Abraham disebut sebagai “bapa umat beriman” oleh ketiga agama monotheis, yaitu: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Sikap iman Abraham terlihat dalam peristiwa ketaatannya kepada Allah untuk mempersembahkan anaknya di atas Gunung Moria. Di Kejadian 22:2 menyebut nama anak Abraham yang dikorbankan adalah Ishak. Kisah Abraham yang mempersembahkan anaknya dikisahkan pula di Quran, yaitu: Surah 37 (Ash-Syafaat):101-113. Namun teks Surah 37:101-113 sebenarnya tidak pernah menyebut nama Ishak atau Ismael, namun istilah ghulamin halim, yang artinya: “anak yang penyantun/saleh.” Jadi Quran tidak pernah menyebut secara eksplisit nama Ismael. Inti berita dalam ketaatan Abraham tersebut adalah Allah yang menyediakan pengganti, sehingga Abraham tidak mengorbankan anaknya di atas mezbah. Karena itulah tema besar dari ketaatan Abraham tersebut adalah “Tuhan yang menyediakan” (Yahweh Jireh).
Makna “Tuhan menyediakan” karena di saat kritis yaitu Abraham hendak mengorbankan Ishak, Allah mencegah Abraham, dan sebagai gantinya Allah menyediakan anak domba jantan. Korban domba jantan tersebut disediakan Allah sebagai “pengganti” sehingga Ishak selamat dari kematian. Karena itu domba jantan yang menggantikan itu melambangkan kurban Kristus di atas kayu salib, bukan anak Abraham yaitu Ishak atau Ismael. Kematian Kristus menjadi pengganti terhadap kematian yang seharusnya kita tanggung. Jadi melalui kematian Kristus, kita diselamatkan sehingga kita tidak lagi menjadi hamba-hamba kecemaran dosa dan kedurhakaan (Rm. 6:19). Karya keselamatan Allah yang menyediakan “pengganti” menempatkan kita sebagai umat yang seharusnya menikmati pembebasan dari kuk (belenggu) kuasa dosa. Namun dalam praktik, kita justru merespons karya Allah yang telah menyediakan keselamatan dengan berkanjang dalam dosa.
Karya Allah yang menyediakan seharusnya akan membawa kelegaan, yaitu keselamatan jikalau kita hidup dalam pengudusan. Sebab dalam pengudusan, kita tidak lagi menanggung beban dosa yang menindih dan menindas hati nurani kita. Dalam pengudusan, kita dapat menikmati hidup yang berkualitas dalam berkat Tuhan. Tanpa hidup kudus, kita seringkali mengalami konflik-konflik batin yang pada akhirnya mendorong kita untuk berselisih dengan sesama. Karena itu ketika kita memiliki banyak musuh, kita perlu bertanya apakah kita telah hidup kudus dan menghayati dengan rasa syukur karya keselamatan yang disediakan Allah. Faktanya mereka yang tidak memiliki sahabat sering disebabkan karena mereka mengalami konflik-konflik batin dan hidup tanpa damai-sejahtera. Hidup kudus berarti umat mampu berdamai dengan diri sendiri, dengan Allah, dan dengan sesama. Bagaimanakah dengan kehidupan Saudara saat ini?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono