Makna Baptisan Yesus
(Yes. 43:1-7; Mzm. 29; Kis. 8:14-17; Luk. 3:15-22)
“Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk. 3:21-22).
Sesudah hari raya Epifani 6 Januari, gereja merayakan Masa Minggu Biasa. Awal Masa Minggu Biasa yang pertama dilaksanakan dalam perayaan Minggu Yesus Dibaptis sampai Minggu Transfigurasi. Lalu Masa Minggu Biasa yang kedua dilaksanakan setelah Minggu Trinitas sampai Minggu Kristus Raja. Masa Minggu Biasa merupakan masa yang terpanjang dalam Tahun Liturgi gereja yaitu sekitar 33-34 minggu. Karena itu Masa Minggu Biasa dalam bahasa Latin disebut dengan istilah tempus per annum (waktu dalam tahun). Selama Masa Minggu Biasa warna liturgi yang dominan adalah warna hijau atau tumbuh-tumbuhan sebagai simbol umat percaya dipanggil untuk mengalami pertumbuhan rohani dan iman dengan karunia yang dianugerahkan Allah. Pada Masa Minggu Biasa, setiap umat percaya seharusnya hidup seperti tanaman atau pohon yang terus bertumbuh dan menghasilkan buah.
Perayaan Minggu Yesus Dibaptis merupakan perayaan gerejawi yang menekankan aspek perendahan Yesus Sang Anak Allah sebagai seorang insan manusia. Tindakan perendahan Yesus Sang Anak Allah tersebut dilakukan dengan kesediaan-Nya untuk dibaptis bersama-sama dengan umat yang berdosa dan membutuhkan pengampunan dosa. Melalui baptisan-Nya di Sungai Yordan, Yesus menyatakan solidaritas dengan umat yang berada dalam belenggu dosa namun Dia sendiri hidup tanpa dosa. Di dalam diri Yesus kita menjumpai suatu paradoks, yaitu: Yesus adalah Sang Kudus namun Dia berkenan solider di tengah-tengah umat yang berdosa. Di Lukas 1:35 Malaikat berkata kepada Maria: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.” Yesus dinyatakan sebagai Yang Kudus, Anak Allah. Walaupun Yesus adalah kudus, Anak Allah Ia tidak mengasingkan diri-Nya dalam kekudusan sorgawi, tetapi Ia memilih berada di tengah umat yang berdosa agar Ia menguduskan umat manusia. Solidaritas Yesus di tengah umat berdosa melalui baptisan-Nya adalah solidaritas yang menguduskan dan memulihkan kemanusiaan manusia yang telah dirusak oleh kuasa dosa.
Dalam peristiwa baptisan Yesus di Sungai Yordan menurut Injil Lukas terdapat aspek yang menonjol, yaitu: “Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis” (Luk. 3:21). Injil Lukas mempersaksikan bahwa Yesus dibaptis di urutan terakhir setelah seluruh orang banyak itu dibaptis. Kesaksian Injil Lukas tersebut menyatakan bahwa baptisan Yesus merupakan solidaritas bagi seluruh umat, sebab tidak ada seorang pun yang tertinggal. Baptisan yang diterima oleh Yesus merangkum keseluruhan keberadaan umat yang membutuhkan pengampunan dosa. Pernyataan “seluruh orang banyak” merupakan simbol keseluruhan umat manusia, karena itu kehadiran Yesus dalam baptisan di Sungai Yordan menjadi bagian keseluruhan manusia tersebut sehingga keseluruhan manusia yang berdosa tersebut dihisabkan dalam kekudusan-Nya.
Kekudusan Yesus menurut Injil Lukas adalah kekudusan ilahi yang telah ada sejak kekal, dan bukan kekudusan yang diperoleh Yesus melalui ketaatan kepada hukum Taurat. Kekudusan Yesus terkait erat dengan Roh Kudus yang telah menaungi Maria. Dengan demikian kesaksian Injil Lukas sesuai dengan Injil Yohanes, yaitu bahwa keilahian Yesus telah ada sejak kekal bersama dengan Allah. Sebab hanya Allah saja yang kudus. Menurut Injil Lukas, kekudusan Yesus dikaitkan dengan gelar-Nya sebagai “Anak Allah.” Dengan demikian gelar Yesus sebagai Anak Allah yang dinyatakan Allah dalam baptisan-Nya merupakan gelar ilahi yang telah ada sejak kekal. Namun tidak semua pihak bersedia menerima kekudusan Yesus sejak kekal. Suatu aliran teologi yang disebut adopsionisme menyatakan bahwa Yesus menjadi Anak Allah karena Ia diangkat (diadopsi) oleh Allah dalam peristiwa baptisan-Nya.
Menurut pemikiran adopsionisme, sebelum Yesus dibaptis di Sungai Yordan Ia adalah anak manusia biasa dengan orang-tua bernama Maria dan Yusuf. Namun sebagai anak manusia biasa, Yesus memiliki kelebihan yang tidak semua orang bisa lakukan, yaitu ketaatan-Nya yang total kepada Allah melalui hukum Taurat. Karena itu Yesus sejak kecil sampai Ia dewasa senantiasa hidup benar sesuai hukum Taurat. Kekudusan yang dimiliki oleh Yesus merupakan kekudusan yang telah Ia raih dengan usaha dan pelatihan rohani yang begitu ketat. Respons Allah terhadap sikap Yesus adalah Allah kemudian berkenan sehingga Allah memilih dan menetapkan Yesus sebagai “Anak Allah” saat Ia dibaptis di Sungai Yordan. Saat Yesus dibaptis, di situlah Allah melantik Yesus menjadi “Kristus” (Mesias) yang artinya: “seseorang yang diurapi.” Apabila dikaji lebih dalam, sebenarnya pemikiran adopsionisme tersebut lahir dari sikap penolakan terhadap pengajaran gereja tentang Trinitas. Pemikiran adopsionisme menolak hakikat keesaan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Sebab pemikiran adopsionisme dilatarbelakangi pada monoteisme Allah yang mutlak dalam Yudaisme. Karena itu pemikiran adopsionisme bertujuan untuk menegakkan keesaan Allah secara bilangan, yaitu “Allah yang esa adalah satu secara nominal.” Dengan demikian kelompok adopsionisme setuju dan menerima bahwa Yesus adalah Anak Allah dalam pengertian Ia diadopsi oleh Allah. Dengan status Yesus sebagai Anak Allah yang diadopsi, maka keesaan Allah tetap terpelihara.
Bagi pendukung kelompok adopsionisme tersebut akan memakai nas Lukas 3:21 sebagai landasan teologisnya, sebab menyatakan: “Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya.” Dalam Lukas 3:21 menyatakan bahwa langit terbuka dan Roh Kudus turun dalam rupa burung merpati ke atas diri Yesus setelah Yesus berdoa. Mereka mengartikan tindakan Yesus yang berdoa sebagai penyebab Allah berkenan mengadopsi Yesus sebagai Anak Allah. Allah berkenan mengabulkan doa Yesus sehingga Ia dilantik menjadi “Kristus.” Penafsiran tentang Yesus berdoa dalam perspektif adopsionisme tersebut tampaknya kurang memahami makna teologis yang utama dalam Injil Lukas. Sebab Injil Lukas mengisahkan Yesus berdoa. Yesus berdoa sebanyak sembilan kali, yaitu: setelah Ia melayani dan memberitakan Injil seharian penuh (Luk. 5:16), sebelum Ia memilih para murid-Nya (Luk. 6:12), sebelum pengakuan Petrus bahwa Ia Mesias (Luk. 9:18), saat transfigurasi-Nya (Luk. 9:28-29), mendoakan Petrus (Luk. 22:32), pergumulan di taman Getsemani (Luk. 22:41), berdoa untuk orang-orang yang menyalibkan Dia (Luk. 23:34), dan menjelang Ia wafat (Luk. 23:46). Jadi Injil Lukas menekankan aspek spiritualitas Yesus yang sangat menonjol yaitu spiritualitas doa. Spiritualitas doa tersebut bukan sekadar doa permohonan, tetapi utamanya merupakan bentuk relasi yang intim, eksklusif dan personal dengan Allah Bapa-Nya. Keintiman dan keesaan Yesus dengan Allah yang menjadi dasar seluruh kuasa dan otoritas Yesus yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia. Karena itu dalam Injil Lukas mempersaksikan bagaimana Yesus yang memiliki kuasa untuk mengampuni dosa yang seharusnya merupakan wewenang dan hak Allah saja (bdk. Luk. 5:24). Selain itu Yesus dengan sadar menyatakan bahwa Kerajaan Allah hadir dalam diri-Nya (Luk. 11:20).
Kekhasan dan keunikan relasi keintiman Yesus dengan Allah yang eksklusif tercermin dalam peristiwa baptisan-Nya, yaitu saat langit terbuka dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Lalu terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk. 3:22). Dalam baptisan Yesus, Allah menyebut Yesus sebagai: “Anak-Ku,” “yang Kukasihi” dan “yang berkenan.”
- Makna “Anak-Ku” yang dipakai Allah dalam menyebut diri Yesus berasal dari kutipan Mazmur 2:7, yaitu: “Aku mau menceritakan tentang ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Penyebutan “Anak” dalam konteks Mazmur 2:7 adalah peristiwa pelantikan dia sebagai seorang Raja. Karena itu di Mazmur 2:6 menyatakan: “Akulah yang telah melantik raja-Ku di Sion, gunung-Ku yang kudus!” Dengan demikian makna penyebutan “Anak” merupakan realitas relasi keintiman Yesus yang begitu eksklusif dan esa dengan Allah sekaligus pelantikan Dia sebagai Raja di hadapan umat-Nya. Makna “Anak” dan “Bapa” dalam konteks ini merupakan pernyataan yang metaforis, bukan dalam pengertian harafiah yaitu Yesus sebagai anak biologis Allah yang mengawini Maria.
- Makna “yang Kukasihi” berlatarbelakang pada kutipan di Yesaya 41:8, yaitu: “Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham, yang Kukasihi.” Makna Yesaya 41:8 menegaskan tindakan Allah yang memilih dan mengasihi umat Israel secara khusus dengan tujuan umat Israel mampu melaksanakan misi dan karya keselamatan Allah. Karena itu pengenaan sebutan “yang Kukasihi” kepada diri Yesus untuk menunjuk bahwa Yesus adalah pribadi ilahi yang dipilih dan dikasihi Allah secara istimewa, sehingga Dia datang ke dalam dunia dengan tujuan yang khusus yaitu menyatakan keselamatan Allah.
- Makna “Dia yang berkenan” merupakan kutipan dari Yesaya 42:1, yaitu: “Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa.” Konteks Yesaya 42:1 menegaskan status “Dia yang berkenan” sebagai seorang hamba yang terpilih sehingga Allah meletakkan Roh-Nya ke atas dirinya. Pernyataan Allah kepada diri Yesus sebagai “yang berkenan” menunjuk bahwa Yesus adalah Sang Hamba Allah yang dinubuatkan dan di dalam diri-Nya Allah meletakkan Roh-Nya. Karena itu secara eksplisit dipersaksikan Roh Kudus dalam bentuk burung merpati turun ke atas diri Yesus saat Dia dibaptis.
Jikalau kejadian diri Yesus sebagai manusia karena intervensi Roh Kudus, mengapa Lukas 3:22 dalam peristiwa baptisan Yesus menyatakan: “Terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya?” Pernyataan Lukas 3:22 mengesankan bahwa Roh Kudus baru hadir dalam peristiwa baptisan dan pelantikan Yesus di Sungai Yordan. Apakah sebelumnya Roh Kudus belum hadir dalam diri Yesus selama 30 tahun? Bagaimanakah kita harus menjawab masalah ini? Kita perlu memahami bahwa sejak awal dalam kekekalan ilahi, Yesus telah berada bersama Bapa dan Roh Kudus. Apabila kehadiran Roh Kudus dinyatakan secara eksplisit saat baptisan-Nya adalah suatu penegasan bahwa di dalam diri Yesus, Allah akan membaptis umat-Nya dengan Roh Kudus. Sebelum Yesus tampil dan dibaptis di Sungai Yordan, Yohanes Pembaptis telah bernubuat, yaitu: “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak. Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (Luk. 3:16). Turunnya Roh Kudus di dalam diri Yesus saat Ia dibaptis merupakan landasan peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas para murid dan umat percaya melalui peristiwa Pentakosta. Dengan perkataan lain, tanpa kehadiran dan karya Kristus, maka Roh Kudus tidak akan turun ke atas umat percaya. Karya penebusan Kristus yang memungkinkan Roh Kudus mengurapi dan menguduskan umat percaya menjadi umat kepunyaan Allah. Efeknya Roh Kudus yang memampukan para murid dan umat percaya untuk bersaksi tentang karya keselamatan Allah di dalam penebusan Kristus.
Melalui peristiwa baptisan Yesus di Sungai Yordan, kita diingatkan akan peristiwa baptisan-sidi di hadapan Allah dan jemaat-Nya. Berbeda secara esensial dengan diri Yesus yang telah menjadi Anak Allah sejak kekal bersama dengan Allah, justru saat kita dibaptis kita diadopsi (diangkat) oleh Allah sehingga kita menjadi anak-anak Allah. Peristiwa baptisan-sidi merupakan peristiwa transformatif yang mengubah status dan kedudukan kita yang dahulu milik kuasa dunia tetapi kini menjadi milik Allah. Status sebagai “anak-anak Allah” merupakan karya keselamatan dan penebusan Kristus dengan tujuan agar hidup kita menyerupai Kristus yang bersedia merendahkan diri dan taat kepada kehendak Allah. Karena itu sejauh manakah kualitas relasi kita dengan Allah dinyatakan dalam doa-doa kita? Bercermin kepada Kristus, makna spiritulitas doa bukanlah sekadar doa permohonan namun manifestasi relasi yang intim dan personal dengan Allah. Melalui praktik spiritualitas doa yang intim dengan Allah, sejauh manakah hidup kita dipimpin oleh kehendak Roh Kudus? Lalu, sejauh manakah karya Roh Kudus yang telah bekerja dalam kehidupan kita memampukan kita untuk bersaksi tentang karya keselamatan dan penebusan di dalam Kristus?
Perayaan peristiwa baptisan Yesus di Sungai Yordan menegaskan misteri Allah yang esa-relasional, dan bukan Allah yang esa-nominal. Allah yang esa-relasional adalah keesaan Allah dalam persekutuan-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Sedangkan Allah yang esa-nominal adalah keesaan Allah yang mutlak dalam pola monarkhi yang otoriter. Sebaliknya dalam peristiwa baptisan Yesus, Allah menyingkapkan keberadaan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Ketiga-Nya esa namun memiliki peran-Nya masing-masing dalam persekutuan kasih dan misi yang saling melengkapi, yaitu: yang dibaptis adalah Yesus Sang Anak Allah, bukan Bapa dan Roh Kudus; yang bersabda dari langit adalah Sang Bapa, bukan Sang Anak dan Roh Kudus; yang turun sebagai burung merpati adalah Roh Kudus, bukan Bapa dan Sang Anak. Jikalau demikian, sejauh manakah kita mengasihi dan memuliakan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari?
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono