Matius 17:22-23
Pada waktu Yesus dan murid-murid-Nya bersama-sama di Galilea, Ia berkata kepada mereka: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.” Maka hati murid-murid-Nya itupun sedih sekali.
Pemberitahuan dapat memiliki tujuan untuk memberi informasi. Dengan menyampaikan informasi maka penerima informasi dapat bertindak tepat dan mengantisipasi suatu keadaan. Namun apakah Tuhan Yesus sekadar memberi informasi? Sebab dalam Injil disebutkan Tuhan Yesus memberitahu akan penderitaan dan kematian-Nya sebanyak 3x. Pemberitahuan Tuhan Yesus bukan sekadar memberi informasi, tetapi utamanya mengajak para murid untuk menyiapkan diri agar mereka mampu merefleksikan apa artinya penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Penyiapan diri yang dilakukan oleh Tuhan Yesus adalah agar para murid memiliki proses iman yang semakin bertumbuh.
Selain menyiapkan diri para murid agar mampu merefleksikan apa yang terjadi di dalam hidup-Nya, dari sudut teologi Yudaisme pemberitahuan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus merupakan tindakan nubuat (prophesy). Makna “nubuat” pada hakikatnya merupakan penyataan (wahyu) firman Allah yang akan bekerja sesuai dengan rencana dan kehendak Allah dalam waktu yang telah ditentukan. Dalam tindakan “bernubuat” Allah adalah merupakan subjek ilahi yang mahatahu dan berdaulat. Dalam kemahatahuan dan kedaulatan Allah seluruh penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus berada dalam rencana dan kehendak-Nya. Dengan kemahatahuan dan kemahakuasaan-Nya Allah bertindak menggerakkan arah dan jalannya sejarah.
Contoh bentuk “nubuat” yang dilakukan oleh Yesus adalah pemberitahuan-Nya bahwa Yerusalem akan diruntuhkan (Mat. 23:37-39, Luk. 21:5-6). Nubuat Yesus tersebut akhirnya terjadi pada tahun 70. Kota Yerusalem dan Bait Allah dikepung, lalu diruntuhkan oleh serangan pasukan kerajaan Romawi. Apa yang dinubuatkan oleh Tuhan Yesus senantiasa terjadi. Ia adalah Sang Firman yang sehakikat dengan Allah, sehingga mengetahui dengan persis apa yang akan terjadi di masa depan. Demikian pula nubuat Yesus tentang penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Nubuat tersebut terjadi sebagaimana yang telah disampaikan oleh Tuhan Yesus.
Apabila penderitaan dan kematian Kristus merupakan wujud dari nubuat ilahi dan rencana Allah, timbul pertanyaan: “Apakah Allah yang merencanakan dan menyerahkan Yesus untuk mengalami penderitaan dan kematian?” Jikalau Allah yang melakukan rencana tersebut bukankah berarti Allah telah melakukan kekerasan kepada Kristus? Kristus yang walau pun seorang yang benar dan tanpa cacat cela di hadapan Allah dikorbankan oleh Allah. Jikalau demikian bukankah telah terjadi Divine child abuse (Allah yang melakukan kekerasan terhadap Kristus yang adalah Anak Allah)? Bukankah tindakan Allah yang melakukan kekerasan pada hakikatnya bertentangan dengan hakikat-Nya yang penuh kasih, kudus dan tidak mengandung dosa? Jikalau demikian mengapa Allah yang kudus dan mahakasih memilih untuk melakukan kekerasan terhadap Kristus? Kita mengetahui bahwa setiap bentuk kekerasan mengandung aspek ketidakadilan dan kekejaman. Perilaku kekerasan apa pun motifnya bertentangan dengan kodrat dan martabat manusia.
Kemungkinan lain dari makna pemberitahuan Tuhan Yesus tentang penderitaan dan kematian-Nya adalah sebagai keteladanan agar para murid mengikuti jejak-Nya. Dalam konteks ini Tuhan Yesus memberitahu para murid-Nya tentang penderitaan dan kematian-Nya adalah untuk memotivasi mereka mengikuti keteladanan-Nya. Pandangan ini sering disebut dengan teori “Moral Influence” (Pengaruh Moral). Maksud teori Pengaruh Moral didasarkan pada hakikat Allah yang penuh kasih. Karena itu Allah tidak pernah merencanakan dan menyerahkan Yesus untuk mengalami penderitaan dan kematian di atas kayu salib. Allah mengasihi manusia tanpa syarat sehingga Ia tidak menuntut apa pun dari manusia walau pun berdosa. Sebaliknya melalui peristiwa salib yaitu penderitaan dan kematian Yesus, Allah mengundang manusia untuk mengalami pembaruan hidup. Melalui salib Kristus, Allah memanggil manusia untuk berefleksi dan mengevaluasi seluruh aspek kehidupannya. Di depan penderitaan dan kematian Yesus umat percaya akan melihat betapa besar kasih dan pengorbanan Allah untuk keselamatan mereka. Jadi makna pemberitahuan Yesus tentang penderitaan dan kematian-Nya bukanlah nubuat ilahi. Pemberitahuan yang dilakukan oleh Yesus adalah tindakan yang mempersiapkan para murid agar mereka menjadi para pribadi yang bersedia setia sampai mati, dan sikap berkorban.
Menurut saudara, manakah yang paling tepat untuk memaknai pemberitahuan dan peristiwa penderitaan serta kematian Yesus?
1). Apakah Yesus menderita dan wafat karena Allah menyerahkan Dia untuk melakukan penebusan dosa melalui kekerasan?
Ataukah:
2). Yesus wafat sebagai teladan yang memberi pengaruh moral agar diteladani oleh umat percaya untuk berkurban dan setia sampai mati dalam membela kebenaran?
Apabila kita memilih yang pertama bahwa Yesus menderita dan wafat karena Allah menyerahkan Kristus melalui kekekerasan, maka Allah telah melakukan ketidakadilan. Apabila contoh dari Allah ini dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari bukankah sangat berbahaya? Demi kebaikan dan keselamatan orang banyak, kita diizinkan untuk melakukan kekerasan dengan mengorbankan orang lain yang tidak bersalah.
Di antara kedua opsi tersebut sebagian orang memilih pilihan pertama yaitu Yesus wafat menggantikan dosa dan kesalahan manusia melalui kekerasan. Sebagian orang lagi memilih opsi kedua bahwa Yesus menggantikan dosa umat manusia melalui tindakan Allah sebagai keteladanan (moral influence). Namun apakah kedua pilihan tersebut representatif dengan maksud dan tujuan utama kesaksian Injil-injil?
Peristiwa penderitaan dan salib Kristus sebagai teladan ataukah Ia sebagai penebus yang menggantikan posisi orang berdosa dapat memperkaya salah satu bagian perspektif iman. Tetapi inti dari perspektif iman Kristen adalah bahwa Kristus menderita dan wafat adalah karena Ia secara sadar memberikan hidup-Nya bagi keselamatan manusia. Yesus menderita dan wafat bukan karena Ia diserahkan oleh Allah untuk mengalami kekerasan atau kekejaman. Demikian pula Yesus wafat bukan sekadar menjadi teladan agar umat memiliki semangat berkurban. Tetapi Yesus wafat karena Ia adalah Sang Mesias dan Firman Allah yang mengasihi umat manusia sehingga Ia bersedia menyerahkan nyawa demi keadilan Allah. Kristus yang tidak berdosa bersedia menanggung dosa di dalam diri-Nya. Karena itu Yesus wafat bukan karena nyawa-Nya dicabut oleh manusia, atau Iblis atau Allah. Yesus wafat karena Ia memberikan nyawa-Nya dengan rela dan penuh kasih.
Di Yohanes 10:17-18 menyatakan: “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.” Perhatikan frasa yang diucapkan oleh Kristus, yaitu: “Aku memberikan nyawa-Ku …. Tidak seorang pun mengambilnya daripada-Ku. Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali….”
Kesalahan ajaran yang sering kita dengar adalah seakan-akan Yesus wafat karena Ia disalibkan. Jadi eksekusi penyaiban menjadi penyebab kematian Yesus. Padahal seharusnya Yesus wafat di atas kayu salib karena Ia menyerahkan nyawa-Nya. Dalam konteks ini salib bukan sebagai penyebab kematian Yesus. Tetapi kata “salib” sebagai keterangan tempat. Karena itu di Yohanes 19:30 menyatakan: “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.” Kembali frasa “menyerahkan nyawa-Nya” diulang sebagai penegasan bahwa Yesus mengorbankan diri untuk menebus dan menyelamatkan umat manusia. Tindakan Yesus yang memberikan nyawa disebut sebagai sacrifice (berkurban). Yesus bukan “korban” (victim). Apabila Yesus menjadi “korban” (victim) maka Ia tidak mampu menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Bukankah status dan kondisi “korban” senantiasa lemah dan tidak berdaya? Bahkan setiap korban membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Saat kita menjadi korban kekerasan, korban penipuan, korban pelecehan atau korban apa pun membutuhkan orang lain untuk menolong atau menyelamatkan diri kita.
Apabila Yesus diserahkan oleh Allah untuk dibunuh, berarti kedudukan Yesus sebagai korban yang lemah. Ia bukan Juruselamat. Sedangkan bila Yesus wafat sekadar menjadi teladan yang memberi pengaruh moral berarti kematian-Nya sekadar media untuk memberi inspirasi dan motivasi. Penderitaan dan kematian-Nya sebagai alat peraga yang menginspirasi agar mampu menjadi manusia yang lebih baik. Namun apabila kematian Yesus karena pilihan-Nya sendiri untuk berkurban atau menyerahkan nyawa, maka nubuat para nabi Perjanjian Lama telah digenapi. Yesus wafat dengan menyerahkan nyawa-Nya sebagai penebus atau pengganti umat yang seharusnya dimurkai oleh Allah. Ia sungguh-sungguh Juruselamat yang sempurna.
Makna pemberitahuan yang hendak disampaikan oleh Yesus adalah: “Ia sebagai Sang Mesias yang telah dipilih oleh Allah berkenan menyerahkan nyawa-Nya sebagai Sang Penebus namun kuasa maut tidak dapat menaklukkan Dia. Itu sebabnya Yesus yang menderita dan wafat akan bangkit dengan kuasa serta kemuliaan-Nya.” Tujuan utama Yesus memberitahukan kepada para murid-Nya adalah agar mereka mulai sejak itu dapat mengalami pertumbuhan iman dan kematangan kerohanian serta keselamatan dalam mengikut Dia.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono