Minggu Prapaskah III
Saat kita mendengar firman Tuhan tentang seruan pertobatan, apa yang kita pikirkan? Yang lazim kita cenderung memaknai seruan pertobatan tersebut ditujukan kepada para penjahat, dan para pelaku kriminal. Atau seruan pertobatan tersebut kita tujukan kepada sesama yang dianggap berperilaku buruk dan tidak menyenangkan hati. Tetapi kita jarang mau mengenakan seruan pertobatan tersebut untuk diri kita sendiri. Salah satu kelemahan sikap umat beragama adalah bahwa mereka menganggap diri sebagai orang-orang yang benar dan saleh di hadapan Allah, atau minimal “sedikit lebih baik” daripada orang-orang di sekitarnya. Karena itu tidak mengherankan jikalau selaku umat beriman, kita tidak pernah merespons seruan pertobatan dari Tuhan secara serius. Karena pandangan mata kita hanya terarah kepada orang-orang di sekitar, tetapi menutup mata terhadap keberadaan diri kita di hadapan Allah.
Injil Lukas 13:1 mempersaksikan beberapa orang datang kepada Yesus dengan kabar orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus, dan darahnya dicampurkan dengan darah korban yang mereka persembahkan. Tampaknya mereka beranggapan bahwa orang-orang yang dibunuh itu adalah orang-orang yang hidupnya tidak benar sehingga mengalami nasib tragis. Sikap mereka yang terlalu cepat memvonis seperti kasus para murid yang menuduh orang buta sejak lahir disebabkan dosa dari orang-tua atau dosa dirinya sendiri (Yoh. 9:1-2). Tuhan Yesus di Lukas 13:2 membantah: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain.” Sikap kita sering seperti beberapa orang yang menganggap tragedi yang menimpa orang-orang Galilea. Karena itu tidak mengherankan kita mudah menghakimi orang-orang yang sedang mengalami musibah, kecelakaan, sakit yang kronis, terpuruk, dan kematian tragis sebagai orang-orang yang menanggung dosa.
Bagi Tuhan Yesus, makna hidup benar bukan ditandai oleh “perasaan benar”, tetapi kebenaran iman yang menghasilkan buah. Beverly R. Gaventa dalam A Lectionary Commentary Year C menyatakan makna perikop Lukas 13:6-9 bahwa perumpamaan Yesus tentang pohon ara yang tumbuh di kebun anggur namun tak berbuah sesungguhnya Tuhan Yesus menghendaki pertobatan yang ditandai oleh hidup yang berbuah (repentance and productivity are expected). Orang-orang yang gemar menghakimi orang lain adalah orang-orang yang menyebarkan racun yang mematikan, sehingga mereka tidak akan pernah berbuah bagi dirinya, dan bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya. Tampaknya mereka tumbuh dengan sehat sebab ditanam di tanah yang subur (kebun anggur), tetapi hidup mereka sama sekali tidak berguna. Karena itu perintah Tuhan Yesus adalah: “Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma” (Luk. 13:7).
Di Minggu Prapaskah III ini kita dipanggil Tuhan, yaitu daripada kita cenderung menghakmi sesama adalah lebih baik kita mencari Tuhan. Di Yesaya 55:6 Allah berfirman: “Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui, berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” Fokus rohani kita bukanlah kesalahan dan dosa orang lain, tetapi kasih-karunia Allah. Teologi kasih-karunia Tuhan begitu ditonjolkan oleh kitab Yesaya 55, sehingga diawali dengan tawaran Allah: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! (Yes. 55:1). Saya sering mendengar kisah kepahitan, luka-luka batin yang dalam, dan kemuraman sehingga mereka mempunyai alasan untuk menghakimi dan menyalahkan para pelakunya. Tentu saya sangat bersimpati dengan penderitaan dan kesedihan mereka, namun juga bersikap kritis! Sebab dalam setiap komunikasi, kita juga mempunyai andil untuk investasi masalah. Artinya suatu permasalahan tidak mungkin hanya dari satu pihak, melainkan oleh semua pihak yang terlibat. Jika seandainya diri kita di posisi yang paling “benar” dan orang lain bersalah, sejauh mana kita menyatakan kasih-karunia Allah? Di sinilah karakter kasih Allah di dalam Kristus, yaitu Ia mencintai orang-orang yang tak layak dicintai. Karena itu saat kita menghakimi dan menyalahkan orang lain secara sewenang-wenang, sesungguhnya kita kehilangan kasih Allah.
Apabila kita kehilangan kasih Allah, maka ziarah iman dalam seluruh ibadah, kesalehan, dan pelayanan kita tidak dilakukan dalam spiritualitas mencari Allah, tetapi mencari kepuasan egoisme diri kita sendiri. Dalam konteks itu, nasihat yang tepat adalah “bertobatlah, sebelum dipangkas oleh Tuhan.” Hanya dengan sikap mencari Allah dan memandang kepada anugerah-Nya, kita dapat hidup dalam pertobatan dan membawa sesama yang bersalah kepada kasih-Nya yang menyembuhkan.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono