Renungan Paskah
Sebagai orang percaya makna kebangkitan Kristus seharusnya dipahami sebagai karya Allah yang membangkitkan Kristus dari kuasa maut. Melalui kebangkitan Kristus, Allah telah menyatakan kemuliaan dan kuasa-Nya kepada umat manusia. Melalui peristiwa kebangkitan Kristus, Allah menyatakan karya kreatif-Nya dalam sejarah kehidupan umat manusia. Yesaya 65:17 mempersaksikan, “Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru, dan bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati.” Jadi, kuasa kreatif Allah di dalam peristiwa kebangkitan Kristus sebenarnya bukan hanya bertujuan untuk membangkitkan Kristus dari kuasa maut atau kematian, melainkan Allah telah menaklukkan kuasa maut sehingga di dalam iman kepada Kristus, orang percaya kini dapat memperoleh keselamatan dan pengampunan dosa.
Dengan demikian, melalui peristiwa kebangkitan Kristus, terciptalah suatu kehidupan yang baru sebagaimana yang dinubuatkan Nabi Yesaya, yaitu penciptaan langit dan bumi baru. Karena itu, yang lebih utama dalam memahami peristiwa kebangkitan Kristus bukan lagi mengenai soal kebangkitan Kristus apakah dapat dibuktikan atau tidak secara ilmiah. Upaya pembuktian ilmiah tersebut akan sia-sia belaka, dan kurang relevan dalam kehidupan iman orang percaya. Yang lebih utama dalam memahami makna kebangkitan Kristus adalah apakah orang percaya sungguh-sungguh dapat mengalami dampak dan pengaruh yang signifikan dari kuasa kebangkitan Kristus. Saat peristiwa kebangkitan Kristus hanya menjadi kisah yang memesona dan indah untuk didengar dan dikhotbahkan, sesungguhnya berita kebangkitan Kristus hanya menjadi kisah yang sia-sia belaka. Dalam hal ini kita sering menjadikan ibadah, acara-acara gerejawi, dan khotbah sekedar sebagai suatu “hiburan” belaka. Tetapi semua kegiatan religius yang kita anggap baik dan menarik itu sama sekali tidak membawa pengaruh yang berarti bagi kehidupan kita. Kehidupan kita masih dikuasai oleh kuasa maut, yaitu kubur kosong.
Spiritualitas iman Kristen sering berorientasi hanya kepada kubur kosong dengan jenazah Tuhan Yesus yang telah sirna. Dengan spiritualitas yang demikian, iman Kristen tidak memiliki semangat hidup atau daya juang yang besar dalam menghadapi persoalan dan tantangan kehidupan yang terjadi. Pada hari Minggu itu, para murid memang tidak menemukan jenazah Kristus, namun mereka belum percaya bahwa Tuhan Yesus bangkit. Dalam hal ini, lenyapnya jenazah Kristus hanya dianggap para murid karena jenazah-Nya telah dipindah atau dicuri orang, sehingga mereka menjadi sedih dan gelisah. Yohanes 20:2 mengekspresikan perasaan dan dugaan para murid pada waktu itu, “Ia berlari-lari mendapatkan Simon Petrus dan murid-murid yang lain yang dikasihi Yesus, dan berkata kepada mereka: Tuhan telah diambil orang dari kuburnya dan kami tidak tahu di mana Ia diletakkan.”
Spiritualitas kubur kosong tidak menghasilkan kekuatan iman yang berpengharapan. Sebaliknya, spiritualitas kubur kosong yang dialami para murid pada waktu itu hanya melahirkan perasaan kecewa, sedih, dan tanpa pengharapan. Mereka hanya kebingungan dan tidak tahu apa yang harus diperbuat ketika mereka menyaksikan jenazah Kristus tidak ada lagi di tempatnya. Di tengah-tengah kebingungan mereka, malaikat Allah bertanya kepada para murid, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup, di antara orang mati?” (Luk. 24:5). Sangat menarik, bahwa pernyataan malaikat dipersaksikan dalam bentuk kalimat Tanya. Manakala kehadiran malaikat Allah tersebut dianggap hanya sekadar suatu ilusi atau halusinasi belaka, tentunya bentuk perkataan malaikat tidak ditampilkan dalam bentuk pertanyaan. Suatu pertanyaan akan menyentakkan kesadaran para murid, bahwa Tuhan Yesus hidup kembali, dan Dia kini tidak lagi berada di antara orang mati.
Dengan spiritualitas kubur kosong, kita tidak akan sanggup menghadapi berbagai gejolak persoalan, kepahitan, kesusahan dan kegagalan dalam kehidupan ini sebab dengan spiritualitas kubur kosong, orientasi kita akan seperti sikap para murid yang sia-sia mencari Kristus di antara orang mati. Dengan sikap rohani yang demikian, kita menganggap karya keselamatan yang telah Tuhan Yesus lakukan telah berakhir. Bukankah kita menganggap peristiwa kematian seseorang sebagai akhir yang final dari seluruh kehidupannya? Kematian merupakan peristiwa penutup “buku kehidupan” seseorang. Tetapi sesungguhnya berita Injil menyatakan bahwa karya keselamatan Allah di dalam kematian Kristus tidak berakhir di dalam kubur. Dalam Mazmur 118:7, pemazmur berkata, “Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan- perbuatan Tuhan.” Karena itu dengan menyikapi berita kebangkitan Kristus dengan iman, kita dimampukan untuk melihat kenyataan kehidupan dan berbagai persoalannya dengan perspektif dan kekuatan iman yang baru. Spiritualitas yang didasarkan kepada kebangkitan Kristus bukanlah sekadar kompensasi karena kita gagal dan putus asa dalam menghadapi kenyataan hidup. Sebaliknya, spiritualitas yang didasarkan pada kebangkitan Kristus memurnikan kita dari berbagai gejolak dan konflik masa lalu yang pahit sehingga kita dimampukan untuk menemukan makna kehidupan ini dengan lebih berhikmat dan ucapan syukur.
Mari kita maknai kekristenan kita ke depan dengan kuasa kebangkitan Kristus dan tidak membiarkan diri kita terperangkat dalam perspektif luka-luka batin. Karena karya keselamatan Allah dalam kebangkitan Kristus, mengaruniakan pemulihan dan proses transformasi diri yang mampu melewati lorong maut dan baying-bayang kematian. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono