Latest Article
Keramahan yang Menggembalakan

Keramahan yang Menggembalakan

(Yohanes 21:1-19)

Peristiwa inkarnasi Sang Firman Allah adalah wujud keramahan Allah yang solider dengan umat manusia. Karena itu karya penebusan Kristus dalam wafat dan kebangkitan-Nya adalah puncak dari keramahan Allah yang lembut dan menggembalakan. Makna “keramahan” Allah di dalam inkarnasi dan penebusan Kristus adalah Ia menjadi seorang Bapa yang menyambut setiap umat dengan kasih-Nya walau menghadapi penolakan, penyangkalan dan perlawanan. Allah di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus menyatakan keramahan-Nya dengan memberikan kemurahan, pengampunan, pemulihan, penebusan dan pencurahan kasih-karunia-Nya. Karena itu makna “keramahan” bukan sekadar berlaku baik, sopan dan peduli. Tetapi di dalam “keramahan ilahi” Allah Trinitas bagaikan seorang Bapa dan Tuan Rumah yang menyambut orang-orang berdosa dalam pelukan kerahiman-Nya.

            Yohanes 21:1-19 memperlihatkan keramahan Kristus yang bangkit kepada para murid-Nya yang gagal mencari ikan sepanjang malam. Yesus bertindak seperti tuan rumah yang menyediakan dan menyambut mereka untuk menikmati makan pagi bersama. Khusus kepada Petrus yang telah menyangkal tiga kali, Yesus menyatakan keramahan-Nya yang menggembalakan. Di Kisah Para Rasul 9:1-20 Kristus yang bangkit menyapa dan memperlihatkan keramahan-Nya kepada Saulus yang telah menganiaya jemaat Tuhan. Kepada kedua tokoh tersebut Alkitab memperlihatkan bagaimana keramahan Kristus yang menggembalakan itu telah mengubah mereka menjadi pemimpin yang menginspirasi umat manusia sepanjang zaman.

            Jikalau Allah di dalam Kristus menyatakan keramahan-Nya yang menggembalakan, bagaimana sikap kita saat menghadapi anggota keluarga, anggota jemaat dan sesama di sekitar yang pernah melukai dan mengkhianati? Bukankah masih sering terjadi di antara kita merespons dengan kebencian, pembalasan, bullying, dan penghinaan? Tema “Keramahan yang Menggembalakan” menjadi urgen dan relevan bagi kehidupan kita di masa kini. Karena dengan spiritualitas keramahan yang menggembalakan kita dimampukan untuk membawa orang-orang yang pernah bersalah menjadi para pribadi yang menjadi berkat. Spiritualitas keramahan yang menggembalakan adalah model karakter dan kepemimpinan Kristus. Di dalam spiritualitas keramahan yang menggembalakan itu berakar secara mendalam hakikat kasih dan empati ilahi sehingga menghasilkan daya cipta yang membarui dan memulihkan.

            Mempercayai dan mengikut Kristus yang bangkit berarti mempraktikkan spiritualitas keramahan yang menggembalakan dalam setiap situasi, sehingga kita dibebaskan dari segala bentuk keramahan yang basa-basi, dan keramahan yang munafik. Sebaliknya kita dimampukan menjadi para pribadi yang kaya dengan pengampunan, kemurahan hati, empatis, memulihkan, dan memberdayakan orang-orang di sekitar.   

Di Yohanes 21:1 menyatakan: “Kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya di pantai danau Tiberias/Genesaret dan Ia menampakkan diri sebagai berikut.” Teks Yunani tidak menyebut dengan kata “kemudian” tetapi kata meta tauta (sesudah hal-hal demikian). Kata meta tauta lebih luas cakupan maknanya daripada kata “kemudian.” Sebab kata tauta menunjuk pada berbagai peristiwa yang sebelumnya terjadi. Dengan makna kata meta tauta dimaksudkan hendak menyatukan narasi dan kisah di Yohanes 20:1-31. Di Yohanes 20:22-23 Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada para murid-Nya dengan berkata: “Terimalah Roh Kudus” agar mereka memperoleh otoritas menyampaikan pengampunan Allah yang rekonsiliatif. Lalu di Yohanes 20:24-29 Yesus yang bangkit menyatakan diri kepada Tomas. Lalu di Yohanes 20:31menyatakan maksud karya dan penyataan Kristus, yaitu: “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”

            Apabila Yesus memberi perintah untuk bersaksi dengan kuasa Roh Kudus (Yoh. 20:21-23), bukankah timbul pertanyaan saat Petrus di Yohanes 21:3 justru mengajak para murid Yesus menangkap ikan. Lokasi kisah Petrus dan para murid Yesus saat itu berada di Danau Tiberias/Genesaret, Galilea (Yoh. 21:1). Mengapa para murid Yesus tidak melaksanakan tugas kesaksian tentang Kristus yang bangkit, malahan mereka kembali bekerja sebagai nelayan? Mereka memang semula adalah para nelayan, namun setelah mengikut Yesus mereka dipanggil menjadi “penjala manusia” (Mat. 4:19; Mark. 1:17). Penjelasan terhadap pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan 3 kemungkinan, yaitu:

  1. Para murid Yesus kembali bekerja sebagai nelayan di Danau Tiberias/Genesaret melaksanakan perintah Yesus yang bangkit untuk menjumpai Dia di Galilea (Mat, 28:7, 10; Mark. 16:7).
  2. Para murid Yesus harus menangkap ikan sebab mereka membutuhkan penghasilan untuk biaya kehidupan. Sebab setelah Yesus wafat mereka mengalami ketidakpastian. Sebelumnya kehidupan mereka ditopang secara finansial oleh para anggota/murid lain yang lebih mampu secara ekonomis (bdk. Luk. 8:3).
  3. Di masa transisi antara kebangkitan dan kenaikan Kristus selama 40 hari para murid  mengalami kebingungan untuk melanjutkan karya Kristus walau telah menerima peneguhan melalui penyataan Kristus yang bangkit di Yerusalem (Yoh. 20:19-30).  

Dengan memperhatikan lokasi tempat, maka dapat disimpulkan bahwa Yohanes 21 mengisahkan peristiwa penampakan Yesus yang bangkit di Galilea. Para murid Yesus tinggal di Yerusalem 8 hari lagi setelah kebangkitan. Namun setelah itu mereka ke Galilea. Jarak Yerusalem ke danau Genesaret (Tiberias) di Galilea sekitar 121 km. Sekitar 3 minggu berada di Galilea, mereka kembali ke Yerusalem untuk berkumpul bersama para murid yang lain menantikan janji kedatangan Roh Kudus (Kis. 1:4). Lalu di Yerusalem para murid menyaksikan Yesus naik ke sorga (Kis. 1:9-10). Jadi Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid-Nya selama 40 hari (Kis. 1:3).

Penampakan Yesus yang bangkit di Galilea mempunyai tujuan, khususnya dengan masalah Petrus yang pernah menyangkal Yesus sebanyak 3 kali (Yoh. 18:17, 26-27). Penampakan Yesus yang bangkit di Yerusalem adalah untuk membuktikan dan meneguhkan bahwa Ia sungguh-sungguh bangkit agar para murid percaya kepada-Nya (Yoh. 20:29-30). Sebaliknya penampakan Yesus yang bangkit di Galilea bertujuan untuk memulihkan spiritualitas Petrus yang pernah menyangkal Dia. Secara umum penampakan Yesus yang bangkit juga memulihkan para murid yang lain sebab saat Ia ditangkap di Taman Getsemani, mereka semua meninggalkan Dia dan melarikan diri (Mat. 26:56; Mark. 14:50). Pemulihan “luka-luka spiritualitas” tersebut dibutuhkan agar para murid Yesus tidak mengalami beban dalam tugasnya sebagai seorang saksi Kristus.

  Di tepi danau Genesaret (Tiberias) Yesus menampakkan diri-Nya di saat para murid sedang mengalami kegagalan menjala ikan. Peristiwa yang mirip terjadi sebelumnya di Lukas 5:5, yaitu sepanjang malam mereka berusaha menjala ikan namun tidak berhasil. Demikian pula di Yohanes 21:5 para murid tidak berhasil menangkap seekor ikan. Tetapi setelah Yesus berkata untuk menebarkan jala di sebelah kanan perahu, para murid berhasil menangkap ikan dalam jumlah yang besar (Yoh. 21:6). Di saat itulah para murid baru menyadari bahwa yang sedang berbicara kepada mereka adalah Yesus. Simon Petrus merespons dengan segera terjun ke danau untuk menjumpai Yesus di tepi pantai. Sedangkan para murid datang dengan perahu seraya menghela jala yang penuh ikan (Yoh. 21:8).

Para murid mengenali Yesus yang bangkit di saat mereka mengalami kegagalan. Walau pun mereka adalah para nelayan yang profesional, namun ternyata kompetensi atau keahlian mereka tidak selalu menjamin keberhasilan dalam menangkap ikan. Pengenalan mereka terhadap Kristus yang bangkit disingkapkan melalui karya mukjizat Yesus. Sosok diri Yesus yang bangkit juga dinyatakan dengan peran Dia selaku “tuan rumah” yang menyediakan makanan berupa roti dan ikan yang sedang dipanggang di tepi pantai (Yoh. 21:9). Dengan keramahan-Nya Yesus menyambut para murid-Nya yang mengalami kelelahan setelah semalaman mereka gagal menangkap ikan.

Di pantai danau Tiberias/Genesaret Yesus dan para murid menikmati makan pagi. Di Yohanes 21:13 mengisahkan: “Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu.” Pola tindakan Yesus tersebut mengingatkan para murid saat di Perjamuan Malam Terakhir Ia melakukan hal yang sama. Di Matius 26:26 menyatakan: “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Segi pembedanya di Yohanes 21:13 disebutkan tanpa tindakan “memecah-mecahkannya.” Namun prinsip “mengambil” (lambanei) dan “memberikan” (didosin) roti dan ikan kepada para murid-Nya tidak berubah.

Setelah makan pagi Yesus mengajukan pertanyaan kepada Simon Petrus, yaitu: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” (Yoh. 21:15). Pertanyaan Yesus ini diajukan 2 kali kepada Petrus. Ternyata 2 kali pertanyaan itu Yesus menggunakan kata “mengasihi” dengan kata agape (kasih yang bersedia berkurban), yaitu: Simon Iooannou, agapas me pleon toutoon (Simon, anak Yohanes apakah engkau mengasihi aku lebih dari mereka?). Yang menarik adalah bentuk jawaban dari Petrus dalam membalas pertanyaan Yesus tersebut. Petrus tidak membalas dengan jawaban “agape” juga, tetapi dia mengungkapkan bahwa dia mengasihi Kristus dengan kata philia (kasih seorang sahabat).

Lalu dalam pertanyaan-Nya yang ketiga kali, Yesus berkata: “Simon anak Yohanes apakah engkau mengasihi  (philia) aku”(Simon Iooannou phileis me). Kali ini Yesus bertanya dengan menggunakan kata phileis, bukan kata agape. Petrus menjawab dengan perasaan sedih sebab Yesus bertanya kepada dia sampai tiga kali: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi (philia) Engkau.” Sampai jawabannya yang ketiga Petrus tetap konsisten menggunakan kata philia. Dia tidak lagi berani menyatakan bahwa dia mampu mengasihi Kristus dengan kasih agape. Karena telah terbukti dia telah gagal dengan menyangkal Kristus sampai tiga kali. Petrus masih memikirkan keselamatan dirinya. Dalam hal ini sikap Simon Petrus menjadi lebih realistis dan jujur. Semula dia berani menyatakan bahwa dia tidak akan pernah menyangkal Kristus dan bersedia mati bersama Kristus. Pada waktu itu Petrus berkata: “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau” (Luk. 22:33). Dalam semua pertanyaan-Nya, Yesus sampai 3 kali selalu meminta Petrus melakukan tugasnya, yaitu: “Gembalakanlah domba-dombaKu.”

Penafsiran teks Yohanes 21:15-17 tentang pertanyaan Yesus dan jawaban Petrus yang menggunakan kualitas kasih agape dan philia tidak boleh terjebak pada penilaian yang menempatkan agape sebagai kasih yang tertinggi, dan philia sebagai kasih yang lebih kurang. Sebab dalam pertanyaan yang ketiga Yesus justru memilih kata philia kepada Petrus, yaitu panggilan berkurban sebagai seorang sahabat. Bahkan makna philia diperdalam oleh Yesus dalam Yohanes 21:18, yaitu: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

            Seorang sahabat (philos) tidak akan pernah “berjalan yang ingin dia kehendaki.” Sebab seorang yang berjalan yang ia inginkan adalah seorang pribadi yang mengutamakan kehendak atau keinginannya secara pribadi. Pribadi yang demikian menganggap ia mampu menentukan secara mandiri (mengikat pinggangnya sendiri). Ia sangat percaya diri, mampu bertindak berdasarkan pertimbangan, kepandaian dan pengertiannya sendiri. Tetapi dengan tindakannya yang mengutamakan kehendaknya sendiri, ia tidak pernah belajar bagaimana menjadi seorang sahabat yang setia. Kondisi spiritual yang menganggap diri serba mandiri, penuh percaya diri dan melakukan berdasarkan kehendaknya sendiri merupakan gambaran diri Petrus selama ini. Namun ketika diperhadapkan dengan situasi sulit, terancam dan berbahaya pribadi seperti ini ternyata tampak rapuh. Petrus menyangkal Yesus hanya karena ditanya oleh para perempuan hamba Imam Besar (Mat. 26:69-70; Yoh. 18:25-26). Sebaliknya semakin seseorang menjadi “tua” Yesus berkata: “engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

            Makna kata “tua” (gerases) secara harafiah menunjuk pad arti: usia lanjut, usang. Yesus memaknai kata gerases (tua) dalam konteks ini sebagai seorang yang telah belajar banyak pengalaman dan menjadi dewasa. Semakin dewasa, seseorang justru menyadari bahwa ia membutuhkan orang lain. Ia bersedia dipimpin oleh orang lain. Makna “mengulurkan tangan” menyatakan kualitas diri yang rendah-hati dan menyadari kerapuhan dan keterbatasannya. Justru dengan spiritualitas yang seperti itu ia mampu setia dan siap menghadapi situasi yang paling buruk, yaitu “pergi ke tempat yang tidak ia kehendaki.” Makna “pergi ke tempat yang tidak ia kehendaki” dalam konteks ini menunjuk pada cara kematian Petrus kelak apabila ia tetap mengikut Yesus dengan setia. Karena itu di Yohanes 21:19 menyatakan: “Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: Ikutlah Aku.” Kita mengetahui bagaimana akhirnya Petrus wafat sebagai seorang martir dengan disalibkan dengan posisi terbalik. Sebab Petrus merasa tidak layak apabila disalibkan seperti yang dialami oleh Yesus. Kematiran yang dilakukan oleh Petrus didorong kasih philos (sahabat) yang mengasihi (philia) Kristus.

            Model sikap keramahan Kristus yang menggembalakan terlihat pula dalam kasus yang terjadi pada diri Saulus. Sebagai seorang Ahli Taurat yang menganggap kekristenan sebagai bidat yang harus dimusnahkan, Saulus meminta surat kuasa agar dapat menganiaya, menangkap dan membunuh orang-orang yang mengikut Yesus. Tetapi saat Saulus dekat kota Damsyik, tiba-tiba cahaya dari langit memancar mengelilingi dia. Saulus mendengar suara: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kis. 9:4). Saulus yang menganggap dirinya paling benar dan melakukan apa yang ia suka akhirnya dapat dirobohkan oleh suara keramahan Kristus. Sikap keramahan Kristus yang menggembalakan itu memampukan Saulus menjadi sosok pelayan Kristus yang begitu giat memberitakan Injil ke seluruh wilayah Asia Kecil. Akhirnya seperti Petrus, Saulus yang kemudian berganti nama menjadi Paulus bersedia menjadi martir bagi Kristus dengan dipenggal kepalanya di kota Roma.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono