Latest Article
Mengenang Perayaan Reformasi Gereja ke-500 (Liberated by God’s Grace)

Mengenang Perayaan Reformasi Gereja ke-500 (Liberated by God’s Grace)

Dibebaskan oleh Anugerah Allah

Tema: Liberated by God’s Grace merupakan tema yang dipakai oleh The Lutheran World Federation (LWF) untuk menyambut ulang-tahun Reformasi Martin Luther yang ke-500 (31 Oktober 1517 – 31 Oktober 2017). Dasar dari tema Liberated by God’s Grace adalah di dalam karya penebusan Kristus, Allah membebaskan dan menyelamatkan umat manusia dengan anugerah-Nya. Anugerah Allah yang dicurahkan ke dalam kehidupan umat manusia di dalam Kristus adalah anugerah yang tidak ternilai. Setiap umat dipanggil untuk menyambut dengan ucapan syukur yang melimpah sehingga memampukan mereka berperan secara aktual di tengah-tengah konteks perubahan zaman. Perubahan zaman sering menyebabkan nilai-nilai rohani diduniawikan. Nilai-nilai rohani seperti keselamatan, kemanusiaan dan ciptaan Allah sering dimanipulasi. Karena itu sub-tema yang diangkat oleh The Lutheran World Federation adalah: “salvation, creation and human beings are not for sale.” Dengan demikian makna tema Liberated by God’s Grace bertujuan menegaskan bahwa hakikat keselamatan yang dianugerahkan Allah di dalam penebusan Kristus tidak boleh dikomersialkan. Keberadaan kemanusiaan dan ciptaan juga tidak boleh diperjualbelikan sebagaimana pernah dipraktikkan oleh gereja Katolik-Roma pada abad XVI.

Sekilas Latar-belakang Reformasi Gereja

Praktik penyimpangan gereja dalam menghayati anugerah keselamatan Allah pada abad XVI mendorong seorang biarawan bernama Martin Luther dari Ordo St. Agustinus menyampaikan kritiknya. Kritik Martin Luther pada waktu itu disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

  1. Penyimpangan kekuasaan gereja yang dinyatakan dalam hirarkhi gereja melalui supremasi jabatan Paus sebagai Wakil Kristus. Dalam dalil ke-86 Martin Luther mengkritik tindakan para Paus yang mengumpulkan kekayaan bagi dirinya sendiri. Seharusnya dengan kekayaan yang dimiliki Paus dapat membangun Basilika St. Peter, bukan mendorong umat mengumpulkan uang melalui penjualan surat pengampunan dosa.
  2. Penyimpangan penjualan “surat pengampunan dosa” (indulgensi) dan pemberian pengampunan dosa kepada orang mati dari api penyucian (purgatorium) .
  3. Umat cenderung menyediakan uang untuk membeli surat pengampunan dosa dibandingkan menyatakan kepedulian kepada orang-orang yang miskin dan menderita. Karena itu Martin Luther menegaskan dalam dalil yang ke-43 dan 45 bahwa menolong orang yang mengalami kesusahan lebih baik daripada membeli surat pengampunan dosa.
  4. Firman Tuhan pada waktu itu tidak menjadi dasar utama bagi umat untuk membangun spiritualitas dan imannya, tetapi sebaliknya pengajaran tentang surat pengampunan dosa (dalil ke-54). Karena itu Martin Luther menegaskan bahwa kekayaan gereja yang sejati adalah Injil yang kudus dan kasih-karunia Allah.
  5. Keselamatan yang sejati terjadi karena sikap iman kepada Kristus, dan bukan pengumpulan pahala berbuat baik. Melalui iman, Allah berkenan membenarkan umat percaya untuk hidup dalam pengudusan. Pembenaran (justification) karena iman kepada Kristus terkait erat dengan hidup dalam pengudusan (sanctification) dalam pembaruan Roh Kudus.

Pada tanggal 31 Oktober 1517 Martin Luther memasang 95 dalil di gereja Wittenberg, Jerman. Karena itu tanggal 31 Oktober 1517 menjadi tonggak yang mengawali reformasi gereja.

Ternyata reformasi gereja yang dikumandangkan oleh Martin Luther tersebut meluas dan membawa dampak perubahan yang luas sehingga terjadi reformasi dalam bidang ekonomi, politik dan pola berpikir. Dampak reformasi gereja yang dilakukan oleh Martin Luther sering disebut dengan “The Luther effect.”

The Luther Effect

Bentuk “the Luther effect” dalam pola pikir orientasi iman umat adalah: sebelum Reformasi abad XVI, gereja mengembangkan sikap “asketisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism), yaitu kehidupan yang mengarah “ke sorga.” Orang-orang yang bekerja secara sekuler dianggap belum memiliki tingkat “rohani” yang mulia. Para anggota biara sejak dahulu bekerja dengan rajin. Tetapi doa dan hal-hal yang berbau rohani dianggap lebih tinggi dan mulia dari pada pekerjaan “sekuler.” Dengan spiritualitas “asketisme yang terarah ke luar-dunia” fokus hidup umat adalah hidup setelah kematian. Mereka hanya berorientasi bagaimana setelah kematian memperoleh keselamatan, sehingga kurang memperhatikan tanggungjawab dan peran dalam kehidupan masa kini. Menurut Max Weber, keadaan berubah drastis setelah Reformasi tahun 1517. Sebab setelah peristiwa Reformasi abad XVI Protestanisme memperkenalkan pola asketisme yang lain, yaitu “asketisme yang terarah ke dalam dunia” (inner worldly-asceticism).  Sikap dasarnya tetap sama, yaitu asketisme (bertarak) dalam pengertian: “tekun, disiplin diri, menolak godaan kenikmatan.” Tetapi orientasi asketisme berubah, yaitu: dari “asketisme yang terarah ke luar-dunia” (other-worldly asceticism) menjadi “asketisme yang terarah ke dalam dunia” (inner worldly-asceticism).

Bentuk “the Luther effect” dalam bidang politik misalnya para perintis asal Eropa membawa spirit Protestanisme ke koloni Inggris di Amerika Utara. Pengaruh Protestanisme di Amerika Utara tersebut kelak terwujud menjadi pendirian negara Amerika Serikat. Para perintis tersebut adalah kaum separatis dari Inggris yang semula Katolik-Roma, tetapi kemudian menjadi kaum Protestan yang ingin kembali kepada keaslian ajaran iman Kristen. Itu sebabnya mereka disebut dengan kaum puritan. Kaum puritan ini dengan kapal yang bernama Mayflower pada bulan September 1620 mengarungi Samudra Atlantik Utara, lalu bermukim di Plymouth pada tanggal 21 September 1620.

Bentuk “the Luther effect” menginspirasi pengembangan berbagai denominasi gereja pada abad XVIII melalui “Kebangunan Rohani Besar” sehingga lahirlah denominasi gereja Baptis, Methodis dan Pentaskostal. Makna dari “the Luther effect” merupakan peristiwa reformasi gereja yang menginspirasi dan mentransformasi nilai-nilai dalam keseluruhan aspek kehidupan umat manusia, sehingga memiliki cara pandang atau perspektif yang baru dalam menafsirkan dan memahami realitas dunia.

Prinsip Perspektif Pemikiran Reformasi

Perspektif atau cara pandang yang baru dari “the Luther effect” adalah:

  1. Makna “kebenaran” tidak lagi ditentukan oleh suatu kekuasaan hierarkhi gerejawi yang menganggap dirinya memiliki kebenaran absolut.
  2. Kebenaran yang absolut berasal dari sumber ilahi yaitu penyataan Allah di dalam firman-Nya.
  3. Makna “keselamatan” yang dianugerahkan Allah direspons umat dengan sikap bertanggungjawab di masa kini, sehingga tidak sekadar berorientasi pada keselamatan di masa mendatang (eskatologis).
  4. Setiap umat percaya memiliki jabatan sebagai “Imamat Am” sehingga setiap orang memiliki peran dan tanggungjawab yang sama. Karena itu tidak ada perbedaan tingkat dalam setiap profesi. Setiap profesi adalah kudus. Karena itu setiap orang wajib melakukan seluruh pekerjaan/profesinya dengan sepenuh hati.
  5. Kesadaran yang eksistensial tentang keberadaan manusia berada di bawah kuasa dosa sehingga tidak ada seorangpun yang mampu menyelamatkan diri sendiri. Karena itu setiap umat dipanggil untuk mengandalkan anugerah Allah yang membebaskan di dalam karya penebusan Kristus.
  6. Pola penafsiran yang tidak semata-mata memahami teks Alkitab sebagai suatu “Taurat” baru yang legalistis. Penafsiran tersebut mendorong manusia untuk mencari keselamatan dengan usaha dan perbuatan baiknya sendiri. Umat tidak menempatkan sikap iman yang mengandalkan kepada anugerah Allah.
  7. Allah memanggil setiap umat percaya untuk hidup dalam anugerah-Nya yang membebaskan. Dengan anugerah Allah, umat dimampukan untuk mengalami pembaruan Roh Kudus. Menyambut anugerah Allah di dalam Kristus berarti umat menerima pembenaran (justification) untuk diwujudkan dalam pengudusan (sanctification).

Protestanisme sebagai Sekte Kristen?

Tindakan Martin Luther untuk melakukan reformasi gereja sama sekali bukan dimaksudkan untuk mendirikan “gereja baru.” Sebaliknya Martin Luther menghendaki agar gereja Roma Katolik pada waktu itu melakukan perbaikan atas berbagai penyimpangan, yaitu: manipulasi kekuasaan dalam hierarkhi gereja, pengajaran yang mengabaikan inti berita Alkitab, pengajaran keselamatan yang dapat diperjualbelikan, dan peran manusia yang dianggap mampu mencapai keselamatan dengan upayanya sendiri. Gerakan reformasi gereja yang diperjuangkan oleh Martin Luther adalah agar gereja kembali kepada pengajaran Alkitabiah (back to the Bible).

Peristiwa reformasi gereja menyadarkan kita bahwa gereja selaku Tubuh Kristus tidak bebas dari kesalahan dan penyimpangan. Para pemimpin dan organisasi gereja dapat menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan khususnya ketika para pemimpin gereja dengan kekuasaannya ditunggangi oleh motif-motif duniawi. Situasi gereja Roma Katolik pada abad ke-16 harus diakui berada dalam era kegelapan. Karena itu gereja pada waktu itu telah mengajarkan dan mempraktikkan “Injil lain” yang sebenarnyanya bukan Injil Kristus. Di Surat Galatia 1:6 Rasul Paulus berkata: “Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik daripada Dia yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu dan mengikuti suatu Injil lain, yang sebenarnya bukan Injil.” Gerakan Reformasi yang dilakukan Martin Luther adalah melawan praktik gereja yang telah mengikuti “Injil lain.” Hakikat “Injil lain” tidak menempatkan anugerah Allah di dalam Kristus sebagai dasar yang paling utama sehingga gereja menggantikan pada kekuasaan dan otoritas duniawi. Bentuk pemerintahan atau pelayanan gerejawi dengan kuasa “Injil lain” akan menempatkan pemujaan atau pemuliaan manusia daripada memuliakan Allah. Hakikat gerakan reformasi yang diinspirasi oleh Martin Luther perlu diterapkan sepanjang zaman, yaitu setiap umat percaya dan gereja harus senantiasa waspada dan tidak takabur. Setiap gereja yang dilandasi oleh Injil Kristus harus senantiasa mengalami pembaruan. Prinsip pembaruan dalam gereja Kristus adalah: Ecclesia reformata, semper reformanda (gereja reformasi adalah gereja yang senantiasa diperbarui). Dengan demikian Protestanisme bukanlah sekte gereja, sebaliknya hadir sebagai gereja yang sesuai dengan Injil Kristus. Tetapi gereja-gereja Kristen Protestan akan menjadi musuh Kristus manakala dalam perkembangannya mengikuti “Injil lain” dalam bentuk yang berbeda. Dalam konteks ini tidak ada satupun gereja yang kebal dari kesalahan dan kesesatan. Karena itu setiap gereja dan umat percaya perlu senantiasa hidup dalam terang Injil dan pembaruan Roh Kudus.

Reformasi dalam Gereja Katolik-Roma

Cukup banyak umat Kristen Protestan yang tidak menyadari bahwa gereja Katolik-Roma juga melakukan reformasi yang radikal. Antara tanggal 11 Oktober 1962 sampai 8 Desember 1965 dilaksanakan Konsili Vatikan II sebagai suatu Konsili Ekumenis ke-21. Peran utama dari Konsili Vatikan II adalah Paus Johanes XXIII. Beliau membawa perubahan yang fundamental dalam kehidupan gereja Katolik-Roma. Konsili Vatikan II ini bukan sekadar kelanjutan dari Konsili Vatikan I (1869-1870), tetapi Konsili yang dirancang untuk melakukan pembaruan secara besar-besaran dalam kehidupan gereja Katolik-Roma. Dalam konsili Vatikan II terdapat tiga agenda besar yaitu: 1). Pembaruan rohani dalam terang Injil, 2). Penyesuaian dengan masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan zaman modern, dan 3). Pemulihan persekutuan secara penuh dengan segenap umat Kristen di dunia. Untuk itu Konsili Vatikan II menyelenggarakan empat periode, yaitu: a). Konsili pada tanggal 11 Oktober – 8 Desember 1962, b). Konsili pada tanggal 29 September – 4 Desember 1963, c). Konsili pada tanggal 14 September – 21 Nopember 1964, d). Konsili pada tanggal 14 September – 8 Desember 1965. Di tengah-tengah Konsili Vatikan II Paus Johanes XXIII wafat pada bulan Juli 1963. Konsili Vatikan II kemudian dilanjutkan oleh Paus Paulus VI.

Salah satu dokumen Konsili Vatikan II tentang pernyataan dan sikap Gereja Katolik-Roma dalam Unitatis Redintegratio menyatakan: “All in the Church must preserve unity in essentials. But let all, according to the gifts they have received enjoy a proper freedom, in their various forms of spiritual life and discipline, in their different liturgical rites, and even in their theological elaborations of revealed truth. In all things let charity prevail. If they are true to this course of action, they will be giving ever better expression to the authentic catholicity and apostolicity of the Church.” Dokumen Unitatis Redintegratio menyatakan bahwa Gereja Katolik-Roma menghargai dan mengakui berbagai gereja namun tetap esa. Karena itu setiap gereja dalam kepelbagaiannya berhak untuk menikmati kebebasan daalam berbagai bentuk kehidupan spiritual dan disiplin rohani. Masing-masing umat percaya dapat beribadah sesuai dengan corak liturgi yang berbeda, dan ungkapan teologis untuk menyatakan kebenaran. Melalui Konsili Vatikan II gereja Katolik-Roma telah menempuh rekonsiliasi dengan gereja Orthodoks yang memisahkan diri pada tahun 1054 dan gereja-gereja Kristen Protestan.

Memaknai Reformasi Gereja Abad XVI

Memaknai peristiwa reformasi Gereja abad XVI yang dilakukan oleh Martin Luther, Johanes Calvin dan para reformator lainnya perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih utuh yaitu reformasi gereja yang dalam Konsili Vatikan II di abad XX. Era kehidupan kita adalah kesediaan dan keterbukaan akan reformasi gereja yang menjadi dasar untuk melakukan pembaruan dalam seluruh aspek kehidupan umat manusia. Beban sejarah dan luka-luka batin di masa lampau tidak boleh melumpuhkan semangat kita untuk menyikapi kehidupan dengan optimisme-iman. Permusuhan, kesalahpahaman, dan perpecahan gereja di masa lampau tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk memperjuangkan kebersamaan dan keesaan gereja. Karena setiap umat percaya adalah orang-orang yang ditebus oleh darah Kristus dan dijadikan oleh Allah sebagai wujud Tubuh Kristus di muka bumi ini.

Dengan menyadari keterbatasan, kesalahan, kelemahan dan keberdosaan kita sebagai gereja yang masih berziarah di dunia, spiritualitas kita semakin didewasakan khususnya melalui berbagai peristiwa reformasi yang terjadi di era abad XVI dan XX. Karena itu seharusnya kita memiliki komitmen yang semakin kuat untuk mewujudkan Gereja Yesus Kristus yang Esa. Belajar dari kritik para reformator kita disadarkan untuk berpegang teguh kepada Firman Tuhan tanpa terjatuh kepada fundamentalisme dan liberalisme. Apalagi di era milenial ini kita berada dalam globalisasi yang telah menembus berbagai batasan geografis, demarkasi dan sekat-sekat fisik. Pada era ini setiap kita hidup saling interdependensi (kesalingtergantungan) dan mutualistik (saling melengkapi). Karena itu makna kebenaran bukan lagi milik salah satu denominasi gereja, tetapi milik setiap gereja dalam keberagamannya asalkan berpusat dan berpijak dengan teguh kepada Kristus.

Di dalam Kristus setiap umat percaya dibebaskan oleh anugerah Allah, karena itu membutuhkan cara pandang yang baru memahami, menafsirkan dan menerapkan Firman Tuhan. Cara pandang yang baru (paradigma baru) di dalam Kristus akan memampukan kita untuk menafsirkan dan menyikapi realitas dengan perspektif iman yang membebaskan. Kita tidak boleh terjebak oleh superioritas kebenaran teologis dari setiap denominasi gereja, tetapi juga tidak boleh terjebak oleh superioritas nilai-nilai dunia yang mengabaikan iman yang eksklusif kepada Kristus. Sebaliknya semakin kita mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, kita dimampukan untuk mengasihi Allah, sesama dan diri sendiri. Dibebaskan oleh anugerah Allah berarti kita menjadi para pribadi yang dibarui untuk menjadi agen-agen pembaruan di setiap situasi riil dalam konteks keluarga, gereja, masyarakat dan bangsa. Salam reformasi di dalam Kristus.

Referensi

 The Church Today and the Reformation Church: A Comparison by Prof. David J. Engelsma (http://www.prca.org/pamphlets/pamphlet_27.html).

Martin Luther Stands in History as a Leader of the Protestant Reformation by Nickie Kranz (http://cornerstone.lib.mnsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1142&context=jur)

The 95 Theses of Martin Luther (http://www.luther.de/en/95thesen.html)

The Luther effect: How Protestantism went global by Stefan Dege (http://www.dw.com/en/the-luther-effect-how-protestantism-went-global/a-38382691)

Ecclesia reformata, semper reformanda by Anna Case-Winters (https://www.presbyterianmission.org/what-we-believe/ecclesia-reformata/)

Documents of the Second Vatican Council (http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/index.htm)

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono