Latest Article
Minggu III Sesudah Epifani

Minggu III Sesudah Epifani

Minggu, 24 Januari 2016

Bacalah dan Dengarlah Dia (Neh. 8:1-10; Mzm. 19; 1Kor. 12:12-31; Luk. 4:14-21)

Lukas 4:16-17 mengisahkan saat Yesus pergi ke Sinagoge di Nazaret, lalu kepada-Nya diberikan Kitab Nabi Yesaya dan setelah dibuka. Injil Lukas menyatakan bahwa Yesus menemukan nas dari Kitab Nabi Yesaya 61:1-2. Persoalan yang muncul di sini kata “menemukan” (heuren) dari kata kerja heuriskein.” Maksud dari kata heuren adalah ketika Yesus menerima gulungan Kitab Nabi Yesaya dari Kepala Sinagoge (archisynagoge), Dia menemukan teks tersebut. Pertanyaan yang muncul: “Apakah nas Yesaya 61:1-11 yang ditemukan Yesus tersebut karena disodori atau diberi tanda oleh Kepala Sinagoge untuk dibaca, ataukah Yesus yang mencari-cari perikop sehingga Dia menemukan Yesaya 61:1-11? Perlu diketahui bahwa pada zaman Yesus kitab-kitab dalam Alkitab belum dibukukan seperti yang kita miliki pada masa kini. Setiap bagian Alkitab saling terpisah dalam bentuk gulungan. Dengan demikian setiap gulungan terdiri satu atau beberapa perikop. Selain itu kanon Alkitab pada zaman itu belum ditentukan, sehingga masing-masing kitab tersebar dalam berbagai gulungan. Dengan pola demikian, maka pada zaman itu terdapat ratusan gulungan kitab dalam Sinagoge-sinagoge.

Karena setiap bagian Alkitab ditulis dalam gulungan, maka Kepala Sinagoge pada waktu itu menyerahkan salah satu bagian dari Kitab Nabi Yesaya kepada Yesus. Alasan kepala sinagoge menyerahkan salah satu bagian dari Kitab Nabi Yesaya (Yes. 61:1-11) sebab nas tersebut merupakan bagian dari leksionari (daftar bacaan Alkitab yang telah ditentukan).

Namun apabila kita beranggapan bahwa Yesus yang mencari nas tersebut, berarti Dia mencari landasan teologis bagi karya Mesianis-Nya. Hipotesis ini tampak janggal karena faktualnya, Yesus pada Sabat itu disodori Kitab Nabi Yesaya. Mengapa pada hari itu kepala sinogoge menyerahkan bagian dari kitab Nabi Yesaya? Karena pada hari itu teks Yesaya 61:1-11 merupakan bacaan yang telah ditentukan sebagai bagian dari leksionari Yudaisme setelah umat membaca Kitab Taurat.

Atas dasar teks Yesaya 61:1-11 tersebut Tuhan Yesus menyampaikan pengajaran-Nya. Karena itu setelah Dia mengajar, Tuhan Yesus berkata, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya(Luk. 4:21). Hipotesis ini menunjukkan bahwa pembacaan Alkitab dengan pola leksionaris sejak awal telah memainkan peranan besar dalam kehidupan umat Israel maupun Tuhan Yesus. Penelitian Adolf Büchler dalam The Reading of the Law and Prophets in a Triennial Cycle menunjukkan bagaimana pola pembacaan di Palestina memiliki siklus selama tiga tahun dan membagi Kitab Pentateukh menjadi 153 sampai 167 pembacaan. Kemudian, siklus Babilonia selama satu tahun membagi Kitab Pentateukh menjadi 54 päräshoth (pembagian) yang dimulai dari bulan Nisan atau sekitar bulan Maret – April (Bucher 1895, 56). Melalui siklus pembacaan leksionari tersebut, umat Israel membaca Kitab Pentateukh secara sinambung (lectio continua).

John Reumann dalam A History of Lectionaries: From the Synagogue at Nazareth to Post-Vatican II menyatakan: “Pembacaan tulisan-tulisan suci dalam ibadah umat Kristen merupakan warisan dari sinagoge. Tradisi Yahudi melacak praktik itu sampai ke Musa (Ul. 31:10-12; bdk. 2Raj. 22:8-13; 23:1-3) dan Ezra (bdk. Neh. 8). Kemungkinan besar Sinagoge adalah tempat asal-usul pembacaan mingguan, sebagian sebagai pengganti bagi persembahan kurban di Bait Suci” (Reumann 1977, 118).

Setelah Yesus membaca perikop Yesaya 62:1-11, Injil Lukas mempersaksikan ucapan Yesus, yaitu: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk. 4:21). Dengan pernyataan “genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” Yesus menyatakan bahwa nubuat Nabi Yesaya tersebut telah terwujud dalam diri-Nya sebagai Mesias Allah. Inti utama dari nubuat Nabi Yesaya adalah: “Roh Tuhan hadir pada diri-Nya dan telah mengurapi Dia” (Luk. 4:14). Pertanyaan yang muncul adalah: “Apakah teks Yesaya 62:1-11 yang dibaca di Sinagoge Nazaret benar-benar ditujukan dan telah tergenapi dalam diri Yesus?” Bukankah teks Yesaya 62:1-11 bukan hasil pilihan Yesus tetapi merupakan pembacaan yang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan? Pernyataan Yesus bahwa teks Yesaya 62:1-11 telah tergenapi di dalam diri-Nya sesungguhnya telah dialami Yesus dalam peristiwa pembaptisan-Nya di Sungai Yordan. Dalam peristiwa pembaptisan di Sungai Yordan, Allah telah mengurapi Dia dengan Roh-Nya sehingga Yesus menjadi Kristus (Mesias). Karena itu teks Yesaya 62:1-11 merupakan penegasan kembali terhadap apa yang telah terjadi dan dialami oleh Yesus. Roh Tuhan telah hadir pada diri-Nya dan telah mengurapi Dia. Dengan demikian dalam diri Yesus telah menyatu secara integral antara peristiwa, pengalaman unik-Nya dengan isi nubuat Nabi Yesaya.

Umat Israel yang hadir dalam ibadah di Sinagoge Nazaret pada waktu itu bukan hanya mereka mendengar isi nubuat Nabi Yesaya, tetapi sesungguhnya mereka melihat wujud penggenapan dari isi nubuat tersebut. Mereka tidak hanya mendengar pembacaan nubuat Yesaya 62:1-11 tetapi juga melihat bagaimana wujud penggenapan nubuat tersebut dalam diri seseorang bernama Yesus. Respons umat Israel terhadap diri Yesus saat Ia mengajar dan menjelaskan isi nubuat Nabi Yesaya adalah: “Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya” (Luk. 4:22). Kata “membenarkan” sebenarnya penerjemahan dari kata χάριτος (kharitos) yang artinya: “the spiritual condition of one governed by the power of divine grace” (kondisi rohani yang dikuasai oleh kuasa anugerah ilahi). Sejauh umat membuka hati mendengar perkataan firman Tuhan dan melihat kehadiran Kristus, umat akan mengalami situasi rohani yang dipenuhi oleh kuasa ilahi sehingga mereka mengalami kehadiran Yesus selaku Anak Allah.

Namun sayang sekali bahwa sikap iman umat Israel yang hadir di Sinagoge Nazaret tidak bertahan lama. Mereka tidak membuka hati untuk dikuasai oleh anugerah Allah untuk menerima kehadiran Yesus sebagai Mesias. Sebab setelah mereka “membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya” tiba-tiba terjadi perubahan drastis, yaitu lalu mereka mengajukan pertanyaan: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Orang-orang Nazaret tersebut kecewa dan menolak Yesus karena Dia yang menyatakan “genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” adalah anak Yusuf, tukang kayu. Mereka mengenal Yesus dan keluarga-Nya. Mereka mengetahui bagaimana kehidupan Yesus sehari-hari dan segala aktivitas yang dilakukan bersama Yusuf dan Maria. Karena itu Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Luk. 4:24). Orang-orang di Nazaret menilai “Yesus yang telah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya dan telah diurapi sebagai Mesias” berbeda secara esensial dengan “Yesus anak Yusuf tukang kayu.” Mereka tidak dapat menerima kenyataan bahwa Yesus yang mereka kenal sebagai anak Yusuf si tukang kayu kini telah menjadi seorang Mesias Allah, bahkan yang ditetapkan Allah untuk menggenapi nubuat para nabi termasuk nubuat Nabi Yesaya. Ketidakpercayaan dan penolakan orang-orang Nazaret disebabkan “pengetahuan dan pengenalan” mereka akan latarbelakang kehidupan Yesus sebagai anak tukang kayu. Karena itu mata rohani dan hati mereka menjadi tertutup untuk dikuasai oleh anugerah ilahi, yaitu bahwa di dalam Yesus Allah berkenan berinkarnasi menjadi manusia sama seperti kita, hanya tidak berbuat dosa (Ibr. 4:15).

Alasan penolakan beberapa kalangan akan keilahian Yesus adalah bagaimana mungkin seorang manusia mampu menjadi Tuhan atau Anak Allah? Pertanyaan ini mengandaikan bahwa Yesus dalam tingkat tertentu mampu meraih keilahian Allah. Pengandaian terhadap ajaran ini dianggap musyrik. Arti “musyrik” adalah: perbuatan menyekutukan Allah dengan apa pun. Karena itu tindakan “musyrik” merupakan kebalikan dari ajaran ketauhidan, yang menegaskan tindakan dan sikap yang mengesakan Allah. Berita Alkitab tidak pernah mempersaksikan Yesus “menjadi” Tuhan atau Anak Allah. Tetapi Alkitab menyatakan bahwa “Yesus adalah Tuhan dan Anak Allah” karena Dia Sang Firman Allah yang kekal dan berkenan menjadi manusia. Karena itu sebagai manusia, Yesus adalah Sang Firman Allah yang hidup. Dia hidup sebagai “manusia biasa” di tengah-tengah keluarga Maria dan Yusuf di Nazaret. Kesaksian dari Surat 1 Yohanes 1:1 adalah: “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup–itulah yang kami tuliskan kepada kamu.”

Umat Israel pada zaman Yesus adalah umat yang menempatkan TANAKH (Torah, Nebiim, Ketubim), yaitu hukum Taurat, Nabi-nabi, dan Kitab-kitab sebagai firman Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan mereka di hadapan Allah dan sesama. Khusus kepada kitab Taurat Musa, mereka memperlihatkan rasa hormat yang begitu khidmat. Dalam kitab Nehemia 8:1 mengisahkan Ezra, ahli kitab yang membawa kitab Taurat Musa untuk dibacakan di hadapan umat Israel. Karena itu umat Israel dikumpulkan di depan Pintu Gerbang Air untuk mendengar pembacaan hukum Taurat (Neh. 8:1). Pembacaan kitab Taurat Musa tersebut diawali dengan doksologi yang memuji dan mempermuliakan Allah. Respons umat Israel adalah mereka kemudian berlutut, sujud dan menyembah Tuhan dengan muka sampai ke tanah. Kesaksian Nehemia 8:7 adalah: “Lalu Ezra memuji TUHAN, Allah yang maha besar, dan semua orang menyambut dengan: Amin, amin!, sambil mengangkat tangan. Kemudian mereka berlutut dan sujud menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah.” Bagi umat Israel, pembacaan hukum Taurat atau TANAKH bukan sekadar pembacaan kognitif untuk menggali pengetahuan iman. Pembacaan Kitab Suci tersebut merupakan tindakan iman, sebab melalui pembacaan Kitab Suci tersebut Allah menyatakan kehadiran diri-Nya yang menguduskan dan menyegarkan jiwa mereka. Karena itu respons umat Israel setiap mendengar bagian-bagian Kitab Suci (TANAKH) dibacakan, mereka berlutut dan sujud menyembah kepada Tuhan.

Sikap khidmat yang lahir dari ketakjuban iman saat ayat-ayat Firman Tuhan dibacakan merupakan media transformatif yang menginspirasi dan memotivasi umat untuk mempermuliakan dan mengasihi Allah. Melalui pembacaan Alkitab, Allah hadir dalam Roh-Nya untuk menyapa umat dengan Firman-Nya. Dalam konteks ini umat menghayati: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105). Namun pada pihak lain disadari pula bahwa setiap umat telah memiliki persepsi dan dugaan (prasangka) yang dibangun dari sistem nilai budaya dan adat-istiadat atau kepercayaan yang melatarbelakangi. Karena itu saat mereka membaca ayat-ayat Alkitab, sesungguhnya mereka telah memiliki cara pandang dan sistem nilai tertentu sehingga akan menafsirkan dan memahami isi Alkitab menurut persepsi mereka. Akibatnya mereka gagal memahami maksud firman Tuhan secara objektif. Karena itu persepsi setiap orang perlu diklarifikasi dan diterangi oleh Roh Kudus sehingga mereka mampu memahami maksud Alkitab, yaitu firman Tuhan yang sesungguhnya. Memahami maksud firman Tuhan yang sesungguhnya itulah yang akan memampukan mereka takjub dan mempermuliakan Allah. Lebih daripada itu melalui tindakan yang memuliakan Allah tersebut memampukan mereka mengalami kehidupan yang dibarui.

Iman Kristen menghayati dimensi Firman Allah secara rangkap tiga, yaitu: Firman yang Hidup, Firman yang Tertulis, dan Firman yang Diberitakan. Firman yang Hidup adalah Yesus Kristus, Firman yang Tertulis adalah Alkitab, dan Firman yang Diberitakan adalah Khotbah atau Pengajaran Gereja. Ketiga dimensi firman Tuhan tersebut saling melengkapi dalam satu-kesatuan. Karena itu untuk memahami maksud firman Tuhan, umat percaya harus menempatkan ketiga dimensi firman Tuhan tersebut secara seimbang. Makna “seimbang” dalam konteks ini bukan berarti menempatkan sejajar Firman yang Hidup yaitu Yesus Kristus dengan Firman yang Tertulis (Alkitab) dan Firman yang Diberitakan (Khotbah dan Pengajaran Gereja). Sikap “seimbang” adalah sikap umat yang membuka diri dengan rendah-hati untuk dibarui di dalam kebenaran dan pengudusan oleh Kristus, Alkitab, dan Pengajaran Gereja. Dalam konteks ini kedudukan Kristus sebagai Firman yang Hidup adalah absolut dan kekal. Alkitab adalah Firman Tuhan sebab di dalamnya Allah menyatakan diri-Nya melalui pewahyuan. Namun sebagai Firman yang Tertulis, Alkitab dibatasi oleh keterbatasan bahasa, pengertian, dan konteks budaya tertentu. Karena itu melalui Kristus Sang Firman yang Hidup, Alkitab diterangi dan diberi makna yang baru. Bandingkan dengan kesaksian Lukas 24:27, yaitu: “Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.”

Memahami Alkitab, Firman yang Tertulis dan Firman yang Diberitakan (Pengajaran Gereja/Khotbah) membutuhkan sikap iman yang mengasihi dan mempermliakan Kristus Sang Firman yang Hidup. Sikap menolak Kristus akan menutup jalan kebenaran sehingga pembacaan Alkitab tidak membawa perubahan hidup yang berarti justru bisa membangkitkan kebencian dan permusuhan kepada sesama. Jadi sikap menolak Kristus juga akan membutakan mata rohani kita untuk memahami dan melaksanakan Pengajaran Gereja dalam kehidupan sehari-hari. Kita akan berubah menjadi orang-orang yang picik dan fanatik tetapi tidak dikuasai oleh hikmat dan kehidupan baru yang telah ditebus oleh Kristus. Sebaliknya semakin kita memiliki relasi yang personal dan mengasihi Kristus, kita dimampukan untuk memahami kebenaran dan kekayaan rohani yang tersimpan dalam Alkitab dan Pengajaran Gereja. Pada sisi yang lain pemahaman tentang Alkitab dan Pengajaran Gereja perlu diterangi sehingga menjadi pemberitaan yang semakin relevan dan mentransformasi kehidupan setiap umat. Karena itu kita perlu membaca firman Tuhan yang diberitakan Alkitab agar mampu mendengarkan suara Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Bacalah Firman, dan dengarkanlah Kristus.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono