Latest Article
Musa, Sang Pembela yang Tersingkir

Musa, Sang Pembela yang Tersingkir

Keluaran 2:1-22

Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya,
dan menamainya Musa, sebab katanya: “Karena aku telah menariknya dari air (Kel. 2:10).

Nama “moshe” (Musa ) apabila bila dilihat dalam pengertian Egyptology menunjuk pada nama dewa Mesir, yaitu Thutmose yang artinya: “anak dari Thut” atau “Raamses” yanga artinya: “anak Ra.” Di Keluaran 2:10 menyatakan bahwa puteri Firaun mengangkat bayi Musa sebagai anaknya. Namun apabila dilihat kata kerja dalam bahasa Ibrani, maka nama “moshe” memiliki arti: “menarik keluar” (dari air).

Bayi “moshe” (Musa) berada di dalam air dilatarbelakangi oleh keadaan yang sulit dan berbahaya sebab Firaun telah memerintahkan untuk membunuh setiap bayi laki-laki orang Ibrani. Keluaran 1:16 menyatakan: “Apabila kamu menolong perempuan Ibrani pada waktu bersalin, kamu harus memperhatikan waktu anak itu lahir: jika anak laki-laki, kamu harus membunuhnya, tetapi jika anak perempuan, bolehlah ia hidup.” Bagi Firaun bayi laki-laki Ibrani di masa depan akan memiliki potensi sebagai orang-orang yang akan memiliki kekuatan, menurunkan keturunan atau ras mereka. Sebaliknya bayi perempuan dianggap lebih aman. Mereka tidak akan mampu menyusun kekuatan secara militer. Sebaliknya mereka dapat dijadikan budak atau diambil isteri oleh penduduk atau prajurit Mesir. Karena para bidan Mesir tidak terlalu berhasil membunuh bayi laki-laki Israel, maka Firaun memerintahkan untuk membunuh bayi laki-laki Israel dengan cara membuang di sungai Nil. Keluaran 1:22 menyatakan: “Lalu Firaun memberi perintah kepada seluruh rakyatnya: Lemparkanlah segala anak laki-laki yang lahir bagi orang Ibrani ke dalam sungai Nil; tetapi segala anak perempuan biarkanlah hidup.”

Dalam kisah bayi Musa di sungai Nil seharusnya ia dibuang ke sungai Nil oleh rakyat atau tentara Mesir, tetapi ternyata oleh orang tuanya sendiri. Menurut tradisi umat Israel orang-tua Musa yang dikenal dengan nama Amran dan Yokhebet bukan melemparkan bayi mereka, tetapi meletakkan bayi Musa ke dalam peti pandam yang dilumuri dengan gala-gala dan ter. Keluaran 2:3 menyatakan: “Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalnya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil.” Dalam konteks ini sungai Nil seharusnya sebagai tempat eksekusi untuk membunuh bayi-bayi Israel, tetapi ternyata digunakan oleh orang-tua Musa sebagai media untuk menyelamatkan dia dari ancaman tentara orang Mesir.[1] Musa bukan saja selamat, tetapi ia juga diizinkan untuk memperoleh air susu ibunya, bahkan ia juga diangkat menjadi anak oleh puteri Firaun. Bayi Musa tetap tidak terpisah dengan Yakhebet ibunya, tetapi juga ia beruntung diadopsi oleh puteri Firaun.

Dalam khotbah Stefanus menyatakan: “Lalu ia dibuang, tetapi puteri Firaun memungutnya dan menyuruh mengasuhnya seperti anaknya sendiri. Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya” (Kis. 7:21-22). Sebagai anak puteri Firaun, Musa memperoleh pendidikan dan pengetahuan bangsa Mesir selama 40 tahun. Dalam konteks iman, bukankah Musa dipersiapkan Allah sebagai pemimpin dalam statusnya sebagai anak puteri Firaun. Karena itu sebagai seorang pangeran, Musa berkuasa di istana Firaun. Berkuasa bukan sekadar dalam posisinya sebagai seorang pangeran, tetapi utamanya kemampuan dan pengetahuannya yang luas sehingga layak apabila dibutuhkan dapat diangkat menjadi seorang Firaun. Kita tidak dapat membayangkan apabila Musa tidak pernah diangkat menjadi anak puteri Firaun. Apabila ia dibesarkan dalam kondisi yang jauh dari pendidikan yang baik dan hanya bertahan hidup, maka ia tidak mampu menjadi seorang yang berpengaruh dalam pemikiran.

Pendidikan di Mesir merupakan modal pengetahuan yang Musa butuhkan saat ia mengatur kehidupan umat Israel sebagai bangsa. Kita mengetahui melalui Musa Allah mewahyukan hukum-hukum, peraturan, dan tata kelola kehidupan sosial sebagaimana yang tercantum dalam Pentateukh (5 kitab Musa). Wahyu Allah bekerja melalui pengetahuan, pengalaman dan kemampuan seseorang. Kita dapat membandingkan pengaruh pendidikan rasul Paulus dalam surat-suratnya di Perjanjian Baru. Sebab di antara para murid Yesus yang kebanyakan nelayan, hanya rasull Paulus (Saulus) yang memperoleh pendidikan tinggi di bawah guru Gamaliel (Kis. 22:3). Relevansi dalam kehidupan umat percaya di masa kini adalah betapa penting kita melengkapi anak-anak dan anggota jemaat dengan pendidikan yang setinggi mungkin. Bahkan seharusnya pendidikan yang kita terima senantiasa di up-date dan disinergikan dengan kompetensi sesuai bakat dan minat kita.

Kemampuan Musa dalam pendidikan dan kompetensinya dipersembahkan untuk membela umat Israel yang tertindas. Walau Musa pada waktu itu adalah keluarga dari Firaun dan berstatus sebagai orang Mesir, tetapi ia tetap berpihak kepada orang Israel yang ditindas. Di Keluaran 2:11 mengisahkan: “Pada waktu itu, ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja paksa mereka; lalu dilihatnyalah seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu.” Musa melihat bahwa orang-orang Mesir telah menindas umat Israel dengan melakukan kerja paksa. Musa menyatakan pembelaannya bukan hanya karena ia berdarah orang Israel, tetapi ia secara naruni berpihak kepada sesamanya yang lemah.

Motif Musa yang baik ternyata tidak diikuti dengan cara yang benar. Pembelaannya kepada bangsanya dilakukan dengan cara membunuh orang Mesir yang menindas. Keluaran 2:12 menyatakan: “Ia menoleh ke sana sini dan ketika dilihatnya tidak ada orang, dibunuhnya orang Mesir itu, dan disembunyikannya mayatnya dalam pasir.” Upaya Musa menegakkan keadilan ditempuhnya dengan kekerasan. Perilaku Musa yang jahat ini telah mengubah statusnya sebagai seorang bangsawan dan pangeran di kerajaan Mesir. Kejahatannya terbongkar justru saat ia ingin melerai 2 orang dari umat Israel. Musa menegur karena salah seorang dari mereka memukul temannya. Tampaknya orang Israel yang sebelumnya ia bela justru membocorkan rahasia kejahatan Musa yang telah membunuh orang Mesir. Orang yang dibelanya justru berkata: “Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti engkau telah membunuh orang Mesir itu?” Musa menjadi takut, sebab pikirnya: Tentulah perkara itu telah ketahuan.” Ternyata benar Firaun telah mengetahui kejahatan Musa dan dicari upaya untuk membunuh dia. Peristiwa inilah yang menyebabkan Musa melarikan diri ke Midian. [2]

Midian berada di wilayah timur Sungai Yordan dan Laut Mati, dan ke selatan melalui padang gurun gurun Araba. Apabila dilihat dari peta, maka jarak antara Mesir ke Midian sekitar 10.750 km. Kondisi ini menunjukkan bahwa ancaman Firaun sangat serius, sehingga Musa melarikan diri begitu jauh dari Mesir. Di Midian Musa bertemu dengan Rehuellah Zipora, puteri seorang Imam Midian bernama Yithro. Mereka menikah dan memiliki seorang anak yang diberi nama Gersom, yang artinya: “Aku telah menjadi seorang pendatang di negeri asing” (Kel. 2:22).

Dalam pertemuan dan latar-belakang perkawinan Musa dengan Rehuellah Zipora, kita dapat melihat bahwa karakter dan jiwa keberanian Musa dalam membela orang yang lemah. Sebab para gembala di Midian mengusir 7 perempuan saat mereka menimba air. Di tengah situasi itu Musa memperlihatkan sikapnya dengan menolong 7 perempuan anak imam Yithro. Pemberian nama kepada anaknya dengan nama Gersom menunjukkan bahwa Musa sang pangeran Mesir kini menjadi seorang pelarian. Ia bukan lagi salah seorang penguasa, tetapi hanya seorang pelarian dengan profesi sebagai seorang gembala. Karakter Musa yang sangat menonjol adalah ia senantiasa berada di pihak yang lemah dengan membela dan memperjuangkan nasib mereka walau ia harus kehilangan kekuatan, jabatan dan kenyamanannya. Tampaknya YHWH memilih Musa karena ia memiliki jiwa seorang pembela dan pelindung bagi orang lain.

Kita dapat membandingkan sikap Musa dalam peristiwa umat Israel yang membuat dan menyembah anak lembu emas di Keluaran 32. Dalam kemurkaan-Nya YHWH hendak membinasakan umat Israel. Musa mengambil 2 pendekatan kepada YHWH agar kemurkaan Allah tidak membinasakan umat Israel, yaitu:

  • Pendekatan 1 adalah Musa mencoba melunakkan hati Tuhan dengan berkata: “Berbaliklah dari murka-Mu yang bernyala-nyala itu dan menyesallah karena malapetaka yang hendak Kaudatangkan kepada umat-Mu” (Kel. 32:12b). Musa mengingatkan Allah akan sumpah kepada bapa leluhur umat Israel yaitu Abraham, Ishak dan Yakub.
  • Pendekatan 2 adalah Musa mohon pengampunan Allah. Jikalau Allah tidak berkenan mengampuni dosa umat Israel, ia menyatakan agar Namanya dihapus dari kitab kehidupan. Keluaran 32:32 Musa berkata: “Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu–dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.”

Kita dapat melihat bahwa peran Musa sebagai pembela dan pelindung bagi umat Israel walau pun mereka dalam keadaan bersalah. Musa mohon belas-kasihan Allah agar bangsanya tidak dipunahkan karena kesalahannya. Ia juga mohon pengampunan Allah dengan menyatakan kesediaannya untuk dihapus namanya dari kitab kehidupan jikalau memang Allah tidak mengampuni dosa umatnya. Musa bukan sekadar berperan sebagai pemimpin yang membela nasib bangsanya, tetapi sesungguhnya ia adalah seorang pengantara di depan Allah. Peran pengantara seharusnya dijabat oleh seorang Imam Besar sehingga ia mendamaikan relasi Allah karena dosa umat-Nya. Tetapi Musa membutuhkan proses pemurnian terhadap karakternya. Maksud baik saja tidak cukup, tetapi kemampuan untuk pengendalian diri dan sikap bijaksana dibutuhkan sebagai seorang pemimpin.

Setelah 40 tahun memperoleh asuhan dan pendidikan di Mesir, kini Musa dibentuk karakternya selama 40 tahun di Midian. Selama di Midian Musa belajar hidup sebagai orang biasa. Ia menjadi penggembala. Proses pemurnian dan pendewasaan karakter tidak dapat dipelajari melalui pendidikan formal tetapi melalui realitas kesulitan kehidupan sehari-hari. Asuhan dan pendidikan di Mesir menjadikan Musa sebagai seorang yang konseptual, tetapi pengalaman di Midian menjadikan Musa sebagai seorang yang berkarakter. Kedua kemampuan ini dibutuhkan Musa kelak saat ia memimpin umat Israel. Kemampuan konseptual memampukan Musa untuk membentuk identitas umat Israel sebagai bangsa yang mempraktikkan ketertiban berdasarkan hukum Taurat. Sedangkan karakter sebagai seorang penggembala memampukan Musa untuk setia memimpin umat Israel di padang gurun selama 40 tahun.

Walau karakter Musa telah dibentuk Tuhan selama 40 tahun di Midian, namun ternyata Musa pernah kehilangan kendali dalam peristiwa di Meriba (Bil. 20:10-12). Musa menunjukkan kemarahannya di depan umat Israel. Sikap Musa dipandang Tuhan sebagai pelanggaran terhadap kekudusan-Nya (Bil. 20:12). Ketidakmampuan mengatasi kemarahannya di Meriba menyebabkan Musa mengalami hukuman Allah. Musa tidak diizinkan YHWH masuk ke tanah Kanaan. Ia hanya boleh melihat tanah Terjanji itu (Ul. 34:1-4). Karakter yang tidak bisa menahan kemarahan sehingga membunuh, atau kemarahan yang tidak terkendali di depan umum menyebabkan Musa menjadi seorang pemimpin dan pembela yang tersingkir. Namun di balik itu Allah telah menjadikan Musa seorang pemimpin, nabi besar, pendiri agama Monoteistik, dan pahlawan bagi bangsanya.

 Pengaruh Musa meresapi secara mendalam di dalam pengajaran dan pemikiran agama-agama selanjutnya baik Kristen mau pun Islam. Kebesaran dan kewibawaannya abadi. Musa adalah nabi teragung sepanjang masa. Kematiannya di usia 120 tahun menyisakan misteri. Sebab jenasahnya disebutkan dikuburkan oleh Allah sendiri. Ulangan 34:6 menyatakan: “Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.”


[1] Dalam teologi umat Israel air di laut dipahami sebagai tempat kekacaubalauan (tohu wabohu) atau kuasa kegelapan (bdk. Kej. 1:2). Perintah Firaun untuk membunuh bayi laki-laki ke sungai Nil memperkuat pemahaman umat Israel sebagai tempat kekacauan yang mematikan. Di sisi lain bagi umat Mesir sungai Nil dipahami sebagai anugerah dan sumber kehidupan. Kebudayaan dan peradaban bangsa Mesir dibangun di lembah sungai Nil.

Herodotus pernah menyatakan: “Egypt is the gift of the nile.” Sungai Nil memiliki panjang 6400 km sehingga merupakan sungai terpanjang di dunia. Sungai Nil yang bersumber pada dataran tinggi pegunungan Kilimanjaro di Afrika Timur setiap tahun menimbulkan banjir. Akibat banjir tersebut, sungai Nil menciptakan tanah yang subur seluruh daerah di sebelah kiri dan kanannya. Lembah sungai Nil yang subur mendorong anggota masyarakat bangsa Mesir untuk bertani. Mereka membangun irigasi, saluran-saluran air dan waduk agar aliran air sungai Nil dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Kita mengetahui bahwa di era pemerintahan Firaun dan Yusuf negara Mesir mampu menyuplai gandum untuk seluruh penduduk sekitar Mesopotamia (Kej. 42:1). Sungai Nil juga menjadi media transportasi untuk kepentingan perdagangan, sehingga bangsa Mesir bisa berdagang dengan negara Funisia, Mesopotamia dan Yunani.

[2] Suku Midian merupakan keturunan Abraham dengan Keturah. Di Kejadian 25:1-2 menyatakan: Abraham mengambil pula seorang isteri, namanya Ketura. Perempuan itu melahirkan baginya Zimran, Yoksan, Medan, Midian, Isybak dan Suah.

Sumber gambar: https://sdajournal.today/story/moses/

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono