Kisah kegagalan keluarga Imam Eli dalam mendidik anak-anaknya sering ditujukan kepada keluarga Pendeta agar menjadi keluarga yang melayani Tuhan. Jangan sampai anak-anak para pendeta seperti Hofni dan Pinehas. Namun pada sisi lain kisah keluarga Imam Eli juga ditujukan kepada setiap keluarga anggota jemaat. Sebab setiap anggota jemaat pada hakikatnya berjabatan sebagai Imamat Am. Prinsip gereja reformatoris seperti yang dianut oleh GKI menegaskan bahwa setiap umat pada hakikat memiliki jabatan Imamat Am sesuai firman Tuhan di Surat 1 Petrus 2:9, yaitu: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri.” Karena itu pertanyaan yang mendasar adalah mengapa Imam Eli dan beberapa kasus keluarga Kristen sering gagal mendidik anak-anaknya padahal mereka sangat giat melayani Tuhan?
Imam Eli adalah Imam Allah yang baik dan setia. Ia melayani Tuhan sepanjang hidupnya. Namun kelemahan Imam Eli yang utama adalah ia tidak mampu mendisiplinkan dan bersikap tegas kepada anak-anaknya yang telah melakukan berbagai hal yang jahat. Sikap iman dan kasih kepada Allah tidak dapat diturunkan secara biologis. Karena itu keluarga Kristen yang saleh tidak otomatis menghasilkan anak-anak yang mengasihi dan memuliakan Allah. Sikap iman dan kasih anak-anak kepada Tuhan membutuhkan edukasi (pendidikan) dan disiplin rohani. Padahal pendidikan dan disiplin rohani kepada anak-anak membutuhkan proses seumur hidup, dan tidak cukup hanya dipercayakan kepada pendidikan agama Kristen di sekolah dan gereja misalnya: Sekolah Minggu, Komisi Remaja dan Komisi Pemuda.
Setiap orang-tua Kristen memiliki tanggungjawab dan peran yang sangat besar dalam mendidik setiap anaknya agar anak-anak mereka beriman dan mengasihi Allah. Tanggungjawab dan peran orang-tua tersebut akan efektif dalam mendidik setiap anaknya apabila mereka menjalin relasi yang kuat dengan Tuhan, memiliki otoritas atau wibawa ilahi dan roh hikmat. Salah satu faktor kegagalan keluarga Kristen dalam mendidik anak-anaknya sehingga mereka murtad adalah karena orang-tua yang gagal menjadi teladan, jarang berdoa, mengabaikan pengetahuan akan firman Tuhan, dan memilih berdiam diri saat anak-anaknya melakukan kesalahan. Sikap kasih orang-tua yang menyayang dan melindungi anak-anaknya seharusnya dinyatakan pula dengan sikap disipilin dan tegas. Perhatikan nasihat Surat Ibrani 12:8 yang berkata: “Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” Allah sebagai Bapa juga mendidik setiap umat dengan kasih dan hajaran-Nya, yaitu: “karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:6).
Problem dalam mendidik dengan kasih dan menghajar anak-anak akan terjadi manakala para orang-tua tidak memiliki hikmat dan spiritualitas yang baik. Akibatnya mereka mengasihi dengan cara yang salah, misalnya: a). membelikan barang-barang yang mahal tetapi tidak mendidik, b). memanjakan anak dengan makanan yang lezat, c). dan sikap yang permisif (serba membolehkan). Sebaliknya mereka menghukum anak yang bersalah dengan hajaran fisik dan kata-kata yang merusak, misalnya melakukan kekerasan (KDRT). Jika demikian, saat ini kita berdoa memohon kepada Tuhan agar menganugerahkan hikmat, otoritas, dan spiritualitas iman yang dibutuhkan agar kita dapat mendidik anak-anak kita sejak kecil dengan roh yang takut akan Allah. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono