Realitas penderitaan umat percaya yang dikemukakan di I Petrus 2:18-25 sangatlah khusus dan unik. Sebab penderitaan tersebut dialami oleh orang-orang Kristen yang waktu itu berlatar-belakang dari golongan ekonomi yang sangat miskin; bahkan tepatnya surat I Petrus 2:18-25 ini ditujukan kepada mereka yang telah tidak memiliki apapun. Karena orang-orang Kristen yang dimaksud adalah mereka yang saat itu berstatus sebagai para budak; yang mana hak hidup mereka telah dirampas dan dicabut secara paksa oleh tuan mereka. Itu sebabnya orang-orang Kristen atau siapapun yang menjadi budak pada zaman itu pada prinsipnya telah kehilangan hak untuk hidup dan masa depan mereka. Dari catatan sejarah kita dapat melihat gambaran tentang perlakuan-perlakuan yang sangat tidak manusiawi dan kejam terhadap mereka yang berstatus sebagai budak. Sebab mereka dapat dianiaya, dipukuli, dipaksa bekerja keras yang melampaui batas-batas normal dan dapat diperjual-belikan oleh tuan mereka kepada orang lain tanpa ada orang yang dapat membela atau melindungi diri mereka. Karena itu orang-orang yang menjadi budak pada zaman itu sama sekali tidak memiliki lagi hak bagi hidup mereka sendiri, tetapi mereka hidup hanyalah untuk menghidupi dan melayani orang lain yang menjadi majikan mereka. Jadi mereka tidak pernah menerima upah apapun walau mereka telah bekerja keras, membanting tulang dan mengerahkan seluruh tenaga dan waktu sepanjang hidup mereka. Apabila mereka suatu saat bertindak melawan karena tidak tahan terhadap perlakuan para majikan yang kejam itu, maka mereka akan mendapat hukuman siksaan yang sangat keji. Banyak foto-foto dokumentasi sejarah yang memperlihatkan hukuman yang sangat keji terhadap para budak yang berani memberontak, melawan atau mereka yang melarikan diri dari para tuannya tetapi kemudian mereka dapat tertangkap kembali. Para budak ini akan dipaksa untuk memanggul beban yang sangat berat di atas kepalanya, tubuh mereka akan diikat dan digantung pada tiang gantungan, atau mereka akan mendapat cambukan di punggung secara bertubi-tubi sehingga menimbulkan bekas bilur-bilur yang dalam. Saat itu belum ada hukum atau peraturan yang dapat menjerat para tuan/majikan yang berlaku bengis dan kejam terhadap para budaknya. Sebab hukum yang ada justru melindungi para tuan/majikan untuk memperlakukan para budak sesuka hatinya.
Di tengah-tengah situasi perbudakan yang demikian, rasul Petrus memberi nasihat kepada para budak yang menderita dianiaya oleh para tuannya, demikian: “Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis” (I Petr. 2:18). Rasul Petrus menasihati agar para budak yang menjadi anggota jemaat dan mengikut Kristus mau tetap bersikap hormat, mau tunduk dan tidak melawan kepada tuan mereka baik kepada tuan yang berlaku ramah atau yang murah hatinya maupun kepada tuan yang berlaku bengis. Bagaimana kesan dan pendapat saudara terhadap perkataan rasul Petrus tersebut? Bukankah nasihat dari rasul Petrus tersebut sepertinya mendukung perbudakan? Apakah gereja Kristen perdana memang secara sengaja mendukung perbudakan, dan tidak mengadakan perlawanan kepada sistem perbudakan yang sangat jelas tidak sesuai dengan berita Injil Yesus Kristus yang membebaskan? Atau dengan perkataan lain, mengapa para rasul dan gereja perdana tidak memberi perlawanan sengit terhadap sistem perbudakan dan membela para budak yang telah lama hidup menderita? Malahan di I Petrus 2:19, rasul Petrus menyatakan: “Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung.” Nasihat rasul Petrus ini cukup mengejutkan, bukan? Sebab kepada para budak yang telah hidup sangat menderita akibat paksaan untuk bekerja melampaui harapan dan kemampuan serta deraan yang tidak manusiawi dari para tuannya itu justru mereka diminta oleh rasul Petrus untuk menghayati penderitaannya sebagai kasih karunia Allah. Para budak dalam konteks ini diminta oleh rasul Petrus untuk rela menanggung penderitaan mereka sebagai bagian dari kehendak Allah. Apakah ini berarti status sebagai budak dan sistem perbudakan pada zaman itu dihayati oleh para rasul dan gereja perdana sebagai wujud dari bagian kehendak Allah?
Nasihat rasul Petrus agar umat percaya yang berstatus sebagai budak untuk menghayati penderitaan mereka sebagai bagian dari kehendak Allah dan kasih karuniaNya pada hakikatnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk melegitimasi atau membenarkan sistem perbudakan yang berlaku pada zaman itu. Tekanan utama dari I Petrus 2:18-25 adalah bagaimana mereka dalam keadaannya, termasuk dalam status sebagai seorang budak yang menderita, mereka tetap dapat meneladan sikap Tuhan Yesus pada saat Dia diperlakukan secara kejam dan tidak adil. Rasul Petrus berkata: “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejakNya” (I Petr. 2:21). Fokus utama dari I Petrus 1:18-19 merupakan panggilan selaku umat percaya, agar para budak yang menderita itu tetap hidup seperti Kristus yang telah menderita dan wafat di atas kayu salib. Umat percaya yang saat itu berstatus sebagai para budak dipanggil untuk memiliki spiritualitas Kristus, yaitu agar mereka sungguh-sungguh mengikuti jejak dan pola kehidupan Kristus (“Imitatio Christi”). Sifat utama dari Kristus saat Dia menderita adalah: “Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil”(1Petr. 2:33). Di tengah-tengah pergumulan, penderitaan dan kematianNya Kristus tetap menampilkan integritas diriNya yang sempurna. Pada saat Tuhan Yesus diperlakukan secara kejam dan tidak adil, Dia tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, caci-maki yang dilontarkan oleh para musuhNya dengan caci maki, pukulan dari para lawanNya dengan pukulan dan nyawa dengan nyawa. Intinya ciri dari seluruh kehidupan Tuhan Yesus adalah: “Ia tidak berbuat dosa” (1Petr. 2:22), ketika Ia diperlakukan secara tidak adil dan sewenang-wenang. Dalam hal ini Tuhan Yesus telah menampilkan sosok diri dari “Hamba Tuhan yang menderita” (Yes. 52) dan yang mampu menghadapi setiap penderitaan dan kematianNya dengan kasih yang sangat sempurna. Bahkan selaku “Hamba Tuhan yang menderita”, Tuhan Yesus bersedia menderita dan wafat agar “oleh bilur-bilurNya kita semua menjadi sembuh” (1Petr. 2:24). Jadi sangat jelas bahwa nasihat surat I Petr. 2:18-25 adalah agar anggota jemaat yang berstatus sebagai para budak dapat hidup secara berkualitas dalam spiritualitas Kristus di tengah-tengah pergumulan dan penderitaannya. Ini berarti tekanan utama dari surat I Petrus 2 :18-25 adalah bagaimana umat percaya tetap mampu menghayati panggilan hidup yang berspiritualitas dan berintegritas dalam iman kepada Tuhan Yesus, walau mereka secara duniawi berstatus sebagai para budak yang direndahkan oleh manusia.
Kecenderungan manusia pada saat dia mengalami penderitaan dan perlakuan tidak adil atau kejam adalah keinginan dan hawa nafsu untuk membalas dan melakukan tindakan yang sama kepada si pelaku. Hukum “gigi ganti gigi” dan “mata ganti mata” telah menjadi dorongan instingtif manusia sepanjang zaman. Dorongan instingtif tersebut kemudian dilegitimasikan oleh berbagai ideologi, budaya, adat-isitiadat, filosofi bahkan sistem pengajaran agama sehingga penyelesaian terhadap kejahatan sepanjang perjalanan sejarah manusia senantiasa diwarnai kekerasan dan balas dendam. Dalam iman Kristen realitas kejahatan, kekejaman, ketidakadilan dan kekerasan diyakini tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sama pula. Itu sebabnya sikap Kristus sepanjang hidupNya tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan; tetapi Dia senantiasa membalas kepada si pelaku kejahatan dengan kasih, kesabaran, dan kesediaan untuk berkorban. Demikian pula anggota jemaat yang pada waktu itu berstatus sebagai para budak yang kerap dianiaya dan diperlakukan secara tidak adil oleh para tuan mereka; mereka dipanggil untuk senantiasa meneladan sikap Tuhan Yesus. Mereka dipanggil untuk kaya dalam kasih dan sabar menderita seperti yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus; tetapi dengan suatu keyakinan yang kokoh, yaitu: “menyerahkan kepada Allah yang akan menghakimi dengan adil” (1Petr. 2:23). Jadi realitas ketidakadilan dan kekejaman yang terjadi dalam kehidupan ini tidak pernah diterima oleh umat percaya secara pasif atau dianggap sebagai nasib buta (sikap pasrah “bongkokan”). Tetapi umat percaya senantiasa mengembalikan segala realitas yang tidak adil dan kejam tersebut kepada keadilan Allah. Dalam sikap iman, mereka percaya bahwa Allah adalah Hakim yang adil, dan yang akan membalas segala kejahatan dan kekejaman yang telah dilakukan manusia kepada sesamanya. Di Roma 12:19, rasul Paulus berkata: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, Firman Tuhan.” Dengan pemahaman ini menjadi sangat jelaslah bahwa iman Kristen yaitu para rasul dan jemaat perdana tidak pernah melegitimasi atau menyetujui status dan sistem perbudakan yang berlaku pada zaman itu. Justru sebaliknya umat yang percaya kepada Kristus di tengah-tengah situasi yang buruk tetap tidak mau terjebak pada sikap duniawi yang lebih cenderung membalas kejahatan dengan kejahatan, sikap kejam dengan kekejaman, perlakuan tidak adil dengan ketidakadilan. Iman kepada Kristus menyadarkan umat percaya sepanjang zaman, yaitu bahwa hanya kasih Allah yang rela berkorban akan mampu mengubah setiap sistem dan pola kehidupan yang buruk. Walau kasih Allah tersebut tidak akan segera memperbaiki keadaan, tetapi perlahan-lahan namun pasti suatu saat kasih Allah akan berhasil mentransformasi segala situasi yang jahat dan buruk.
Dari pembahasan di atas kita dapat melihat bahwa kualifikasi penderitaan yang sesuai dengan kasih karunia Allah manakala umat yang menderita itu berada di posisi sebagai korban (victim). Allah akan melimpahkan kasih karuniaNya kepada umat yang diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil. Sebab “mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar dan telingaNya kepada teriak mereka minta tolong; wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat” (Mzm. 34:16). Jadi Allah tidak pernah berpihak kepada para pelaku kejahatan, yaitu orang-orang yang menimbulkan penderitaan dan kesusahan bagi sesamanya. Sehingga apabila para pelaku kejahatan tersebut menderita, maka penderitaan mereka pada hakikatnya merupakan hukuman dan murka Allah. Namun sayangnya dalam realita hidup kita sering mengalami kerancuan kualifikasi antara “orang yang menjadi korban” dengan “pelaku kejahatan”. Problem ini terjadi karena para pelaku kejahatan merasa telah berlaku “benar” dan “berkenan di hadapan Allah”. Itu sebabnya para pelaku kejahatan tesebut menghayati penderitaan mereka sebagai “kehendak Allah”. Padahal faktanya di hadapan sesamanya mereka telah berlaku bengis, kejam, berlaku jahat, culas, licik dan gemar menghalalkan segala macam cara. Keburukan dan kejahatan mereka kemudian makin menjadi-jadi sebab mereka tidak pernah jujur terhadap diri sendiri, yaitu tetap merasa diri sebagai “orang benar” dan “berkenan di hadapan Allah.” Karena itu mereka tidak pernah bertobat dan menyesali perbuatannya walaupun akibat kejahatan mereka telah begitu jelas di hadapan mata banyak orang. Tipe orang-orang yang demikian umumnya kaya dengan berbagai dalih dan pembenaran diri. Selain itu mereka juga sangat lihai untuk mengkambinghitamkan orang lain agar seluruh kesalahan dan keburukan mereka tidak pernah terungkap. Orang-orang demikian pada hakikatnya merupakan musuh bagi kebenaran dan kemanusiaan. Sebab untuk pembenaran diri, mereka juga tidak segan untuk memutar-balikkan semua fakta dan bukti. Kita tidak dapat membayangkan jikalau para pelaku kejahatan itu memiliki otoritas yang tinggi dan berpengaruh bagi masyarakat. Pastilah keadaan masyarakat atau orang banyak akan lebih menderita dengan sikap para pemimpin yang memiliki watak yang jahat tetapi selalu merasa diri benar dan saleh. Tetapi sejarah juga mencatat bahwa setiap pelaku kejahatan tidak pernah diberkati oleh Tuhan secara spiritual, yaitu damai-sejahtera. Mereka tidak pernah mengalami makna penyertaan Tuhan yang menentramkan sebagaimana yang diungkapkan oleh pemazmur, yaitu: “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku, Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oeh karena namaNya” (Mzm. 23:1-3). Mereka mungkin mampu menutupi semua kesalahan dan kejahatan mereka di hadapan orang banyak, tetapi mereka tidak dapat menyembunyikannya di hadapan Tuhan. Itu sebabnya mereka selalu hidup dalam kecemasan, perasan takut, dikejar-kejar oleh hukuman Allah dan gelisah. Mereka kehilangan anugerah yang sangat besar yaitu perasaan damai-sejahtera dan keselamatan dari Allah. Sebab mereka telah memposisikan diri sebagai musuh-musuh Allah dan musuh bagi sesamanya.
Sebaliknya anggota jemaat yang sering diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka hidup menderita; anggota jemaat tersebut justru memperoleh kekayaan spiritualitas, berkat dan kasih Allah dalam persekutuan anggota jemaat. Walau jemaat perdana umumnya hidup dalam kesusahan dan penderitaan, tetapi mereka telah saling belajar untuk memberi dan peduli, yaitu: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis. 2:42). Penderitaan yang dialami oleh anggota jemaat dihadapi dengan kesehatian, kepedulian, doa dan kasih yang dilandasi oleh pengajaran rasul-rasul. Mereka tidak pernah membuat perlawanan secara fisik dan kekuatan senjata. Secara jasmaniah mereka dipandang rendah, dilecehkan dan tubuh fisik mereka dapat dilukai oleh kuasa dunia ini; tetapi dalam iman kepada Kristus mereka memperoleh kekayaan rohani yang membuat mereka mampu bersukacita. Itu sebabnya Kis. 2:46 melukiskan suasana “syaloom” kehidupan jemaat perdana: “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah”. Inilah rahasia kehidupan iman Kristen, yaitu tetap mampu bersukacita dengan hati yang tulus walaupun mereka sedang dilanda oleh berbagai kesusahan dan penderitaan yang sangat berat. Dari sudut status sosial mereka mungkin adalah para budak yang telah kehilangan kebebasan dan masa depan. Tetapi dari sudut iman, mereka adalah para hamba-hamba Kristus yang telah dibebaskan dari kuasa dunia sehingga mereka diperkenankan oleh Allah untuk menikmati kekayaan kasih dan berkat-berkatNya. Jadi siapakah yang “kaya” dalam arti yang sesungguhnya, yaitu: Para tuan yang telah mendera atau menyiksa para budaknya, ataukah para budak yang telah menemukan kekayaan kasih Allah di dalam Kristus? Para tuan pemilik budak umumnya orang-orang yang sangat kaya dan dihormati banyak orang; tetapi mereka kehilangan damai-sejahtera dan berada di bawah hukuman Allah. Sedang para budak umumnya hidup serba miskin, dihina, dan selalu hidup menderita tetapi di dalam iman kepada Kristus mereka telah memperoleh anugerah keselamatan dan sukacita yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Betapa sering kehidupan kita seperti para tuan pemilik budak itu. Kita mungkin memiliki banyak hal dan sering mengeksploitasi sesama tanpa perasaan kasih. Dalam hal ini kita berhasil menumpuk kekayaan dari penderitaan dan air mata orang lain. Tetapi apakah kita sungguh-sungguh bahagia? Justru fakta juga membuktikan orang-orang yang telah dieksploitasi tadi ternyata sering memiliki kekayaan spiritualitas yang lebih unggul dan bermakna dari pada diri kita, sebab mereka lebih bersandar kepada pertolongan dan keadilan Allah. Jika demikian, di manakah posisi kita saat ini berada? Apakah kita menderita karena menjadi korban, ataukah kita menderita akibat kelakuan kita yang jahat? Ingatlah nasihat dari Firman Tuhan, yaitu: “Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah” (1Petr. 2:20).
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono