Latest Article
Ambisi atau Antusiasme?

Ambisi atau Antusiasme?

Abstrak:

Manusia sebagai mahkota ciptaan Allah dipanggil untuk terus “menjadi” (becoming) sesuai kodratnya yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya. Panggilan untuk menjadi (becoming) membutuhkan dorongan berupa keinginan (desire) yang hendak dicapai. Keinginan (desire) tersebut diwujudkan ke dalam ambisi. Namun ambisi perlu dimurnikan agar tetap realistis dan etis. Di dalam karya Roh Kudus, setiap umat percaya mengalami pembaruan sehingga ambisi dimurnikan menjadi antusiasme, yaitu dorongan yang didasarkan oleh gairah ilahi yang dilakukan dengan penuh sukacita. Di dalam antusiasme umat dipanggil untuk menyukakan hati Allah (simchah).

Kata kunci: desire, ambisi, antusiasme, simchah.

Ambisi diterjemahkan sebagai: “a strong desire to do or to achieve something, typically requiring determination and hard work.” Secara harafiah, arti desire (keinginan) menunjuk pada perasaan atau maksud sesorang yang kuat sehingga ingin mencapainya. Arti desire menunjuk sikap seseorang sedang mendambakan sesuatu yang positif atau negatif. Karena itu dalam Alkitab kata desire juga dipakai untuk menyatakan nafsu dan keserakahan.

Mazmur 73 yang ditulis oleh Asaf menggambarkan orang-orang fasik memiliki desire kecongkakan, kekerasan dan mengatai-ngatai dengan jahat (Mzm. 73:6-8). Orang-orang fasik yang berambisi dengan nafsu serakah dan congkak sehingga menimbulkan perselisihan dan kerusakan relasi.

Bahkan orang-orang fasik berani membuka mulut melawan langit dan membual di bumi (Mzm. 73:9). Orang-orang fasik yang dikuasai oleh ambisi tersebut dalam praktik bisa mencapai kemakmuran secara material. Di Mazmur 73:3-5 mendeskripsikan bagaimana orang-orang fasik mengalami kemujuran. Tubuh mereka sehat dan gemuk. Mereka tidak mengalami kesusahan. Karena itu Asaf hampir tergelincir secara rohani, sebab ia sempat iri (qana) terhadap kehidupan orang-orang fasik itu yang tampak mujur dan makmur (Mzm. 73:2-3). Asaf sempat berkata: “Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih” (Mzm. 73:13a).

            Keinginan seseorang (desire) yang insani menghasilkan buah iri-hati, sehingga meragukan pola hidup yang saleh dan takut akan Allah. Dalam konteks ini arti desire sinonim dengan “keinginan daging.” Di Roma 8:7 Rasul Paulus berkata: “Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya.” Karena itu desire harus ditundukkan dalam sikap taat kepada kehendak Allah sehingga berubah menjadi desire yang mempermuliakan nama Allah. Di Mazmur 73:25 terjadi perubahan desire pada diri Asaf. Semula Asaf memiliki desire yang duniawi dengan bersikap iri-hati, tetapi sekarang di Mazmur 73:25 ia berkata: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Sekilas ayat ini agak sulit dipahami. Tetapi maksudnya jelas, yaitu: tidak ada seorangpun termasuk mahluk sorgawi di sorga yang dapat menggantikan kedudukan Allah yang bisa memuaskan manusia. Jadi hanya Allah saja yang mampu memuaskan “dahaga” atau “kerinduan” manusia yang terdalam. Bagi Asaf, sorga bukanlah sorga yang sesungguhnya apabila Allah tidak hadir di dalam-Nya. Dengan demikian Asaf telah menemukan desire yang sejati dan abadi, yaitu kerinduan akan Allah yang menyala-nyala.

            Tetapi makna kata “ambisi” sebagai suatu desire tidak senantiasa negatif. Peradaban manusia tidak akan terwujud apabila tidak ada orang-orang yang memiliki desire untuk memelopori dan memperjuangkannya. Tanpa ambisi tidak ada para juara olimpiade. Tanpa ambisi tidak ada perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Artinya tanpa ambisi tidak mungkin kita menghasilkan prestasi. Ambisi mendorong pencapaian prestasi. Karena itu setiap orang seharusnya memiliki strong desire, yaitu ambisi untuk mencapai cita-cita. Ambisi atau strong desire tersebut bagi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan panggilan hidupnya masing-masing.

            Ambisi sebagai strong desire bagaikan seekor kuda yang kuat untuk berlari, karena itu ia membutuhkan pengetahuan dan karakter sebagai sais. Tanpa pengetahuan dan karakter, ambisi akan menjadi kuda liar yang akan membawa kepada kematian. Ambisi yang tidak dibimbing oleh pengetahuan dan karakter akan berubah menjadi pribadi yang ambisius. Orang-orang yang ambisius adalah orang-orang yang dibakar oleh nafsu yang melumpuhkan sehingga ia buta terhadap kemampuan, tujuan mulia dan prinsip-prinsip etis-moral yang seharusnya dikedepankan.

            Spiritualitas umat percaya akan menempatkan setiap ambisi dengan pengetahuan dan karakter yang didasari oleh firman Tuhan. Umat percaya tidak cukup hanya memiliki strong desire, tetapi juga keinginan yang kuat untuk berkenan di hadapan Allah. Sebab kehidupan umat percaya pada hakikatnya telah mematikan sikap ambisius yang duniawi, tetapi diperbarui menjadi sikap hidup yang berkenan di hadapan Allah. Ambisi umat percaya adalah delighting, yaitu berkenan di hadapan Tuhan. Makna kata delighting terlihat di Mazmur 43:4, yaitu: “Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi, ya Allah, ya Allahku!” Di sini kita menjumpai kata “sukacita” yang diterjemahkan dari kata simchah

NIV (New International Version) menterjemahkan kata “simchah” dengan kata “delight.” Pemazmur menghadap Allah sebagai sumber sukacita dan kegembiraan dengan memberi persembahan kurban di atas mezbah di Bait Allah. Sikap yang sama dikemukakan oleh penulis Kitab Ibrani, yaitu: “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya” (Ibr. 13:15). Dengan demikian makna “delighting” dalam konteks ini merupakan respons iman umat percaya terhadap kebaikan dan kesetiaan Allah. Respons iman tersebut dinyatakan umat dengan mempersembahkan korban dan memuji Allah dengan nyanyian.

            Spiritualitas umat beriman ditandai oleh dua aspek yang tidak terpisahkan, yaitu desire (keinginan) yang telah dikuduskan dan delighting (respons iman berupa sukacita dengan persembahan syukur). Melalui keinginan yang telah dikuduskan umat  akan memprioritaskan Allah sebagai yang paling utama dalam hidupnya. Lalu dengan sikap sukacita umat mengucap syukur kepada Allah dengan persembahan kepada-Nya. Dengan perkataan lain, apabila umat telah menemukan yang paling utama dalam kehidupan ini yaitu Allah, maka mereka akan mengalami sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia. Namun dalam realitanya banyak orang yang tertutup mata hatinya terhadap diri Allah. Mereka disilaukan oleh daya tarik dunia sehingga keinginan (desire) mereka dipenuhi oleh hawa-nafsu. Mereka memilih hidup dalam keinginan daging. Memang melalui keinginan daging mereka bisa mengalami “sukacita” tetapi hanya sesaat. Sebab sukacita itu hanya sebatas nafsu yang dilampiaskan, tetapi secara rohaniah batin mereka hampa dan jauh dari damai-sejahtera Allah. Penyebabnya adalah keinginan (desire) kita tidak tunduk kepada kedaulatan Allah dan kehendak-Nya. Bukankah kita cenderung menonjolkan kehendak dan keinginan insani?

            Keinginan (desire) yang dikuduskan dengan delighting atau simchah dinyatakan dengan sikap antusiasme untuk mencapai suatu tujuan (goal). Makna “antusiasme” menurut Merriam-Webster adalah: “strong excitement about somethinga strong feeling of active interest in something that you like or enjoy.” Apabila makna “ambisi” hanya menekankan aspek dorongan dan keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu sehingga ia bekerja keras, maka makna “antusiasme” di samping menekankan dorongan atau keinginan yang kuat juga tidak pernah terlepas dari sukacita atau gembira dalam mencapai suatu tujuan. Bentukan kata “antusiasme” berasal dari kata “en-theos” ( di dalam Allah) yang berarti: setiap orang yang hidup di dalam Allah akan digairahkan dengan sukacita dan semangat yang menyala-nyala untuk melakukan sesuatu sehingga mampu mencapai tujuan secara bermakna.

Kita dapat melihat bahwa saat keinginan (desire) dikuduskan di dalam kasih atau firman Tuhan akan berubah menjadi antusiasme yang menyukakan hati Allah. Sebaliknya sikap “ambisi” belum memiliki pijakan etis dan spiritual apakah dorongan keinginan yang kuat tersebut didasarkan pada kehendak dan tujuan ilahi. Di dalam ambisi, seseorang lebih banyak didorong oleh keinginan atau gairah insaninya yang berdosa. Bahkan gairah insani tersebut sering tidak dapat dikendalikan secara murni walau ia telah dibekali oleh pengetahuan dan karakter yang baik. Di dalam gairah dan tujuan yang luhur tetap terbuka seseorang yang dikuasai oleh ambisi untuk mencari kemuliaan diri sendiri. Dalam mencari kemuliaan diri sendiri, seorang pemimpin yang dipenuhi oleh ambisi dapat memiliki pemikiran yang jahat. Kita dapat melihat para tokoh dunia yang memiliki gairah dan tujuan yang luhur tetapi membawa dampak yang bias. Martin Luther sebagai reformator gereja membawa perubahan dan pembaruan yang sangat berharga dalam kehidupan gereja. Tetapi pada sisi lain Martin Luther juga seorang yang anti-semitis. Ia membuat tulisan menyerang orang-orang Yahudi sehingga tulisan Luther dipakai oleh Hitler dan Nazisme untuk membantai orang-orang Yahudi dalam Perang Dunia ke-2.

Pemimpin di bidang apa pun yang dikuasai oleh ambisi mungkin bisa mencapai keberhasilan yang mengagumkan, tetapi tidak dijamin ia menjadi pribadi yang luhur dan teladan. Karena itu para pemimpin gereja yaitu para pendeta, penatua, penginjil atau para aktivis yang dikuasai oleh ambisi akan rentan dengan motivasi yang tersembunyi (hidden-motive). Dari sudut lahiriah mereka tampak begitu giat melakukan pekerjaan Tuhan, tetapi secara rohaniah tidaklah demikian. Seiring berjalannya waktu, tampaklah keaslian karakter dan motivasi mereka yaitu untuk kepentingan dan kemuliaan diri sendiri. Kita dapat melihat para pemimpin gereja yang semula rendah hati dan giat dalam melakukan pekerjaan Tuhan berubah menjadi pribadi yang haus akan kekuasaan, rakus dan bersikap serakah. Bila semula mereka hidup sangat sederhana dan mengasihi Tuhan berubah menjadi orang-orang yang mementingkan kekayaan. Mereka tidak segan menyalahgunakan wibawa sebagai seorang hamba Tuhan dan menjadi hamba uang. Ambisi telah membutakan mata rohani mereka. Karena itu benarlah peribahasa yang menyatakan: “Ambisi seperti air laut, semakin banyak orang meminumnya semakin orang menjadi haus.”

Jikalau demikian sebagai orang percaya kita harus mampu mengubah sikap ambisi yang menguasai diri menjadi antuasiasme. Selama kita dikuasai oleh ambisi maka semua motif yang semula baik dan luhur dapat berubah menjadi destruktif. Setiap umat percaya perlu didorong oleh antusiasme yang didasarkan pada simchah, yaitu sikap berkenan (delighting) di hadapan Tuhan. Ukuran untuk menentukan kondisi mental yang dikuasai oleh ambisi dan antuasiasme adalah apakah kita konsisten menyukakan hati Allah. Firman Tuhan menyatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm. 12:1). Ukuran antusiasme yang menyukakan hati Allah adalah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.  

Makna “apa yang baik” (agathon), “yang berkenan kepada Allah” (euareston), dan “yang sempurna” (teleion). Makna kata “agathon” menunjuk pada sesuatu yang utuh secara baik. Istilah “agathon” dalam pemikiran Plato merupakan seorang pemuda yang kaya namun bijaksana. Makna “yang berkenan kepada Allah” (euareston) menunjuk pada sikap yang diterima atau disetujui sepenuhnya oleh Tuhan. Lalu makna “yang sempurna” (teleion) menunjuk pada gambaran yang lengkap (complete) dan sempurna. Jadi makna ambisi umumnya masih bersikap netral dan belum sepenuhnya dipenuhi oleh nilai-nilai yang menyukakan hati Allah. Sebab ambisi lebih menekankan aspek keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu. Sebaliknya dalam sikap antuasiasme selain menekankan aspek keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, juga menekankan dasar atau prinsip motif yang utama yaitu apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Lebih khusus lagi yang tidak terdapat dalam sikap ambisi tetapi hanya ada dalam sikap antuasiasme adalah melakukan dengan keinginan kuat yang didasari oleh gairah sukacita di dalam Tuhan. Pencapaian sesuatu dengan keinginan yang kuat tidak cukup hanya dicapai dengan kerja keras. Tetapi juga apakah dalam bekerja keras itu dilakukan dengan gairah kegembiraan atau sukacita yang bersumber pada kasih-karunia Allah. Kerja keras yang dilakukan tanpa gairah sukacita di dalam kasih ilahi akan menjadi beban yang sifatnya memaksa. Sebaliknya kerja keras yang dilakukan dengan penuh gairah sukacita akan mendatangkan dorongan hati atau motif yang lebih murni. Ia melakukan dengan hati yang tulus dan rela. Tindakan yang ditempuh bukan karena dorongan obsesif-compulsif yaitu ide, pikiran, perasaan yang tidak diinginkan ke dalam kesadarannya. Ambisi untuk mencapai sesuatu yang besar juga bukan karena dorongan “kompensasi psikologis” karena perasaan dendam akan pengalaman traumatik di masa lalu. Dorongan psikologis karena obsesif-compulsif dan kompensasi psikologis disebabkan problem psikologis untuk memperoleh penyalurannya. Sebaliknya sikap antuasiasme di dalam iman kepada Tuhan didasari oleh dorongan kasih Kristus yang membuat dia dengan penuh gairah dan sukacita melakukan secara total.

            Dalam melaksanakan misi Allah, Tuhan Yesus menghayati dengan penuh antusiasme di dalam Roh Kudus. Ia menghayati tugas-Nya selaku Mesias dengan penuh gairah dan sukacita. Setiap tugas dari Allah dihayati sebagai makanan yang begitu meresapi dan menjiwai hidup-Nya. Lebih daripada itu seluruh tugas dari Allah diselesaikan dengan total dan tuntas. Di Yohanes 4:34, Tuhan Yesus berkata: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Seorang yang melakukan setiap tugas dengan antusiasme tidak akan berhenti di tengah jalan atau menyerah saat menghadapi hambatan. Ia mampu mengubah kesulitan dan tekanan yang dialami ke dalam spiritualitas yang kreatif dengan penuh sukacita. Rasul Paulus mampu melaksanakan tugas di tengah-tengah penderitaannya di penjara dengan sukacita. Di Filipi 2:17-18 Rasul Paulus menyatakan: “Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku.”

Seorang yang dipenuhi oleh antuasiasme dengan spiritualitas yang berkenan kepada Allah (simchah) akan mencari cara yang solutif dan kreatif agar dapat menyelesaikan dengan sempurna. Tetapi harus diingat bahwa sikap antusiasme yang menyukakan hati Allah (simchah) dapat berubah menjadi ambisi apabila kita tidak konsisten dalam ketaatan dan kasih. Semakin kita rendah-hati dan terbuka kepada kehendak Allah, maka kita dimampukan untuk taat dalam kasih sehingga seluruh motif kita dimurnikan. Kita menghayati antusiasme sebagai gairah cinta kasih ilahi yang berkenan memakai kita untuk kemuliaan-Nya.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono