Penghayatan hidup sebagai orang Kristen sering berada dalam situasi yang paradoksal. Pada satu pihak, prinsip utama dari iman Kristen adalah kita wajib mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal-budi kita (Mat. 22:37-38); tetapi pada pihak lain kita dipanggil untuk bekerja dan mencari nafkah yang kita tahu adalah mencari uang (2Tes. 3:10). Paradoksal yang kedua adalah ucapan Tuhan Yesus di Luk. 16:13, yaitu: “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” Tuhan Yesus tersebut mau menyatakan bahwa kita tidak dapat mengabdi kepada Allah ketika kita menjadikan uang sebagai prioritas dalam kehidupan ini. Mungkin atas dasar pemikiran sekilas tersebut muncul suatu anggapan bahwa orang Kristen yang saleh adalah mereka yang hanya berdoa, membaca firman Tuhan dan memuji nama-Nya, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja mencari nafkah/uang. Benarkah ucapan Tuhan Yesus memiliki maksud yang demikian? Bila benar bahwa orang yang saleh atau berkenan di hadapan Allah adalah mereka rajin berdoa dan memuji nama Tuhan, maka dapat dimengerti apabila dalam perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 Allah kemudian lebih membenarkan sikap Lazarus yang hidup miskin, dan menghukum orang kaya tersebut karena dia memiliki banyak kekayaan. Dalam konteks pemikiran yang demikian, iman Kristen telah disalah-mengerti sebagai agama yang anti orang kaya dan lebih mendukung orang-orang yang hidup miskin. Tetapi apakah Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 memiliki maksud yang demikian?
Inti berita Lukas 16:19 melukiskan tingkah-laku orang kaya tersebut dengan gaya hidup yang ditandai oleh suasana pesta pora dan kemewahan setiap hari. Sementara di pintu gerbang rumahnya duduk seorang pengemis yang sangat miskin dan kelaparan bernama Lazarus. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh borok. Karena suatu keadaan Lazarus tidak mampu melindungi tubuhnya, sehingga borok-boroknya dapat dijilati oleh anjing setiap saat; padahal anjing dalam tradisi Israel dipandang sebagai binatang najis. Selain itu Lazarus hanya makan dari sisa-sisa roti yang dibuang di lantai. Dalam acara pesta di Israel pada zaman itu, tuan rumah sengaja menyediakan roti untuk dipakai sebagai alat pembersih tangan bagi para tamunya yang biasanya dipenuhi lemak makanan sehingga remah-remah roti tersebut berceceran di lantai. Setelah acara pesta selesai, remah-remah roti tersebut disapu untuk dibuang ke luar. Jadi remah-remah roti itulah yang dimakan oleh Lazarus. Tampaknya Lazarus telah lama tinggal di pintu gerbang, tetapi selama dia tinggal di situ hanya remah-remah roti pembersih tangan para tamu itulah yang dapat dia makan. Orang kaya tersebut tidak pernah peduli dengan penderitaan dan kemiskinannya. Mungkin orang kaya itu berpikir bahwa Allah telah menentukan Lazarus tetap miskin. Sebab bukankah Allah yang menentukan seseorang untuk menjadi kaya atau miskin, sehat atau sakit, hidup ataupun mati? Apabila Allah yang menentukan Lazarus tetap miskin, maka orang kaya tersebut berpikir bahwa dia sudah cukup “saleh” dan beramal banyak dengan membiarkan Lazarus tetap tinggal di pintu gerbang rumahnya serta dapat memperoleh makanan secara gratis dari remah-remah roti yang dibuangnya. Pesan utama dari kisah perumpamaan Tuhan Yesus tersebut sebenarnya bukan menyalahkan seseorang sukses dan menjadi kaya. Sebab bukankah para bapa leluhur Israel juga merupakan profil dari orang-orang yang sukses dan menjadi kaya? Abraham, Ishak dan Yakub tergolong orang-orang yang sukses dan kaya. Tetapi yang menjadi persoalan utama dalam perumpamaan Tuhan Yesus tersebut adalah bagaimana seseorang menyikapi kekayaannya; dan bagaimana pula seseorang memperlakukan sesamanya yang sedang menderita.
Ternyata orang kaya dalam perumpamaan tersebut menyikapi kekayaannya begitu intens. Itu sebabnya dia mengisi hidupnya tiada hari tanpa pesta yang serba mewah. Dia begitu lekat dengan kekayaan dan kemewahan. Secara konsisten dia telah mempratikkan untuk mengabdi kepada Mamon. Karena itu mata batinnya menjadi buta untuk merespons secara manusiawi keadaan Lazarus yang selama ini duduk di pintu gerbang rumahnya. Sikap orang kaya yang membiarkan Lazarus duduk di pintu gerbang rumahnya bisa terjadi bukan karena orang kaya tersebut cukup bermurah hati. Sebab keadaan Lazarus yang hidup begitu miskin di pintu gerbang rumahnya, justru secara kontras dapat membuat rumah orang kaya tersebut tampak menjadi lebih mewah. Bukankah sikap orang kaya tersebut juga seperti kecenderungan beberapa orang yang secara sengaja memasang patung pemotong rumput yang sedang berjongkok membersihkan taman sebagai suatu hiasan belaka? Dengan kata lain, kemiskinan sesama juga dapat dipakai oleh beberapa orang sebagai suatu hiasan untuk memperindah rumah atau properti yang dimiliknya. Dalam konteks tersebut kita beranggapan bahwa Allah telah menentukan seseorang menjadi kaya atau miskin. Jadi kalau dia miskin, bukan tanggungjawab kita untuk menolongnya. Bahkan kita merasa telah berbuat baik kepada orang miskin di dekat kita dengan memberikan beberapa potong roti dan tidak pernah mengganggu atau mengusirnya. Ketika kita lekat dengan harta milik atau kekayaan, maka batin dan hati kita menjadi buta untuk memperlakukan sesama secara lebih manusiawi. Sehingga kita merasa pemberian yang sifatnya karitatif sebagai bukti kepedulian dan kasih kita kepada sesama yang miskin dan sedang menderita. Akibatnya kita tidak pernah berupaya untuk memberdayakan sesama yang sedang menderita dan malang agar mereka juga dapat hidup secara pantas dan manusiawi.
Mungkin perumpamaan Tuhan Yesus tersebut dianggap terlalu sulit untuk dilaksanakan dan terlalu ideal bagi orang Kristen untuk memenuhinya. Tetapi sebenarnya perumpamaan Tuhan Yesus di Lukas 16:19-31 bukan suatu ajaran yang jauh dari kemampuan dan realita hidup. Orang kaya dalam perumpamaan Tuhan Yesus itu hidup dalam kemewahan yang mengagumkan, tetapi dia sama sekali tidak peduli untuk menolong seorang yang miskin dan sakit-sakitan bernama Lazarus. Orang kaya tersebut tidak menghadapi orang miskin dalam jumlah yang sangat besar. Jadi sebenarnya orang kaya tersebut mampu menolong Lazarus untuk memberdayakan salah seorang pegawai atau pelayannya sehingga Lazarus dapat memeroleh kehidupan yang layak. Tetapi apa yang sebenarnya dia mampu lakukan, tidak dilakukan oleh orang kaya tersebut. Orang kaya tersebut mencintai uangnya lebih dari apapun juga. Sebagai seorang Yahudi, sebenarnya dia beriman kepada Allah dan firman-Nya; tetapi hatinya telah kawin dengan harta yang dimilikinya. Secara lahiriah orang kaya tersebut adalah seorang yang beragama dan ber-Tuhan, tetapi secara batiniah dia mengabdi kepada Mamon dengan sepenuh hati. Sehingga sangatlah tepat ucapan Tuhan Yesus, yaitu: “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Luk. 16:13). Dalam praktik hidup orang kaya tersebut, dia sebenarnya tidak pernah peduli dengan Allah karena hatinya secara total telah condong kepada Mamon. Itu sebabnya dia mencintai kekayaan, uang dan harta miliknya lebih dari segalanya, sehingga dia enggan untuk menolong Lazarus dari penderitaan dan kemiskinannya. Dalam konteks ini suatu tindakan disebut dosa apabila kita sebenarnya mampu melakukan apa yang baik dan benar bagi sesama yang sedang menderita, tetapi ternyata kita lebih memilih untuk mengabaikan dan tidak melakukan apapun sehingga sesama kita tersebut akhirnya mati secara mengenaskan.
Di Yeremia 32:8, nabi Yeremia diperintahkan oleh Allah untuk membeli ladang milik pamannya bernama Hanameel di Anatot daerah Benyamin. Atas perintah Allah tersebut nabi Yeremia membeli ladang milik Hanameel dengan disaksikan oleh para saksi yang telah ikut menandatangani surat pembelian itu. Setelah itu Allah memerintahkan kepada nabi Yeremia, yaitu: “Ambillah surat-surat ini, baik surat pembelian yang dimeteraikan itu maupun salinan yang terbuka ini, taruhlah semuanya itu dalam bejana tanah, supaya dapat tahan lama” (Yer. 32:14). Ternyata perintah Allah kepada nabi Yeremia untuk membeli tanah ladang tersebut dipakai sebagai simbolisasi teologis bahwa Allah akan membeli tanah Israel untuk diserahkan kepada bangsa Kasdim. Alasan tindakan hukuman Allah terhadap umat Israel tersebut adalah karena umat Israel telah mereka membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain (Yer. 32:29). Dalam hal ini kita tahu bahwa motivasi umat Israel membakar korban kepada Baal dan mempersembahkan korban curahan kepada allah lain, bahkan mereka tidak segan untuk mempersembahkan anak laki-laki dan perempuan sebagai korban dalam api (Yer. 32:35) dengan tujuan untuk memperoleh kemakmuran. Dengan kata lain demi tujuan kemakmuran secara duniawi, umat Israel tidak segan-segan menjual iman kepada Tuhan, dan membunuh anak laki-laki atau anak perempuannya sebagai korban dalam api. Sikap umat Israel tersebut mengingatkan kita akan kepercayaan untuk memperoleh kekayaan secara “klenik” (perdukunan) di Jawa yang disebut dengan istilah “pesugihan.” Maksud tindakan dari “pesugihan” adalah upaya memperoleh kekayaan secara cepat dan fantastis yang dimohonkan kepada Iblis/kuasa kegelapan dengan cara menyepakati pasangan hidup, lalu anak-anaknya satu demi satu untuk dijadikan tumbal/korban. Sehingga sangatlah tepat apabila I Timotius 6:9 berkata: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.”
Mungkin upaya “pesugihan” yang bersifat mistis atau “klenik” ini pada masa kini tentu bukan lagi merupakan pola yang menarik untuk dipilih oleh anggota jemaat modern untuk memperoleh kekayaan. Tetapi tidak berarti upaya untuk mencari uang dan kekayaan secara singkat dan fantastis sampai saat ini tidak menjadi obsesi bagi kebanyakan orang. Untuk itu mereka bersedia bekerja keras sedemikian rupa sehingga mereka rela mengorbankan relasi kasih dengan pasangan hidup dan anak-anaknya. Mereka mungkin berhasil menjadi orang yang sangat sukses dengan kekayaan berlimpah, tetapi mereka mempertaruhkan kehidupan rumah-tangganya; sehingga pada akhirnya keluarga mereka runtuh dan anak-anaknya terlibat dalam berbagai masalah kriminal atau asosial karena rohani mereka miskin dan jauh dari kasih. Sementara beberapa orang mencari kekayaan secara cepat melalui keterlibatan dengan sindikat penjualan obat-obat terlarang atau mereka secara sengaja terlibat dalam perampokan dan pencurian. Jadi pada intinya banyak orang ingin menjadi kaya secara mendadak sehingga akhirnya mereka terjatuh dalam berbagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan. Jadi hasilnya sungguh mengerikan, sebab kehidupan dan masa depan mereka hancur. Rasul Paulus berkata: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim. 6:10). Kehausan untuk memburu kekayaan bagaikan seorang yang sedang terdampar kehausan di tengah laut, sehingga dia nekat untuk minum air laut. Akibatnya rasa haus yang luar biasa menyerang dia, dan makin menjadi-jadi rasa hausnya, sehingga akhirnya dia mati dengan keadaan yang sangat menderita.
Iman Kristen pada prinsipnya tidak pernah melarang umat untuk menjadi kaya; dan juga tidak pernah menganjurkan umat untuk hidup miskin. Tetapi yang diingatkan dan dinasihatkan oleh iman Kristen terus-menerus adalah bahaya dari sikap keserakahan untuk memperoleh kekayaan. Sikap serakah bukan bukan sekedar sikap yang ingin memperoleh banyak seperti uang dan harta benda, tetapi sesungguhnyanya sikap serakah merupakan suatu hawa nafsu yang liar dan tidak pernah terpuaskan sehingga orientasi hidup dialihkan secara total kepada keinginan yang duniawi. Sikap seseorang yang serakah dalam kekayaan berarti mereka secara sengaja dan sadar untuk menjadikan Mamon sebagai penentu hidupnya. Itu sebabnya mereka tidak pernah berpikir untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah, tidak mau peduli atau mengabaikan sesama yang miskin dan menderita, menutup pintu hati mereka terhadap kemurahan dan belas-kasihan, lebih cenderung menjadikan sesama hanya sebagai obyek untuk dimanipulasi atau dieksploitasi, menghalalkan segala macam cara untuk meperoleh kekayaan, dan hidup yang memuaskan hawa-nafsu duniawi. Dalam sikap serakah terhadap kekayaaan sebenarnya kita telah menyembah dan mengabdi kepada ilah “harta milik.” Seperti sikap Israel yang pernah menyembah kepada Baal dan illah lain, maka dengan sikap serakah sebenarnya kita juga telah menyembah berhala kepada dewa kekayaan, sehingga mata batin dan iman kita menjadi buta. Akibatnya kehidupan kita berada di bawah hukuman Allah. Kita kehilangan damai-sejahtera Allah dalam kehidupan kita. Sebab kehidupan kita dipenuhi oleh berbagai macam konflik dengan sesama, sikap antipati dan kebencian orang-orang di sekitar kita terhadap diri kita, perasaan hampa walau kita memiliki banyak hal dan hidup kita juga dipenuhi oleh berbagai macam oleh perasaan gelisah serta ketakutan.
Sangat berbeda dengan orang Kristen yang dengan semangat iman sungguh-sungguh mau bekerja keras, rajin, penuh dedikas, dipercaya, dan terus mengembangkan seluruh talenta yang telah Tuhan percayakan kepada mereka sehingga akhirnya mereka menjadi orang yang sukses. Mereka sangat giat bekerja, terus mengembangkan karier dan makin profesional karena didasari oleh rasa tanggungjawab dan kasih kepada Allah. Mereka mendapat banyak berkat dari Allah, namun mereka tahu ke mana dan bagaimana mereka harus mengelola dan menyalurkan seluruh berkat Allah tersebut secara tepat dan berkenan di hati Allah. Walaupun mereka mendapat banyak berkat dari Allah, mereka dengan hati yang tulus dan penuh kasih mempersembahkan seluruhnya kepada Allah untuk karya-Nya, yaitu untuk keselamatan dan kesejahteraan bagi sesamanya. Dalam hal ini mereka menjadi kaya secara materi namun juga mereka kaya secara rohani. Jadi makna uang di tangan orang beriman akan menjadi alat dan saluran berkat bagi banyak orang, tetapi sebaliknya uang di tangan orang fasik akan menjadi akar segala kejahatan. Jika demikian, letak permasalahan yang utama dan prinsipiil adalah apakah kita mencintai uang; ataukah kita mengasihi Allah dan sesama?
Karena itu kita selaku jemaat makin disadarkan makna panggilan kasih kepada Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi sebagai hukum yang pertama dan yang utama. Manakala kita mengasihi Allah, dan juga mengasihi sesama seperti diri kita sendiri maka kita tidak perlu takut dipercayakan oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah. Sebab kekayaan berlimpah yang dipercayakan Tuhan kepada kita tersebut akan kita salurkan secara bertanggungjwab untuk pekerjaan dan kemuliaan nama Tuhan, serta akan kita gunakan untuk memberdayakan dan menolong sesama yang miskin dan menderita. Sebaliknya apabila kita serakah dan mengabdi kepada Mamon, maka seluruh uang dan harta yang kita miliki akan kita gunakan untuk mendukung seluruh program kuasa duniawi, kita manfaatkan untuk menekan orang-orang yang lemah, kita gunakan untuk ketidakadilan dan kejahatan. Jika demikian, bagaimana orientasi hidup kita yang sesungguhnya? Apakah hidup kita kini makin tertuju kepada Allah dan Kristus, ataukah hidup kita tertuju kepada Mamon? Kita perlu menentukan pilihan kita saat ini juga. Tetapi berbahagialah kita yang memilih kesetiaan dan kasih kepada Allah sebagaimana firmanNya: “Bertandinglah dalam pertandingan iman yang benar dan rebutlah hidup yang kekal. Untuk itulah engkau telah dipanggil dan telah engkau ikrarkan ikar yang benar di depan banyak saksi.”
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono