Jawaban yang jitu ditentukan oleh pertanyaan yang jitu. Ungkapan ini mau menyatakan bahwa begitu banyak pertanyaan yang kitalontarkan tidak selalu jitu, sehingga kita sering memperoleh jawaban yang kurang tepat atas kehidupan ini. Salah satu pertanyaan yang eksistensial dan universal adalah: bagaimana manusia dapat memperoleh hidup yang kekal? Pertanyaan tersebut umumnya mendasari pemikiran dan pengajaran para tokoh pendiri agama. Bagaimana manusia yang hidupnya fana ini dapat memperoleh kehidupan yang abadi. Apa yang harus dilakukan agar manusia dapat memperoleh kehidupan kekal?
Markus 10:1 mempersaksikan seorang Farisi yang datang kepada Yesus dengan tujuan untuk mencobai Dia. Tetapi di Markus 10:17 orang Farisi yang kaya-raya tersebut tidak datang untuk mencobai Yesus. Menurut para ahli tafsir Alkitab, orang muda tersebut sebenarnya menunjuk kepada seorang Farisi yang kaya-raya. Jadi ada perbedaan dengan orang-orang Farisi lain yang biasa disebut oleh Injil. Anak muda tersebut datang dengan sikap yang begitu antusias dan rasa hormat yang tinggi kepada Tuhan Yesus sehingga dia berlutut di hadapanNya. Ia datang dengan tujuan untuk menanyakan sesuatu yang begitu penting kepada Tuhan Yesus, yaitu: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Selain dia berlutut di depan Yesus, dia juga menyebut Yesus sebagai “guru yang baik”. Sungguh suatu sikap yang sangat menyentuh. Kata dan tindakan orang Farisi yang kaya tersebut menggambarkan seorang pribadi yang hebat. Status sosial yang terhormat dan kekayaan yang melimpah tidak membuat dia menjadi sombong.
Terhadap pertanyaan yang diajukan oleh orang Farisi tersebut, Tuhan Yesus memberi jawaban, yaitu: “Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!” (Mark. 10:19). Jawaban Tuhan Yesus tersebut secara khusus menunjuk kepada suatu kelompok dari Sepuluh Firman Allah yang berkaitan dengan kasih kepada sesama. Sebagaimana diketahui bahwa Sepuluh Firman Allah terdiri atas dua kelompok besar, yaitu: Firman I sampai IV berkaitan dengan kasih kepada Allah; sedangkan Firman V sampai X berkaitan dengan kasih kepada sesama. Sangat menarik, bahwa hidup yang kekal dalam jawaban Tuhan Yesus ditekankan kepada kasih kepada sesama dan bukan kepada Allah. Ternyata sikap religius orang muda tersebut tidak membuat dia menjadi seorang yang hanya berorientasi kepada ritual keagamaan tetapi juga setia untuk memberlakukan kasih kepada sesamanya. Karena itu tidak mengherankan jika di Mark. 10:21 mempersaksikan sikap Tuhan Yesus, yaitu: “Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya”. Dan dengan sikap simpati itulah Tuhan Yesus menyampaikan secara terbuka kepada orang Farisi yang kaya-raya itu adalah: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mark. 10:21). “Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya”. Sikap orang Farisi yang kaya-raya tersebut sungguh kontradiktif. Semula ia berlari-lari mendatangi Tuhan Yesus dengan antusias dan berlutut di hadapanNya. Tetapi kini ia segera pergi meninggalkan Tuhan Yesus sebab kecewa dengan jawaban yang diberikan olehNya.
Pernyataan sikap Tuhan Yesus tersebut mirip seperti yang dilakukan Allah kepada Abraham untukmempersembahkan Ishak di gunung Moria. Allah tidak akan mengizinkan Abraham untuk mengorbankan Ishak dengan cara membunuhnya sebagai korban bakaran. Demikian pula sikap Tuhan Yesus yang tidak akan mengizinkan orang Farisi yang kaya-raya itu untuk mengartikan ucapanNya hanya secara harafiah belaka. Kepada Zakheus yang kaya-raya, Tuhan Yesus tidak pernah menyuruh dia menjual seluruh harta miliknya untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Demikian pula Tuhan Yesus tidak pernah menyuruh Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus yang kaya untuk menjual seluruh harta miliknya agar mereka memperoleh hidup yang kekal. Lebih tepat dipahami bahwa Tuhan Yesus bermaksud menguji hati orang Farisi yang kaya-raya itu dan yang mengaku telah mengasihi Allah serta sesamanya melebihi seluruh kekayaannya.
Di balik sikap orang Farisi yang kaya-raya dan sangat antusias mendatangi Tuhan Yesus sambil berlutut sebenarnya mau memperlihatkan atau mendemonstrasikan sikap tubuh fisiknya saja yang mau menyembah. Tetapi hatinya ternyata sarat dengan harta-benda sehingga dia tidak ingin ingin berlutut dan menyerahkan seluruh miliknya kepada Tuhan Yesus. Sikap orang Farisi tersebut juga seharusnya menjadi kritik diri bagi setiap jemaat. Mungkin secara fisik dan liturgis, kita tampak begitu antusias sebagai para “penyembah Allah” yang khidmat saat beribadah; tetapi apakah hati atau jiwa kita juga sungguh-sungguh menyembah Allah dan mempermuliakan Kristus? Apakah kita mau meninggalkan segala “ilah” yang memperbudak dan menyenangkan hati kita? Dengan demikian tidaklah cukup bagi kita hanya untuk mencari makna hidup yang kekal dengan sikap yang antusias, namun kita tidak antusias dan sungguh-sungguh untuk meninggalkan segala hal yang diilahkan atau diidolakan. Kita tidak cukup hanya kaya di hadapan manusia, tetapi seharusnya kaya di hadapan Allah dengan memberikan yang terbaik kepada-Nya.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono