Keselamatan di dalam Kristus adalah berita Injil bagi setiap orang. Namun pernyataan teologis tersebut belum selesai. Sebab keselamatan di dalam Kristus tidaklah pasif namun harus dijalani dengan spiritualitas Kerajaan Allah. Keselamatan sebagai sola-gratia tidak dimaksudkan meniadakan respons umat untuk berjuang mengalahkan egoisme, kerelaan menanggung derita dan mentaati hukum Kristus. Di dalam Kristus, Allah telah menganugerahkan keselamatan. Karena itu umat dipanggil untuk merespons dengan pola hidup Kristus. Pola hidup Kristus tersebut dinyatakan dengan 3 M, yaitu: menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia. Pola 3 M inilah yang ditolak oleh Petrus. Dengan sikap seperti sahabat yang empatis, Petrus menegor Yesus agar tidak memutuskan untuk menderita, dan wafat (Mat. 16:22). Dalam pandangan Yesus, sikap Petrus tersebut justru suatu batu sandungan. Di balik sikap Petrus yang empatis itu mengandung sikap duniawi. Dia lebih memikirkan karya keselamatan Allah dari sudut pandang dan kepentingan manusiawi (Mat. 16:23).
Di tengah-tengah persekutuan, kita menghargai sikap sesama yang berempati terhadap pergumulan yang kita alami. Setiap orang dipanggil untuk berempati kepada sesamanya. Namun sikap empati kita yang mengabaikan maksud dan kehendak Allah justru akan menjadi batu sandungan/penghalang. Tanpa disadari, kita sering membangun sikap empati yang lunak kepada orang lain termasuk kepada diri sendiri. Kita membenarkan diri bahwa wajar tidak dapat mengikuti kebaktian karena rumah kita jauh. Sikap empati harus didasari oleh nilai-nilai edukatif dan spiritualitas yang matang. Sejujurnya begitu banyak pembenaran diri yang kita bangun dalam kehidupan sehari-hari khususnya untuk gereja Tuhan. Karena itu tidak mengherankan bilamana lembaga yang paling diremehkan oleh banyak umat adalah gereja. Kita disiplin dan rajin dalam pekerjaan namun berubah drastis saat melayani dalam gereja. Sebab lembaga gereja tidak menyediakan keuntungan finansial atau keuntungan tertentu sebagaimana kita bekerja di lembaga sekuler. Tuhan Yesus berkata: ”Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat. 16:26).
Kita membutuhkan pembaruan dari pola manusia lama yang duniawi seperti cara berpikir mencari untung di manapun kita berada. Tanpa pembaruan spiritualitas, kita akan gagal mengikut Kristus sehingga hidup kita jauh dari keselamatan Allah. Pembaruan hidup akan terwujud bilamana kita hidup dalam pola 3M, yaitu: menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus. Ini berarti sejauh mana kita memberlakukan spiritualitas Kristus dalam setiap dimensi kehidupan khususnya dalam mengelola dan melayani Tuhan di gereja-Nya. Apakah perlakuan kita kepada gereja-Nya didasari oleh kasih, antusiasme dan kesetiaan melebihi sikap kita memperlakukan pekerjaan dan keluarga; ataukah sebaliknya?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono