Latest Article
Jadilah Teladan (1 Timotius 4:11-16)

Jadilah Teladan (1 Timotius 4:11-16)

Ungkapan “jadilah teladan” secara spesifik ditujukan kepada para orang tua, pendidik, para rohaniawan dan para pemimpin masyarakat. Sebab mereka adalah orang-orang yang dianggap telah belajar dari pengalaman yang lebih panjang, pendidikan yang lebih tinggi dan status sosial yang disandangnya. Setiap budaya menaruh harapan yang kuat bahwa para orang-tua, para pendidik, para rohaniawan dan para pemimpin masyarakat yang sudah seharusnya memperlihatkan keteladanan dalam ucapan dan perilakunya. Tentunya harapan tersebut menjadi panggilan yang wajib diperjuangkan dengan seluruh akal-budi dan kekuatan. Tanpa keteladanan yang memadai, maka kehidupan orang-tua, pendidik, rohaniawan dan pemimpin masyarakat akan menjadi batu sandungan.

Namun sangat menarik di perikop surat 1 Timotius 4:11 keteladanan juga wajib dilakukan oleh orang-orang muda. Rasul Paulus memberi nasihat agar Timotius menjadi teladan, yaitu: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1Tim. 4:12). Lingkup keteladanan yang wajib dilakukan oleh Timotius dan setiap orang muda adalah ucapan/perkataan, tingkah-laku, kasih, kesetiaan dan kesucian.

Lima aspek keteladanan dalam ucapan/perkataan, tingkah-laku, kasih, kesetiaan dan kesucian yang umumnya dikenakan kepada para senior (orang-tua, pendidik, rohaniawan dan pemimpin masyarakat) juga dikenakan kepada orang-orang muda. Apakah realistis orang-orang muda dipanggil menjadi teladan dalam ucapan, tingkah-laku, kasih, kesetiaan dan kesucian? Bukankah keteladanan dengan kriteria tersebut di atas harus dicapai melalui perjuangan yang panjang, proses jatuh-bangun, pengalaman dan pembelajaran yang seringkali menyakitkan? Sebaliknya kondisi orang-orang muda umumnya masih labil, proses pencarian jati-diri, pengalaman yang masih minim, mudah dikuasai oleh dorongan nafsu, dan emosi yang belum terkendali dengan baik. Apakah mungkin orang-orang muda dipanggil untuk menjadi teladan?

Keteladanan bukanlah hasil dari proses pencapaian waktu secara kuantitatif. Bukan karena semakin bertambah atau banyaknya usia dijamin seseorang dapat memiliki kerohanian yang lebih dewasa. Dalam kehidupan sehari-hari tidak dijamin bahwa orang tua, pendidik, rohaniawan dan pemimpin masyarakat menjadi teladan. Sebaliknya mereka seringkali jauh dari harapan. Keteladanan tidak ditentukan oleh banyaknya usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman yang panjang. Keteladanan adalah hasil karakter yang telah dibarui oleh Roh Kudus melalui karya penebusan Kristus. Sikap keteladanan merupakan wujud kelahiran baru dari perjumpaan, pengenalan dan penebusan di dalam Kristus. Karena itu keteladanan merupakan proses kualitatif sebab kita mengalami penciptaan sebagai manusia baru. Dalam konteks tersebut orang-orang muda justru dimungkinkan menjadi teladan. Keteladanan tidak lagi menjadi dominasi orang-orang yang lebih senior, dewasa atau orang-tua. Tetapi menjadi spiritualitas yang terbuka bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Gereja dan masyarakat umum seringkali terpaku pada harapan para senior berperan sebagai teladan, tetapi kurang terbuka dan memberi ruang pada anak-anak muda yang mampu hidup secara berkualitas. Para murid Yesus adalah orang-orang muda yang dididik dan mengalami perjumpaan secara personal dengan Kristus sehingga mereka mampu menjadi para pemimpin gereja yang berpengaruh sepanjang zaman. Kita dapat menjumpai tokoh anak muda bernama Titus. Sebagai anak rohani rasul Paulus, Titus mendampingi penginjilan rasul Paulus bersama Barnabas. Peran dia sebagai utusan rasul Paulus kepada jemaat Korintus untuk membantu jemaat Yerusalem yang sedang mengalami kesulitan. Semua tugas tersebut menunjukkan bahwa Titus adalah seorang pemimpin muda yang patut diteladani. Demikian pula Timotius, seorang anak rohani rasul Paulus. Dia setia sehingga bersedia di penjara bersama rasul Paulus. Menurut tradisi gereja, Timotius di saat lanjut usia mengalami kematian sebagai seorang martir karena menghalangi prosesi penyembahan berhala di Efesus.

Hakikat keteladanan sesungguhnya tidak terlepas dari kepemimpinan. Karena itu kepemimpinan di setiap aras usia dan berbagai aspek yang disebut berhasil apabila mampu membawa pengaruh melalui keteladanan. Sebaliknya melalui keteladanan, seseorang telah memerankan seorang pemimpin di setiap bidang yang menjadi tanggungjawabnya. Jadi walau pun masih muda belia seseorang dapat disebut pemimpin karena ia mampu memperlihatkan keteladanan bagi setiap orang di sekitarnya. Dengan demikian, siapa pun orangnya tidak akan dikategorikan sebagai pemimpin karena hidupnya tidak dapat menjadi teladan, walau pun secara formal ia berkedudukan sebagai pemimpin. Pemimpin dengan kedudukan formal yang hidupnya tidak menjadi teladan bukanlah pemimpin karena gagal menjadi panutan. Jika demikian, kita dapat melihat bahwa keteladanan menentukan kapasitas dan kredibilitas seorang pemimpin. Sebab di dalam keteladanan seseorang memiliki integritas yang teruji, upaya untuk mengembangkan kemampuan dan mampu menginspirasi banyak orang.

Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana mewujudkan integritas yang teruji, upaya mengembangkan kemampuan dan mampu menginspirasi banyak orang sehingga hidup kita mampu menjadi teladan? Keteladanan yang sempurna adalah berpusat kepada Kristus. Karena Yesus Kristus adalah teladan yang sempurna. Satu-satunya manusia yang disebut tanpa dosa adalah Kristus. Ia lahir sebagai Anak yang kudus (Luk. 1:35), sama dengan manusia pada umumnya kecuali dalam dosa (Ibr. 4:15). Karena itu kematian dan kebangkitan-Nya menghasilkan penebusan dan pendamaian. Sebagai penebus, Kristus menjadi pengganti dosa sehingga kita hidup dalam anugerah Allah. Sebagai pendamai, Kristus telah mendamaikan manusia dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Jadi keteladanan hanya terjadi apabila setiap orang hidup dalam anugerah Allah dan berdamai dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Orang-orang yang gagal menjadi teladan karena mereka tidak hidup dalam anugerah Allah. Mereka hidup di bawah hukuman atau kuk dosa. Selain itu orang-orang yang menjadikan hidupnya sebagai batu sandungan karena mereka tidak mengalami pendamaian dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Mereka hidup dalam konflik atau permusuhan secara spiritual dengan Tuhan, orang-orang di sekitarnya dan diri sendiri.

Spiritualitas yang hidup dalam anugerah Allah dan pendamaian (rekonsiliasi) merupakan kekuatan rohani yang memampukan para tokoh sehingga mereka dapat dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian, misalnya Martin Luther King (1964), Henry Kissinger (1973), Mother Teresa (1979), dan Nelson Mandela (1992). Mereka menghayati kehidupan yang dijalani sebagai karunia ilahi sehingga mereka tidak hidup di bawah kuk dosa. Mereka mengalami anugerah penebusan Kristus dan makna rekonsiliasi dengan Allah, sesama dan diri sendiri sehingga mereka tidak pernah patah arang dan menyimpan dendam saat dilukai. Sebaliknya mereka kaya dalam pengampunan, kemurahan hati, dan kesediaan berkurban. Lebih utama lagi mereka membuktikan integritas, kesetiaan, dan komitmen untuk menjadi teladan sampai akhir hidup. Semua tokoh teladan yang menginspirasi dunia senantiasa berakhir dengan setia walau kematian merenggut secara paksa. Keteladanan tidak pernah berakhir di tengah jalan, tetapi sampai akhir hidup dengan finishing well

Pertanyaan yang lebih mendasar lagi adalah karakteristik keteladanan yang bagaimanakah khas menurut iman Kristen? Tepatnya keteladanan yang bagaimanakah dimaksudkan oleh surat 1 Timotius 4:11-16? Untuk itu kita perlu memperhatikan dengan saksama pesan firman Tuhan di surat 1 Timotius 4:11-16.

Karakteristik keteladanan yang khas iman Kristen berdasarkan surat 1 Timotius 4:11-16 terdiri dari 6 bidang, yaitu:

  1. Memberitakan Injil adalah panggilan utama umat percaya sesuai dengan talenta dan bidang pekerjaan yang dia miliki. Seluruh karya, pekerjaan, kompetensi dan kehidupan yang ia jalani sesungguhnya sebagai media memberitakan firman. Ia menyampaikan Injil sebagai kabar baik dalam perkataan, perbuatan, dan hasil kerja yang memuaskan sehingga orang-orang di sekitarnya diberkati dan mengalami perjumpaan dengan Kristus.
    1. Integritas diri merupakan spiritualitas yang tidak dapat dikompromikan dengan nilai-nilai dunia yang membuka celah terhadap segala bentuk manipulasi dan ketidakjujuran. Karena itu integritas diri mencakup keseluruhan hidup atau kepribadian kita. Di surat 1 Timotius 4:12 dideskripsikan dalam ucapan/perkataan, tingkah-laku, kasih, kesetiaan dan kesucian. Ukuran integritas diri yang paling konkret pada akhirnya ditentukan oleh 3 nilai utama, yaitu: kasih, kesetiaan/iman dan kesucian.
    2. Mengembangkan diri dalam studi adalah wujud dari karakter yang bertumbuh di dalam pengenalan akan Kristus. Karena itu pengembangan diri tidak pernah lalai dalam membaca firman Tuhan secara intensif. Ia bukan hanya pembaca yang setia, tetapi seorang yang antusiasme menggali firman Tuhan. Karena itu ia menjadi seorang pembelajar yang rajin sehingga mendorong pula dengan sungguh-sungguh studi dalam bidang ilmu pengetahuan yang menjadi tanggungjawabnya.
    3. Menggunakan karunia merupakan tanggungjawab kepada Tuhan yang telah memberikan karunia roh secara khusus kepada setiap orang. Dengan karunia-karunia roh yang dikembangkan secara optimal seseorang dapat menolong, memberdayakan, melengkapi dan memberkati sesama di sekitarnya. Karunia-karunia tersebut merupakan kompetensi dan skill yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai masalah yang rumit secara efektif dan efisien.
    4. Kemajuan yang nyata bagi banyak orang merupakan progress report yang dapat dibaca oleh setiap orang, sehingga orang-orang di sekitar dapat belajar dari perkembangan atau kemajuan yang telah dicapai. Sesama dapat melihat bagaimana ia mencapai kemajuan dari satu tahap ke tahap selanjutnya secara konsisten. Hidupnya tidak statis, puas diri, dan menyerah pada satu tahap. Tetapi ia terus berkembang dari tahap permulaan sampai ke tahap yang optimal.
    5. Kritik diri merupakan sikap evaluasi diri yang disadari dengan rendah hati bahwa sebagai orang berdosa dan terbatas membutuhkan perbaikan diri. Ia menyadari bahwa tidak semua yang ia pikirkan, katakan dan kerjakan bernilai benar. Selalu disadari bahwa di balik semua hal baik dan benar yang dilakukan mengandung berbagai hal yang tidak berkenan di hadapan Allah. Karena itu sikap awas terhadap diri sendiri dan pemikiran atau pengajaran merupakan prinsip rohani yang paling utama. Mengabaikan atau lengah terhadap sikap awas terhadap diri sendiri dan pemikiran/pengajaran telah menempatkan diri sendiri dalam bahaya besar. Musuh utama yang berbahaya adalah diri kita sendiri.

Dari uraian di atas kita dapat melihat 6 karakteristik keteladanan yang khas dalam perspektif iman Kristen, yaitu keteladanan dalam: a). Memberitakan Injil, b). Integritas diri, c). Mengembangkan diri dalam studi, d). Menggunakan karunia, e). Kemajuan yang nyata bagi banyak orang, f). Kritik diri. Dengan keenam karakteristik keteladanan tersebut setiap umat percaya baik orang-orang dewasa, lanjut usia dan anak-anak muda dipanggil untuk mewujudkan dalam realitas hidup mereka sehari-hari. Karena itu kita maknai menjelang akhir tahun 2020 dan memasuki Tahun Baru 2021 dengan melaksanakan secara konsisten dalam memberitakan Injil, integritas diri, terus mengembangkan diri dalam studi, menggunakan setiap karunia dengan tanggungjawab, mengembangkan kemajuan yang nyata, dan mengawasi diri sendiri dan ajaran dengan kritik diri.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono