Latest Article
Agama dan Pemulihan Penyakit Sosial

Agama dan Pemulihan Penyakit Sosial

Pengantar

Dalam pengertian yang umum makna penyakit sosial adalah setiap kebiasaan, perilaku dan tindakan yang menimbulkan gangguan sosial sebab bertentangan dengan nilai, norma, budaya, dan hakikat etis-moral yang telah menjadi pegangan agama-agama yang berlaku. Menurut G. Kartasaputra, perilaku penyimpangan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak sesuai atau tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, baik yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar.

Penyimpangan perilaku dalam penyakit sosial dijabarkan, yaitu: sikap adiktif dengan mabuk, merokok, menggunakan obat-obat psiko-tropika atau narkotika (heroin, ganja, ekstasi, shabu-shabu, amphetamim , inhalen, dan sebagainya), perjudian, kriminalitas, dan prostitusi. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa lingkup penyakit sosial mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia. Masalah penyakit sosial yang terjadi mencakup berbagai dimensi, yaitu: kehidupan pribadi, keluarga, komunitas umat beragama, lembaga pendidikan (sekolah atau universitas), dan masyarakat pada umumnya.

Dengan realitas kehidupan yang tidak terhindar dari penyakit sosial, maka masyarakat pada umumnya menganggap agama-agama memiliki fungsi seperti antibiotik untuk mengobati setiap penyakit sosial yang terjadi. Kita memiliki harapan yang begitu besar terhadap peran dan fungsi agama sebagai agen-agen perubahan yang menghadirkan rahmat dan pemulihan bagi anggota masyarakat. Dengan harapan yang begitu besar, maka tidak mengherankan jikalau agama-agama dihadirkan di setiap bidang kehidupan umat manusia, yaitu: kehidupan pribadi, keluarga, pendidikan, profesi, politik, sosial-ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, kepemimpinan, hukum etika dan moral. Namun pertanyaannya adalah apakah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh kehidupan ritual dan nilai-nilai keagamaan dijamin menjadi masyarakat yang bebas dari penyakit sosial? Dalam berbagai riset dan pengamatan kita dapat melihat bahwa tidak otomatis masyarakat yang religius menjadi masyarakat yang humanis dan berkualitas secara etis-moral. Dalam bukunya yang berjudul The End of Faith, Religion: Terror and the Future of Reason (Sam Harris, 2004), Sam Harris menyatakan justru agama adalah akar dari segala kejahatan. Ungkapan Sam Harris didasari oleh penelitian dan pengamatan dia bahwa para penganut agama-agama justru sering mempraktikkan kekerasan, kekejaman, diskriminasi dan teror dalam perjalanan sejarahnya. Dengan kritik dari Sam Harris kita dapat melihat bahwa kehadiran agama-agama tidak secara otomatis mampu berperan sebagai pemulih berbagai penyakit sosial, sebaliknya agama-agama bisa berubah menjadi monster yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban.

 Agama: Salah Satu Akar Penyakit Sosial?

Kehadiran agama-agama merupakan manifestasi penyataan Allah dalam sejarah umat manusia. Melalui penyataan-Nya, Allah berkarya untuk memulihkan, menyelamatkan, membarui dan membawa umat manusia di dalam rencana ilahi-Nya yaitu hidup bersekutu dalam cinta-kasih-Nya. Karena itu fungsi agama-agama adalah menjadi alat di tangan Allah. Tetapi dalam realitas agama-agama sering menjadikan dirinya sebagai tujuan akhir. Agama-agama sering menganggap bahwa dirinya tempat keselamatan itu sendiri, sehingga agama-agama menghalangi karya keselamatan Allah yang memulihkan dan membarui. Karena agama-agama dalam praktik hidup menjadikan dirinya sebagai tujuan akhir, maka agama-agama sering berubah menjadi manifestasi berhala. Agama-agama mengajarkan penolakan setiap berhala (idol) tetapi menjadikan dirinya sebagai berhala yang harus disembah dan dipermuliakan. Karena itu agama-agama lebih giat mendorong umatnya untuk mempermuliakan doktrin-doktrin dalam lembaga agamanya. Bila menghadapi perbedaan dengan agama lain maka agama sering menyulut kebencian, memberi label negatif terhadap agama lain, dan menghalangi agama lain melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya. Dengan spiritualitas dan sikap yang intoleran tersebut, agama-agama kehilangan kekuatannya yang utama, yaitu untuk menjadi media keselamatan Allah yang memulihkan dan membarui kehidupan umat manusia. Ungkapan sebagai pembawa rahmat bagi semesta hanyalah sekadar bungkus (casing) belaka.

Sikap agama-agama yang intoleran dan mempermuliakan dirinya tersebut sebenarnya juga menyebabkan agama-agama sebagai salah satu akar “penyakit sosial.” Makna penyakit sosial adalah semua bentuk perilaku anggota masyarakat yang menyebabkan kerusakan secara etis-moral, relasi yang tidak harmonis dengan sesama (konflik), pola pikir yang mengandung kebencian, dan kegagalan membangun sinergisme-mutualistik untuk mencapai kehidupan yang berkualitas sebagai masyarakat yang beradab dan umat yang hidup dengan nilai-nilai Pancasila.

Agar agama-agama dapat berperan sesuai hakikat panggilan dan fungsinya, maka agama-agama harus senantiasa terarah kepada Allah sebagai pusat dan tujuan finalnya. Agama-agama dipanggil mempermuliakan Allah secara total seraya mengangkat martabat kemanusiaan dengan spiritualitas dan perilaku yang dilandasi oleh kasih, pengampunan, kemurahan dan kerahiman Allah. Dengan demikian kehadiran dan fungsi agama-agama dapat berperan sebagai agen-agen perubahan di tengah masyarakat yang mengalami berbagai jenis penyakit sosial.

Sumber Penyakit Sosial

Sumber utama penyakit sosial dalam pemahaman agama-agama adalah keberadaan manusia yang “berdosa.” Makna “dosa” dalam agama Hindu karena manusia gagal melakukan karma yang baik, sehingga hidup dalam samsara (yang artinya: jiwa yang terus mengembara dari satu tubuh ke tubuh yang lain dalam lingkaran reinkarnasi). Dalam agama Budha, manusia terbelenggu oleh nafsu keinginan (tanha) sehingga menimbulkan penderitaan (dukkha). Dalam agama Islam, dosa (al-itsm) adalah dosa yang melanggar hukum Allah sehingga pelaku berbuat dosa (atsiim) sebab ia ingkar (kaffar). Dalam iman Kristen, dosa bersumber dari hati atau roh manusia yang dikuasai oleh keinginan daging (sarx), sehingga menolak rahmat Allah yang menyelamatkan untuk hidup menurut keinginan roh (pneuma). Dengan demikian, agama-agama mengakui bahwa di dalam diri manusia terdapat kekuatan insani yang bernama “dosa.” Realitas dosa di dalam diri manusia tersebut hadir sebagai potensi yang dapat diaktulisasikan melalui berbagai kecenderungan, kebiasaan, pilihan etis, pengaruh pendidikan, sosial-ekonomi dan lingkungan kehidupannya. Karena itu penyakit sosial merupakan wujud dari perbuatan dosa yang semula berupa potensi menjadi aktualisasi diri dari masing-masing pribadi.

Keberadaan agama-agama mencakup para penganut dan pemimpin keagamaan. Karena itu dalam praktik kehidupan agama-agama juga tidak terlepas dari praktik penyimpangan dari para penganut dan pemimpin-pemimpin keagamaan. Keagamaan tidak terlepas dari sifat manusiawi yang berdosa walau pada hakikatnya berperan sebagai media karya keselamatan Allah yang memulihkan. Keberadaan agama-agama tidak terlepas dari kelemahan, kesalahan dan keberdosaan sehingga menghadirkan berbagai kekerasan, kekejaman, ketidakadilan, diskriminasi, dan teror dalam kehidupan umat manusia sebagaimana dinyatakan oleh Sam Harris dalam bukunya yang berjudul The End of Faith, Religion: Terror and the Future of Reason (2004). Karena itu keberadaan agama-agama membutuhkan rahmat Allah agar senantiasa diperbarui, dibuka wawasan pikiran dan diterangi nuraninya. Agama-agama membutuhkan daya penyelamat dari Allah. Keberadaan dan fungsi agama-agama bukanlah penyelamat ilahi. Sebaliknya agama-agama seharusnya berperan sebagai pemberita dan penghadir cinta-kasih Allah serta kebijaksaan ilahi. Misi agama-agama adalah menginspirasi dan memotivasi umat untuk melakukan kehendak-Nya yaitu kebajikan, kebenaran, keadilan, dan pemulih. Dengan demikian agama-agama dapat menjadi agen-agen perubahan dan pemulihan yang efektif apabila dengan rendah-hati bersandar pada rahmat Allah dan tidak bersandar pada kekuatan, kebajikan, kesalehan dan kebenarannya sendiri.

Peran Agama-agama di Tengah Kondisi Penyakit Sosial

Di tengah-tengah kondisi penyakit sosial, agama-agama berperan hadir sebagai agen-agen perubahan yang dilandasi oleh kasih, kerahiman dan kebijaksanaan ilahi. Dengan spiritualitas tersebut agama-agama diharapkan mampu menghadirkan rahmat Allah yang memulihkan dan menghadirkan pendamaian (rekonsiliasi) di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Untuk itu agama-agama seharusnya berperan, yaitu:

  1. Menyatakan belarasa dan kerahiman Allah: Agama-agama adalah para insan beriman yang telah mengalami kerahiman dan pengampunan Allah sehingga seharusnya hadir untuk menyatakan belas-kasihan dan anugerah pengampunan Allah kepada setiap orang yang terjerat oleh perbuatan dosa. Untuk itu agama-agama tidak diperbolehkan menghakimi orang-orang yang dianggap “berdosa atau bersalah.” Sebab Allah menghendaki belas-kasihan dan pengampunan kepada orang yang berdosa.
  2. Menyampaikan pengajaran yang inspiratif: Agama-agama telah menerima wahyu berupa firman Tuhan, sehingga firman Tuhan tersebut seharusnya diberitakan sebagai pengajaran yang inspiratif dan menggugah hati. Dengan pola pengajaran yang inspiratif dan menggugah hati, maka agama-agama akan menjadi media yang memotivasi sesama manusia untuk berpikir secara positif dan membangun kehidupan yang lebih berkualitas. Orang-orang yang bersalah perlu diinspirasi untuk membangun masa depan yang lebih cerah.
  3. Membuka wawasan dunia (world-view) dengan horizon pemahaman yang luas: Agama-agama telah menerima karunia hikmat atau kebijaksanaan ilahi untuk membuka wawasan seseorang yang picik, dangkal dan fanatik agar memiliki horizon pemahaman yang luas tentang realitas kehidupan ini. Karena itu agama-agama juga harus membebaskan diri dari pola pikir yang picik, dangkal dan fanatik. Fanatisme beragama adalah musuh agama itu sendiri dan penghalang terciptanya masyarakat yang beradab. Manakala agama-agama berperan membuka wawasan hidup yang lebih luas, maka orang-orang bersalah akan mengalami makna hidup yang lebih transformatif.
  4. Kabar baik yang memberi harapan: Agama-agama hadir sebagai umat beriman yang telah dipulihkan. Para penganut agama memiliki berbagai pengalaman dibarui oleh Allah. Karena itu melalui agama-agama, umat diharapkan mengalami pertobatan dan hidup yang baru. Dengan pembaruan hidup tersebut agama-agama dipanggil untuk menyampaikan kabar baik kepada setiap orang yang sedang terpuruk, mengalami krisis, dan putus-asa sehingga mereka mempunyai harapan untuk menghayati kehidupan di depan dengan penuh makna. Untuk itu agama-agama tidak perlu menakut-nakuti umat dengan berita hukuman atau murka Allah secara berlebihan. Sebaliknya agama-agama menyampaikan karya keselamatan Allah dengan lemah-lembut dan kasih sehingga umat yang berdosa dengan penuh kesadaran berbalik dan hidup dalam pertobatan.
  5. Kehadiran yang memulihkan: Agama-agama telah mengalami karunia Allah berupa penyataan atau pewahyuan-Nya yang transformatif. Agama-agama hadir karena telah mengalami kehadiran Allah yang menyelamatkan. Karena itu kehadiran setiap agama haruslah dinyatakan dalam kehadiran yang memulihkan atau menyembuhkan. Kehadiran agama-agama haruslah bebas dari bentuk-bentuk ungkapan dan tindakan yang menekan, mengancam atau meneror sesama atau umat yang beragama yang lain. Sebaliknya agama-agama seharusnya hadir untuk membawa pemulihan atau penyembuhan kepada mereka yang sakit karena kuasa dosa, sehingga mereka mampu menjadi para pribadi yang hidup sehat secara holistik. Melalui kehadiran agama-agama seharusnya setiap orang merasa teduh dan mengalami rahmat Tuhan di tengah-tengah luka-luka batin mereka.
  6. Menegakkan keadilan: Agama-agama pada hakikatnya berpusat kepada karakter Allah yang Maha Adil, karena itu agama-agama hadir untuk membela setiap orang yang diperlakukan tidak adil, diskriminatif dan sewenang-wenang. Keadilan yang ditegakkan oleh agama-agama bukan untuk membela komunitas keagamaannya sendiri, tetapi keadilan Allah yang bersifat lintas batas yang tidak dipengaruhi oleh sikap yang subjektif dan protektif terhadap anggota kelompoknya sendiri. Keadilan Allah yang menjadi dasar spiritualitas dan sikap agama-agama haruslah dilakukan secara objektif, tidak memandang muka, tidak terpengaruh oleh status sosial-ekonomi dan kedudukan seseorang tetapi hanya takut kepada Allah semata. Dalam beberapa kasus orang-orang yang bertindak asosial disebabkan karena pengalaman traumatis berupa ketidakadilan dalam berbagai bentuk.
  7. Rekonsiliasi dan Penerimaan: Melalui kehadiran dan peran agama-agama, Allah menyatakan karya keselamatan-Nya yang mendamaikan. Melalui pengajaran dan keteladanan para tokoh yang diajarkan oleh Kitab Suci setiap agama, Allah menyatakan penerimaan kepada orang-orang yang berdosa atau bersalah. Karena itu melalui kehadiran dan peran agama-agama, Allah menghendaki setiap agama untuk menciptakan pendamaian (rekonsiliasi) yaitu pulihnya relasi yang rusak dengan bersedia menerima kembali orang berdosa atau bersalah dalam komunitas di tengah masyarakat. Orang-orang yang pernah bersalah atau dianggap berdosa tidak disingkirkan dari komunitas dalam masyarakat. Sebaliknya mereka diterima kembali dan diberdayakan untuk hidup baru. Orang-orang yang pernah bersalah tidak lagi harus mengenakan stigma yang negatif. Citra diri mereka telah dipulihkan.

Refleksi Teologis Peran Agama di Tengah Penyakit Sosial

Penyakit sosial adalah penyakit rohaniah yang kita alami bersama dalam setiap aspek, yaitu: kehidupan pribadi, keluarga, pendidikan akademis, profesi, relasi dalam berbagai bidang, dan keagamaan. Penyakit rohani tersebut yang menyebabkan kita tidak mampu hidup menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu berbagai kebajikan, kesalehan, kebenaran atau kebijaksanaan yang dimiliki oleh manusia tidak dapat menyingkirkan “penyakit rohani” tersebut. Di bagian sebelumnya kita telah mengulas bahwa penyebab penyakit sosial yang utama adalah dosa yang bersumber pada roh atau segi batiniah kita. Dalam iman Kristen sumber dosa adalah sarx (hawa-nafsu yang didorong oleh keinginan daging), sehingga manusia melakukan dosa yang bernama hamartia. Arti dari dosa hamartia adalah: “Semua bentuk upaya dan kesadaran religius manusia untuk melakukan kebajikan yang tertinggi serta kesalehan yang sempurna sehingga diperjuangkan secara optimal dan upaya yang terbaik, namun menghasilkan penyimpangan alias gagal mencapai sasaran.” Makna dari dosa hamartia adalah umat gagal mencapai sasaran berkenan di hadapan Allah walau dia telah melakukan berbagai perbuatan baik dan kesalehan. Ilustrasi dari dosa hamartia adalah seperti seseorang yang melakukan lomba panah. Untuk itu dia telah berlatih, melakukan konsentrasi tinggi, memperhatikan arah angin, dan menembak anak panahnya ke arah titik sasaran. Tetapi yang terjadi adalah ternyata anak panah tersebut meleset.

Melalui ajaran agama-agamanya setiap pengikut atau umat telah berusaha melakukan ketentuan, ketetapan dan ajaran agamanya seoptimal mungkin. Mereka berusaha hidup berkenan di hadapan Allah dengan kesalehan dan kebajikannya. Tetapi yang terjadi berbagai upaya yang baik tersebut tidak menjamin seseorang mampu hidup benar alias menyimpang dari kehendak Allah. Dalam perspektif iman Kristen, manifestasi penyakit sosial tidak hanya dalam bentuk kelihatan secara indrawi tetapi juga dalam bentuk yang sering tidak kelihatan secara fisik. Di Markus 7:20-23, Yesus berkata: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” Fenomena penyakit sosial yang terlihat indrawi sebenarnya telah berakar dalam kehidupan batin umat manusia pada umumnya. Dalam banyak kasus, penyakit sosial tidak terlihat secara kasat mata karena berhasil disembunyikan secara saksama. Walau tidak terlihat sebenarnya penyakit sosial tersebut merusak kualitas hidup dan relasi dengan sesama serta Allah. Karena itu agama-agama tidak perlu mengklaim dirinya sebagai penyelamat dan pemulih kehidupan umat yang sedang mengalami beberapa jenis penyakit sosial. Agama-agama termasuk para pemimpin keagamaan dan umat beriman juga terjebak dalam dosa hamartia. Untuk itu agama-agama juga membutuhkan Juru-selamat.

Penyelamat yang sesungguhnya adalah Allah sendiri. Agama-agama hanyalah alat atau media yang dipakai oleh Allah. Media penyelamatan dari Allah bukanlah hak prerogatif agama-agama. Allah dengan kedaulatan dan kuasa-Nya mampu menggunakan apapun dan siapapun untuk menyatakan karya keselamatan-Nya. Allah dapat memakai semua ciptaan-Nya, setiap Ilmu Pengetahuan, berbagai pemikiran filsafat, teknologi, dan berbagai peristiwa sebagai media keselamatan. Namun baik agama-agama maupun berbagai media yang dipakai oleh Allah itu terbatas. Karena itu sebagai Sang Penyelamat, Allah menghadirkan Kristus sebagai Penyata-Diri Allah untuk memulihkan manusia dari kuasa dosa. Melalui Kristus, Allah menyelamatkan manusia bukan berdasarkan perbuatan baik atau kebajikan dan kesalehannya. Sebab semua perbuatan baik berupa kebajikan dan kesalehan manusia tersebut terbelenggu oleh dosa hamartia. Dalam situasi yang tanpa harapan itulah Sang Firman Allah menjelma menjadi manusia di dalam Yesus Kristus. Dialah satu-satunya manusia tanpa dosa (Luk. 1:35; Ibr. 4:15). Melalui kehidupan dan karya Kristus Allah memulihkan sumber dari seluruh dosa dan penyakit sosial. Di dalam dan melalui Kristus, Allah mengaruniakan keselamatan berupa kehidupan baru yang kekal. Karena itu Surat 2 Korintus 5:17 menyatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”

Spiritualitas yang Berfokus pada Rahmat Allah

Realitas insani yang menyebabkan setiap orang rentan dalam menghadapi godaan, pencobaan, pengaruh dan krisis yang terjadi dalam kehidupannya. Apalagi kehidupan manusia dikuasai oleh dosa hamartia sehingga segala upayanya yang terbaik seringkali meleset (salah sasaran). Di tengah-tengah kerentanan dan keberdosaan manusia, agama-agama dipanggil untuk menyebarkan nilai-nilai spiritualitas yang berfokus pada rahmat Allah. Dengan rahmat-Nya Allah menyatakan bagaimana anugerah yang dicurahkan Allah secara berlimpah sehingga menggenangi, meresapi dan menggerakkan setiap orang untuk hidup yang berfokus pada kasih kepada Allah dan sesama. Rahmat Allah tersebut dinyatakan melalui pengajaran dan kehadiran agama-agama yang memulihkan setiap personalitas umat dalam kehidupan di keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebab umumnya para pelaku dalam penyakit sosial dilatarbelakangi oleh kehidupan keluarga yang bermasalah, orang-tua yang bercerai (broken-home), hubungan di dalam rumah-tangga yang tidak harmonis (konflik), dan kondisi ekonomi yang berantakan. Kondisi keluarga yang bermasalah tersebut diperparah oleh pergaulan yang buruk (narkoba) dan pengaruh media-massa dalam bentuk digital (dalam bentuk pornografi, kekerasan).

Nilai-nilai yang berfokus pada rahmat Allah pada hakikatnya merupakan nilai-nilai spiritualitas yang memberdayakan dan mengangkat martabat manusia, yaitu:

  1. Menilai dan memahami manusia secara utuh sehingga tidak berfokus pada kegagalan dan kesalahan di masa lalu yang pernah ia lakukan.
  2. Menjamin tidak memperlakukan sesama yang dijumpai dengan sikap yang merendahkan dan menghakimi. Setiap orang memiliki martabat dan harga diri yang harus dihormati.
  3. Mempraktikkan pengampunan dengan kesediaan memaafkan yang dimulai dari perkara-perkara sederhana sampai pada tingkat pengalaman traumatis.
  4. Mengajarkan dan mempraktikkan kasih melalui keteladanan, bukan sekadar perkataan atau nasihat dan khotbah/ceramah.
  5. Mempraktikkan sikap berkurban demi kepentingan orang lain, tetapi menolak segala bentuk sikap yang menyalahkan (mengkambinghitamkan) dan mengorbankan orang lain.
  6. Mengembangkan setiap orang sesuai minat dan talentanya masing-masing sehingga mampu bersikap mandiri, kreatif dan produktif.
  7. Mengajarkan bagaimana mempermuliakan Allah dan kasih kepada sesama di tengah-tengah krisis dan permasalahan yang terjadi.

Referensi

Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. BPK Gunung Mulia, Jakarta. 1995

Harris, Sam. The End of Faith, Religion: Terror and the Future of Reason. W.W. Norton, United State. 2004

Keene, Michael. Agama-agama Dunia. Kanisius, Yogyakarta. 2006

Penyakit Sosial dan Pencegahannya:

https://www.scribd.com/doc/57977817/Penyakit-Sosial-Sebagai-Akibat-Penyimpangan-Sosial-Dan-Upaya-Pencegahannya (diakses pada tanggal 1 September 2017).

http://c3i.sabda.org/definisi_penyebab_dan_macammacam_penyakit_sosial (diakses tanggal 1 September 2017)

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono