Rekonstruksi Ilahi di Tengah Dekonstruksi dari kuasa Dosa
(Pkh. 3:1-11; Why. 21:1-6; Mat. 25:31-46)
Bacaan leksionaris pada tanggal 1 Januari 2021 ditempatkan dalam 2 dimensi waktu yang saling terkait yaitu waktu temporal dan waktu keabadian. Pengisahan dimensi “waktu temporal” dinyatakan dalam bacaan Pengkhotbah 3:1-11, sedangkan pengisahan dimensi “waktu keabadian” dinyatakan dalam Matius 25:31-46. Bukankah kita semua mengalami dimensi waktu temporal dan kelak setelah meninggal akan mengalami dimensi waktu keabadian? Kita diciptakan Tuhan dengan suatu tujuan. Kita tidak hidup secara kebetulan. Karena itu di waktu temporal sesungguhnya setiap kita sedang merajut bagaimana kelak akan hidup di waktu keabadian.
Dimensi waktu temporal merupakan waktu yang terjadi dan dialami saat kita masih hidup di tengah dunia. Disebut dimensi “waktu temporal” karena kita berada dalam batasan ruang dan waktu. Setiap orang tanpa terkecuali menciptakan “sejarah” hidup dan berada dalam konteks sejarah. Sedangkan waktu keabadian terjadi setelah kita meninggal dan mengalami penghakiman di depan takhta Kristus. Disebut dimensi “waktu keabadian” karena kesadaran sebagai individu tidak lenyap dengan kematian jasmaniah. Kedua dimensi waktu tersebut tidak bisa dipisahkan, atau dipilih salah satu. Apa yang kita lakukan di dunia dalam waktu temporal akan dinilai dan dihakimi kelak pada waktu keabadian. Segala perilaku kita di waktu temporal harus kita pertanggungjawabkan pada waktu hari penghakiman.
Kitab Pengkhotbah 3:1-11 mengawali kesaksiannya tentang waktu temporal dengan ucapan: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1). Makna ucapan Pengkhotbah 3:1 menyatakan bahwa setiap orang harus mampu melakukan segala sesuatu pada saat yang tepat, sebab setiap perilaku dalam suatu waktu harus sesuai dengan tujuan. Seorang yang bijaksana adalah pribadi yang mampu bertindak secara tepat, sehingga seluruh tindakannya menghasilkan sesuatu yang berharga, inspiratif dan membawa perubahan yang positif. Karena itu di Pengkhotbah 3:2 menyatakan: “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam.”
Problem yang dihadapi oleh banyak orang adalah kita sering tidak mampu bertindak pada saat yang tepat. Beberapa bentuk sikap yang tidak tepat dalam bertindak, yaitu:
- Keputusan etis yang diambil sering lambat atau terlalu cepat sebab dipengaruhi oleh suasana hati (mood), sikap yang kurang responsif, terlalu sensitif dan kurangnya pengetahuan (knowledge) (misalnya karena kurang mengetahui bahaya virus Covid-19 kita mengabaikan Protokol Kesehatan).
- Terjebak dalam suatu waktu, sehingga kita tidak mampu membebaskan diri untuk memaknai hidup dalam progres waktu yang selanjutnya. Padahal kehidupan ini seharusnya dihayati secara bebas, dinamis dan progresif. Misalnya kita terus meratap dan menangis, padahal kita juga harus mampu mengubah situasi menjadi saat tertawa dan bersukacita.
- Kita tidak bisa memiliki sesuatu secara langgeng, sehingga ada saat kita harus memegang erat-erat tetapi juga ada saat kita harus melepaskan dengan rela. Kita sering berusaha memegang erat-erat padahal segala sesuatu bersifat fana. Pengkhotbah 3:6 berkata: “Ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang.”
- Mendamaikan “paradoks waktu” secara harmonis, sehingga menghasilkan perubahan dan pemulihan. Pengkhotbah 3:7 berkata: “Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit” Di saat tertentu kita harus “merobek” suatu tatanan yang kurang baik agar terjadi perubahan, tetapi perubahan hanya terjadi jika kita juga bersedia “menjahit” (memulihkan). Perubahan seringkali menyakitkan, karena itu kita wajib menindaklanjuti dengan pemulihan. Tanpa upaya “menjahit” (memulihkan) perubahan tersebut akan menimbulkan perasaan terluka, sehingga perubahan tidak bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Perubahan yang positif tidak dapat dibangun dari perasaan terluka dan traumatis.
- Kemampuan penguasaan diri sehingga tindakan kita bermakna. Pengkhotbah 3:6b berkata: “Ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara.” Realitanya kita sering banyak berbicara justru situasi membutuhkan kita mampu berdiam diri, sebaliknya kita sering berdiam diri justru situasi sedang membutuhkan kita untuk berbicara dengan tegas.
Kelima prinsip tersebut di atas merupakan cara hidup orang-orang yang bijaksana secara bermakna dan bahagia. Sebab dengan kelima prinsip tersebut umat percaya dimampukan untuk: a). Tepat dalam mengambil keputusan etis secara rasional, b). Tidak terjebak oleh suatu situasi kesedihan/kesuraman, c). Ikhlas menerima dan melepaskan pergi, d). Mengintegrasikan perubahan dan pemulihan, e). Mampu menguasai diri sehingga umat beriman mampu menghayati pekerjaan Tuhan di dunia secara benar. Pengkotbah 3:11 berkata: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.” Jadi dengan kelima prinsip kebijaksanaan tersebut, Allah akan membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
Apabila kita cermati kelima prinsip kebijaksanaan tersebut berkaitan secara langsung bagaimana perlakuan kita kepada orang-orang di sekitar. Kita memperlakukan sesama dengan baik karena kita mampu: a). Tepat dalam mengambil keputusan etis secara rasional di waktu yang tepat, b). Tidak terjebak oleh suatu situasi kesedihan/kesuraman, c). Ikhlas menerima dan melepaskan pergi, d). Mengintegrasikan perubahan dan pemulihan, e). Mampu menguasai diri. Sebaliknya kita akan memperlakukan orang-orang di sekitar dengan cara yang tidak layak karena kelima prinsip tersebut. Sesama sering dijadikan objek atau pelampiasan perasaan sebab: a). Keputusan etis kita dipengaruhi oleh suasana hati, b). terjebak oleh suatu situasi, sehingga kesedihan membutakan mata rohani untuk melihat sisi lain dari kehidupan, c). marah karena tidak bisa melepaskan sesuatu dan terus berusaha menggenggam erat-erat, d). kita hanya ingin merobek tetapi enggan menjahit kembali, e). tidak mampu menguasai diri.
Indikator evaluasi Kristus pada hari penghakiman berkaitan dengan respons setiap orang dalam menghayati “waktu” kepada sesamanya. Benang merah narasi Pengkhotbah 3:1-11 dengan Matius 25:31-46 terlihat pada penggunaan kata “ketika.” Makna kata “ketika” menunjuk pada dimensi “waktu” yaitu: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan, ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat. 25:35-36). Tepatnya bagaimana setiap orang mampu memberi respons yang tepat dalam suatu waktu yang dialami khususnya dalam relasi dengan sesamanya?
Sangat menarik subjek sesama pada hari penghakiman di Akhir Zaman menjadi tolok-ukur penilaian Allah. Di Matius 25:40, Tuhan Yesus berkata: “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan Yesus mengaitkan perlakukan kita kepada sesama identik dengan perlakuan kita kepada-Nya? Tentunya makna ucapan Tuhan Yesus tersebut bukan sekadar masalah humanitas. Pernyataan teologis ini bukan dimaksudkan untuk merendahkan makna “humanitas.” Sebab hakikat humanitas sudah melekat dalam setiap kepercayaan atau agama sehingga humanitas bersifat luhur.
Dalam iman Kristen dimensi humanitas sangat dijunjung tinggi, sebab manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Di Mazmur 8:6 menyatakan: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.” Tetapi humanitas manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, sehingga diberi mahkota kemuliaan merupakan kemanusiaan yang pada hakikatnya telah jatuh dalam dosa. Dalam kondisi kejatuhan tersebut, kemanusiaan manusia kehilangan kehormatan dan kemuliaan. Manusia tidak lagi memiliki mahkota kemanusiaan sehingga pikiran dan hatinya gelap oleh kuasa dosa. Martabat kemanusiaan tidak bisa diangkat tinggi hanya dengan suatu “klaim” belaka bahwa humanitas manusia itu mulia. Humanitas setiap manusia bernilai mulia apabila dipulihkan terlebih dahulu oleh Allah. Karena itu setiap orang membutuhkan penyelamatan dan pemulihan dari Sang Ilahi. Tanpa penyelamatan dan pemulihan dari Allah setiap orang telah kehilangan kemanusiaannya. Melalui inkarnasi dan penebusan Kristus Sang Firman Allah kemanusiaan manusia dipulihkan sehingga manusia dijadikan sebagai anak-anak Allah. Dalam peristiwa inkarnasi-Nya, Kristus menjelma menjadi manusia. Kristus Sang Firman Allah berkenan bersedia menjadi sesama. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Dalam perspektif inkarnasi dan penebusan Kristus, kelima prinsip kebijaksanaan menjadi suatu potensi apabila setiap orang hidup dalam persekutuan dengan Kristus. Tanpa anugerah dan karya Kristus kita tidak mungkin mampu mewujudkan 5 prinsip kebijaksanaan, sebab: a). Keputusan etis kita sering dipengaruhi oleh suasana hati, b). terjebak oleh suatu situasi, sehingga kesedihan sering membutakan mata rohani untuk melihat pengharapan dan pemeliharaan Tuhan, c). terbelenggu karena kita tidak bisa melepaskan sesuatu dan terus berusaha menggenggam erat-erat, d). kita cenderung ingin merobek tetapi enggan menjahit kembali, e). tidak mampu menguasai diri. Model spiritualitas yang diajarkan dan diteladankan oleh Kristus adalah kesediaan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia (Luk. 9:23). Artinya kelima prinsip kebijaksanaan tersebut hanya dapat dicapai melalui 3 model spiritualitas, yaitu: menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus. Jadi kelima prinsip kebijaksanaan yang dilandasi oleh 3 model spiritualitas yaitu menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus akan menjadi cara pandang yang baru dalam menyikapi realitas, khususnya Tahun Baru 2021.
Secara kronologis kita saat ini berada di awal tahun 2021. Tetapi secara faktual sesungguhnya kita masih berada dalam kesinambungan tahun 2020 yang mengalami multi-krisis akibat pandemi Covid-19. Tanpa cara pandang yang baru, perubahan tahun 2020 ke tahun 2021 hanyalah pergantian angka. Kalender akan tertulis tahun 2021, namun penghayatan dan perspektif hidup kita sebenarnya tidak mengalami perubahan apa pun. Cara pandang yang baru merupakan perubahan pola pikir, perasaan dan kehendak dengan nilai-nilai dan spiritualitas Kristus yang bersedia menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia sehingga seseorang mampu a). Tepat dalam mengambil keputusan etis secara rasional, b). Tidak terjebak oleh suatu situasi kesedihan/kesuraman, c). Ikhlas menerima dan melepaskan pergi, d). Mengintegrasikan perubahan dan pemulihan, e). Mampu menguasai diri. Karena itu pertanyaannya adalah bagaimana kita harus bersikap secara benar di tahun 2021 yang masih berada dalam konteks pandemi Covid-19?
Pandemi Covid-19 sesungguhnya telah menciptakan dekonstruksi (pembongkaran) secara permanen. Di tahun 2021 sampai selanjutnya kehidupan umat manusia di dunia tidak bisa kembali kepada pola “sebelum Covid-19.” Seluruh bidang kehidupan sejak munculnya Covid-19 berubah drastis. Pandemi Covid-19 telah menciptakan situasi dekonstruksi yang membongkar seluruh tatanan. Efek dekonstruksi dari Covid-19 adalah: a). Pola komunikasi pada masa kini akan dominan secara daring/online, b). pola penyelenggaraan ibadah, seminar/ceramah dan pola pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi, c). jenis dan bentuk pekerjaan, d). perlindungan kesehatan diri dan pergaulan, e). pola perencanaan dan pengelolaan dalam setiap bidang kehidupan. Walau pun saat ini telah ditemukan vaksin untuk menjaga terinfeksi virus Covid-19 tidak berarti kehidupan bisa kembali sebelum Maret 2020. Fungsi vaksin memperlambat dan mengurangi penyebaran virus Covid-19. Kini yang harus dipahami di tahun 2021 adalah a). Pola komunikasi pada masa kini akan dominan secara daring/online, b). pola penyelenggaraan ibadah, seminar/ceramah dan pola pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi, c). jenis dan bentuk pekerjaan, d). perlindungan kesehatan diri dan pergaulan, e). pola perencanaan dan pengelolaan dalam setiap bidang kehidupan. Situasi disruptif (perubahan) tersebut di atas telah menjadi bagian yang menetap dalam kehidupan umat manusia masa kini. Siap atau tidak siap kita di tahun 2021 harus hidup dengan pola dan roh (spiritualitas) yang baru.
Situasi dekonstruksi yang telah terjadi sejak Maret 2020 akan dapat kita atasi apabila kita tidak mengandalkan pada kemampuan manusiawi yang berdosa dan terbatas. Perubahan-perubahan yang menimbulkan goncangan, ketidakpastian, kebingungan, kekuatiran dan kegelisahan akan menjadi “langit dan bumi yang baru” apabila Allah sebagai pengendali dan perancangnya. Allah adalah Subjek Ilahi yang melakukan rekonstruksi (tata ulang). Wahyu 21:5 berkata: “Ia yang duduk di atas takhta itu berkata: Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru! Dan firman-Nya: Tuliskanlah, karena segala perkataan ini adalah tepat dan benar.” Allah adalah sumber dan penyebab seluruh perubahan dan pembaruan.
Kita imani bahwa realitas pandemi Covid-19 yang terjadi berada dalam rancangan dan kendali Allah. Peristiwa pandemi Covid-19 bukan berada di luar kuasa dan kehendak Allah. Pernyataan ini tidak harus diartikan bahwa pandemi Covid-19 berasal dari Allah. Lebih tepat pandemi Covid-19 terjadi seizin dengan kehendak Allah. Jika tanpa seizin Tuhan, maka peristiwa pandemi Covid-19 berada di luar kendali dan kedaulatan Allah. Hakikat Allah tidak lagi sosok Ilahi yang Mahakuasa. Karena itu apa pun yang terjadi selama pandemi Covid-19 kita tidak boleh bertindak di luar iman. Kita harus menyikapi realitas tersebut dengan iman sekaligus pengertian (pengetahuan). Kegagalan umat percaya adalah apabila hanya menempatkan iman tanpa pengetahuan, atau sebaliknya bersandar pada pengetahuan dengan mengabaikan iman. Spiritualitas fides quaerens intellectum perlu dihayati oleh umat percaya secara integratif.
Pada akhirnya iman dan pengetahuan harus diejawantahkan dalam tindakan kasih yaitu karya yang mengangkat sesama dari situasi kemiskinan, memberdayakan orang yang mengalami ketertindasan, memulihkan mereka yang sakit, membebaskan mereka yang terbelenggu dan memberitakan tahun rahmat Tuhan (Luk. 4:18-19). Makna penyebaran pandemi Covid-19 tidak terbatas pada virus tetapi utamanya virus dosa yang membutakan mata-rohani dan melumpuhkan akal sehat. Virus Covid-19 adalah virus yang berbahaya dan mematikan. Tetapi virus dosa sesungguhnya lebih mematikan dan mengerikan. Di hari penghakiman kita diadili bukan karena terinfeksi oleh virus Covid-19, tetapi sejauh mana kita terinfeksi oleh virus dosa sehingga kita tidak mengenali diri Kristus yang hadir dalam setiap sesama di sekitar. Apa artinya kita selamat dari penyebaran virus Covid-19 tetapi terinfeksi oleh virus dosa? Upah dosa ialah maut (Rm. 6:23). Tetapi kasih-karunia Kristus mendatangkan rekonstruksi yang paripurna di tengah situasi dekonstruksi dari kuasa dosa. Karena itu di tahun 2021 setiap kita membutuhkan dekonstruksi dari kuasa dosa agar dapat mengalami rekonstruksi sebagai anak-anak Allah di tahun yang baru ini.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono