Minggu, 28 Februari 2016
Bertobat dalam Kerinduan akan Anugerah Allah
(Yes. 55:1-9; Mzm. 63:1-8; 1Kor. 10:1-13; Luk. 13:1-9)
Kata “bertobat” seringkali dinyatakan oleh gereja sebagai suatu seruan dan panggilan. Seruan dan panggilan untuk bertobat digemakan dalam berbagai kesempatan yang bersifat khusus misalnya masa Prapasakah. Secara harafiah, kata “bertobat” dari kata metanoia menunjuk makna perubahan pikiran, kecenderungan dan tindakan yang melingkupi keseluruhan batin, intelektual, afeksi dan moral. Dalam makna “metanoia” pengertian pertobatan bukan pada perubahan artifisial secara lahiriah, namun pada tingkat kesadaran yang mendalam sehingga terjadi perubahan orientasi atau arah dalam kepribadian seseorang. Perubahan orientasi dalam pikiran, hati, dan perasaan tersebut pada hakikatnya terjadi karena karya Roh Kudus. Makna kata metanoia tersebut dipakai oleh Yesus di Lukas 13:3, yaitu: “Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (bdk. Luk. 13:5). Tanpa pertobatan (metanoia) umat akan binasa. Sikap umat bersedia bertobat menentukan apakah ia akan selamat atau tidak selamat. Dengan demikian makna “pertobatan” merupakan proses yang terjadi terus-menerus dalam keseluruhan hidup seseorang. Kita harus bertobat setiap saat, dan bukan hanya satu kali atau dalam beberapa momen yang terjadi dalam kehidupan kita sebab kecenderungan manusiawi kita bersifat kedagingan dan hawa-nafsu duniawi.
Pondasi terdalam dari pertobatan adalah kesadaran batin yaitu spiritualitas umat yang mengalami karya pembaruan dari Roh Kudus. Karena itu proses kesadaran merupakan suatu situasi eksistensial yang dialami seseorang dalam memikirkan, memahami, merenungkan, dan mengambil keputusan etis-moral sehingga lahirlah kesadaran dan perspektif hidup yang baru. Pertobatan senantiasa lahir dari kedalaman batin seseorang sehingga dimanifestasikan dalam pemikiran, perasaan, kehendak dan perilaku serta perkataannya dengan paradigma yang telah diperbarui oleh Tuhan. Proses pembaruan hidup tersebut lahir dari kedalaman dan dinyatakan dalam pola kehidupan yang baru, sehingga menghasilkan kualitas hidup yang membangun dan menjadi berkat bagi sesama di sekitarnya. Karena itu pertobatan tidak pernah menjadi gerak yang sentripetal, yaitu orientasi hidup yang bergerak ke arah diri sendiri (individualistis), tetapi sentrifugal yaitu orientasi hidup yang bergerak kepada kesejahteraan dan keselamatan orang lain. Pertobatan bukanlah sekadar keselamatan pribadi, tetapi seorang pribadi yang diselamatkan Allah sehingga hidupnya diserahkan secara penuh untuk memenuhi tugas panggilan Allah yaitu cinta-kasih dan pengampunan-Nya bagi sesama.
Jikalau hakikat pertobatan merupakan proses kesadaran dalam batin seseorang, mengapa Yesus di Lukas 13:1-5 mengaitkan makna pertobatan dengan hukuman Allah melalui kisah musibah atau tragedi yang menimpa orang-orang Galilea? Di Lukas 13:1 mengisahkan beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Tampaknya kisah tersebut terjadi di Bait Allah sebab disebut “dengan darah korban yang mereka persembahkan.” Kisah tragis pembantaian yang dilakukan oleh Pilatus terhadap orang-orang Galilea tersebut tidak terlalu jelas secara historis. Apakah kekejaman Pilatus tersebut berkaitan dengan Kisah Para Rasul 5:37? Di Kisah Para Rasul 5:37 menyatakan: “Sesudah dia, pada waktu pendaftaran penduduk, muncullah si Yudas, seorang Galilea. Ia menyeret banyak orang dalam pemberontakannya, tetapi ia juga tewas dan cerai-berailah seluruh pengikutnya.” Kita tidak mengetahui dengan pasti bagaimana kisah yang sebenarnya terjadi tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampur oleh Pilatus bersama dengan darah korban yang mereka persembahkan.
Respons Yesus terhadap berita yang menimpa orang-orang Galilela tersebut adalah: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu. Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian?” (Luk. 13:2-3). Demikian pula Lukas 13:4 Yesus menyitir kisah yang pernah terjadi dekat Siloam, yaitu delapan belas orang yang mati ditimpa oleh menara yang roboh. Respons Yesus terhadap peristiwa kecelakaan tersebut dinyatakan dengan pernyataan: “Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian?” (Luk. 13:5). Perkataan Yesus tersebut menyiratkan bahwa jika kita tidak bertobat, maka kita akan mengalami hukuman Allah yang lebih mengerikan seperti orang-orang Galilea dan delapan belas orang yang ditimpa oleh menara roboh.
Apabila sikap tidak bertobat berkaitan dengan hukuman Allah, maka seseorang akan bertobat dengan motif yang keliru yaitu agar ia tidak mendapat hukuman Allah. Jenis pertobatan yang demikian sifatnya dangkal. Sebab seseorang bertobat dari tingkah-lakunya yang buruk bukan lahir dari kesadarannya yang mendalam, tetap didorong oleh perasaan takut. Di Surat 1 Yohanes 4:18 menyatakan: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” Motif perasaan takut bukanlah landasan rohani yang kokoh bagi pertobatan, sebab seseorang yang batinnya dipenuhi oleh ketakutan, ia tidak akan memiliki kasih yang sempurna. Menurut Surat 1 Yohanes 4:18 seseorang yang dilandasi oleh perasaan takut sesungguhnya ia sedang menanggung hukuman. Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki kasih dan berada di bawah hukuman Allah mampu bertobat dengan sungguh-sungguh? Apakah jawaban Yesus tersebut menyetujui hakikat pertobatan berkaitan dengan perasaan takut melalui hukuman Allah?
Apabila kita mencermati perkataan Yesus di Lukas 13:2, yaitu: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu” justru Yesus menegaskan bahwa orang-orang Galilea yang mengalami peristiwa kekejaman dari Pilatus bukan disebabkan mereka lebih jahat dan berdosa daripada orang-orang yang tidak mengalami. Karena itu Yesus berkata: “Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian?” (Luk. 13:3) Demikian pula delapan belas orang yang mati tertimpa oleh menara yang roboh bukan karena mereka lebih jahat daripada orang-orang yang tidak mengalami kecelakaan. Sikap Yesus tersebut konsisten dengan ucapan-Nya di Yohanes 9:2 saat Ia ditanya oleh murid-murid-Nya, yaitu: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus adalah: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh. 9:3).
Pengajaran Yesus yang utama dalam melihat seseorang yang sedang sakit atau mengalami musibah adalah Dia tidak pernah mau menghakimi seseorang. Sebaliknya Yesus memahami realitas penderitaan dan musibah yang dialami seseorang sebagai media pekerjaan-pekerjaan dan kasih Allah yang menyelamatkan. Karena itu Yesus senantiasa memberikan pemulihan kepada orang-orang sakit dan mengusir setan yang merasuki diri seseorang. Bagaimana dengan sikap orang-orang yang saleh di Perjanjian Lama tetapi menderita, misalnya Ayub? Sikap Ayub sebelum ia bertobat menganggap bahwa penderitaannya karena hukuman Allah padahal ia sendiri merasa telah hidup benar dan saleh. Ayub menganggap Allah berlaku tidak adil kepada dirinya. Karena itu Ayub mengajukan pertanyaan: “Bukankah kebinasaan bagi orang yang curang dan kemalangan bagi yang melakukan kejahatan?” (Ayb. 31:3). Jadi Ayub memahami bahwa penderitaan, sakit atau musibah sebagai bentuk hukuman Allah. Namun Yesus tidaklah bersikap seperti Ayub.
Pokok gagasan teologis yang Yesus kemukakan di Lukas 13:1-5 adalah betapa krusialnya makna pertobatan dalam kehidupan ini sebab apabila diabaikan dengan tidak bertobat, maka seseorang akan mengalami hukuman Allah yang membinasakan. Yesus tidak menyoroti kasus peristiwa yang menyebabkan seseorang atau beberapa orang mengalami kematian yang mengerikan misalnya karena sakit, kecelakaan, dan musibah. Sebaliknya Yesus menyoroti sikap manusia di hadapan Allah, apakah ia mau bertobat yaitu menghasilkan buah. Apabila ia tidak berbuah, maka ia akan ditebang. Karena itu dalam perumpamaan pohon ara yang tidak berbuah, pengurus kebun anggur berkata: “Sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan percuma” (Luk. 13:7). Tanpa buah pertobatan, Allah akan memotong sebab ia hidup secara sia-sia sehingga tidak mendatangkan berkat keselamatan bagi sesamanya. Di Surat 1 Korintus 10:5-11 Rasul Paulus juga mengingatkan bahwa Allah tidak segan membinasakan umat Israel karena mereka melakukan kejahatan dan pemberontakan di padang-gurun.
Pertobatan yang lahir dari proses kesadaran tersebut akan menjadi buah yang nyata sehingga “masa anugerah” (grace period) tidak menjadi masa yang sia-sia. Di Lukas 13:7 Allah merencanakan untuk menebang pohon Ara yang tidak berbuah setelah ditanam selama tiga tahun. Tetapi di Lukas 13:8-9 Allah memberi kesempatan satu tahun lagi agar pohon ara tersebut disiram dan memberi pupuk dengan harapan pohon Ara tersebut dapat berbuah. Karena itu pada “masa anugerah” ini kita dipanggil menyuburkan pohon spiritualitas kehidupan kita agar menghasilkan buah pertobatan.
Dalam konteks ini Yesus tidak pernah mengajarkan bahwa setiap orang yang sakit dan mengalami musibah disebabkan karena Allah memotong dan menghukum dia. Tentunya untuk menilai seseorang yang sakit dan mengalami musibah sebagai hukuman Allah tergantung kasusnya. Mungkin saja ada beberapa kasus penyakit dan musibah sebagai wujud hukuman Allah, namun kita tidak boleh menggeneralisir setiap orang sakit dan mengalami musibah disebabkan hukuman/murka Allah.
Problem terbesar yang dihadapi oleh umat manusia adalah bagaimana mengalami pertobatan? Setiap orang umumnya menginginkan suatu perubahan yang positif dalam kehidupannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mengalami pembaruan hidup yaitu pertobatan. Dalam kenyataan sehari-hari kesadaran, pemahaman dan spiritualitas kita tidak memadai sehingga tidak mampu menghasilkan pembaruan hidup. Karena itu pembaruan hidup yaitu pertobatan sering sekadar harapan dan angan-angan, sehingga faktualnya kita senantiasa gagal sebab terbelenggu oleh keinginan daging serta hawa-nafsu duniawi. Jika demikian, langkah-langkah apakah yang harus kita tempuh untuk mengalami proses pembaruan diri pada “masa anugerah” yang disediakan Allah?
Pembaruan diri sebagai pertobatan akan terjadi di “masa anugerah” yaitu:
- Proses pertobatan tidak akan terjadi di saat kita merasa “kuat” dalam berbagai dimensi rohani. Namun proses pertobatan akan mulai terjadi di saat kita menyadari sedang berada dalam kondisi “bankrupt” (bangkrut: “tidak mampu membayar apapun semua hutang”) kepada Tuhan alias sedang berada di titik nadir. Kita diingatkan sikap anak bungsu dalam perumpamaan Anak yang Hilang. Saat itu anak yang bungsu itu benar-benar jatuh miskin dan begitu lapar sehingga ia memutuskan makan ampas yang disediakan untuk babi (Luk. 15:16). Di saat itulah ia menyadari seluruh kesalahan dan keberadaannya di hadapan Allah dan bapanya (Luk. 15:17-19). Bukankah dalam kenyataan hidup sehari-hari kita sering enggan mengakui keberadaan diri kita berada di titik nadir (bangkrut)?
- Namun bagi siapa pun di antara kita yang bersedia mengakui keberadaannya dalam kondisi bangkrut, Allah menawarkan anugerah keselamatan-Nya, yaitu: “Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran!” (Yes. 55:1). Firman Tuhan ini menyatakan panggilan Allah kepada setiap orang yang haus dan orang-orang yang tidak memiliki uang. Makna ungkapan orang-orang yang haus dan tidak memiliki uang merupakan simbol dari situasi umat yang menyadari sedalam-dalamnya keberadaan dirinya yang telah luluh-lantak sehingga ia tidak memiliki alasan apapun untuk memegahkan dirinya. Ia hanya membutuhkan belas-kasih dan kemurahan Allah. Dalam proses kesadaran bahwa dirinya telah bangkrut di hadapan Allah, ia akan dimampukan merespons dengan sikap iman panggilan dan tawaran anugerah keselamatan tersebut. Jadi hambatan terbesar bagi umat untuk mengalami pertobatan adalah pembenaran yang menganggap dirinya memiliki level kesalehan yang lebih tinggi daripada orang-orang di sekitarnya.
- Kondisi umat yang menyadari keberadaan dirinya telah bangkrut tersebut tidaklah identik dengan perasaan putus-asa. Sebaliknya umat menyadari seluruh keberadaan dirinya secara jernih sebagai seseorang yang membutuhkan rahmat Allah. Ia menempatkan iman kepada Allah daripada dorongan manusiawinya untuk berputus-asa di tengah-tengah keterpurukan dan keberdosaannya. Tindakan iman yang demikian memampukan seseorang melampaui/mengatasi perasaan putus-asa dan tidak berharga akan dirinya. Karena itu dengan tindakan iman tersebut seseorang lebih mengutamakan mendengarkan suara Allah untuk mengetahui apa yang menjadi kehendak-Nya. Yesaya 55:3 menyatakan: “Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup! Aku hendak mengikat perjanjian abadi dengan kamu, menurut kasih setia yang teguh yang Kujanjikan kepada Daud.” Makna pertobatan dalam konteks ini adalah kesediaan diri untuk mendengar suara Allah daripada suara pandangan pribadi dan orang-orang lain. Bertobat berarti perubahan orientasi hidup yang berfokus kepada kehendak dan firman Tuhan.
- Keputusan hidup baru dengan meninggalkan jalan orang fasik sehingga ia kembali kepada Tuhan. Di Yesaya 55:7 menyatakan: “Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.” Keputusan etis-iman tersebut perlu senantiasa dihidupi karena kecenderungan manusiawi kita untuk kembali ke jalan hidup yang lama tetap kuat dan menggoda. Cara menghidupi keputusan etis-iman tersebut adalah bila umat senantiasa menempatkan rencana dan rancangan Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. Untuk itu umat tidak boleh mudah terperangkap pada rancangan yang jangka pendek namun mengabaikan efek pada jangka panjang. Allah berfirman: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:8-9).
Dengan keempat langkah iman tersebut, umat mengalami proses pertobatan yang tidak didasarkan pada ancaman akan hukuman Allah namun pada anugerah keselamatan yang ditawarkan Allah. Pertobatan tersebut lahir dari proses kesadaran umat akan karya keselamatan Allah sehingga arah dan orientasi hidup dia akan terarah kepada rencana-Nya untuk memberkati orang-orang di sekitarnya.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono