Latest Article
Minggu Paskah IV

Minggu Paskah IV

Kristus yang Bangkit dalam Perspektif Keesaan Allah

Kis. 9:36-43; Mzm. 23; Why. 7:9-17; Yoh. 10:22-30

Perayaan Minggu Paskah IV memaknai kebangkitan Kristus dalam perspektif relasi yang esa dengan Allah. Di Yohanes 10:30, Yesus berkata: “Aku dan Bapa adalah satu.” Kebangkitan Kristus menyatakan kemuliaan-Nya sebagai kemuliaan ilahi yang kekal bersama dengan Yahweh. Yesus bangkit dari kematian karena Ia adalah Sang Firman Allah. Yohanes 1:3 menyatakan: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” Dalam kebangkitan Yesus, keilahian-Nya yang sehakikat dengan Allah tidak dapat dikalahkan oleh kuasa maut. Namun dalam inkarnasi Yesus, dimensi keilahian Yesus menyatu dalam dimensi kemanusiaan-Nya. Dalam konteks ini dimensi kemanusiaan Yesus bukanlah sesuatu yang ditambahkan saat Ia berinkarnasi. Sebab Sang Firman itu benar-benar menjadi realitas daging (manusia), sehingga Sang Firman yang ilahi dan kekal itu menjadi keberadaan seorang manusia di dalam diri Yesus Kristus. Di dalam diri Yesus realitas Ilahi Yang Tak Terbatas menjadi Terbatas, Yang Kekal menjadi Temporal dan Yang Ilahi menjadi manusiawi. Dengan demikian Kristus memiliki dua tabiat yang tidak terpisahkan yaitu tabiat ilahi dan insani. Karena itu Kristus yang bangkit adalah Kristus memiliki kemuliaan ilahi dan insani.

Konteks pernyataan Yesus bahwa Ia dan Allah adalah satu (Yoh. 10:30) dilatarbelakangi oleh kegelisahan para pemuka agama Yahudi yang menghendaki suatu penegasan dari Yesus. Para pemuka agama Yahudi tersebut berkata: “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jikalau Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami” (Yoh. 10:24). Mereka meminta Yesus dengan lugas menyatakan apakah Ia adalah Mesias ataukah bukan. Diskusi dan pertanyaan di antara orang-orang Yahudi di Yohanes 10:24, apakah Yesus adalah Mesias atau bukan sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yaitu di Yohanes 10:19-20. Sebab di Yohanes 10:19-20 mengisahkan pertentangan di antara orang-orang Yahudi karena ucapan Yesus yang menyatakan bahwa Ia memiliki kuasa atas nyawa-Nya. Ia berkuasa memberikan nyawa-Nya dan berkuasa pula untuk mengambil-Nya kembali (Yoh. 10:17). Dalam konteks peristiwa penyaliban di bukit Golgota, makna kematian Yesus adalah karena Ia memberikan nyawa-Nya. Dengan demikian kematian Yesus di atas kayu salib dihayati Yesus sebagai kurban yang Ia persembahkan kepada Allah untuk pendamaian dosa-dosa umat manusia.

Apabila kita menempatkan pertanyaan para pemuka agama Yahudi di Yohanes 10:24 dengan Yohanes 10:20, maka di balik pertanyaan mereka tersebut terkandung suatu keraguan yang sifatnya mencemooh Yesus. Sebab di Yohanes 10:20 orang-orang Yahudi tersebut berkata: “Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” Yesus dianggap sedang kerasukan setan dan gila. Namun sekarang mereka mengajukan permohonan agar Yesus menyatakan dengan lugas identitas diri-Nya, apakah Ia adalah Mesias ataukah bukan. Di Yohanes 10:25-26 Yesus memberi jawaban, yaitu: “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” Jawaban Yesus di Yohanes 10:25-26 menegaskan, yaitu:

  1. Yesus telah menyatakan identitas diri-Nya bahwa Ia adalah Mesias Allah.
  2. Melalui karya atau pekerjaan-pekerjaan yang Ia lakukan Yesus menegaskan identitas diri-Nya sebagai Mesias yang diutus Allah.
  3. Respons orang-orang Yahudi tetap tidak mau percaya terhadap pernyataan/ucapan Yesus dan pekerjaan-pekerjaan yang telah Ia lakukan di hadapan mereka walaupun dilakukan dengan kuasa Allah.
  4. Penyebabnya adalah mereka tidak termasuk domba-domba yang dipilih Allah, sehingga mereka terus mengeraskan hati dengan tidak percaya kepada-Nya.

Penolakan orang-orang Yahudi terhadap ke-Mesias-an Yesus sehingga mereka tidak percaya kepada-Nya secara ontologis karena mereka tidak termasuk kelompok “domba-domba Kristus.” Mereka tidak dipilih Allah. Di Yohanes 10:29 Yesus menyatakan bahwa orang-orang yang menjadi “domba-domba-Nya” dikaruniakan Allah kepada-Nya, yaitu: “Bapa-Ku, yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa.” Karena para domba tersebut adalah orang-orang yang dipilih dan ditetapkan Allah menjadi milik Kristus, maka tidak ada seorangpun yang dapat merebut mereka dari tangan-Nya.

Namun secara spiritualitas orang-orang Yahudi tidak percaya karena memiliki paradigma teologis yang tidak mau berubah. Mereka memiliki konsep “Mesias” yang sifatnya politis. Karena itu dengan paradigma “Mesias” yang politis mereka tidak mampu mendengar makna dan pengertian yang Yesus maksudkan. Di Yohanes 10:27 Yesus menegur ketidakpercayaan mereka. Jikalau mereka termasuk “domba-domba-Nya” maka mereka akan bersedia mendengar dan mengikut Dia yaitu: “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku.” Kriteria orang-orang yang termasuk “domba-domba Kristus” adalah memiliki hubungan personal yang intim dengan Kristus sehingga mereka selalu peka dengan suara dan kehendak-Nya.

Sikap ketidakpercayaan orang-orang Yahudi terhadap ke-Mesias-an Yesus secara sengaja ditempatkan dalam konteks waktu, yaitu hari raya Penahbisan Bait Allah di Yerusalem. Hari raya Penahbisan Bait Allah disebut juga Hanukah. Arti “Hanukah” adalah dedikasi atau pembaruan atau pengudusan. Di Kitab Bilangan 7:10 mengisahkan bagaimana para pemimpin umat Israel melakukan pengudusan terhadap mezbah, yaitu: “Lagi para pemimpin mempersembahkan persembahan pentahbisan mezbah, pada hari mezbah itu diurapi; para pemimpin membawa persembahan mereka ke depan mezbah itu.” Namun makna hari raya Penahbisan Bait Allah Di Yohanes 10:22 dilatarbelangi oleh peristiwa penodaan Bait Allah yang dilakukan oleh Antiokhus Epifanes pada tahun 167 sM. Antiokhus Epifanes menurut laporan ahli sejarah Israel bernama Josephus, Epifanes telah membunuh 40 ribu penduduk Yerusalem dan sebagian penduduk Yerusalem yang lain dijadikan budak. Lalu Antiokhus Epifanes mempersembahkan hewan-hewan yang dinajiskan dalam hukum Taurat di atas mezbah Bait Allah. Kekejaman dan kejahatan Antiokhus Epifanes berakhir setelah Yudas Makabe melakukan perlawanan pada tahun 165-164 sM. Setelah berhasil merebut kota Yerusalem, Yudas Makabe melakukan ibadah pengudusan selama delapan hari. Sejak itu umat Israel merayakan setiap tahun dengan perayaan selama delapan hari yang disebut dengan Hanukah atau hari raya Penahbisan Bait Allah. Kisah pengudusan Bait Allah dapat kita baca di Kitab 1 Makabe 4:36-60. Di Kitab 1 Makabe 4:36 menyatakan: “Adapun Yudas serta saudara-saudaranya berkata: Musuh kita sudah hancur. Baiklah kita pergi mentahirkan Bait Allah dan menahbiskannya kembali.”

Apabila konteks waktu yaitu hari Penahbisan Bait Allah (Yoh. 10:22) dimaksudkan untuk menjelaskan sikap orang-orang Yahudi yang tidak percaya kepada ke-Mesias-an Yesus, maka motif mereka menolak Yesus adalah karena mengharapkan Yesus bertindak seperti yang dilakukan Yudas Makabe. Konteks zaman Yesus yang saat itu sedang dijajah oleh Kerajaan Romawi, orang-orang Yahudi mengharapkan Yesus melakukan perlawanan secara politis dan militer untuk mengusir penjajah dari tanah Israel. Pekerjaan-pekerjaan yang Yesus lakukan dengan kuasa Allah diharapkan dipakai untuk mengalahkan kuasa kerajaan Romawi. Namun ternyata Yesus sebagai Mesias datang dan berkarya untuk membebaskan manusia dari kuasa dosa, yaitu mengaruniakan hidup kekal. Di Yohanes 10:28 Yesus berkata: “Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”

Hidup kekal yang dikaruniakan Yesus lebih luhur dan kekal sebab melampaui batas-batas ruang dan waktu, generasi dan peristiwa sejarah yang temporal. Melalui hidup kekal yang dikaruniakan Yesus, keselamatan yang dirindukan manusia dalam batinnya yang terdalam akan terpenuhi secara nyata dan menyeluruh, sebab Yesus bersedia memberikan nyawa-Nya. Yesus tidak sekadar memberi pengajaran tentang keselamatan, tetapi Dia menjadi pintu bagi domba-domba-Nya: “Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput” (Yoh. 10:9). Di Yohanes 10:15 Yesus berkata: “Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.” Lebih daripada itu Yesus yang menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib adalah juga Yesus yang bangkit dari kematian dan mengalahkan maut. Kebangkitan Yesus menyatakan bahwa kematian-Nya merupakan kurban pendamaian yang mengampuni manusia dengan Allah, sesama, dan dirinya sendiri.

Namun penolakan orang-orang Yahudi yang utama terhadap ke-Mesias-an Yesus bukan hanya soal karya atau pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan-Nya dengan kuasa Allah, tetapi utamanya soal bagaimanakah relasi Yahweh (Bapa) dengan Yesus. Mereka saat itu hendak merajam diri Yesus dengan batu. Di Yohanes 10:33 orang-orang Yahudi itu berkata: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.” Ganjalan di dalam hati orang-orang Yahudi adalah karena Yesus menegaskan diri-Nya bukan hanya sebagai Mesias, namun juga Ia memiliki hubungan yang esa dengan Allah (Yoh. 10:30). Mereka menolak sikap Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan Allah sehingga Ia menyatakan mampu mengaruniakan hidup kekal (Yoh. 10:28). Karena itu keberatan utama orang-orang Yahudi adalah klaim Yesus yang memiliki relasi yang intim dan esa dengan Allah sehingga Ia mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah. Namun pekerjaan-pekerjaan dengan kuasa Allah tersebut ternyata tidak dilakukan Yesus untuk membebaskan umat Israel dari belenggu penjajahan politis, tetapi untuk keselamatan dan hidup kekal bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian bagi diri Yesus setiap pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan-Nya merupakan pengabsahan bahwa Ia esa dengan Sang Bapa sehingga Ia memiliki kuasa untuk mengaruniakan hidup kekal bagi setiap orang yang percaya.

Di Kisah Para Rasul 9:36-43 mengisahkan bagaimana kuasa Allah bekerja pada diri Petrus sehingga ia dapat membangkitkan Tabita yang juga disebut Dorkas. Kisah Para Rasul 9:40 menyatakan: “Tetapi Petrus menyuruh mereka semua keluar, lalu ia berlutut dan berdoa. Kemudian ia berpaling ke mayat itu dan berkata: Tabita, bangkitlah! Lalu Tabita membuka matanya dan ketika melihat Petrus, ia bangun lalu duduk.” Tujuan karya mukjizat Allah yang dikaruniakan kepada Petrus sehingga ia dapat membangkitkan orang yang telah mati adalah agar orang-orang pada masa itu percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Karya mukjizat bukan terjadi untuk kepentingan orang yang bersangkutan saja tetapi utamanya adalah berita tentang karya keselamatan Allah tersebut tersebar sehingga mereka menjadi percaya. Karena itu peristiwa mukjizat Petrus membangkitkan Tabita ditutup dengan pernyataan: “Peristiwa itu tersiar di seluruh Yope dan banyak orang menjadi percaya kepada Tuhan” (Kis. 9:42). Petrus mampu melakukan mukjizat dengan membangkitkan orang mati bukan karena ia memiliki kuasa, tetapi karena ia diberi kuasa oleh Kristus yang telah wafat dan bangkit. Karya mukjizat membangkitkan orang mati hanya dapat dilakukan oleh Nabi Elia, Nabi Elisa, dan Yesus. Kini Petrus diperkenankan Allah untuk membangkitkan Tabita agar dunia percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah. Melalui penggembalaan Petrus, umat percaya dicelikkan untuk melihat Diri Sang Gembala Agung, yaitu Yesus Kristus. Bagi Dorkas yang mengalami karya mukjizat dan umat percaya yang melihat peristiwa karya mukjizat Allah tersebut mereka mengamini kebenaran Nyanyian Daud dalam Mazmur 23:4, yaitu: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.”

Kebangkitan Kristus adalah kebangkitan yang seutuhnya. Karena itu dengan sikap percaya kepada Kristus, umat percaya dianugerahi hidup kekal. Umat percaya mengalami kebangkitan tubuh dalam kemuliaan Allah. Kesaksian Wahyu 7:9-17 merupakan gambaran eskatologis kehidupan umat yang percaya kepada Kristus. Mereka dibangkitkan dalam kemuliaan Allah dengan simbolisasi memakai baju putih dan memegang daun-daun palem, yaitu: “Aku melihat: sesungguhnya suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka” (Why. 7:9). Jelas kesaksian Wahyu 7:9-19 merupakan gambaran kehidupan umat setelah kematian. Wahyu 7:14 mendeskripsikan orang-orang yang berdiri di hadapan Anak Domba sebagai “yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba.” Dengan perkataan lain, mereka adalah orang-orang yang mengalami penderitaan dan kematian karena iman kepada Kristus, namun kini mereka memeroleh hidup kekal dalam nama-Nya. Di dalam iman kepada Kristus yang bangkit, akhirnya mereka mengalami keselamatan yang sempurna dan mengalami kebahagiaan surgawi, yaitu: “Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka” (Why. 7:17).

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono