Siapakah di antara kita yang tidak pernah mengalami luka-luka batin, atau yang disebut dengan trauma? Perjalanan hidup setiap orang tidak terelakkan mengalami trauma dalam berbagai peristiwa yang dialaminya. Arti “trauma” menunjuk kepada luka yang ditimbulkan oleh kekerasan yang dialami oleh seseorang atau kelompok baik secara fisik, emosional, maupun spiritual. Efek trauma tidak lenyap karena perjalanan waktu, tetapi tetap membekas dan menimbulkan efek jangka panjang. Para korban merasa diri serba terancam dan cemas, namun tak berdaya untuk menghadapinya. Keadaan inilah yang dikenal dengan post-traumatic stress disorder (PTSD), yaitu seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan berupa stress setelah peristiwa yang dianggap traumatis (melukai dan menimbulkan goncangan kejiwaan).
Kejadian 33:1-17 melukiskan kisah Yakub yang ketakutan untuk bertemu dengan Esau karena perasaan bersalahnya kepada Esau. Sebab Yakub merebut hak kesulungan Esau dengan cara yang licik. Sebelum Yakub mendapat pengampunan dari Esau kakaknya, Yakub tidak pernah tenang. Kecemasan dan kegelisahan Yakub bahwa Esau akan membalas dengan kekerasan terus membayanginya. Ternyata Esau yang dikhianati dan direbut hak sulungnya tidak seperti yang dikuatirkan oleh Yakub. Esau menyatakan pengampunan dan kasihnya yang begitu besar kepada Yakub adiknya. Bagaimana seandainya kita mengalami peristiwa seperti Esau? Bagaimana seandainya orang-orang yang kita kasihi ternyata mengkhianati dan berlaku licik sehingga kita menjadi traumatis? Langkah-langkah apakah yang harus kita lakukan?
Serene Jones dalam bukunya yang berjudul Trauma and Grace mengungkapkan bahwa trauma menghalangi dan melumpuhkan kreativitas. Trauma dapat menjadi media dari kuasa dosa, sehingga menyebabkan manusia tidak terarah kepada kasih Allah, sehingga hidup dalam ketidakpercayaan (unfaithfulness). Karena itu pengalaman-pengalaman traumatis akan menghalangi manusia untuk menyambut kepenuhan anugerah Allah. Dalam situasi itu manusia merasa dirinya sendirian, hilang, dan tanpa pertolongan di tengah-tengah dunia yang tanpa Allah.
Langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh orang-orang yang traumatis dapat belajar dari refleksi iman Serene Jones. Di bab Crucified Imaginings (Imaginasi-imaginasi yang disalibkan), Jones menawarkan pengukiran langkah-langkah baru melalui imaginasi-imaginasi yang lahir dari kesadaran untuk memutuskan rantai kekerasan. Langkah-langkah iman harus dipahat dalam hati orang yang traumatis. Di bab the Alluring Cross (Salib yang mempesona), Jones mengajak setiap umat untuk melihat dan memaknai peristiwa penyaliban Kristus. Di balik kekerasan yang dialami Yesus, kita dapat melihat daya tarik cinta-kasih Allah yang menawarkan anugerah dan hidup yang berlimpah. Melalui salib, kita dapat bercermin (the Mirrored Cross) bahwa di dalam “ketidakhadiran” Kristus saat Ia wafat, sesungguhnya secara Roh hadir dengan turun ke dalam kerajaan maut. Dengan perspektif salib yang tanpa akhir (the Unending Cross), gereja dipanggil untuk melayani para korban traumatis tanpa menimbulkan trauma yang lebih menyakitkan lagi.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono