Pendahuluan
Istilah “kerja” dalam Perjanjian Baru menggunakan kata “ergon” untuk menunjuk suatu aksi atau semangat yang aktif yang kontras dengan tindakan (ini adalah tindakan atau sifat) malas (argia). Hal ini terlihat dalam 1 Timotius 5:13 yang menggunakan kata ἀργός yang artinya: malas. 2 Tesalonika 3:11 menggunakan μηδείς ἐργάζομαι dalam pengertian negatif, yaitu tidak bekerja (Theological Dictionary of the New Testament 1993, 635). Meskipun demikian, dengan sikap tegas rasul Paulus menyatakan: “Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10). Umat yang tidak bekerja dalam konteks 2 Tesalonika menunjuk pada umat yang bersikap pasif dalam menantikan kedatangan Tuhan Yesus sehingga tidak mau melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya. Dengan demikian motif mereka yang sesungguhnya adalah bersikap malas. Padahal makna menantikan kedatangan Tuhan seharusnya dilakukan dengan rajin bekerja sesuai talenta dan panggilannya, sehingga mereka mampu mempertanggungjawabkan pada saat Kristus datang.
Dalam perjalanan sejarah kehidupan umat manusia makna “kerja” seringkali mengalami pergeseran. Kerja dimaknai dengan mengeksploitasi manusia, sehingga dalam dunia kerja manusia dijadikan budak. Manusia tidak dihargai martabatnya. Khususnya sistem kapitalisme dunia telah menghadirkan banyak dampak dalam kehidupan manusia. Salah satu dampaknya adalah sebuah hubungan yang bersifat hirarkis dan ekpsloitatif yang menguntungkan pihak (negara) tertentu dan menciptakan ketergantungan serta pemiskinan di pihak lainnya (Yentriyani 2004, 27). Menurut United Nations Development Programme (UNDP), 80% populasi dunia yang adalah penduduk di selatan hanya menikmati 15% dari total penghasilan dunia dan 20% penduduk lainnya yang hidup di negara-negara utara justru menikmati 85% penghasilan dunia yang ada (Yentriyani 2004, 8). Catatan penting yang perlu diperhatikan adalah “setengah dari penghasilan dunia tersebut berasal baik dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak dibayar maupun karena upah yang minim serta 70% dari pekerjaan tersebut dilakukan oleh perempuan” (Yentriyani 2004, 8-9). Tidak dapat dipungkiri bahwa hasil kekayaan yang diterima di atas ternyata berasal dari praktik perdagangan manusia. “Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 4 juta laki-laki dan perempuan yang diperdagangkan, dan praktik ini memberikan keuntungan lebih dari 7 milyar dollar AS bagi kelompok-kelompok kriminal” (Yentriyani 2004, 13). Perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, juga terjadi di Indonesia untuk kebutuhan prostitusi dengan penghasilan, pada 1994, berkisar 1,2 juta-3,6 juga dollar AS (Yentriyani 2004, 193). Berdasarkan kenyataan ini, setidaknya ada satu kesimpulan yang dapat ditelusuri, yaitu perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, adalah dampak langsung dari kemiskinan yang semakin diperkuat oleh sistem kapitalisme dunia.
Perdagangan manusia adalah sebuah konteks partikular yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam proses berteologi di Indonesia, secara khusus, dan di dunia, secara global. Di tengah kenyataan demikian orang Kristen dituntut mendeklarasikan posisinya, apakah ia berpihak pada mereka yang mengalami penindasan, berpihak pada penindas, atau mengabaikan begitu saja dan sibuk dengan urusannya sendiri. Oleh sebab itu, adalah menarik jika kita dapat menelusuri sebuah teologi yang berangkat dari pengalaman Alkitab yang setidaknya berbicara tentang praktek perdagangan manusia baik secara eksplisit maupun implisit. Paper kelompok ini akan memaparkan praktik-praktik perdagangan manusia dan perbudakan yang terjadi pada masa kini, pada masa Perjanjian Lama dan masa Perjanjian Baru. Setelah itu kami akan akan berusaha menemukan sumbangsih apa yang dapat diberikan oleh Alkitab terhadap isu ini.
Praktik Perdagangan Manusia Pada Masa Kini
Perdagangan manusia adalah sebuah kegiatan yang sangat kompleks. Oleh sebab itu pendefinisian tentang perdagangan manusia disesuaikan dengan konteks wilayah di mana perdagangan manusia itu terjadi. Salah satu definisi perdagangan manusia adalah seperti yang dijelaskan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 2004 tentang Perdagangan Perempuan dan Anak, yaitu:
“Pemindahan orang secara tidak sah dan secara diam-diam melintasi batas nasional dan internasional. Pemindahan orang tersebut sebagian besar berasal dari negara berkembang dan beberapa negara yang berada pada tahap transisi ekonomi, dengan tujuan akhir memaksa perempuan dan anak perempuan ke dalam situasi yang opresif dan eksploitatif baik secara seksual maupun ekonomis untuk keuntungan bagi perekrut, pelaku perdagangan dan sindikat kejahatan, juga aktivitas illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia, seperti pemaksaan menjadi pekerja domestik, perkawinan palsu, dipekerjakan secara diam-diam dan adopsi palsu” (Irianto 2007, 16-17). [1]
Definisi lainnya adalah seperti yang dipaparkan oleh Coalition to Abolish Slavery and Trafficking:
“Rekruitmen atau pemindahan orang oleh pihak lain dengan menggunakan kekerasan, ancaman penggunaan kekerasan, penyelewengan kekuasaan atau posisi dominan, penipuan ataupun segala bentuk kekerasan, untuk tujuan mengeksploitasi orang-orang tersebut secara seksual maupun ekonomi untuk keuntungan pihak lain seperti si perekrut, mucikari, traffickers, perantara, pemilik rumah bordil dan pegawai lainnya, pelanggan atau sindikat kriminal. Trafficking juga harus dapat dipahami sebagai pemindahan orang dalam batas-batas wilayah sebuah negara, antarnegara, dalam sebuah kawasan atau antarbenua” (Yentriyani 2004, 22).
Definisi lainnya yang berangkat dari pergumulan bangsa ini secara nasional adalah seperti yang tertuang di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang:
“Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” (YLBH Apik website 2012).
Berdasarkan dua definisi di atas setidaknya kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting demi mempertajam pemahaman kita tentang perdagangan manusia. Poin-poin penting ini akan membantu kita untuk melihat apakah prinsip-prinsip dasar perdagangan manusia pada masa kini sama atau dekat dengan praktik perdagangan manusia (atau perbudakan) di dalam Alkitab. Pertama, perdagangan manusia terjadi karena adanya ketimpangan ekonomi antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin. Kedua, perdagangan manusia melibatkan pemindahan orang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Ketiga, korban yang diperdagangkan memiliki posisi yang subordinat dan bergantung pada ‘kebaikan’ perekrut atau pembeli. Keempat, korban perdagangan manusia pada umumnya adalah perempuan dan anak. Kelima, perdagangan manusia adalah bentuk kekejian yang mengakibatkan dehumanisasi.
Selain definisi yang telah dipaparkan di atas, adalah penting untuk mengenal karakteristik perdagangan perempuan:
- Oleh karena posisinya yang subordinat, perempuan dari ras manapun dan di mana pun memiliki peluang untuk menjadi korban perdagangan perempuan, terutama perempuan dari negara-negara miskin atau Dunia III. Trafficking dapat terjadi dalam batas wilayah negara-bangsa itu sendiri, baik antarnegara di sebuah kawasan maupun internasional. (Yentriyani 2004, 23-24)
- Pola dan aktor: Seperti zaman perbudakan dahulu, pembeli langsung berjumpa dengan korban dengan aktor utamanya konsumen. Selain itu dapat juga terjadi secara tidak langsung dengan aktor utama perantara. Berikut adalah berbagai jenis aktor utama: perektrut, mucikari, traffickers, pencari, pemilik rumah bordil dan pegawai lainnya, pelanggan atau sindikat kriminal. Karakteristik aktor utama umumnya adalah kelompok terorganisir dengan pekerja yang berasal dari berbagai lapisan usia dan latar belakang pendidikan berbeda-beda. Biasanya menutupi kegiatannya dengan pekerjaan lain, seperti pengusaha, pencari bakat, ibu rumah tangga, dll. (Yentriyani 2004, 24-25)
- Tujuan dari perdagangan perempuan adalah eksploitasi ekonomi dan atau eksploitasi seksual dalam bentuk prostitusi dengan paksaan, pembantu rumah tangga, buruh ilegal, buruh kontrak, perkawinan yang tidak seimbang (servile marriage), adopsi ilegal, pariwisata dan hiburan seks, pornografi, pengemis, digunakan dalam aktivitas kriminal lainnya. (Yentriyani 2004, 25-26)
- Modus Operandi: Pemindahan dari tempat yang dikenal/komunitas yang tidak dikenal, penyelewengan kekuasaan, penipuan dengan tawaran pekerjaan imbalan tinggi, paksaan karena korban memiliki hutang, paksaan dengan ancaman penggunaan kekerasan, paksaan dengan penculikan, perkawinan. (Yentriyani 2004, 26)
- Motif: Kebutuhan mempertahankan hidup (survival strategy). Marjinalisasi perempuan dalam sistem kapitalis dunia ini menyebabkan perempuan hanya memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam memperjuangkan perbaikan ekonominya terutama karena posisi subordinat menyebabkan perempuan sulit untuk memperoleh keterampilan dan pendidikan yang mampu dikedepankannya untuk berkompetensi dalam bursa tenaga kerja. Keadaan ini kemudian memaksa perempuan untuk mengadopsi survival strategies yang pada akhirnya menghancurkan dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakat. Tanpa modal ketrampilan apa pun kecuali tubuhnya sendiri yang dapat diperjualbelikan, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam sektor perekonomian global yang dikenal sebagai global skin trade. [2]
Praktik Perdagangan Manusia Pada Masa Perjanjian Lama
Dunia Timur Tengah kuno, yang menjadi konteks para tokoh Alkitab, telah mengenal praktik perdagangan manusia (The International Standard Bible Encyclopedia 1993. 539). Tokoh Abraham, yang dikenal sebagai bapa orang beriman memiliki para budak. Kejadian 12:5 mempersaksikan bagaimana Abraham (waktu itu masih bernama “Abram”) membawa “orang-orang yang diperoleh di Haran” yang kedudukannya disejajarkan dengan “segala harta-benda”. Di Kejadian 17:23 secara eksplisit disebut Abraham mengerat kulit khatan (sunat) setiap orang di rumahnya yang dibelinya dengan uang. Budak dipahami sebagai salah satu aset dan menjadi bagian dari harta milik. Di bagian Sepuluh Firman masih diperlihatkan kedudukan para budak sebagai bagian dari harta milik, di mana para budak tersebut disejajarkan dengan nilai rumah, lembu, keledai, dan barang-barang berharga lainnya termasuk kedudukan seorang istri (Kel. 20:17; Kel. 21:32). Pemahaman tersebut juga berlaku di daerah Tirus. Yehezkiel 27:13 menyatakan: “Yawan, Tubal dan Mesekh berdagang dengan engkau; mereka menukarkan budak-budak, barang-barang tembaga ganti barang-barang daganganmu.” Para budak dapat ditukarkan dengan barang-barang tembaga atau barang-barang dagangan.
Dalam kehidupan umat Israel, praktik perdagangan manusia dibatasi hanya kepada orang-orang asing. Umat Israel diizinkan untuk memiliki para budak laki-laki dan perempuan dari kalangan bangsa-bangsa di sekitar mereka. Mereka tidak diizinkan untuk memiliki budak sesama Israel. Imamat 25:44 menyatakan: “Tetapi budakmu laki-laki atau perempuan yang boleh kaumiliki adalah dari antara bangsa-bangsa yang di sekelilingmu; hanya dari antara merekalah kamu boleh membeli budak laki-laki dan perempuan.” Kenyataannya, peraturan tersebut memiliki suatu pengecualian. Umat Israel diperkenankan memiliki budak sesama Israel, yaitu saudara yang menjual diri karena jatuh miskin, apakah laki-laki atau perempuan dalam waktu yang terbatas. Mereka diperkenankan memiliki para budak sesama Israel hanya dalam waktu enam tahun lamanya (The International Standard Bible Encyclopedia 1993, 541). Pada tahun ketujuh, umat Israel harus melepaskan saudaranya sebagai orang merdeka (Ul. 15:12). Di kitab Keluaran 21:1-11 diatur peraturan bagaimana umat Israel memperlakukan para budak yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Intinya adalah bagaimana umat Israel harus memperlakukan para budak yang berasal dari kalangan mereka sendiri secara “manusiawi”. Oleh karena itu kedudukan saudara yang menjual diri sebagai budak dalam praktik harus diperlakukan sebagai “orang upahan” daripada sebagai budak, dan pada tahun Yobel, saudaranya itu harus dibebaskan (Im. 25:40). Allah melarang mereka memperlakukan seorang saudara yang menjual diri dengan kejam (Im. 25:43). Prinsip etis-moral umat Israel dalam memperlakukan para budak adalah: “Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu; itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini” (Ul. 15:15). Selain itu umat Israel dilarang menculik manusia untuk dijadikan budak. Keluaran 21:16 menyatakan: “Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum mati” (bdk. Ul. 24:7).
Praktik Perdagangan Manusia Pada Masa Kitab Amos
Nabi Amos hidup pada zaman Uzia, raja Yehuda, dan dalam zaman Yerobeam (Am. 1:1). Semula kerajaan Israel Utara terancam oleh raja Hazael dari kerajaan Aram (2 Raj. 10:32-33). Hazael adalah seorang raja Aram yang sangat kejam (2 Raj. 8:12). Ia membantu orang Filistin dalam peperangan melawan kerajaan Yehuda dan Israel (Yes. 9:10-11). Tetapi pada sisi lain, kerajaan Aram terancam oleh kerajaan Asyur. Raja Adad-nirari III mengepung Damaskus tahun 800 sM, dan menaklukkan Aram (Boland, B.J. 1966, 1). Kondisi demikian menguntungkan kerajaan Israel, sebab kerajaan Aram tidak lagi menjadi ancaman (2 Raj. 13:4-5). Raja Yerobeam II (786 – 746 sM) memperluas daerah Israel dan memulihkan batas-batas lama (2 Raj. 14:25). Dengan demikian dari sudut sosial politik, kerajaan Israel Utara di bawah pemerintahan raja Yerobeam II mengalami kemakmuran. Perdagangan luar negeri hidup kembali (Luke, K. 1987, 209). Nabi Amos hidup pada masa pemerintahan raja Yerobeam II justru melihat sisi yang terdalam, yaitu ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang (Bruce, F.E. 1986, 894). Kemakmuran ekonomis hanya dimiliki oleh sebagian umat Israel, tetapi kebanyakan umat Israel justru hidup dalam penderitaan dan penindasan. Mereka dieksploitasi dan diperas (Andersen, Francis and David Noel Freedman 1989, 308).
Eksploitasi dan pemerasan terhadap sesama umat Israel (Am. 5:12) tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka juga menjual orang miskin dan orang benar sebagai budak (Mowvley, Harry 1991, 31). Kitab Amos 2:6-7 dan 8:4,6 memperlihatkan bagaimana mereka melakukan perdagangan manusia. Amos 2:6 mempersaksikan: “Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut”. Kata “al–makar” (מָכַר-עַל) digunakan dalam bentuk Qal [3]yang berarti: menjual. Adapun yang mereka jual adalah orang benar atau tsaddiyq (צַדִּיק). Alasan mereka “menjual orang benar” pada prinsipnya untuk menunjuk perdagangan kepada orang-orang miskin, karena mereka tidak dapat membayar harga sepasang sandal. Pada sisi lain, penyebutan harga sepasang sandal dapat memiliki arti untuk menunjuk (Bruce, F.F. 1986, 899), yaitu:
- Sesuatu barang yang begitu remeh.
- Dalam kehidupan umat Israel kuno, sandal dipakai sebagai simbol transaksi dan tindakan menebus yang formal (Rut 4:7).
- Keberadaan hidup seseorang dihargai senilai sepasang sandal.
Dari ketiga arti tersebut, tampaknya kritik nabi Amos ditujukan kepada orang-orang kaya yang menjual orang miskin karena mereka tidak mampu membayar hutang senilai harga sepasang sandal. Terjemahan LAI telah dengan sangat tepat menyatakan situasi tersebut, yaitu: “Oleh karena mereka menjual orang benar karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut”. Kata “בַּכֶּסֶף” (bakaeseph) berarti: “karena alasan uang.” Dari sudut struktur kalimat sejajar dengan kalimat berikutnya, yaitu נַעֲלָ (na`al) untuk menunjuk karena alasan sepasang sandal (Andersen, Francis I. and David Noel Freedman 1989, 312). Dengan demikian, orang-orang yang kaya dan berkuasa melakukan penjualan dan perdagangan manusia karena mereka tidak mampu membayar hutang yang sebenarnya sangat ringan, tetapi dibebani oleh bunga yang sangat mencekik leher dan menyebabkan mereka terpaksa menjual diri mereka sendiri. Padahal di Keluaran 22:25 Allah berfirman: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya” (bdk. Im. 25:36). Tetapi kini mereka telah mengabaikan firman Tuhan tersebut dengan membebani sesama umat Israel yang berhutang dengan bunga yang sangat berat, bahkan menindas mereka sedemikian rupa sehingga mereka dijual sebagai budak.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jikalau Amos 2:6 diawali dengan pernyataan Allah: “Beginilah firman TUHAN: “Karena tiga perbuatan jahat Israel, bahkan empat, Aku tidak akan menarik kembali keputusan-Ku.” Dari struktur kitab Amos, kita dapat melihat nubuat nabi Amos ditujukan kepada bangsa-bangsa di sekitar Israel. Pola kalimat yang digunakan Allah adalah ” “Beginilah firman TUHAN: “Karena tiga perbuatan jahat…. bahkan empat” Rumusan pernyataan Allah tersebut ditujukan kepada Damsyik (1:3), Gaza (1:6), Tirus (1:9), Edom (1:11), Amon (1:13), Moab (2:1), Yehuda (2:4), dan Israel (2:6). Dengan struktur tersebut, terlihat bahwa perbuatan Yehuda dan Israel tidak berbeda jauh dengan perbuatan jahat dan lalim yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di sekitar mereka yang tidak mengenal Yahweh. Kehidupan umat Israel sama sekali tidak memperlihatkan kekudusan dan keadilan Allah. Mereka menjadi pemeras, penindas, dan penjual saudara-saudaranya sendiri. Tampaknya mereka telah lupa firman Allah yang mengingatkan mereka, yaitu: “Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu; itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini” (Ul. 15:15). Dengan kemakmuran ekonomis yang telah mereka miliki, mereka tidak ingat bahwa nenek-moyang mereka dulu waktu di Mesir adalah para budak.
Tampaknya eksploitasi dan perdagangan manusia di zaman kitab Amos begitu marak, sehingga di Amos 8:6 diulangi kembali gambaran riel kehidupan umat Israel: “supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?” Perbedaan antara Amos 2:6 dengan Amos 8:6 adalah pada penggunaan kata kerja. Amos 2:6 menggunakan kata “al–makar” (מָכַר-עַל) yang artinya “menjual,” sedangkan Amos 8:6 menggunakan “membeli” atau “mendapat, memperoleh” (קְנֹות) orang miskin dengan alasan perak. LAI menterjemahkan kata “כֶּסֶף” (keseph) dengan arti “uang”, karena kata “כֶּסֶף” (keseph) dapat berarti: uang, perak, syekel, atau talenta. Jadi Amos 8:6 lebih menekankan kepada pihak konsumen yang membeli orang-orang yang diperdagangkan sebagai budak, sedangkan Amos 2:6 menunjuk kepada para penjual budak. Selain itu Amos 8:6 lebih memerinci sikap serakah para penjual dan pembeli, sehingga mereka selain menjual dan membeli orang miskin karena hutang sebesar nilai sepasang sepatu, juga karena alasan hutang terigu rosokan. Kata “mappal bar” (בַּר וּמַפַּל) untuk menunjuk tepung terigu yang dibuang. Jadi para penjual dan pembeli sesama yang dijadikan budak dengan alasan yang begitu sepele atau nilai barang-barang yang sama sekali tidak berharga.
Respons Allah terhadap eksploitasi dan penindasan berupa perdagangan manusia tersebut adalah: “TUHAN telah bersumpah demi kebanggaan Yakub: “Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!” (Am. 8:7) Allah mengangkat “sumpah”, dari kata: shaba` (שבע) untuk menunjuk bahwa Allah berjanji pada diri-Nya sendiri (bdk. Kej. 22:16) untuk melakukan suatu hukuman kepada umat yang menindas dan memperdagangkan sesamanya. Hukuman yang akan dijatuhkan oleh Allah tersebut tidak akan dibatalkan. Hukuman Allah ditimpakan kepada setiap penduduk dalam bentuk perkabungan (Am. 8:8), matahari akan terbenam pada siang hari (Am. 8:9), dan kelaparan secara rohaniah sehingga mereka tidak menemukan firman Tuhan yang memberi kelegaan (Am. 8:11-12). Sebab mereka telah merendahkan martabat sesama dengan memperdagangkan orang-orang yang tidak berdaya karena hutang yang tidak seberapa. Dengan demikian, dalam konteks ini, Yahweh bertindak sebagai pembela bagi setiap umat yang tertindas, dieksploitasi, dan diperdagangkan.
Makna perbudakan pada zaman Perjanjian Baru
Salah satu bentuk perdagangan manusia pada masa kini adalah perbudakan. Oleh sebab itu kita akan melihat makna budak pada zaman Perjanjian Baru. Kata “budak” dalam Perjanjian Baru berasal dari kata “doulos”[4]. Dalam hal ini kitab Injil-Injil dan surat 1 Petrus menggunakan kata “doulos” dalam beberapa makna:
- Seorang yang setia dan berlaku bijaksana kepada tuannya (Mat. 24:45).
- Taat secara absolut (Mat. 8:9).
- Seorang yang tidak mencari keuntungan atau ucapan terima-kasih (Luk. 17:7-10).
- Tetap tunduk kepada tuannya, walau tuannya berlaku bengis (1 Petr. 2:18).
Dalam beberapa tulisan rasul Paulus, kata “doulos” juga dipakai dalam beberapa arti yang positif, yaitu: hamba Kristus (Rom. 1:1; 1 Kor. 4:1; Gal. 1:10; Ef. 6:6), hamba Allah (Rom. 6:22; 13:4), hamba Tuhan (2 Tim. 2:24), dan hamba kebenaran (Rom. 6:19). Namun juga kata “doulos” dipakai secara negatif, misalnya: hamba manusia (1 Kor. 7:23), hamba dosa (Rom. 6:17), hamba uang (1 Tim. 3:3; 2 Tim. 3:2),. Sikap rasul Paulus terhadap perbudakan pada satu pihak tidak berupaya secara sengaja menghapus, tetapi pada pihak lain ia mengingatkan agar bilamana dibebaskan sebagai budak hendaknya kesempatan tersebut diterima dengan baik. Di 1 Korintus 7:21 rasul Paulus menyatakan: Adakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu.” Sikap rasul Paulus tersebut agak berbeda dalam surat kepada Filemon. Surat ini ditujukan kepada Filemon, Arkhipus dan jemaat di rumahnya. Surat Filemon ini tidak semata-mata bersifat pribadi. Rasul Paulus menulis surat kepada Filemon, karena dia mempunyai seorang budak bernama Onesimus. Budaknya lari meninggalkan Filemon dan menemui rasul Paulus yang saat itu berada dalam penjara. Melalui surat tersebut rasul Paulus menyuruh Onesimus kembali kepada Filemon tuannya dan meminta agar Filemon tidak lagi memperlakukan Onesimus sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba yaitu sebagai saudara yang kekasih (Filemon 1:16). Manakala Onesimus sudah merugikan Filemon secara materiil, rasul Paulus bersedia untuk menanggung kerugian itu dan akan membayarnya (Filemon 1:19). Dengan demikian rasul Paulus tidak meminta kepada Filemon untuk membebaskan Onesimus, tetapi memperlakukan Onesimus dengan baik seperti seorang saudara di dalam Kristus.
Kata doulos digunakan oleh rasul Paulus untuk merefleksikan diri Kristus. Kristus adalah seorang “doulos”. Walaupun Kristus setara dengan Allah, Kristus tidak mempertahankan status tersebut. Sebaliknya Ia berkenan mengosongkan diri dengan mengambil rupa seorang hamba (Flp. 2:7). Dengan mengosongkan diri sebagai seorang “doulos” Kristus menyatakan solidaritas-Nya dengan kemanusiaan manusia yang rapuh karena kuasa dosa, hukum, dan kematian (Brown, Colin. 1992, 597). Dengan menempatkan diri-Nya selaku seorang “doulos” Kristus menebus manusia dari perbudakan dosa dengan kematian-Nya, sehingga manusia yang berdosa menjadi hamba-hamba kebenaran (Rom. 6:18). Relasi yang baru dengan Allah tersebut bukan lagi didasari oleh roh perbudakan (pneuma douleias), tetapi umat menerima roh sebagai anak Allah (penuma hyiothesias). Melalui Rom. 8:15 rasul Paulus berkata: “Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa!”
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa tulisan-tulisan dalam Perjanjian Baru tidak pernah memperlihatkan sikap yang revolusioner untuk menghapus sistem perbudakan yang terjadi pada zaman itu. Alasan utama dalam pemikiran para penulis Perjanjian Baru, khususnya rasul Paulus adalah bagaimana hubungan yang baik antara seorang tuan dengan para budaknya. Secara tersirat, para penulis Perjanjian Baru menghendaki adanya hubungan yang tidak eksploitatif dan menindas. Melalui Kolose 3:22 rasul Paulus menasihati para “doulos” agar mereka mentaati tuannya di dunia ini dalam segala hal dengan motif utama, yaitu “takut akan Tuhan”. Lebih utama daripada itu makna kata “doulos” tidak pernah dipakai oleh rasul Paulus untuk mendorong umat memperbudak atau memperdagangkan sesamanya, tetapi justru dipakai secara konstruktif. Kata “doulos” dipakai oleh rasul Paulus untuk menunjuk status umat percaya selaku hamba Kristus, hamba Allah, dan hamba kebenaran. Karena itu setiap umat percaya dipanggil untuk tidak menjadi hamba uang dan hamba dosa. Apabila umat tidak tidak menjadi hamba uang dan hamba dosa, maka bukankah umat tidak akan menindas, mengeksploitasi atau memperdagangkan manusia.
Hakikat Allah adalah Bekerja
Kata “bekerja” (Ibrani: מלאכה, dan Yunani: ἔργα) dalam Septuaginta digunakan untuk menunjuk kepada karya Allah selaku Pencipta (Brown, Colin 1992, 1148). Berulangkali kata “bekerja” digunakan dalam hubungan dengan tindakan Allah (Mzm. 8:4, 7; 90:16; 138:8; Ayb. 14:15; Yes. 29:23). Penciptaan alam semesta menunjuk kepada hasil pekerjaan Allah. Nama Allah, yaitu “Yahweh” (יהוה) sering dihubungkan dengan kata kerja yang menunjuk tindakan-Nya yang menyelamatkan. Keluaran 20:2, Allah berfirman: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Penyataan diri Allah dengan nama “Yahweh” berkaitan dengan tindakan-Nya yang membawa umat Israel dari tempat perbudakan. Dengan demikian Yahweh adalah Allah yang senantiasa berkarya untuk menyelamatkan umat-Nya. Yahweh di dalam pemahaman Alkitab senantiasa dipersaksikan sebagai pribadi ilahi yang aktif dan dinamis dalam sejarah kehidupan umat manusia. Sangat berbeda dengan pemahaman orang Yunani kuno tentang Allah. Mereka memiliki suatu pandangan bahwa Allah seharusnya apatheia (apatis). Karena itu “allah” yang lebih rendah derajatnya, yaitu Demiurgos dipahami sebagai allah yang melakukan pekerjaan. [5]
Dalam Perjanjian Baru, sosok diri Allah yang bekerja tidak berubah. Tuhan Yesus berkata: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga“ (Yoh. 5:17). Intensitas penggunaan kata “ergazomai” yang artinya: bekerja, bersikap aktif, menghasilkan, dan bertindak digunakan sebanyak 41 kali, yang mana 18 kali dipakai oleh rasul Paulus. Sedang kata ergon digunakan 169 kali, yang mana rasul Paulus menggunakan 68 kali termasuk surat-surat umum (Brown, Colin 1992, 1142). Kemudian kata “ergon” dikaitkan dengan pekerjaan Kristus (Mat. 11:2; Luk. 24:19). Injil Yohanes secara khusus menggunakan kata “ta erga” (bentuk jamak) dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus. Melalui pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pada hakikatnya menyaksikan tentang diri Yesus (Yoh. 10:25). Bahkan melalui pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus tersebut menunjuk kepada relasi diri-Nya yang intim dan eksklusif dengan Allah. Yohanes 10:37 mempersaksikan: “tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa“. Untuk itulah umat dipanggil percaya kepada pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan Yesus, yaitu: “Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh. 6:29). Adapun pekerjaan-pekerjaan Yesus adalah pekerjaan Allah yang menyelamatkan, dan memulihkan. Tindakan umat yang percaya kepada Yesus dan pekerjaan-Nya berarti hidup sesuai dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Di Injil Lukas, Tuhan Yesus menyatakan misi-Nya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19). Nilai-nilai Kerajaan Allah berarti menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, pembebasan kepada para tawanan, dan memberlakukan tahun rahmat Tuhan.
Manusia dan Perbudakan pada Masa Kini
Berdasarkan pemaparan di atas, yaitu konteks perdagangan manusia pada masa kini dan praktek perdagangan manusia pada masa Alkitab, setidaknya kita akan menemukan beberapa sumbangsih penting dari bidang ilmu Teologi Biblika Kontekstual terhadap isu perdagangan manusia dan perbudakan.
Kesimpulan pertama adalah Alkitab mempersaksikan karya keselamatan Allah di tengah-tengah sejarah dan kehidupan umat-Nya. Yahweh adalah Allah yang bertindak membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir dan memberi status baru sebagai umat pilihan Allah. Dari pernyataan Allah di Keluaran 20:1-2 telah menegaskan bahwa Yahweh adalah Allah pembebas bagi setiap penindasan, perbudakan, dan perdagangan manusia. Karena itu sikap etis umat Israel seharusnya hidup dengan sistem nilai Allah yang tercermin dalam hukum Taurat, yaitu memberlakukan keadilan, belas-kasihan, kemurahan, dan kebenaran. Pekerjaan sehari-hari yang mereka lakukan bukan dilakukan dengan cara menindas, mengeksploitasi, dan memperdagangkan sesamanya. Apabila umat Israel melanggar hukum Allah berarti mereka merusak hubungan perjanjian (berith) dengan Allah. Sebab eksistensi umat Israel pada hakikatnya didasarkan kepada perjanjian (berith) Allah. [6]
Kesimpulan kedua adalah Alkitab menempatkan makna “kerja” sebagai sesuatu yang positif dan mulia. Dasar teologisnya: Yahweh adalah Allah yang senantiasa bekerja. Kehidupan dan keberlangsungan hidup di alam semesta ini terjadi karena pekerjaan Allah. Jika Allah tetap bekerja, maka seharusnya sikap iman kepada-Nya juga mendorong kita untuk melakukan pekerjaan yang memuliakan nama-Nya. Dengan demikian berbagai tindakan memperdagangkan manusia merupakan perlawanan umat kepada diri Allah. Orang-orang yang memperdagangkan manusia pada hakikatnya telah memposisikan dirinya sebagai lawan Allah. Oleh karena itu, kitab Amos mempersaksikan respons Allah yang bersumpah untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap penindas, penjual dan pembeli manusia. Kemarahan Allah kepada umat-Nya yang menindas, mengeksploitasi dan memperdagangkan sesamanya memperlihatkan keberpihakan Allah pada mereka yang ditindas, dieksploitasi dan diperdagangkan. [7]
Kesimpulan ketiga adalah akar dari perdagangan manusia, perbudakan, dan tindakan eksploitatif adalah dosa. Dalam konteks Perjanjian Baru, rasul Paulus menasihati umat percaya agar mereka tidak hidup selaku hamba dosa, dan hamba uang. Sebaliknya umat dipanggil untuk hidup selaku hamba Kristus (Rom. 1:1; 1 Kor. 4:1; Gal. 1:10; Ef. 6:6)), hamba Allah (Rom. 6:22; 13:4), dan hamba kebenaran (Rom. 6:19). Artinya apabila mereka hidup selaku “hamba Kristus” maka mereka tidak akan mempraktekkan eksploitasi dan perdagangan manusia. Sebaliknya mereka akan hidup selaku umat yang telah diperbarui dan hidup menurut kehendak Roh. Mereka akan senantiasa memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan pemulihan martabat bagi sesamanya. Itu sebabnya Kristus yang adalah Anak Allah berkenan mengosongkan diri-Nya dan menjadi seorang “doulos” (hamba), agar Dia dapat mengangkat setiap umat manusia dalam belenggu perbudakan dengan arti yang seluas-luasnya. Di dalam Kristus, umat dimampukan untuk menjadi ciptaan baru (2 Korintus 5:17).
DAFTAR ACUAN
Andersen, Francis I. and David Noel Freedman. 1989. The Anchor Bible. Amos. New York: The Anchor Bible Doubleday
Boland, B.J. 1966. Tafsiran Amos. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Brown, Colin (Ed.) 1992. The New International New Testament Theology. Volume III. Carlisle, Lumbria, UK: the Pater Noster Press
Bruce, F.F. 1986. The International Bible Commentary. Grand Rapids, Michigan: Marshall Pickering/Zondervan International Standard Bible Encyclopedia. 1993. Volume Four. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company
Irianti, Sulistyowati, dkk. 2007. Perdagangan perempuan dalam jaringan pengedaran narkotika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lapian, L.M. Gandhi dan Hetty A. Geru, peny. 2006. Trafiking perempuan dan anak: Penanggulangan komprehensif: Studi kasus: Sulawesi utara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
LBH APIK. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. http://www.lbh-apik.or.id/uu%20ptpo.htm
Luke, K. 2001. Companion to the Bible. Vol. 1. Bible in General and Old Testament. Bangalore: Theological Publications in India
Mowvley, Harry. 1991. The Books of Amos and Hosea. Epworth Commentaries. Westminster: Epworth Press
Kittel, Gerhard (Ed.) 1993. Theological Dictionary of the New Testament. Volume II. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company Yentriyani, Andy. 2004. Politik perdagangan perempuan. Jakarta: Galang Press.
[1] Definisi lainnya adalah seperti yang dipaparkan oleh Coalition to Abolish Slavery and Trafficking: “Rekruitmen atau pemindahan orang oleh pihak lain dengan menggunakan kekerasan, ancaman penggunaan kekerasan, penyelewengan kekuasaan atau posisi dominan, penipuan ataupun segala bentuk kekerasan, untuk tujuan mengeksploitasi orang-orang tersebut secara seksual maupun ekonomi untuk keuntungan pihak lain seperti si perekrut, mucikari, traffickers, perantara, pemilik rumah bordil dan pegawai lainnya, pelanggan atau sindikat kriminal. Trafficking juga harus dapat dipahami sebagai pemindahan orang dalam batas-batas wilayah sebuah negara, antarnegara, dalam sebuah kawasan atau antarbenua.” (Yentriyani 2004, 22)
[2] Pada dasarnya, global skin trade adalah perdagangan perempuan secara global baik untuk tujuan prostitusi, pariwisata seks, mail order bride, atau perdagangan perempuan lokal untuk menjadi istri dari pria asing, maupun pornografi. Industri ini adalah sebuah perusahaan global dengan aset milyaran dollar. (Yentriyani 2004, 26-35)
[3] Dalam bentuk Niphal, kata makar (מָכַר) berarti: dijual atau menjual diri mereka sendiri (bdk. Im. 27:20).
[4] Status seseorang sebagai budak dapat disebabkan: 1). Lahir dari orang-tua yang berstatus sebagai budak, 2). Jatuh miskin sehingga dia tidak memiliki apapun, 3). Menjadi tawanan perang sehingga dia diperbudak atau dijual kepada pihak lain.
[5] Kata demiurgos dari kata: δημιουργός, dēmiourgos. Arti harafiah adalah “pekerja umum” yang aslinya menunjuk pekerjaan tukang, tetapi kemudian berkembang menjadi “penghasil” lalu dipahami sebagai “pencipta.” Pengertian ini berasal dari tulisan Plato yang berjudul Plato’s Timaeus yang ditulis sekitar 360 sM menampilkan sosok “demiurgos” selaku pencipta alam semesta.
[6] Terkait hal ini, haruslah diakui bahwa Alkitab sendiri memperlihatkan standar ganda mengenai perbudakan. Umat Israel diperkenankan untuk memperbudakan bangsa-bangsa lain yang bukan Israel (Im. 25:44). Pemahaman ini tentu tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masa kini. Ruang interpretasi mengenai ‘sesama’ seharusnya dibuka secara lebar sehingga ‘sesama’ kita tidak lagi dibatasi pada ras, etnis, agama, dan budaya seperti pada masa kitab Amos. Makna sesama seharusnya diperluas sehingga ‘sesama’ kita adalah setiap sesama umat manusia (bdk dengan kisah orang Samaria yang baik hati).
[7] Oleh sebab itu, sudah seharusnya ‘kemarahan’ Allah ini juga menjadi ‘kemarahan’ kita terhadap isu perdagangan manusia karena sesama kitalah yang dikorbankan. Sikap umat yang berdiam diri dan membiarkan praktek perdagangan manusia terus berlangsung mengandaikan suatu sikap yang menyetujui dan mengukuhkan sistem perdagangan manusia dalam berbagai bentuk. Oleh sebab itu, kemarahan Allah perlu diterjemahkan menjadi suatu perjuangan yang komprehensif dan tepat sasaran dalam memerangi kejahatan perdagangan manusia di tengah-tengah masyarakat. Terkait hal ini kita tidak dapat berjuang sendirian, tetapi harus melibatkan semua elemen masyarakat yang sungguh-sungguh peduli terhadap makna dan harkat kemanusiaan.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono