Latest Article
Minggu I Sesudah Natal Tahun C

Minggu I Sesudah Natal Tahun C

Makin Dikasihi Allah dan Manusia

(1Sam. 2:18-20, 26; Mazm. 148; Kol. 3:12-17; Luk. 2:41-52)

Saat ini selaku gereja, kita masih berada dalam konteks hari raya Natal yang merayakan Sang Firman menjadi manusia. Di Minggu pertama sesudah Natal bacaan Injil diambil dari Lukas 2:41-52 yang mengisahkan saat Yesus berusia dua belas tahun di Bait Allah. Beberapa orang sering menafsirkan kisah di Lukas 2:41-52 merupakan peristiwa pelantikan Yesus sebagai “Anak Taurat” (Bar-Mitzvah) menurut tradisi Yudaisme. Anggapan tersebut tidaklah benar. Sebab pelantikan sebagai “Anak Taurat” (Bar-Mitzvah) dilakukan saat seorang anak berusia 13 tahun.

Menurut Lukas 2:52,  kisah tersebut ditutup dengan pernyataan: “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Sang Firman Allah di dalam Kristus yang menjadi daging adalah manusia yang bertumbuh secara fisik, hikmat dan relasi yang berkualitas dengan Allah dan sesama. Sang Firman Allah adalah kekal dan hakikat-Nya tidak pernah berubah, namun saat menjadi manusia Ia bersedia tunduk kepada hukum alam: “Ia mengalami proses pertumbuhan.” Di dalam inkarnasi Kristus, Sang Firman Allah menjadi manusia terdapat paradoks yaitu Yang Kekal dan Tak Berubah menyatu dalam Keterbatasan dan Perubahan.

Menurut hukum evolusi seharusnya pertumbuhan dimulai dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang kompleks. Evolusi mengandaikan suatu progresivitas yang semakin kompleks secara kualitatif, sehingga menghasilkan spesies yang lebih unggul misalnya mahluk manusia. Demikian pula keberadaan manusia pada hakikatnya diberi potensi untuk bertumbuh secara kualitatif, dan karena itu manusia mampu membangun kebudayaan dan peradaban. Proses pendidikan juga bersifat progresif, yaitu belajar dari hal-hal yang paling sederhana dan meningkat ke tahap yang kompleks, mendalam dan komprehensif. Namun tidaklah demikian yang dialami oleh Yesus. Ia sumber segala pengetahuan dan hikmat, yang menciptakan segala sesuatu dengan firman-Nya dan sehakikat dengan Allah. Yesus bersedia berada dalam proses alamiah dan mengalami proses pertumbuhan secara insani dan rohaniah.

Proses pertumbuhan diri Yesus meliputi empat bagian yaitu: a). Pertumbuhan fisik, b). Pertumbuhan rohaniah dan hikmat, c). Pertumbuhan relasi dengan Allah, d). Pertumbuhan relasi dengan sesama. Keempat pertumbuhan yang dialami oleh Yesus merupakan model pertumbuhan yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang. Dasar pertumbuhan yang dialami oleh Yesus adalah bersumber pada kasih-Nya yang intim dan tiada taranya kepada Allah Bapa-Nya. Yesus waktu itu datang ke Bait Allah bersama Maria, ibu-Nya dan Yusuf untuk merayakan hari raya Paskah. Makna hari raya Paskah adalah merayakan karya pembebasan yang dilakukan Allah terhadap umat Israel yang ditindas di Mesir dengan menyembelih anak domba yang berumur satu tahun dan darahnya dibubuhkan pada kedua jenang pintu rumah. Perayaan Paskah dirayakan pada hari ke-14 bulan Nisan (Maret/April) (Im. 23:4; Bil. 9:3-5). Bulan Nisan adalah bulan pertama dalam kalender Yudaisme. Perayaan Paskah berakhir pada hari ke-21 bulan Nisan dan pada hari ke-22 umat Israel merayakan peristiwa keluaran dari Mesir. Selama perayaan pada hari Paskah itu umat Israel hanya diperbolehkan makan roti yang tidak beragi (Ul. 16:3).

Menurut hukum Taurat selain kewajiban merayakan hari raya Paskah, umat Israel juga merayakan hari raya Tujuh Minggu (Pentakosta) dan hari raya Pondok Daun (Tabernakel). Di Ulangan 16:16 Allah berfirman: “Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa” (lihat juga Kel. 23:14-17). Sebenarnya hanya pria dewasa saja yang wajib mengikuti perayaan hari raya Paskah di Yerusalem (Kel. 23:17). Namun dalam konteks Injil Lukas 2:41-52, Yusuf membawa Maria dan Yesus ke Bait Allah. Jadi walaupun bukan merupakan kewajiban bagi Maria dan Yesus yang masih berumur 12 tahun, mereka bersedia melakukan perjalanan dari Nazaret ke Yerusalem yang jaraknya sekitar 151 km. Perjalanan pada waktu itu ditempuh hanya dengan kereta kuda atau berjalan kaki sehingga membutuhkan beberapa hari untuk sampai di Yerusalem. Tanpa kerinduan dan kasih kepada Allah sangat sulit bagi anak usia 12 tahun dari Nazaret ke Yerusalem dengan berjalan kaki. Secara imaginatif kita dapat membayangkan Yesus yang masih berusia 12 tahun menikmati perjalanan pertama-Nya ke Yerusalem, kota Allah. Lalu Ia mengikuti seluruh perayaan Paskah selama delapan hari. Ternyata seluruh rangkaian perayaan Paskah tersebut tidak membuat Yesus segera pulang bersama Maria dan Yusuf. Tetapi Ia tertinggal di Yerusalem sementara Maria dan Yusuf telah kembali ke Nazaret. Maria dan Yusuf baru menyadari bahwa Yesus masih tertinggal di Yerusalem setelah mereka sampai di Nazaret. Karena itu Maria dan Yusuf kembali lagi ke Yerusalem dengan berjalan atau naik kereta selama tiga hari lamanya untuk mencari Yesus.

Akhirnya Maria dan Yusuf menjumpai Yesus di salah satu ruang Bait Allah. Lukas 2:46-47 menyatakan: “Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya.” Yesus yang masih berusia 12 tahun berada di tengah-tengah Tua-tua, Ahli Taurat dan para Imam di Bait Allah. Walau usia masih remaja, namun Yesus memperlihatkan kemampuan yang luar-biasa untuk memahami dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis kepada para Tua-tua, Ahli Taurat dan para Imam. Semua orang heran akan kecerdasan-Nya. Secara insani Yesus mengalami proses pertumbuhan secara fisik, emosi, intelektualitas dan spiritualitas; namun Ia juga Sang Firman dan Sang Hikmat Allah. Pengetahuan dan hikmat-Nya sebagai manusia tidak terukur sehingga melampaui semua pemikiran manusia pada zaman-Nya.

Umumnya fungsi Bait Allah adalah tempat ibadah untuk memuliakan dan menyembah Allah dengan mempersembahkan hewan korban. Namun dalam konteks ini ternyata Bait Allah dijadikan Yesus sebagai media diskusi teologis untuk mendalami firman Allah yang dibacakan dalam ibadah. Berbeda dengan fungsi Sinagoge untuk mendengarkan pembacaan dan ulasan hukum Taurat (Torah), kitab Nabi-nabi (Nebiim) dan Kitab-kitab (Ketubim). Karena itu Sinagoge dapat dipakai sebagai media diskusi teologis. Yesus yang masih berumur 12 tahun telah memberi inspirasi dan teladan untuk menjadikan rumah Allah sebagai kajian teologis di samping fungsi utamanya adalah untuk berdoa, menyembah dan mempermuliakan Allah serta memberi persembahan. Pertumbuhan iman perlu ditempuh melalui ibadah (ritual) dan pendalaman pengetahuan iman (kajian teologis) secara seimbang.

Diskusi atau tanya-jawab yang dilakukan Yesus di hadapan para Tua-tua, Imam-imam dan Ahli Taurat menyatakan bahwa kecerdasan dan pengetahuan bukan hak milik dari para cendikiawan atau para teolog. Seorang anak dari desa Nazaret yang tidak memiliki pendidikan formal ternyata mampu melampaui kepandaian dan kecerdasan para cendikiawan dari Yerusalem. Pendidikan formal di kota besar tidak menjamin seseorang lebih pandai dan bijaksana daripada seseorang yang hanya menerima pendidikan informal di desa. Kepandaian dan kecerdasan ditentukan oleh banyak faktor, misalnya: talenta dan anugerah Allah, keinginan yang begitu besar untuk belajar, kemampuan mengembangkan diri, dan upaya mencari atau menemukan kebenaran tanpa henti serta lingkungan yang mendukung. Kecerdasan Yesus dapat membuka mata rohani para Tua-tua, Imam-imam dan Ahli Taurat bahwa mereka bukan satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran. Justru dalam konteks itu mereka seharusnya mau belajar untuk menimba kekayaan pengetahuan dan kebenaran dari Yesus. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering kesulitan untuk bersikap rendah-hati dengan bersedia belajar kepada orang yang lebih muda secara usia. Karena kita beranggapan bahwa orang yang lebih tua pasti memiliki pengetahuan yang lebih luas dan bijaksana. Pada masa kini cukup banyak orang-tua yang mau tidak mau belajar penggunaan alat teknologi kepada anak-anaknya sebab anak-anak mereka ternyata lebih cepat menguasai untuk menggunakan peralatan teknologi. Pengetahuan dan kebijaksanaan tidak ditentukan oleh usia, karena itu semakin usia bertambah seharusnya kita terus belajar dengan rendah-hati dan antusias.

Keasyikan Yesus berdiskusi dan membahas kekayaan firman Tuhan membuat Dia betah berada di Bait Allah. Saat Maria dan Yusuf menemukan Dia, secara spontan Maria ibu-Nya tercengang dan berkata: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau” (Luk. 2:48). Maria dan Yusuf heran bahwa Yesus memilih berada di Bait Allah daripada mengikuti mereka pulang ke Nazaret. Sepertinya Yesus tidak peduli dengan kerepotan Maria dan Yusuf yang mencari Dia selama beberapa hari. Lalu Yesus menjawab: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49). Sikap Yesus menegaskan bahwa tempat-Nya bukan di Nazaret bersama Maria dan Yusuf, namun di Bait Allah yaitu rumah Bapa-Nya. Perhatikanlah pernyataan Yesus, yaitu: “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Dalam konteks ini kita menemukan kata “harus” (dei) sebagai ungkapan sikap dan kehendak Yesus untuk tinggal dan berada di rumah Bapa-Nya, yaitu Bait Allah.

Di Injil Lukas, kita menemukan 5 kali Yesus menggunakan kata “harus” (dei) di samping Lukas 2:49 yaitu: “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Kata “harus” yang lain adalah:

  • “Juga di kota-kota lain Aku harus memberitakan Injil Kerajaan Allah sebab untuk itulah Aku diutus” (Luk. 4:43).
  • “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Luk. 9:22).
  • “Tetapi hari ini dan besok dan lusa Aku harus meneruskan perjalanan-Ku, sebab tidaklah semestinya seorang nabi dibunuh kalau tidak di Yerusalem” (Luk. 13:33).
  • “Tetapi Ia harus menanggung banyak penderitaan dahulu dan ditolak oleh angkatan ini” (Luk. 17:25).

Semua makna kata “harus” di sini mengungkapkan dimensi terdalam diri Yesus tentang misi dan tujuan-Nya datang ke dalam dunia. Misi dan kehadiran-Nya adalah wujud rencana Allah yang telah dinubuatkan oleh para nabi. Kedatangan Yesus di Bait Allah untuk merayakan hari raya Paskah bukan karena Ia diajak oleh Yusuf dan Maria, tetapi Ia sendiri menghendakinya. Peristiwa hilangnya Yesus di tengah-tengah keluarga dan orang-tua di Nazaret justru merupakan penegasan bahwa Ia hanya akan dapat ditemukan di Bait Allah. Makna Bait Allah adalah simbolisasi dari Kerajaan Allah yaitu Sorga. Jadi pada hakikatnya Yesus bertempat tinggal di Sorga berada bersama dengan Bapa-Nya dalam kekekalan. Di Yohanes 2:19 Yesus menyamakan secara alegoris Bait Allah dengan Tubuh-Nya sendiri: “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” Sebab saat Yesus wafat di atas kayu salib, kemudian setelah tiga hari Ia bangkit dengan tubuh kemulian-Nya. Bait Allah juga bermakna sebagai tempat karya keselamatan Allah dinyatakan. Dalam ibadah di Bait Allah dilakukan pendamaian dengan Allah. Selain kurban dalam Paskah, dikenal pula Kurban Bakaran, Kurban Pendamaian, dan Kurban Penghapus Dosa. Kurban Pendamaian disebut dengan syelamim yang akar katanya dari kata “syalom” yang berarti damai-sejahtera dan selamat. Selain dari kata “syalom” kurban pendamaian memiliki akar kata syilem yang artinya: melunasi hutang atau membayar nazar. Kurban Pendamaian bertujuan untuk memelihara dan memperbaiki hubungan antara umat dengan Allah, sebab keselamatan dan kesejahteraan akan terjadi bilamana terjadi hubungan yang baik dengan Allah. Dengan demikian pernyataan Yesus bahwa Ia harus berada di rumah Bapa-Nya untuk menyatakan bahwa Ia memiliki misi mendamaikan manusia dengan Allah melalui kurban Tubuh-Nya yang adalah Bait Allah.

Di Lukas 2:51 menyatakan: “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.” Walau Yesus menyadari bahwa Ia harus tinggal di rumah Bapa-Nya yaitu Bait Allah namun Ia tetap taat kepada Maria dan Yusuf sehingga bersedia pulang ke Nazaret dan hidup dalam asuhan mereka. Yesus adalah sumber otoritas para penguasa sehingga Rasul Paulus berkata: “karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kol. 1:16). Namun dalam status-Nya sebagai manusia, Yesus bersedia taat untuk hidup dalam asuhan Maria dan Yusuf. Karena itu Yesus semakin dikasihi Allah dan manusia karena kerendahan-hati-Nya yang begitu besar dan dinyatakan dengan sikap yang taat dalam asuhan orang-tua-Nya. Maria dan Yusuf mengasuh Yesus untuk memasuki tahap pendewasaan-Nya kelak di usia 13 tahun. Dalam tradisi pendidikan umat Israel setiap anak laki-laki dan perempuan yang berusia 13 tahun akan menjalani upacara Bar-Mitzvah.

Makna kata Bar-Mitzvah berasal dari kata bar (anak) dan mitzvah adalah Taurat (hukum), jadi makna kata bar-mitzvah berarti: “Anak Taurat.” Tujuan ritual Bar-Mitzvah adalah seorang anak yang berusia 13 tahun bertanggungjawab akan setiap perilaku dan tindakannya, sehingga harus memerhatikan ketentuan Hukum Taurat, etika dan tradisi sebagai umat Israel. Dengan menerima ritual Bar-Mitzvah, seorang anak dilantik menjadi anggota persekutuan (komunitas) umat Israel secara penuh. Karena itu sikap Yesus yang bersedia hidup dalam asuhan orang-tua-Nya menyatakan bahwa Yesus yang saat itu berusia 12 tahun siap menjalani di tahun depan status sebagai Bar-Mitzvah. Namun Injil tidak mencatat peristiwa ritual pelantikan Yesus sebagai Bar-Mitzvah di Bait Allah saat Ia berusia 13 tahun. Dalam tradisi gereja Reformasi, mungkin pelantikan Bar-Mitzvah mirip dengan baptisan-sidi. Sejak seorang anak dibaptis dan sidi, ia dianggap telah dewasa untuk mempertanggungjawabkan perilakunya sesuai dengan ketentuan Firman Tuhan. Sebab sebelum ia menerima baptisan-sidi terlebih dahulu menerima pengajaran katekesasi selama 9-12 tahun agar dapat memahami makna menjadi anggota gereja dan umat Allah. Namun dalam praktik sering terjadi anak-anak mengikuti katekesasi dan baptisan-sidi bukan karena proses pendewasaannya telah dicapai. Tetapi dia mengikuti katekesasi dan baptisan-sidi agar mendapat status sebagai anggota gereja dan mengikuti desakan orang-tuanya, namun bukan kesadarannya sendiri. Kita perlu melatih anak-anak untuk mengasihi Allah dan sesama sebagai hasil perenungan dan kesadarannya sendiri, sehingga kepribadian, spiritualitas dan kasih mereka terus bertumbuh dalam sikap tanggungjawab.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono