Latest Article
Dosa Iri-hati (Kej. 37:1-11)

Dosa Iri-hati (Kej. 37:1-11)

“Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Ams. 14:30).

Sikap iri-hati (Latin: invidia) merupakan salah satu jenis dari ketujuh dosa maut. Karena itu dosa iri-hati bukanlah kesalahan yang sepele. Iri-hati merupakan bagian dari kemanusiaan kita. Tetapi orang yang hidup dalam iri-hati kehilangan hakikat kemanusiaannya. Lalu bagaimana bentuk, sifat dan manifestasi dari dosa iri-hati? Apa yang menjadi karakteristik dari dosa iri-hati? Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini membantu kita untuk mengenal kondisi dan pengertian iri-hati, yaitu:

Bagaimana suasana hati anda saat teman di kantor mendapat promosi jabatan yang lebih tinggi?

Sangat gembiragembiraTidak sukamarah

Bagaimana perasaan yang anda rasakan saat rekan sekerja mendapat pujian atau dukungan?

Sangat gembiragembiraTidak sukamarah

Apakah isi hati anda saat teman memperoleh tempat yang lebih terpandang?

Sangat gembiragembiraTidak sukamarah

Apakah anda berbahagia saat teman mengalami kendala untuk mencapai prestasi?

Sangat gembiragembiraTidak sukamarah

Apakah anda terganggu dengan ucapan simpati banyak orang kepada teman terdekat?

Sangat gembiragembiraTidak sukamarah

Apabila seluruh jawaban saudara adalah “tidak suka atau marah” maka dapat dipastikan kepribadian kita cenderung pada iri-hati. Tampaknya tidak ada jawaban yang murni “sangat gembira” sebab kecenderungan setiap orang secara mendasar tidak menyukai sanjungan dan keberhasilan orang lain. Sikap yang lebih realistis adalah orang-orang yang normal tidak pernah berada dalam sikap ekstrem iri-hati. Mereka punya iri-hati tetapi masih dalam batas wajar sehingga tidak terpengaruh secara psikologis dan spiritual. Dengan kedewasaan rohani dan hikmat mereka mampu menetralisir dorongan atau kecenderungan sikap iri. Mereka bisa bergembira dengan keberhasilan atau popularitas orang lain. Sebab mereka menyadari bahwa sikap iri bukan hanya akan membusukkan tulang, tetapi juga merupakan manifestasi dari dosa maut. Orang yang iri akan menuai kehancuran dan kebinasaan.

Tetapi bagaimana dengan mereka yang memiliki kecenderungan yang kuat dengan sikap iri-hati? Orang-orang yang susah melihat orang lain bahagia, atau orang-orang yang bahagia ketika melihat orang lain susah. Tepatnya orang-orang yang iri-hati sulit hidup bahagia, sebab mereka senantiasa membuat perbandingan (komparasi) diri mereka dengan “keberuntungan” orang lain. Mereka sangat jeli menghitung (kalkulasi) berbagai “kelebihan” yang diperoleh oleh orang lain, tetapi mata hatinya tertutup (buta) melihat berbagai berkat dan anugerah yang telah mereka terima. Itu sebabnya mereka tidak mampu bersyukur atas kehidupan dan berkat yang telah mereka terima. Sebaliknya mereka iri atau cemburu melihat berbagai “kekurangan” atau “semua hal yang tidak mereka miliki” tetapi dimiliki oleh orang lain. 

Narasi kitab Kejadian 37:2-11 mengisahkan bagaimana saudara-saudara Yusuf iri-hati kepadanya. Mereka iri sebab Yakub ayahnya memperlakukan Yusuf secara istimewa. Kejadian 37:3 menyatakan: “Israel lebih mengasihi Yusuf dari semua anaknya yang lain, sebab Yusuf itulah anaknya yang lahir pada masa tuanya; dan ia menyuruh membuat jubah yang maha indah bagi dia.” Lebih daripada itu Yusuf menceriterakan mimpinya kepada saudara-saudaranya. Yusuf menceritakan bahwa ia bermimpi berkas-berkas gandum di ladang saudara-saudaranya mengelilingi dan sujud menyembah kepada berkas gandum Yusuf (Kej. 37:7). Selain itu Yusuf juga menceritakan mimpinya bahwa matahari, bulan dan sebelas bintang sujud menyembah kepadanya (Kej. 37:9). Kita dapat membayangkan perasaan dan reaksi saudara-saudara Yusuf saat mendengar pernyataan mimpi Yusuf. Mereka semakin marah dan membenci Yusuf. Melalui kisah mimpinya seakan-akan Yusuf mau mengangkat dirinya sebagai seorang raja. Karena itu Kejadian 37:8 menyatakan bagaimana reaksi saudara-saudara Yusuf, yaitu: “Apakah engkau ingin menjadi raja atas kami? Apakah engkau ingin berkuasa atas kami? Jadi makin bencilah mereka kepadanya karena mimpinya dan karena perkataannya itu.” 

Sikap iri-hati senantiasa terjadi dalam relasi kekerabatan, pertemanan dan keluarga. Kita tidak mungkin iri kepada orang yang tidak dikenal walau ia berhasil mencapai suatu prestasi yang luar biasa apakah ia sukses dalam studi atau menjadi konglomerat. Dosa iri-hati terjadi justru tumbuh di antara orang-orang yang paling karib, bahkan di antara saudara sekandung. Karena itu dosa iri-hati memiliki daya destruktif yang luar-biasa. Dua orang sahabat dapat berubah menjadi orang kejam dan berkhianat. Bahkan dua orang saudara kandung saat salah seorang iri-hati dapat menjadi peristiwa tragis. Kejadian 4:4-5 mengisahkan: “Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.” Kain marah dan iri sebab persembahan Habel diterima Allah, sedangkan persembahannya ditolak. Kain mengambil keputusan membunuh Habel adiknya. Padahal Habel tidak melakukan yang buruk atau jahat kepada Kain. Sikap iri-hati menyebabkan Kain kehilangan pikiran jernih dan rasional. Kemarahan Kain kepada Tuhan ditimpakan kepada Habel. 

Alkitab mengisahkan bagaimana iri-hati menyebabkan seorang raja kehilangan keyakinan (self-esteem) akan dirinya sendiri. Saul sebagai seorang raja merasa kalah bersaing dengan popularitas Daud. Walaupun Daud seorang gembala domba, ia berhasil membunuh Goliat, pahlawan perang orang Filistin. Di kitab 1 Samuel 18:6-7 mengisahkan bagaimana perempuan-perempuan dari berbagai kota Israel menyanyikan pujian bagi Daud, yaitu: “Dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Para perempuan Israel itu membandingkan kepahlawanan Saul yang tidak sebanding dengan Daud. Akibatnya Saul membenci Daud. Bahkan Saul kuatir bahwa kelak Daud akan merebut jabatannya sebagai seorang raja. Kitab 1 Samuel 18:8 memberi kesaksian, yaitu: “Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.” Kita mengetahui bahwa kebencian Saul karena sikap iri-hatinya diwujudkan dengan berbagai upaya membunuh Daud. Tetapi upaya Saul tersebut gagal total. Justru sebaliknya apa yang dikuatirkan oleh Saul menjadi kenyataan. Kelak Daud menjadi seorang raja yang begitu berpengaruh dan diberkati Tuhan. Sikap iri-hati senantiasa menghancurkan dan mematikan pelakunya. 

Jika demikian bagaimana kita merumuskan sikap iri-hati? Bukankah jelas bahwa sikap iri terjadi karena kita senantiasa membuat perbandingan dan penghitungan kepada orang lain? Bukankah sikap iri membuat kita melakukan perbandingan dan penghitungan tentang orang lain secara negatif? Sikap iri-hati senantiasa terjadi dalam relasi dengan orang-orang yang terdekat, apakah teman, sahabat, saudara, rekan atau tetangga. Sikap iri-hati lahir dalam konteks kepribadian yang insecure (tidak merasa aman) dengan dirinya sendiri. Seorang yang iri memiliki gambar-diri yang negatif. David Hanscom dalam Pyschology Today  yang berjudul The Dark Side of Self-Esteem: “Our envy of others devours us most of all” menyatakan:  “Happiness and envy are not compatible emotions. What is even more ironic is that when you are judging someone else, you are just projecting your view of yourself onto someone else and broadcasting your insecurities to the world.” Kebahagiaan dan iri-hati bukanlah emosi yang selaras. Lebih ironis ketika kita menghakimi seseorang, sesungguhnya kita sedang memantulkan (memproyeksikan) sikap pandangan diri kita dan mengungkapkan kondisi tidak aman diri kita kepada banyak orang. Orang yang marah karena iri adalah orang yang sedang memamerkan ketidakmampuan dirinya. Dengan bersikap iri kepada orang lain sesungguhnya kita sedang memangsa yang paling utama dalam diri kita, yaitu harga diri dan makna hidup kita. Akibatnya kita kehilangan kebahagiaan dan damai-sejahtera di dalam diri kita. 

Lebih lanjut Hanscom menyatakan ada dua jenis sikap iri-hati. Jenis pertama adalah seseorang yang tidak senang dengan kesuksesan orang lain baik teman maupun pesaing. Sedangkan jenis kedua adalah saat kita bersukacita saat teman atau pesaing kita mengalami musibah atau penderitaan. Jenis kedua tersebut dalam ilmu psikologi disebut dengan istilah “schadenfreude.” Arti dari schadenfreude berasal dari bahasa Jerman, yang berasal dari kata schaden yang artinya bahaya atau kerusakan, dan kata freude yang artinya kegembiraan. Jadi seseorang yang iri-hati dengan jenis schadenfreude akan bergembira saat saat teman atau pesaing kita mengalami kesakitan atau kesusahan. Karena itu di Mazmur 25:2, pemazmur berdoa: “Allahku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu; janganlah musuh-musuhku beria-ria atas aku.” Pemazmur berdoa agar Tuhan melindungi dia dan para musuh tidak bergembira di atas pergumulan atau derita yang sedang dia hadapi. 

Dalam konteks yang sama iri-hati dengan jenis schadenfreude dapat melahirkan sikap sadisme. Bukankah arti dari sikap sadisme merupakan gangguan mental di mana si pelaku merasa puas menyakiti pihak lain? Ia bergembira dan puas saat pihak lain mengalami kesakitan. Dorongan iri-hati yang kuat dalam kenyataanya melahirkan perilaku kejam sebagaimana yang terjadi pada saudara-saudara Yusuf yang menjual dia ke Mesir. Kain membunuh Habel adiknya. Orang-orang Farisi dan Ahli Taurat yang iri melihat popularitas Yesus yang begitu luar biasa sehingga memfitnah Dia dan menyalibkan-Nya (Mat. 27:18). 

Dalam jurnal Lake Oconee Breeze, John Stathas dengan tulisannya yang berjudul Jealousy, envy are reflections of insecurity (January 26, 2012) menunjukkan hasil penelitian seorang neuroscience Jepang bernama Hidehiko Takhashi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang sedang iri-hati sebenarnya sedang mengaktifkan bagian otak yang bernama korteks cingulate anterior. Bagian otak yang bernama korteks cingulate anterior merupakan situs otak di mana konflik kognitif akibat dari rasa sakit secara sosial diproses. Semakin kita bersikap iri sesungguhnya situs otak korteks cingulate anterior semakin aktif, sehingga kita semakin menyakiti diri sendiri. Dalam kasus tertentu sikap menyakiti diri sendiri diproyeksikan kepada pihak lain. Karena itu seorang yang iri-hati juga ingin menyakiti orang lain. 

Sikap iri-hati yang umumnya tersembunyi (rahasia) di dalam batin bukan sekadar suatu kecenderungan yang biasa. Di dalam sikap iri terkandung kekuatan dosa yang destruktif dan mematikan. Sikap iri bertentangan dengan hakikat kasih. Di surat 1 Korintus 13:4 rasul Paulus menyatakan: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” Kata “tidak cemburu” dalam konteks ini menggunakan kata zelos. Kata zelos bisa negatif atau positif. Intinya makna kata zelos menunjuk pada emosi yang membara atau mendidih karena panas. Maknanya tergantung pada konteks. Dalam arti negatif emosi mendidih karena seseorang iri-hati kepada pihak lain. Hatinya panas melihat keberhasilan dan sanjungan kepada temannya. Tetapi dalam arti positif seseorang mendidih batinnya karena ia dibakar oleh api atau semangat Roh Kudus. Tetapi di surat 1 Korintus 13:4 menunjuk pada arti yang negatif, yaitu orang yang mendidih emosinya sebab didorong oleh perasaan iri-hati. Karena itu seorang yang iri tidak akan sabar dan murah-hati. Kelemahan mendasar dari sikap iri adalah ia tidak mampu mengasihi dan bersyukur atas anugerah Tuhan dalam kehidupannya.

Sifat dan kecenderungan iri-hati akan dapat diatasi apabila hidup kita telah mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya. Melalui penebusan Kristus di atas kayu salib, hidup kita akan dipenuhi oleh Roh Kudus sehingga batin kita senantiasa mendidih oleh semangat untuk mengasihi. Kita dimampukan untuk berbahagia bersama para sahabat yang berhasil dan mencapai impiannya. Kita juga mampu berempati kepada setiap teman yang sedang mengalami kesusahan dan penderitaan. Lebih jauh lagi kita digerakkan oleh Roh Kudus untuk menjadi orang-orang yang senantiasa memberi dukungan moral dan rohani. Kebahagiaan dan kepuasan batin kita adalah saat orang-orang di sekeliling kita mencapai keberhasilan yang lebih optimal. Hidup kita menjadi berkat, bukan penghalang atau mengkhianati orang-orang terdekat. 

Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, 
tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa (Ams. 23:17).   

Sumber ilustrasi: https://medium.com/@brianlask2/envy-vs-jealousy-whats-the-difference-fd0fe4145b29

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono