Pengantar
Makna hakikat “gereja” bukan untuk menunjuk kepada gedung atau bangunan fisiknya. Kata “gereja” menunjuk kepada umat yang telah ditebus oleh Allah dalam karya penebusan Kristus di atas kayu salib dan yang bangkit dari kematian. Gereja adalah persekutuan umat percaya kepada Kristus dan yang berada dalam konteks masyarkat, negara dan bangsa. Gereja-gereja di Indonesia adalah persekutuan-persekutuan umat percaya dalam iman kepada Kristus yang ditempatkan Allah dalam konteks Indonesia dan Pancasila sebagai payung bersama di tengah-tengah keberagaman. Karena gereja berada dalam masyarakat, maka masyarakat merupakan habitat dan konteks hidup yang integral dengan kehidupan gereja. Gereja dipanggil Allah berperan-serta secara kreatif dan konstruktif di dalam masyarakat dan pada pihak lain masyarakat dengan nilai-nilai budaya, adat-istiadat, pandangan hidup dan keunikannya akan mempengaruhi kehidupan gereja. Untuk itu gereja perlu membangun teologi yang kontekstual dan konstruktif agar mampu berperan secara transformatif di tengah masyarakat.
Hubungan gereja dan masyarakat merupakan hubungan yang saling tergantung dan membutuhkan (interdependensi) dan mutualistik dalam pengertian dipanggil untuk saling membangun dan melengkapi. Dalam hubungan yang saling tergantung dan mutualistik tersebut gereja tidak boleh kehilangan jati-dirinya sebagai umat yang ditebus oleh Kristus. Sebab akar, pondasi dan jiwa dari gereja adalah Kristus. Keberadaan gereja bukan berasal dari masyarakat/dunia, tetapi dari Kristus. Walau keberadaan gereja bukan berasal dari masyarakat/dunia, tetapi gereja diutus oleh Kristus berada di dalam dunia untuk menyatakan karya keselamatan Allah. Di Matius 5:13 Yesus berkata: “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Sebenarnya pernyataan “Kamu adalah garam dunia” kurang tepat. Seharusnya diterjemahkan dengan: “Kamu adalah garam bumi” dari pernyataan: “halas tes ges.” Dengan pernyataan “Kamu adalah garam bumi” maka kata “bumi” (ges) menunjuk pada konteks riil yaitu habitat persekutuan umat percaya. Setiap umat percaya dipanggil untuk menggarami orang-orang di sekitar seperti orang menggarami suatu masakan yang dahulu hambar kini berubah menjadi sedap. Penggunaan “garam” dalam konteks ini tidak boleh terlalu sedikit tetapi juga tidak boleh terlalu banyak. Demikian pula peran umat percaya haruslah tepat dan proporsional seperti garam, yaitu sesuai kondisi kehidupan masyarakat.
Hakikat Gereja
Istilah gereja berasal dari bahasa Portugis, yaitu kata igreya, dan kata igreya berasal dari kata Yunani yaitu kata ekklesia. Makna kata ekklesia berasal dari kata ek (keluar) dan kalein (memanggil). Dengan demikian makna kata gereja berarti umat yang dipilih dan ditebus untuk keluar dari kuasa dunia sebab Allah memanggil mereka menuju terang dan keselamatan-Nya. Umat yang telah dipanggil Allah keluar dari kuasa dosa dijadikan Allah sebagai umat percaya di dalam karya penebusan Kristus. Dengan demikian dalam makna gereja pada hakikatnya mengandung dimensi kebaruan sebagai ciptaan baru. Umat yang semula berada di bawah kuasa dosa diubah menjadi ciptaan baru di dalam Kristus. Di Surat 2 Korintus 5:17 Rasul Paulus berkata: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.”
Dimensi kebaruan sebagai ciptaan baru merupakan proses yang tidak sekali jadi saat seseorang mengalami karya keselamatan Allah. Sebaliknya dimensi kebaruan tersebut seharusnya terus diperjuangkan sepanjang hidup. Kita senantiasa berada di antara proses being menjadi becoming dalam anugerah Allah dan disiplin rohani. Pembaruan status sebagai umat Allah (being) adalah anugerah Allah, dan pada pihak lain umat merespons dengan disiplin rohani melalui penyangkalan diri. Dari perspektif karya penebusan Kristus kita sudah ditebus dan dibayar dengan harga yang lunas, yaitu dengan darah Kristus. Pada pihak lain keberadaan diri kita yang sudah ditebus oleh darah Kristus (being) harus merespons terus-menerus untuk menjadi (becoming) serupa dengan Kristus. Tindakan iman untuk terus-menerus menjadi (becoming) ditempuh setiap umat percaya melalui kesediaan menyangkal diri dan memikul salib dengan setia. Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Pembaruan menjadi ciptaan baru harus senantiasa ditingkatkan kualitasnya dengan penyangkalan diri dan memikul salib Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Dimensi Kebaruan sebagai Gereja
Di Surat 1 Petrus 2:9 perubahan status dan dimensi kebaruan umat percaya dinyatakan: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib.” Dari Surat 1 Petrus 2:9 tersebut kita dapat melihat terdapat empat jabatan umat percaya di dalam Kristus, yaitu:
- Bangsa yang terpilih
- Imamat yang rajani
- Bangsa yang kudus
- Umat kepunyaan Allah sendiri
Makna sebagai bangsa yang terpilih menunjuk kepada tindakan Allah yang memilih berdasarkan kedaulatan dan anugerah-Nya. Dengan kedaulatan dan anugerah-Nya Allah memilih sebagian umat-Nya menjadi gereja-Nya. Pemilihan Allah tersebut bukan ditentukan oleh usaha, kekuatan, kesalehan dan kebenaran mereka. Sebaliknya keberadaan umat sebagai gereja ditentukan oleh kehendak Allah, yaitu kedaulatan dan anugerah-Nya. Dengan demikian sebagai bangsa yang terpilih, umat percaya (gereja) dipanggil Allah untuk hidup dalam kebenaran dan nilai-nilai Kerajaan Allah. Ini berarti status umat percaya sebagai bangsa yang terpilih bukan untuk menunjuk status yang lebih atau superioritas mereka di antara bangsa-bangsa lain. Sebaliknya status umat percaya sebagai bangsa yang terpilih pada hakikatnya untuk menunjuk fungsi dan peran khusus mereka untuk memberkati dan menyatakan karya keselamatan Allah bagi bangsa-bangsa di sekitar.
Makna Imamat yang rajani mengandung dua dimensi jabatan, yaitu jabatan Imam dan Raja. Dalam jabatan Imam (kohen) menunjuk tugas khusus seseorang untuk mempersembahkan korban kepada Allah. Jabatan Imam menunjuk pada seseorang yang dipakai Allah sebagai pengantara yang mendamaikan, sehingga terjadi pemulihan relasi antara umat dengan Allah. Sedang dalam jabatan Raja (melek) merupakan peran khusus seseorang yang diurapi Allah untuk memerintah dengan otoritas Allah dan kehendak-Nya. Jabatan sebagai Raja merupakan jabatan khusus dan istimewa untuk memimpin umat agar mereka mampu hidup sebagai umat Allah. Kedua jabatan tersebut yaitu Imam dan Raja merupakan orang-orang yang diurapi Allah. Para Imam dan Raja adalah orang-orang yang diurapi oleh Roh Kudus dan dilengkapi dengan karunia-karunia Roh. Jabatan umat percaya sebagai Imamat yang rajani tersebut merupakan pemenuhan dari Keluaran 19:6 yaitu: “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel.” Karena itu pernyataan Surat 1 Petrus 2:9 paralel dengan Wahyu 1:6 yang menyatakan: “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.”
Makna bangsa yang kudus menunjuk kepada status atau keberadaan umat yang dikhususkan Allah sehingga kehidupan mereka terpisah dari pola-pola dunia yang cemar. Karena itu sebagai bangsa yang kudus mereka harus menolak setiap hal yang cemar dalam arti yang seluas-luasnya. Kehidupan setiap umat percaya seharusnya ditandai oleh kekudusan yaitu pola hidup yang menolak segala bentuk nilai-nilai dan perilaku yang tidak sesuai dengan perjanjian Allah.
Makna umat kepunyaan Allah sendiri menunjuk pada harta kesayangan Allah sendiri. Di Keluaran 19:5 Allah berfirman: “Jadi sekarang jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi.” Jadi sebagai harta kesayangan Allah, umat percaya diingatkan akan status mereka yang mulia sehingga mereka harus hidup dalam ketaatan dan perjanjian dengan Allah.
Status yang Baru dalam Peran yang Baru
Melalui jabatan dan peran sebagai bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus dan umat kepunyaan Allah pada hakikatnya gereja sebagai Tubuh Kristus melaksanakan tujuan khusus, yaitu: “supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1Petr. 2:9). Dengan keempat jabatan tersebut gereja/umat percaya memperoleh otoritas/kuasa, peran dan tanggungjawab untuk menyampaikan kabar baik tentang perbuatan-perbuatan besar dari Allah yang telah dinyatakan oleh Kristus. Dalam karya penebusan Kristus, gereja berperan menyatakan pembebasan dari kuasa kegelapan untuk menuju masyarakat yang baru di dalam Kristus. Gereja dipanggil untuk membawa perubahan dan pembaruan dalam masyarakat/dunia sehingga hidup dalam terang keselamatan Allah.
Tugas panggilan dan peran baru gereja adalah menyatakan pemerintahan Allah yang telah dinyatakan di dalam Kristus. Sebab melalui Kristus, Allah menyatakan realitas Kerajaan-Nya di tengah-tengah kehidupan umat manusia sepanjang abad. Di Lukas 11:20 Yesus berkata: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” Di dalam inkarnasi dan karya serta kehidupan Yesus realitas Kerajaan Allah hadir. Makna “Kerajaan Allah” yang dimaksud adalah kehadiran pemerintahan Allah yang dinyatakan dalam karya Yesus yang memulihkan, menyembuhkan, memberdayaakan dan membawa kehidupan baru. Karena itu makna “Kerajaan Allah” dalam konteks Injil dan ajaran gereja bukanlah pendirian negara secara politis-ekonomis-militer. Sebaliknya makna “Kerajaan Allah” di dalam Kristus menunjuk pada realitas kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai, spiritualitas dan karakter Allah dalam kuasa kasih, pengampunan, kemurahan, keadilan dan kekudusan-Nya. Realitas Kerajaan Allah akan menjadi lebih efektif lagi apabila diwujudkan dalam sistem perilaku, pola pikir (paradigma), sikap etis-moral, profesionalisme, pola dan kebijakan dalam pemerintahan, sistem pendidikan dan ideologi/filosofi hidup bersama. Dengan demikian realitas kuasa dan nilai-nilai Kerajaan Allah seharusnya merembes, meresapi, dan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan sehingga menghasilkan daya cipta yang transformatif.
Tujuan atau misi kedatangan Kristus adalah terwujudnya realitas Kerajaan Allah dalam setiap segi kehidupan manusia. Karena itu gereja hanyalah alat, bukanlah tujuan. Sebagai alat gereja dipanggil untuk taat dan setia kepada Kristus agar mampu menjadi agen-agen pembaruan yang efektif. Untuk melaksanakan tugas panggilan sebagai agen-agen pembaruan Allah, maka gereja memiliki Tritugas, yaitu:
- Persekutuan (koinonia), yaitu pola sikap dan tindakan gereja membangun persekutuan umat yang mengasihi dan mempermuliakan Allah melalui ibadah dan perayaan hari-hari raya gerejawi serta relasi dengan setiap sesama dalam keragamannya. Spiritualitas dan panggilan membangun persekutuan tersebut menginspirasi dan menggerakkan umat untuk menjalin relasi yang dilandasi oleh kasih, kemurahan, kepedulian dan keadilan Allah. Dengan demikian melalui persekutuan, gereja membangun komunitas sebagai keluarga Allah yang inklusif.
- Kesaksian (marturia) yaitu pola sikap dan tindakan gereja menyatakan kebenaran dan kehendak Allah bagi seluruh ciptaan-Nya. Kebenaran dan kehendak Allah tersebut adalah Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat. Karena itu berita pertobatan dan suara kenabian yang disampaikan oleh gereja pada hakikatnya dijiwai oleh pengakuan imannya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru-selamat dunia. Pembelaan gereja terhadap sesama yang lemah dan tertindas bukan didasari oleh sikap yang humanistis tetapi karena di dalam inkarnasi Kristus martabat kemanusiaan ditempatkan dalam keluhuran ilahi. Melalui Kristus, umat percaya dipulihkan untuk hidup menurut gambar dan rupa Allah.
- Pelayanan (diakonia) yaitu pola sikap dan tindakan gereja yang menyatakan kasih Allah di dalam Kristus kepada sesama dalam seluruh keberadaannya. Karena itu hakikat pelayanan gerejawi bersifat holistik. Pelayanan gerejawi bertujuan mengembalikan manusia kepada harkat dan panggilannya yang luhur. Makna pelayanan gerejawi bukanlah pelayanan sosial yang dilandasi oleh kepedulian humanistik. Pelayanan gerejawi menyatakan secara utuh belarasa dan kasih Allah kepada manusia. Melalui pelayanan gerejawi, setiap umat percaya menjadi tangan dan kaki bagi Kristus. Dengan demikian hakikat pelayanan gerejawi dijiwai oleh kasih Allah yang bersedia berkurban (agape).
Melalui Tritugas tersebut gereja berperan sebagai alat di tangan Kristus. Gereja menjadi media yang dipakai Allah yang memulihkan dan menghadirkan pendamaian dengan manusia. Dengan Tritugas tersebut, gereja melaksanakan misi Allah untuk menghadirkan keselamatan di tengah-tengah realitas dunia yang melakukan kekerasan, kekejaman, penindasan, ketidakadilan, diskriminasi dan pemujaan terhadap materi atau kultus-individu. Karena itu dalam pelaksanaan Tritugas gereja tersebut haruslah merupakan tugas yang dilakukan dengan kesungguhan hati, dedikasi yang tinggi, kesediaan berkurban, didasari oleh kompetensi tinggi, melibatkan setiap tenaga professional dan perencanaan yang matang serta visioner. Sayangnya dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai pelaksanaan program-program dalam Tritugas gereja dilaksanakan ala kadarnya. Program pelayanan gerejawi sekadar jalan agar terkesan ada kegiatan. Padahal Tritugas gereja adalah misi Allah di tengah dunia. Bobot atau kualitas dan dampak pelayanan gereja tidak boleh di bawah standar pelayanan sekuler. Perlu kita ketahui bahwa standar pelayanan sekuler justru terus mengembangkan prinsip excellence (keprimaan) dan profesionalisme. Kita harus melakukan pelayanan yang terbaik untuk Allah sebab seluruh karya dalam Tritugas gereja itu dilakukan untuk kemuliaan Allah.
Jadi bagaimanakah gereja melaksanakan Tritugas agar dapat memuliakan Allah? Bagaimanakah melaksanakan pelayanan yang terbaik sehingga membawa berkat kepada dunia? Untuk itu gereja perlu memperhatikan tujuh aspek dalam program-program pelayanan, yaitu:
- Perencanaan yang matang sesuai dengan situasi dan konteks jemaat serta konteks kota atau wilayah, sehingga membutuhkan analisa situasi dan riset sebelum membuat perencanaan.
- Visi dan misi yang jelas dan dihayati oleh setiap anggota jemaat, sehingga seluruh pola sikap dan tindakan umat didorong oleh visi dan misi gerejawi. Visi dan misi tersebut menggerakkan setiap anggota gereja untuk mewujudkannya. Visi dan misi tersebut merupakan mimpi (dream) yang menginspirasi dan memotivasi umat dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan yang dipercayakan kepadanya.
- Menjawab kebutuhan pergumulan umat dan masyarakat. Program pelayanan gerejawi merupakan respons dan tanggungjawab gereja untuk terlibat dalam persoalan-persoalan umat dan masyarakat. Prioritas tugas pelayanan gerejawi adalah menjawab kebutuhan konkret sehingga melalui program pelayanan tersebut setiap umat dan anggota masyarakat dapat merasakan dampaknya. Umat dan anggota masyarakat dapat merasakan sentuhan kasih Allah yang memulihkan dan membebaskan dalam program pelayanan gerejawi tersebut.
- Memiliki kompetensi sesuai dengan talenta dan minat sehingga tugas pelayanan tersebut dilakukan secara optimal. Dalam konteks ini gereja dapat menyediakan bea-siswa, pembinaan dan pelatihan sehingga para anggota jemaat tersebut mampu mengembangkan diri. Standar kompetensi menjadi standar yang harus dipenuhi oleh gereja agar melalai pelayanannya tersebut gereja memberi pelayanan yang berkualitas tinggi.
- Spiritualitas yang berdedikasi dan disiplin yang tinggi sehingga setiap tugas pelayanan dilakukan dengan kesungguhan hati. Dedikasi merupakan wujud sikap iman umat yang mempersembahkan diri, waktu, dan uang secara total kepada Tuhan. Disiplin merupakan karakter dan sikap yang dilakukan secara konsisten, tepat waktu dan taat kepada ketentuan yang berlaku. Karena itu melalui dedikasi dan disiplin yang tinggi setiap tugas dilakukan dengan cinta-kasih yang besar dan tanggungjawab penuh.
- Dapat diukur bertujuan agar setiap program pelayanan dapat dievaluasi dan dipertanggungjawabkan secara periodik. Untuk itu penyusunan program pelayanan dirumuskan dalam bahasa yang dapat diukur secara periodic melalui metode evaluasi secara kuantitatif dan kualitatif.
- Strategi dan metode yang tepat guna sehingga setiap program pelayanan yang ditetapkan oleh gereja dilengkapi dengan cara pencapaian yang efektif dan efisien. Strategi dan metode pencapaian tersebut dilandasi oleh prinsip-prinsip etis-moral iman Kristen sehingga tidak hanya berpusat pada nilai hasil (etika teleologis), tetapi juga bagaimanakah strategi dan metode pencapaian tersebut merupakan wujud spiritualitas iman Kristen yang bertanggungjawab (etika tanggungjawab).
Misi Gereja
Misi Gereja adalah melaksanakan misi Allah di dalam dunia ini. Untuk melaksanakan misi Allah, gereja melaksanakan pengutusan Kristus. Sebelum Yesus dimuliakan ke sorga, Ia berfirman: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). Pada tahap pertama, pengutusan Kristus tersebut dimulai dari tempat mereka berada di Yerusalem. Mereka dipanggil untuk berbenah dan bertumbuh secara internal sebagai utusan-utusan Kristus. Pada tahap kedua setelah bertumbuh secara internal mereka dipanggil untuk bergerak keluar dan terus melebar ke wilayah yang lebih luas, yaitu seluruh Yudea. Dengan demikian para murid Yesus harus meninggalkan zona nyaman mereka untuk membawa nilai-nilai Injil yang transformatif ke lingkup yang lebih luas yaitu seluruh daerah Yudea. Pada tahap ketiga barulah mereka dapat melintasi wilayah yang dianggap “kafir” oleh orang-orang Yahudi pada zaman itu, yaitu Samaria. Di tahap ini para murid Yesus menghadapi situasi orang-orang Samaria yang praktik keagamaannya telah tercampur dengan budaya Asyria. Kemudian pada tahap keempat, umat percaya diutus sampai ke ujung bumi yaitu seluruh wilayah yang lebih luas dan universal. Mereka dipanggil memberitakan Injil Kristus sebagai kabar baik di semua tempat yang jauh terpencil untuk berjumpa dengan berbagai suku dan bangsa.
Gerak pengutusan Kristus adalah gerak sentrifugal, yaitu gerak pelayanan yang semakin meluas. Karena itu pelayanan gerejawi tidak berfokus pada dirinya sendiri. Pelayanan gerejawi merupakan media pembinaan, pelatihan, pengembangan karakter dan pendalaman spiritualitas agar umat dimampukan untuk melayani lingkup yang lebih luas yaitu dunia di sekitar. Pelayanan gerejawi yang hanya berpusat pada dirinya sendiri merupakan gerak pengutusan yang bersifat sentripetal belaka. Gerak sentripetal merupakan gerak yang mengarah kepada titik pusatnya, sehingga mengembangkan sikap egoistis dan egosentrisme. Dengan demikian dalam pengutusan Kristus yang bergerak secara sentrifugal dimaknai sebagai tugas pengutusan Allah sehingga setiap umat percaya bersedia meninggalkan dorongan dan motivasi untuk menguatkan egoisme dan egosentrisme. Di Lukas 9:23 Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Umat percaya akan dimampukan untuk melaksanakan misi Allah jikalau mereka bersedia menyangkal diri dan memikul salib Kristus.
Pelayanan yang Ekumenis
Gereja sebagai Tubuh Kristus digambarkan oleh Rasul Paulus seperti berbagai anggota tubuh yang memiliki fungsi yang berbeda-beda. Di Surat 1 Korintus 12:12 menyatakan: “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu sekalipun banyak merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus.” Dalam kehidupan gereja kita mengenal spiritualitas yang beragam. Denominasi dalam gereja terdiri berbagai macam aliran teologi dan spiritualitas. Kita mengenal gereja Roma Katolik, Gereja Orthodoks Timur, Gereja Lutheran, Gereja Calvinis, Gereja Metodis, Gereja Anglikan, dan Gereja Pentakostal. Namun sebenarnya berbagai macam denominasi tersebut kadang bersifat perbedaan yang sifatnya organisatoris dan doktrin teologis tertentu. Berbagai denominasi tersebut memiliki ciri spiritualitasnya yang khas. Padahal dalam berbagai perbedaan yang sifatnya organisatoris dan doktrin teologis tersebut memiliki kesamaan spiritualitas. Di setiap gereja atau denominasi memiliki kekayaan spiritualitas dengan tekanannya yang berbeda-beda. Minimal dari berbagai denominasi gereja tersebut terdapat enam karakter dan spiritualitas yang khas, yaitu:
- Tradisi Kontemplatif: suatu spiritualitas yang menekankan aspek doa dalam keheningan dan bersifat reflektif. Kehadiran Allah dialami dalam keheningan dan firman yang direfleksikan.
- Tradisi Kekudusan: suatu spiritualitas yang menekankan pada aspek penyangkalan diri dan ketaatan untuk mewujudkan kehidupan yang kudus di hadapan Allah.
- Tradisi Kharismatik: suatu spiritualitas yang menekankan aspek karunia-karunia Roh, khususnya karunia bahasa Roh sebagai tanda kehidupan baru dalam baptisan Roh Kudus.
- Tradisi Kerugma: suatu spiritualitas yang menekankan aspek Injil sebagai kabar baik yang harus diberitakan khususnya sebagai berita kenabian untuk menegur dan membawa dalam pertobatan.
- Tradisi Inkarnasional: suatu spiritualitas yang menghayati setiap peristiwa sebagai media inkarnasi Kristus sehingga setiap peristiwa merupakan media bagi Allah untuk menyatakan diri-Nya.
Keragaman dalam tradisi iman tersebut merupakan kekayaan spiritualitas yang dianugerahkan Allah dalam kehidupan jemaat. Karena itu untuk pertumbuhan iman setiap umat membutuhkan berbagai macam tradisi iman. Semakin kita mengalami pertumbuhan iman kepada Kristus, spiritualitas kita semakin terbuka untuk diperkaya oleh setiap keragaman dalam tradisi iman tersebut. Kedewasaan yang ditumbuhkan melalui berbagai keragaman spiritualitas itu memampukan kita untuk semakin efektif melaksanakan misi Allah di tengah-tengah dunia ini. Kita dimampukan untuk melaksanakan misi Allah dengan pelayanan yang bersifat sentrifugal.
Makna pelayanan ekumenis bukan berarti kita berjuang untuk menjadi jemaat Kristus yang esa secara organisatoris atau kelembagaan gerejawi saja. Hakikat gereja yang esa tidak cukup diwujudkan dengan nama atau identitas kelembagaan gerejawi yang sama. Sebab keesaan gereja secara organisatoris tidak menjamin setiap umat bersedia hidup dalam kebersamaan dan kesehatian. Makna pelayanan yang ekumenis justru menekankan aspek kebersamaan dan kesehatian dalam kasih Kristus. Mereka saling terbuka untuk diperkaya tanpa kehilangan jati-dirinya. Hakikat pelayanan yang ekumenis adalah sikap yang inklusif. Pelayanan yang ekumenis dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari yang nyata sebagai Tubuh Kristus sehingga setiap umat dari berbagai latar-belakang denominasi bersedia saling bekerja-sama dan melengkapi. Jadi pelayanan ekumenis merupakan pelayanan gerejawi yang dijiwai oleh berbagai kekayaan spiritualitas sehingga kita dimampukan berperan secara efektif sebagai Tubuh Kristus untuk melaksanakan misi Allah di tengah dunia ini.
Untuk berperan aktif sebagai Tubuh Kristus yang esa, kita perlu membuka diri bekerja-sama dengan berbagai denominasi gereja. Kerjasama tersebut bukan hanya dalam melaksanakan program-program pelayanan di tengah masyarakat tetapi kerjasama spiritualitas yang saling memperkaya pemahaman, pendalaman relasi secara personal dan komunal, berdoa bersama-sama, dan jaringan kerja yang transformatif. Pada hakikatnya kita membutuhkan rekan sepelayanan dari berbagai denominasi untuk melaksanakan misi Allah di tengah dunia ini. Apabila gereja-gereja dalam praktik masih mempertahankan tembok-tembok denominasinya, saling bersaing dan menganggap dirinya lebih baik, bagaimana gereja mampu berperan secara konstruktif di tengah masyarakat yang lebih kompleks dan beragam? Sikap gereja-gereja yang eksklusif dan menganggap dirinya lebih rohani (superior) merupakan sikap yang jauh dari spiritualitas iman Kristen. Karena setiap orang yang mengikut Kristus, ia harus menyangkal dirinya.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono