaitu Yap Thiam Hien yang membela setiap orang yang lemah tanpa memandang suku, agama, dan latar-belakang politiknya. Daftar nama-nama para tokoh Kristen perlu kita cari untuk dijadikan teladan agar kita semakin terinspirasi untuk bersaksi tentang Kristus secara kontekstual dan relevan. Selaku anggota jemaat, kita juga mampu bersaksi sesuai dengan keberadaan, bakat, minat, pekerjaan, dan situasi hidup agar kita dapat mempertanggungjawabkan kepada Kristus pada saat kedatangan-Nya yang kedua.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono