Prapaskah V (Tahun C)
(Yes. 43:16-21, Mzm. 126, Flp. 3:4-14, Yoh. 12:1-8)
Di Yohanes 12:1-2 mengisahkan Tuhan Yesus diundang dalam suatu perjamuan oleh keluarga Lazarus. Tampaknya perjamuan tersebut dilatar-belakangi oleh sikap ucapan syukur karena Dia telah membangkitkan Lazarus dari kematiannya sebagaimana yang dikisahkan dalam Yohanes 11:43-44. Dengan demikian peristiwa perjamuan yang dikisahkan di Yohanes 12 pada prinsipnya merupakan perjamuan yang khusus diadakan untuk menghormati Tuhan Yesus. Namun sangat menarik, bahwa yang menyentuh dalam kisah di Yohanes 12 bukanlah kisah keramaian dan kekhususan dari peristiwa perjamuan tersebut. Tetapi di tengah-tengah keramaian peristiwa perjamuan tersebut, mengisahkan bahwa Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni, yang harganya mencapai upah satu tahun seseorang bekerja. Lalu Maria membuka tutup botol minyak narwastu tersebut dan dia meminyaki kaki Tuhan Yesus. Tindakan Maria tersebut tentunya sangat mencengangkan orang-orang yang hadir dalam perjamuan itu. Alasannya adalah:
1. Harga minyak tersebut sangat fantastis sebab begitu mahal sehingga orang harus menabung satu tahun penuh dengan bekerja barulah dia dapat membeli minyak narwastu.
2. Minyak narwastu yang sangat mahal hanya ditumpahkan di kaki Tuhan Yesus, sehingga minyak tersebut juga tertumpah ke berbagai tempat.
3. Maria menyeka kaki Tuhan Yesus dengan rambutnya. Bukankah mengejutkan bahwa seorang wanita bersedia menyeka kaki seseorang dengan rambutnya? Sebab bukankah bagi seorang wanita, rambut merupakan lambang kehormatan atau mahkota yang membanggakan, sehingga juga tidak mudah bagi seorang wanita membiarkan rambutnya tersentuh oleh orang lain?
Tindakan Maria yang secara ekonomis tampak sia-sia dan bodoh tersebut, justru oleh Tuhan Yesus dihargai. Kesaksian di Matius 26:13 memuat ucapan Tuhan Yesus yang berkata: “Sesungguhnya di mana saja Injil ini diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukannya ini akan disebut juga untuk mengingat dia” (paralel dengan Mark. 14:9). Tuhan Yesus memuji tindakan Maria secara terbuka, karena Maria telah mengungkapkan kasih dan rasa hormat (takzim) yang begitu dalam. Di Lukas 7:37-50, menyebutkan tindakan wanita tersebut karena dia menyesali dosa-dosanya di depan kaki Tuhan Yesus. Sebab itu di Lukas 7:47, Tuhan Yesus berkata: “Dosanya yang banyak itu telah diampuni, sebab ia telah banyak berbuat kasih. Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” Jadi baik Injil Lukas, Matius, Markus maupun Yohanes sepakat bahwa Maria dalam kisah ini menuangkan minyak ke kaki Tuhan Yesus karena didasari oleh kasihnya yang begitu besar kepadaNya. Maria mengasihi begitu dalam karena menyadari bahwa dosa-dosanya yang begitu besar telah diampuni oleh Kritus. Manakala seseorang digerakkan oleh kasih yang begitu besar, pastilah dia bersedia melakukan sesuatu yang begitu menakjubkan.
Kesaksian tentang Maria yang penuh kasih dan sangat menyentuh hati, mengingatkan kita juga kepada bangunan Taj Mahal di Agra, India. Bangunan Taj Mahal merupakan ekspresi atau ungkapan cinta seorang suami, yaitu Sultan Shah Jahan yang begitu mengasihi istrinya, yaitu Mumtaz Mahal (yang telah meninggal pada tahun 1631). Taj Mahal mulai dibangun tahun 1632-1643. Namun seluruh bangunan di sekitar Taj Mahal baru diselesaikan tahun 1653. Jadi untuk membangun Taj Mahal seluruhnya membutuhkan waktu 21 tahun lamanya! Maria dan Sultan Shah Jahan memiliki kesamaan untuk memberikan sesuatu yang agung kepada orang yang dikasihinya. Hanya bedanya, Maria mengungkapkan kasih kepada Tuhan Yesus sebagai Mesiasnya dan ucapan syukur atas pengampunan yang telah ia terima dengan minyak narwastu. Sedangkan Shah Jahan mengungkapkan cintanya yang mendalam kepada mendiang istrinya dengan mendirikan bangunan Taj Mahal yang begitu megah dan salah satu bangunan yang terindah di dunia. Wujud dari kasih yang agung senantiasa mengandung suatu ide yang unik, menyentuh hati, mengesankan dan senantiasa dikenang secara kekal. Yang mana wujud dari kasih senantiasa melampaui pola berpikir ekonomis. Maksudnya dalam tindakan kasih yang tulus pada umumnya tidak pernah mendasarkan kemampuan finansial sebagai tolok ukur yang menentukan. Bahkan sekilas dalam tindakan kasih yang agung menampakkan tindakan yang “tidak hemat”. Namun sesungguhnya di balik tindakan yang terkesan “tidak hemat” tersebut terungkaplah makna spiritualitas, ungkapan kasih, ketulusan hati dan pengorbanan diri yang sangat dalam.
Sebaliknya tokoh Yudas Iskariot dalam Yohanes 12 cenderung untuk melihat segala sesuatu dari sudut ekonomis dan humanisme terhadap orang-orang miskin. Tetapi Injil Yohanes memberi catatan terhadap kepedulian Yudas Iskariot kepada orang-orang miskin, yaitu: “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kasih yang dipegangnya” (Yoh. 12:6). Di sini kita dapat melihat perbedaan paradigma dari tindakan Maria yang mengasihi Kristus dengan suatu pengorbanan yang melampaui ukuran ekonomis dan finansial. Sebaliknya paradigma dari Yudas yang cenderung berpikir serba ekonomis dan melihat segala sesuatu dari kemanfaatannya. Kedua paradigma tersebut sering kita temukan di dalam kenyataan hidup sehari-hari apakah di dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, pelayanan di tengah jemaat dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari luar mengesankan membela orang-orang miskin, lemah dan tertindas tetapi sebenarnya memiliki motif lain yang tersembunyi. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering menjumpai segala sesuatu diukur dan dibenarkan apabila keputusan dan tindakan tertentu dapat menguntungkan secara ekonomis atau menghasilkan suatu profit.
Paradigma profit tersebut juga meresapi pola pelayanan gerejawi. Apabila pelayanan tersebut menghasilkan suatu manfaat secara ekonomis, misal dengan biaya sedikit namun menghasilkan keuntungan besar pastilah kita akan mendukung program tersebut. Namun ketika kita dimotivasi untuk belajar memberi yang terbaik kepada Tuhan, tidak semua orang percaya tergerak untuk ambil bagian secara tulus. Bahkan terdapat kecenderungan bagaimana agar kita sebisa mungkin hanya memberi sehemat mungkin. Kita sering berpikir bahwa tidak ada orang yang tahu ketika kita menyerahkan persembahan di tengah-tengah suatu kebaktian. Sebagai ilustrasi terdapat kisah, yaitu di suatu desa Perancis setiap tahun dilaksanakan suatu festival anggur. Untuk itu setiap orang diminta untuk membawa 1 liter air anggur dan air anggur tersebut akan dikumpulkan dalam suatu tempayan besar. Lalu seluruh penduduk akan minum bersama-sama sebagai tanda sukacita. Tetapi ketika walikota membuka tempayan itu, sungguh mengejutkan karena ternyata isinya hanyalah air. Hal ini terjadi karena setiap orang berpikir bahwa mereka tidak akan ketahuan dengan membawa air, bukan anggur. Tetapi ternyata yang membawa anggur tidak ada, sebab mereka pada umumnya terlalu sayang menyerahkan air anggurnya. Paradigma serba ekonomis sering merusak suasana, sukacita dan hubungan antar umat manusia. Sebab dalam paradigma serba ekonomis mendorong orang-orang yang terlibat untuk saling mencurigai, menyudutkan dan mendiskreditkan orang lain. Dalam hal ini Yudas Iskariot secara tidak langsung telah mendiskreditkan tindakan Maria, ketika ia berkata: “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yoh. 12:5). Dengan ungkapan ini sepertinya Yudas mau mengatakan bahwa betapa tololnya Maria telah membuang-buang minyak narwastu yang sangat mahal hanya dipakai untuk menyeka kaki Yesus!
Paradigma kasih yang telah mendorong Maria untuk memberikan yang terbaik kepada Tuhan Yesus tidak didasarkan pada fakta bahwa betapa susah-payahnya dia mencari uang dan harus dikumpulkan dalam waktu yang lama. Prinsipnya adalah dia hanya ingin memberi yang terbaik kepada Yesus. Sejalan pula dengan sikap rasul Paulus ketika dia mengenal Kristus, sehingga dia berkata: “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya” (Flp. 3:7-8). Semula tanda-tanda lahiriah dirinya sebagai orang Israel, dari suku Benyamin. Kita mengetahui bahwa salah seorang suku Benyamin pernah melahirkan raja pertama yaitu raja Saul. Saulus yang kelak berganti nama menjadi Rasul Paulus adalah lahir dari umat Israel asli . Ia memiliki penguasaan terhadap kitab Taurat. Status Saulus sebagai orang Farisi sangatlah membanggakan. Tetapi ketika dia mengenal Kristus yang hidup dan mengasihinya, dia melihat seluruh kebanggaannya terhadap hal-hal yang lahiriah itu menjadi sirna. Bagi rasul Paulus, Kristus lebih mulia dari pada semuanya itu! Karena itu kini dia mempertaruhkan seluruh hidupnya bagi kepentingan Kristus, dan penderitaan yang dialami sebagai suatu persembahan. Kasih dan pengampunan yang diterimanya dari Kristus mendorong dia untuk mengorbankan seluruh hidupnya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari tidak serta-merta kita mampu mengasihi Kristus dan menjadikan Dia segala-galanya, walau kita telah ditebus oleh-Nya. Tidak setiap dari kita telah menjadikan Kristus lebih mulia dari pada segala kebanggaan yang kita miliki. Bahkan sebaliknya, bukankah kita sering meletakkan seluruh kebanggaan yang kita miliki lebih tinggi dan lebih mulia dari pada Kristus. Itu sebabnya kita tidak mampu bersikap dan meneladani tindakan Maria dan rasul Paulus. Kasih kita lebih cenderung bersyarat. Pelayanan kita juga sering dengan nuasa bersyarat. Bahkan memberikan persembahan juga bersyarat. Spiritualitas yang kita bangun seringkali bukan didasarkan pada tindakan kasih yang telah mengalami anugerah pengampunan dari Tuhan, tetapi spiritualitas yang lebih berorientasi kepada perhitungan bisnis dan hanya ingin mencari keuntungan duniawi belaka. Inilah spiritualiatas yang transaksional. Tidaklah mengherankan jikalau begitu banyak kegiatan, program kerja dan pelayanan kita selaku gereja Tuhan seringkali tidak menghasilkan sesuatu yang menyentuh dan mengubah hati banyak orang.
Namun manakala kita bersedia meneladani Maria dan rasul Paulus dengan menjadikan seluruh hidup kita bagaikan minyak narwastu yang tertumpah di depan kaki Tuhan Yesus, maka pastilah kehidupan dan pelayanan kita akan menghasilkan sesuatu yang harum. Seluruh aktivitas dan pelayanan kita akan senantiasa mempermuliakan nama Tuhan. Jika demikian, dalam bentuk apa kita persembahkan diri sebagai minyak narwastu dalam kehidupan ini? Persembahan diri yang demikian tentunya menjadi cermin dari keharuman kasih, sehingga persembahan hidup kita menjadi suatu persembahan yang harum di hadapan Tuhan.
Hidup kita adalah persembahan diri yang harus kita berikan kepada Tuhan. Di Roma 12:1 firman Tuhan berkata: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Karena itu lakukan yang terbaik untuk Tuhan dan sesama, bukan untuk kepentingan dan kenyamanan diri sendiri.
Sumber gambar: https://hosanaditempatyangmahatinggi.wordpress.com/tag/yesus-diurapi-oleh-maria-dari-betania/
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono