Ketika kita membicarakan Maria dari Nazaret, kita tengah menyentuh salah satu dimensi paling indah sekaligus paling sensitif dalam sejarah keselamatan Allah. Namun percakapan ini membutuhkan kejernihan berpikir, dan kesetiaan mutlak kepada Alkitab sebagai firman Tuhan yang tertulis. Sebab terlalu mudah bagi kita untuk terjatuh ke dalam salah satu dari dua jurang yang berbahaya, yaitu sikap meminimalkan Maria seolah-olah dia tidak lebih dari seorang wanita biasa yang kebetulan terpilih, atau meninggikannya sedemikian tinggi (diilahikan) sehingga mengaburkan kemuliaan Kristus yang adalah satu-satunya Juruselamat umat manusia. Izinkan saya memulai dengan kesaksian firman Tuhan. Alkitab mengajarkan dengan tegas dan tanpa kompromi bahwa hanya ada satu Pengantara antara Allah dan manusia.
Rasul Paulus menuliskannya dengan sangat jelas dalam 1 Timotius 2:5-6, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia.” Pernyataan ini bukan sekadar doktrin teologis, melainkan jantung dari berita Injil itu sendiri. Seluruh karya penebusan, dari awal hingga akhir, bersumber dari Kristus, dikerjakan oleh Kristus, dan menuju kepada kemuliaan Kristus (Kristosentris). Tidak ada yang dapat ditambahkan pada karya penebusan-Nya, sehingga tidak ada yang perlu dilengkapi, tidak ada yang kurang. Ketika Yesus berseru “Sudah selesai” di kayu salib (Yohanes 19:30), Dia menyatakan dengan finalitas mutlak bahwa karya penebusan telah sempurna. Salib Golgota adalah puncak kulmuniasi kasih Allah untuk menyelamatkan umat manusia.
Namun dalam hikmat-Nya yang tidak terbatas dan tidak terduga, Allah juga memilih untuk tidak bekerja sendirian. Dia memilih untuk melibatkan manusia dalam rencana agung-Nya. Ini adalah pola yang kita lihat berulang kali sepanjang narasi Alkitab. Allah memakai Musa untuk membebaskan Israel dari perbudakan Mesir, namun kemenangan itu tetap milik Tuhan (Keluaran 14:13-14). Allah memakai Daud untuk mengalahkan Goliat, namun Daud sendiri berkata, “TUHAN yang melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dialah yang akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin ini” (1 Samuel 17:37). Allah memakai para rasul untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia, namun rasul Paulus dengan rendah hati mengakui, “Aku telah menanam, Apolos telah menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan” (1 Korintus 3:6). Dalam semua ini, manusia berpartisipasi secara nyata dan bermakna, tetapi selalu dalam ketaatan penuh kepada kedaulatan dan karya Allah yang berdaulat.
Lalu, di antara semua manusia yang pernah dipanggil Allah untuk berpartisipasi dalam karya-Nya yang agung, Maria dari Nazaret menempati tempat yang unik dan tak tergantikan. Bukan karena Maria berdiri sejajar dengan Kristus dalam keilahian, dan bukan karena dia memiliki kuasa ilahi dalam dirinya sendiri, tetapi karena dia, sebagai manusia yang sepenuhnya bergantung pada rahmat, menanggapi panggilan Allah dengan iman yang total. Ketika malaikat Gabriel datang kepadanya dengan kabar yang menggetarkan, kabar yang akan mengubah seluruh perjalanan sejarah alam semesta, Maria tidak sepenuhnya mengerti apa yang akan terjadi. Bagaimana mungkin seorang perawan muda bisa mengerti misteri inkarnasi? Namun respons Maria tetap menjadi salah satu pernyataan iman paling indah yang pernah diucapkan manusia, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38). Inilah sikap iman dalam bentuknya yang paling murni, yaitu penyerahan total kepada kehendak Allah bahkan tanpa pemahaman yang lengkap tentang konsekuensinya.
Dalam diri Maria, seluruh penantian Israel yang telah berlangsung berabad-abad mencapai klimaksnya. Sejak janji pertama di Taman Eden bahwa keturunan perempuan akan meremukkan kepala ular (Kejadian 3:15), umat Allah telah menanti-nantikan Mesias yang dijanjikan. Para nabi telah bernubuat. Nabi Yesaya menubuatkan seorang anak dara yang akan mengandung dan melahirkan seorang anak (Yesaya 7:14), Mikha menubuatkan kelahiran-Nya di Betlehem (Mikha 5:2). Para raja telah merindukan, para imam telah berdoa, generasi demi generasi telah menunggu. Lalu di titik waktu, di sebuah kota kecil yang tidak ternama bernama Nazaret, di hadapan seorang perawan muda yang tidak memiliki status sosial yang tinggi, janji Allah itu digenapi. Allah memilih yang lemah untuk mempermalukan yang kuat, memilih yang hina untuk merendahkan yang terhormat (1 Korintus 1:27-29). Ini adalah cara kerja Allah yang selalu tak terduga dan membalikkan ekspektasi manusia.
Tetapi peran Maria dalam “ekonomi keselamatan” bukan sekadar biologis, seolah-olah dia hanya menyediakan kandungan (rahim) berupa materi genetik untuk tubuh fisik Yesus. Tidak, peran Maria jauh lebih dalam secara teologis. Melalui persetujuan bebasnya, atau “fiat” (ya) yang dia ucapkan dalam iman, Maria menjadi pintu melalui mana Sabda Allah memasuki sejarah manusia. Firman yang dari kekal, Logos yang “pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1), mengambil daging manusia dari Maria. Yohanes menyatakan, “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yohanes 1:14).
Dengan landasan Alkitab tersebut, Konsili Efesus pada tahun 431 menyatakan bahwa Maria adalah “Theotokos” (harfiah “Pembawa Allah” atau “Bunda Allah”). Makna gelar Maria selaku “Theotokos” bukan dimaksudkan Maria menciptakan keilahian Kristus. Hakikat keilahian Kristus bersifat kekal dan tidak diciptakan. Peran Maria bukan karena dia adalah sumber dari sifat ilahi-Nya. Sebab Kristus adalah sehakikat dengan Allah. Namun karena Pribadi yang dilahirkannya adalah Allah sejati yang telah mengambil kodrat manusia, maka Dia yang keluar dari rahim Maria adalah Pribadi kedua dari Trinitas yang telah bersatu dengan natur/kodrat manusia.
Konsili Efesus tidak terutama bermaksud membuat pernyataan tentang Maria sebagai individu, melainkan menegaskan identitas sejati Kristus. Konsili ini menolak ajaran Nestorius, yang cenderung memisahkan Kristus menjadi dua pribadi yang terpisah, yaitu satu ilahi dan satu manusiawi yang hanya disatukan secara moral, bukan secara ontologis. Jika pandangan Nestorius diterima, maka peran Maria hanya melahirkan pribadi manusia Yesus, sehingga Allah tidak sungguh-sungguh berinkarnasi secara penuh. Inkarnasi pun akan dipahami sekadar sebagai ‘adopsi’ atau ‘penempatan’ Logos dalam diri seorang manusia, bukan persatuan sejati dua natur dalam satu Pribadi.
Tetapi Alkitab mengajarkan sesuatu yang jauh lebih radikal dalam misteri ilahi. Kristus adalah satu Pribadi dengan dua kodrat, ilahi dan manusiawi yang bersatu dalam apa yang disebut oleh teologi klasik sebagai “persatuan hipostatik.” Kata “hipostatik” berasal dari kata Yunani hypostasis, yang berarti “pribadi” atau “realitas yang berdiri sendiri.” Dalam teologi Kristen, khususnya Kristologi, istilah ini dipakai dalam ungkapan “persatuan hipostatik” (hypostatic union), yaitu “persatuan dua natur dalam satu Pribadi.” Kristus adalah Allah yang sejati dan manusia yang sejati, bukan dua pribadi yang berbeda yang diikat bersama. Rasul Paulus menulis dalam Filipi 2:6–7, “Ia, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, serta menjadi sama dengan manusia.” Perhatikan progresnya yang terkandung dalam pernyataan firman Tuhan, yaitu “Kristus yang berada ‘dalam rupa Allah’ (tanpa pernah berhenti menjadi Allah) mengambil ‘rupa seorang hamba’ (menjadi sungguh-sungguh manusia). Satu Pribadi, dua natur.”
Karena persatuan “hipostatik” ini, Maria melahirkan bukan seorang manusia biasa yang kemudian “diadopsi” oleh Logos atau yang kemudian “diisi” oleh Allah, tetapi dia melahirkan Pribadi Logos yang telah mengambil daging manusia. Ketika dia menggendong bayi di Betlehem, dia tidak menggendong “bagian manusiawi” dari Kristus yang terpisah dari keilahian-Nya. Maria menggendong Pribadi Logos yang kekal yang sekarang memiliki natur manusia. Dalam pengertian inilah gelar Theotokos benar, perlu, dan alkitabiah. Gelar itu merupakan pengakuan tentang siapa Yesus itu, yaitu Allah sejati dan manusia sejati dalam satu Pribadi yang tidak terpisahkan.”
Selain itu, ada dimensi lain dari ajaran gereja tentang Maria yang perlu kita pahami. Konsili Konstantinopel Kedua pada tahun 553 menegaskan bahwa Maria adalah aeiparthenos. Arti dari aeiparthenos adalah selalu perawan, sebelum, selama, dan sesudah kelahiran Kristus. Apa makna teologis dari ajaran ini? Apakah hal ini sekadar rincian biologis yang tidak relevan bagi iman kita? Sama sekali bukan. Keperawanan Maria dipahami secara teologis yang mendalam dan berlapis.
Pertama, keperawanan Maria menandakan bahwa kelahiran Kristus adalah karya Allah yang baru, yang unik, yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum-hukum alam biasa atau mekanisme biologis normal. Malaikat Gabriel memberitahu Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Lukas 1:35). Roh Kudus turun, kuasa Allah Yang Mahatinggi menaungi. Yesus tidak memiliki ayah manusiawi karena asal-usul-Nya adalah dari atas, dari Allah. Kristus adalah Adam baru. Di dalam Kristus Allah menghadirkan awal dari kemanusiaan yang diperbarui. Rasul Paulus menulis, “Seperti ada tertulis: ‘Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup,’ tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan” (1 Korintus 15:45).
Kedua, keperawanan Maria menggenapi nubuat Yesaya yang telah dinanti-nantikan selama berabad-abad, “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel yang berarti Allah menyertai kita” (Matius 1:23, mengutip nubuat Yesaya 7:14). Kelahiran dari seorang perawan adalah tanda bahwa inilah penggenapan janji ilahi, bukan sekadar kelahiran manusia biasa.
Ketiga, makna keperawanan Maria menunjukkan inisiatif mutlak Allah dalam keselamatan. Manusia tidak dapat menyelamatkan diri sendiri, tidak dapat menghasilkan Juruselamat melalui usaha atau kemampuan sendiri. Keselamatan Allah datang dari atas, sebagai anugerah murni. Yesus berkata kepada Nikodemus, “Yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan yang dilahirkan dari Roh adalah roh” (Yohanes 3:6). Kelahiran Kristus dari seorang perawan melalui kuasa Roh Kudus melambangkan bahwa keselamatan adalah karya Allah dari awal hingga akhir.
Namun, makna keperawanan Maria bukan berarti bahwa pernikahan atau seksualitas dalam pernikahan adalah sesuatu yang najis, lebih rendah, atau kurang kudus. Alkitab dengan sangat jelas menempatkan lembaga pernikahan sebagai pemberian Allah yang baik dan mulia. “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap pernikahan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” (Ibrani 13:4). Rasul Paulus menulis bahwa pernikahan adalah gambaran dari hubungan Kristus dengan gereja (Efesus 5:32). Makna “keperawanan” Maria dipahami sebagai panggilan khusus, unik, dalam ekonomi keselamatan Allah untuk tujuan teologis tertentu, sehingga bukan standar universal kesucian yang harus diterapkan kepada semua orang percaya. Allah memanggil sebagian untuk hidup dalam keperawanan atau selibat dan sebagian untuk hidup dalam pernikahan, dan kedua panggilan itu sama-sama kudus dan mulia jika dijalani dalam ketaatan kepada-Nya.
Narasi Alkitab juga menunjukkan kepada kita Maria berdiri di kaki salib dalam Injil Yohanes. Di sana, dalam momen paling gelap dalam sejarah alam semesta, ketika Anak Allah sedang menanggung dosa-dosa dunia dan mengalami murka Allah yang seharusnya kita tanggung, Maria hadir. Yohanes mencatat, “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: ‘Ibu, inilah, anakmu!’ Kemudian kata-Nya kepada rasul Yohanes, ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya” (Yohanes 19:26-27).
Adegan ini kaya dengan makna eklesiologis. Dalam tindakan terakhir dari salib sebelum Dia menyerahkan nyawa-Nya, Yesus mempercayakan murid yang dikasihi kepada Maria dan Maria kepada murid itu. Banyak Bapa Gereja dan teolog tradisional melihat dalam adegan ini Maria menjadi ibu rohani bagi murid-murid Yesus, melambangkan perannya sebagai ibu rohani dalam Gereja yang lahir dari salib Kristus. Murid yang dikasihi mewakili semua murid Kristus, dan Maria menjadi figur ibu dalam komunitas iman yang baru.
Namun sekali lagi kita harus sangat tegas dan jelas. Maria tidak menderita dan wafat sebagai penebus atau “ikut-penebus” (co-redemptrix dalam terminologi yang kontroversial). Ini adalah poin yang sangat krusial. Hanya penderitaan Kristus yang memiliki nilai penebusan karena hanya Dialah yang adalah Allah-Manusia tanpa dosa. Rasul Petrus menulis dengan sangat jelas, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19). Rasul Paulus menegaskan, “Ia adalah korban pendamaian untuk dosa-dosa kita, dan bukan untuk dosa-dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa-dosa seluruh dunia” (1 Yohanes 2:2, lihat juga Roma 3:25).
Dalam hidupnya Maria bersatu dengan penderitaan Kristus sebagai ibu dan murid, mengalami pedang yang menembus jiwanya seperti yang dinubuatkan oleh Simeon ketika Yesus masih bayi, yaitu “Dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri” (Lukas 2:35). Dia mengalami penderitaan yang luar biasa dalam menyaksikan Putranya disiksa dan dibunuh. Tetapi persatuannya dengan salib adalah “persatuan ciptaan yang ditebus,” bukan persatuan penebus. Maria tidak berkontribusi pada nilai penebusan dari salib. Dia adalah penerima manfaat dari penebusan itu, meskipun dengan cara yang unik karena perannya yang unik.
Jika demikian, bagaimana seharusnya sikap Gereja terhadap Maria? Bagaimana orang percaya seharusnya merespons dia? Kita harus berjalan di jalan yang benar secara Alkitab tanpa harus terjebak pada dua ekstrem.
Di satu sisi, kita tidak boleh meminimalkan atau mengabaikan Maria seolah-olah dia tidak berbeda dari orang percaya lainnya. Alkitab sendiri menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Maria adalah pribadi yang istimewa dan memiliki peran yang unik. Elisabeth, dipenuhi Roh Kudus. Elisabet kemudian berbicara dalam inspirasi Roh Kudus dan berkata, ‘Terpujilah engkau di antara semua perempuan,’ serta, ‘Berbahagialah dia yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana’ (Luk. 1:42, 45). Perhatikan bahwa Elisabet memuji Maria bukan karena keistimewaan yang melekat pada dirinya, melainkan karena imannya, yaitu ‘berbahagialah dia yang telah percaya.
Magnificat Maria, yang dicatat dalam Lukas 1:46-55, mengungkapkan kedalaman rohani dan pemahaman iman tentang rencana Allah dalam sejarah keselamatan. Maria menyanyi, “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.” Dalam pujian ini, Maria mengarahkan segala kemuliaan kepada Allah. Dia tidak mengatakan, “Jiwaku memuliakan diriku sendiri,” tetapi “Jiwaku memuliakan Tuhan.” Dia mengakui Allah sebagai “Juruselamatku.” Maria juga membutuhkan Juruselamat.
Injil Lukas juga mencatat bahwa Maria “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Lukas 2:19, 51). Ini menunjukkan kehidupan kontemplasi yang dalam pada karya Allah. Kisah Para Rasul menunjukkan bahwa setelah kenaikan Kristus, “Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus” (Kisah Para Rasul 1:14). Maria adalah bagian dari komunitas doa gereja mula-mula, bertekun dalam doa bersama para rasul. Dia adalah teladan iman yang hidup bagi Gereja perdana.
Di sisi lain, kita juga tidak boleh meninggikan Maria dengan cara yang menempatkannya seolah-olah berdiri pada tingkat keilahian atau sebagai pengantara yang sejajar dengan Kristus. Gereja harus menolak dengan tegas dan tanpa kompromi segala bentuk bahasa, simbol, praktik, atau devosi yang mengaburkan keunikan Kristus sebagai satu-satunya Pengantara dan satu-satunya Juruselamat. Yesus berkata dengan sangat tegas, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6). Rasul Petrus berkhotbah di hadapan Sanhedrin, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang oleh-nya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12).
Jelas bahwa Maria bukan sumber rahmat. Kristus adalah Sang Sumber Rahmat. Rasul Yohanes menulis, “Dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima, dan kasih karunia demi kasih karunia” (Yohanes 1:16). Maria bukan pengantara yang sejajar dengan Kristus atau yang berdiri di samping-Nya. Kristus adalah satu-satunya Pengantara, seperti yang sudah kita kutip dari 1 Timotius 2:5. Maria juga bukan penebus bersama dengan Kristus. Kristus sendirilah yang menebus kita dengan darah-Nya (Efesus 1:7, Kolose 1:14, Ibrani 9:12).
Segala anugerah yang diterima Maria (termasuk bagi umat Katolik yang menerima doktrin Dikandung Tanpa Noda) merupakan buah dari karya penebusan Kristus yang diterapkan kepadanya. Bahkan jika seseorang berpendapat bahwa Maria dikuduskan secara khusus sejak dalam kandungan untuk mempersiapkannya bagi peran uniknya, pengudusan itu sendiri tetap merupakan karya rahmat Allah berdasarkan penebusan Kristus. Maria adalah ciptaan yang ditebus, meskipun mungkin ditebus dengan cara yang khas karena perannya yang istimewa dalam ekonomi keselamatan Allah.
Dalam terang keseimbangan alkitabiah ini, bagaimana kita harus memahami dan mempraktikkan devosi kepada Maria? Tradisi Kristen klasik telah mengembangkan terminologi yang sangat berguna untuk membedakan berbagai tingkat penghormatan dan penyembahan.
Gereja membedakan pengertian antara “latria” yaitu penyembahan yang hanya diberikan kepada Allah, dan “dulia” sebagai penghormatan yang diberikan kepada orang-orang kudus yang telah mendahului kita dalam iman. Sebaliknya Maria diberikan “hyperdulia” yaitu penghormatan yang lebih tinggi karena perannya yang unik sebagai Theotokos dan karena keistimewaannya dalam rencana keselamatan. Alkitab sendiri memanggil kita untuk menghormati orang-orang tertentu. Petrus menulis, “Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!” (1 Petrus 2:17). Penulis surat Ibrani menasihati, “Ingatlah akan pemimpin-pemimpinmu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah cara hidup mereka dan turutilah iman mereka” (Ibrani 13:7). Rasul Paulus meminta jemaat di Tesalonika untuk “menghargai mereka dengan amat hormat dan kasih karena pekerjaan mereka” (1 Tesalonika 5:13).
Elisabet yang saat itu dipenuhi Roh Kudus menghormati Maria dengan mengakui perannya. Ini adalah penghormatan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus sendiri. Maria sendiri bernubuat, “Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Lukas 1:48). Jadi ada dasar alkitabiah untuk menghormati dan mengingat Maria dengan rasa hormat yang dalam.
Semuanya ini pada akhirnya bermuara pada tindakan umat yang hanya menyembah Allah. Yesus menegaskan hal ini kepada Iblis dengan mengutip kitab Ulangan: ‘Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!’ (Mat. 4:10; Luk. 4:8; bdk. Ul. 6:13). Penyembahan, dalam pengertian yang penuh dan sejati, adalah hak Allah semata. Ketika orang-orang mencoba menyembah Petrus, ia menolak dan berkata, ‘Bangunlah, aku pun hanya manusia!’ (Kis. 10:26). Demikian pula, ketika orang-orang di Listra hendak mempersembahkan korban kepada Paulus dan Barnabas, mereka menolak dengan keras dan berseru, ‘Hai orang-orang, mengapa kamu berbuat demikian? Kami pun manusia biasa sama seperti kamu’ (Kis. 14:15).
Penyembahan adalah milik Allah saja. Penghormatan dapat diberikan kepada manusia, tetapi penyembahan tidak. Pertanyaan praktisnya adalah bagaimana kita memastikan bahwa penghormatan kita kepada Maria tidak melintasi garis ini dan menjadi sesuatu yang menyerupai atau sama dengan penyembahan?
Devosi yang benar kepada Maria adalah devosi yang selalu mengarahkan kita kembali kepada Kristus, tidak pernah boleh mengalihkan kita dari Dia. Lihatlah dengan saksama apa yang Maria katakan kepada para pelayan di pesta perkawinan di Kana ketika mereka kehabisan anggur: “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” (Yohanes 2:5). Ini adalah esensi dari peran Maria. Dia tidak menarik perhatian kepada dirinya sendiri. Dia tidak berkata, “Datanglah kepadaku dan aku akan menyelesaikan masalahmu.” Dia mengarahkan orang-orang kepada Putranya. “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” Ini adalah satu-satunya ucapan langsung Maria yang dicatat dalam seluruh Injil Yohanes, dan isinya adalah pengarahan kepada Kristus.
Devosi kepada Maria yang sejati dan alkitabiah akan menghasilkan keintiman yang lebih dalam dengan Kristus, bukan menggantikan Kristus, atau menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Ini adalah tes yang sangat praktis dan pastoral. Jika devosi kita kepada Maria membuat kita semakin mencintai Yesus, semakin haus akan Injil, semakin lapar akan Firman Allah, semakin setia dalam ketaatan, semakin berbuah dalam kasih maka itu adalah devosi yang sehat dan alkitabiah. Tetapi jika devosi itu menjadi tujuan pada dirinya sendiri, jika dia mengaburkan kemuliaan Kristus, jika dia membuat kita bergantung pada Maria sebagai sumber keselamatan atau pengantara primer, jika dia menggantikan hubungan langsung kita dengan Kristus, maka dia telah menyimpang dari kebenaran alkitabiah dan harus dikoreksi.
Kita perlu jujur dan transparan mengakui bahwa dalam perjalanan panjang sejarah Gereja, telah terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam praktik devosi kepada Maria. Dalam sejarah gereja kita jumpai ada ungkapan yang berlebihan dalam beberapa tulisan devosional yang mengatribusikan kepada Maria gelar atau fungsi yang hanya milik Kristus atau Roh Kudus misalnya “Pemberi Segala Rahmat,” “Pengantara Segala Rahmat,” atau bahkan “Penebus Bersama.” Ada praktik-praktik yang mendekati takhayul, memperlakukan doa atau rosario kepada Maria sebagai formula ajaib yang memiliki kuasa dalam dirinya sendiri terlepas dari iman dan pertobatan. Ada ketidakseimbangan liturgis di beberapa konteks di mana perhatian kepada Maria dalam ibadah melebihi perhatian kepada misteri Kristus sendiri. Semua ini perlu dikoreksi dengan lembut tetapi tegas, dengan kasih tetapi dengan kejelasan.
Gereja memiliki tanggung jawab pastoral untuk merawat devosi yang sehat sambil menolak dan mengoreksi ekspresi yang berlebihan atau menyimpang. Gerakan Reformasi Gereja (abad 16) itu sendiri sebagian besar merupakan respons terhadap praktik-praktik yang telah kehilangan keseimbangan alkitabiah ini. Kritik para Reformator terhadap praktik-praktik tertentu meskipun kadang-kadang terlalu keras atau kurang bernuansa memiliki dasar yang sah dalam kekhawatiran untuk menjaga kemuliaan Kristus yang unik dan cukupnya karya penebusan-Nya.
Bagaimana selanjutnya adalah bagaimana caranya kita bisa mengembangkan dan memelihara devosi kepada Maria yang sehat, alkitabiah, dan kristosentris? Ada beberapa prinsip praktis yang perlu kita pegang.
Pertama, setiap doa yang melibatkan Maria, apakah itu meminta doanya atau merenungkan perannya dalam sejarah keselamatan harus berakhir dengan pengakuan yang jelas bahwa kita datang kepada Allah Bapa melalui Kristus Tuhan kita. Kita tidak datang kepada Allah melalui Maria; sebaliknya kita datang kepada Allah melalui Kristus. Maria dapat berdoa bersama kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus, sebagai bagian dari “awan saksi” yang Ibrani 12:1 bicarakan, tetapi dia bukan jalan kepada Bapa. Kristus adalah jalan itu (Yohanes 14:6). Kesaksian kitab Ibrani 4:16 mengundang kita dengan penuh keyakinan, “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” Perhatikan bahwa kita diundang untuk menghampiri takhta kasih karunia dengan penuh keberanian, bukan dengan ragu-ragu atau melalui perantara manusia.
Kedua, kita harus mengajarkan dengan sangat jelas dan konsisten bahwa Maria berdoa bersama kita dan untuk kita sebagai sesama anggota komunitas iman, tetapi bukan sebagai pengganti Kristus atau sebagai pengantara yang diperlukan untuk mengakses Kristus. Rasul Paulus menulis dalam Roma 8:34, “Kristus Yesus, yang telah mati, bahkan yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita.” Kristus sendiri adalah Pembela kita, Pengantara kita. Yohanes menulis, “Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil” (1 Yohanes 2:1). Pengantara kita adalah Yesus Kristus, bukan Maria atau orang kudus lainnya.
Ketiga, dalam liturgi dan ibadah bersama, peringatan Maria harus selalu dalam proporsi yang tepat dengan perayaan misteri Kristus. Tahun liturgis berpusat pada Kristus, yaitu kelahiran-Nya, pelayanan-Nya, penderitaan-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya, dan pencurahan Roh Kudus. Peringatan akan Maria dan orang-orang kudus lainnya bersifat sekunder. Kita harus selalu mengarahkan kita kembali kepada Kristus. Rasul Paulus berkata dengan sangat tegas, “Karena aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1 Korintus 2:2). Ini adalah iman yang kristosentrisme yang seharusnya menjadi landasan seluruh kehidupan gereja.
Keempat, kita harus membangun devosi kita pada fondasi yang kokoh dari Kitab Suci, bukan semata-mata pada tradisi, legenda, atau pewahyuan pribadi yang belum diuji dan diverifikasi. Yesus menegur orang-orang Farisi karena mereka “meninggalkan perintah Allah dan berpegang pada adat istiadat manusia” (Markus 7:8). Rasul Paulus memuji jemaat di Berea karena “mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian” (Kisah Para Rasul 17:11). Alkitab adalah standar tertinggi kita, norma yang menormakan semua norma lainnya (norma normans non normata). Tradisi-tradisi gereja dapat memperkaya pemahaman kita, tetapi harus selalu diuji dan ditimbang dengan Alkitab.
Kelima, kita harus mengevaluasi buah dari devosi kita. Yesus berkata, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:20). Apakah devosi kita kepada Maria menghasilkan buah Roh yang Rasul Paulus sebutkan dalam Galatia 5:22-23, yaitu “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri”? Apakah devosi ini membuat kita lebih menyerupai Kristus dalam karakter dan perilaku? Apakah dia membuat kita lebih mengasihi sesama, lebih rendah hati, lebih murah hati, lebih adil, lebih suci? Jika ya, maka ada alasan untuk percaya bahwa devosi itu berasal dari Roh dan mengarah kepada Kristus. Tetapi jika devosi itu menghasilkan kesombongan rohani, legalisme, ketakutan yang tidak sehat, atau ketergantungan neurotik, maka ada yang salah dan perlu diperbaiki.
Saya ingin membuat sebuah refleksi yang lebih luas tentang signifikansi Maria dalam pemahaman Kristen mengenai keselamatan dan kehidupan rohani. Maria, dalam pengertian tertentu, merupakan cermin paling jernih dari karya penebusan Allah. Dalam dirinya, kita melihat dengan jelas apa artinya ditebus secara sempurna, bukan dalam arti bahwa ia tidak memerlukan penebusan (sebab ia sendiri menyebut Allah sebagai ‘Juruselamatku’), melainkan dalam arti bahwa ia memperlihatkan apa yang terjadi ketika seorang manusia sepenuhnya membiarkan dirinya dibentuk oleh rahmat Allah.
Kita melihat dalam Maria seorang manusia yang hidup dan ketaatannya memantulkan kemuliaan Kristus dengan kejernihan yang luar biasa. Ketika kita menghormati Maria, pada tingkat yang paling dalam kita sebenarnya sedang memuliakan Allah yang telah mengerjakan “perbuatan-perbuatan besar” dalam dirinya (Lukas 1:49). Ketika kita meneladani imannya yang berkata “ya” kepada Allah meskipun tanpa pemahaman lengkap, iman yang merenungkan perkara-perkara Allah dalam hati, iman yang bertekun dalam doa, iman yang tetap setia bahkan di kaki salib, sesungguhnya kita sedang belajar bagaimana menanggapi rahmat Allah dengan penyerahan yang total dan iman yang hidup.
Ketika kita merenungkan perannya dalam sejarah keselamatan, kita sedang mengagumi hikmat Allah yang memilih untuk tidak bekerja dengan cara yang koersif atau mekanis, melainkan melibatkan kerja sama bebas manusia dalam karya-Nya yang agung. Allah tidak memaksakan kehendak-Nya pada Maria. Dalam respons iman Maria, kita melihat model bagi respons iman kita semua. Bapa Agustinus berkata dengan indah bahwa Maria “lebih diberkati karena menerima iman Kristus daripada karena mengandung daging Kristus.” Artinya, kebesaran Maria terletak terutama bukan dalam perannya biologis, melainkan dalam sikap imannya.
Karena itu, biarlah kita menghormati Maria dengan rasa hormat yang tulus dan mendalam, mengakui perannya yang unik dan istimewa dalam rencana keselamatan Allah. Biarlah kita meneladani imannya yang luar biasa, yaitu iman yang mengatakan “ya” kepada Allah dalam ketaatan, iman yang tetap setia dalam kegelapan, iman yang merenungkan karya Allah dengan hati yang penuh perhatian. Biarlah kita belajar dari kerendahan hatinya yang mengakui dirinya sebagai “hamba Tuhan” (Lukas 1:38), dari ketaaatannya yang tidak berkompromi, dari ketekunannya dalam doa.
Selaku umat percaya, iman kita bersifat kristosentris-trinitaris, kita perlu memastikan bahwa setiap penghormatan kepada Maria, setiap refleksi tentang perannya, setiap doa yang melibatkan namanya, mengarahkan kita lebih dekat kepada Kristus, bukan mengalihkan kita dari Dia. Kristus adalah pusat, Kristus adalah sumber, Kristus adalah tujuan. “Sebab di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu… Segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kolose 1:16-17).
Secara liturgis kita perlu mengembangkan dan memelihara devosi yang sehat yang berakar kuat dalam Alkitab, bukan dalam legenda, bukan dalam tradisi yang tidak teruji, juga bukan dalam pewahyuan pribadi yang meragukan, melainkan dalam Firman Allah yang hidup dan berkuasa. “Firman Tuhan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16). Alkitab adalah fondasi kita, norma tertinggi kita.
Devosi iman kepada Kristus akan menghasilkan buah-buah rohani yang sejati, yaitu kasih yang semakin dalam kepada Allah dan sesama, sukacita yang tidak bergantung pada keadaan, damai sejahtera yang melampaui akal, kesabaran dalam penderitaan, kemurahan kepada yang lemah, kebaikan dalam tindakan, kesetiaan dalam komitmen, kelemahlembutan dalam berinteraksi, penguasaan diri dalam godaan. Firman Tuhan, “Sebab kamu dipanggil untuk hidup sebagai orang merdeka. Hanya janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, tetapi layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Galatia 5:13).
Dalam terang firman Tuhan itu kita selaku gereja mencari keseimbangan alkitabiah, jalan tengah yang menghargai dengan tepat partisipasi manusiawi dalam rencana Allah sambil tidak pernah melupakan bahwa “bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Lukas 1:37) dan bahwa “segala perkara berasal dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Roma 11:36).
Dalam Kristus dan melalui Roh Kudus, Allah telah mengerjakan keselamatan kita yang sempurna dan lengkap. Dia telah, dalam hikmat-Nya yang tak terbatas, mengizinkan Maria dan semua orang percaya untuk berpartisipasi dalam karya-Nya yang penuh rahmat ini. Tetapi partisipasi kita tidak menambahkan pada kecukupan karya Kristus. Sebaliknya, partisipasi kita sendiri adalah buah dari karya Kristus. “Karena kamu diselamatkan oleh kasih karunia, bukan hasil usahamu, tetapi oleh iman. Itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).
Seperti Maria, kita dapat berkata dengan sepenuh hati dan dengan iman yang tidak bercabang, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut firman-Mu” (Lukas 1:38). Kiranya kita, seperti Maria selalu memuliakan Tuhan dengan seluruh jiwa kita dan bergembira dalam Allah Juruselamat kita. Kiranya umat percaya, seperti Maria, dapat tetap setia di kaki salib ketika yang lain melarikan diri. Kiranya gereja, seperti Maria, dapat bertekun dalam doa bersama komunitas iman. Kiranya kita sebagai umat tebusan Kristus, seperti Maria, dapat mengarahkan orang lain kepada Kristus dengan berkata, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu.” Apakah kita juga bersikap seperti Maria, yaitu mempercayakan diri kepada kehendak Kristus dengan taat dan setia?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
Yohanes BM Berteologi Yohanes BM Berteologi