Pengantar
Reformasi yang digulirkan oleh Martin Luther pada tahun 1517 pertama-tama bukanlah suatu upaya untuk memperbarui liturgi gereja. Sebab Martin Luther semula bergumul dengan masalah keselamatan yang diajarkan oleh gereja Katolik yang waktu itu dicapai melalui perbuatan amal. Ia sering berpuasa sampai menjadi kurus, menyiksa diri, mengikuti Misa dengan setia, berdoa menurut jadwal biara (metten – lauden – priem – terts – sext – noon – vesper – completen)[1]. Juga dia berulangkali mengaku dosa di hadapan imam, tetapi semuanya tidak membawa damai di dalam hatinya. Yang mana waktu itu beberapa pihak seperti yang dilakukan John Tetzel melakukan penjualan surat pengampunan dosa, sehingga gereja berada dalam kesuraman rohani. Dalam pergumulan imannya, Luther kemudian menemukan makna keselamatan melalui pembacaan Alkitab, khususnya dari Rom. 1:17 yang menyatakan: “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rom. 1:17). Dalam pembaruannya, para reformator juga menolak struktur hirarkhi gereja yang dianggap bertentangan dengan Alkitab Perjanjian Baru[2] ). Titik tolak utama dan prinsip reformasi gereja adalah “kembali kepada Alkitab” (back to the Bible). Dengan menempatkan Alkitab sebagai dasar pijakan satu-satunya (sola scriptura), maka perlahan-lahan gerakan reformasi gereja pada abad XVI mengadakan pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan gereja. Umat diajak untuk melihat kekayaan dan wibawa Alkitab sebagai firman Allah yang menuntun kepada keselamatan. Alkitab menjadi titik tolak dan “world view” untuk menilai secara kritis segala sesuatu yang selama ini biasa dilakukan oleh gereja. Misalnya Luther membersihkan gereja dari unsur-unsur kafir dan embel-embel zaman. Patung-patung dan gambar-gambar orang kudus dalam gereja harus dihilangkan[3]. Dengan langkah-langkah pembaruan tersebut, gerakan reformasi gereja pada abad XVI juga membarui liturgi.
Pembaruan dalam Pemberitaan Firman
Pembaruan liturgi yang utama dalam reformasi gereja abad XVI adalah pemberitaan firman. Dengan pemahaman teologis yang dia temukan dari Alkitab, Martin Luther ingin menempatkan pemberitaan firman seperti corak ibadah yang telah dilakukan oleh gereja perdana dan para bapa gereja. Dalam hal ini Martin Luther menekankan perlunya pembacaan Alkitab secara selektif (lectio selecta) dan teratur dari Perjanjian Lama (Tanakh), surat rasuli (epistle) dan Injil (evangelium)[4]. Bagi Martin Luther, melalui pemberitaan firman, Allah sedang mengumpulkan dan menggembalakan umat. Karena itu pemberitaan firman yang disebut “homili” (bukan sekedar khotbah) harus disampaikan secara terbuka dan mendalam. Melalui “homili” umat diajak untuk memahami kekayaan firman Allah di mana Kristus sebagai Firman Hidup. Dengan demikian pusat seluruh pemberitaan firman adalah Kristus. Prinsip pemberitaan firman demikian akan mencegah umat untuk memperoleh suatu pengajaran yang melantur dan jauh dari nafas iman Kristen.
Pembaruan dalam Nyanyian Gereja
Para reformator melakukan pembaruan pula kepada nyanyian gereja. Dalam hal ini menciptakan nyanyian gerejawi berdasarikan kitab Mazmur dan nyanyian Alkitab lain.[5] Namun nyanyian gerejawi tersebut harus senantiasa mudah dipahami dan menjemaat. Karena itu Martin Luther mengundang dan mendorong ahli-ahli musik untuk menciptakan nyanyian rohani dan dia juga menterjemahkan nyanyian-nyanyian gereja dari bahasa Latin. Demikian pula halnya dengan Johanes Calvin. Bagi Calvin, firman Allah dapat dinyanyikan sehingga dapat meresap di dalam hati umat. Kemudian Calvin memprakarsai terbitnya nyanyian Mazmur Genewa. Dia mengganti corak nyanyian Gregorian. Pada tahun 1539, Calvin mempublikasikan sebuah buku nyanyian Mazmur dalam bahasa Perancis. Isinya terdiri dari: delapan belas nyanyian Mazmur, Pengakuan Iman Rasuli, nyanyian pujian Simeon dan Dasa-Titah[6]. Dengan demikian gerakan reformasi gereja telah membarui bahasa komunikasi umat. Di mana umat tidak lagi terpaku kepada satu bahasa saja, yaitu bahasa Latin, tetapi juga menggunakan bahasa ibu, sehingga pelaksanaan liturgi dapat dipahami dengan baik dan mudah dimengerti.
Dasar teologi yang dilakukan olen para reformator tersebut memiliki pijakannya dari Alkitab. Di Perjanjian Lama sangat jelas memperlihatkan bagaimana menyajikan struktur dan pola liturgis. Misal kitab Mazmur, di mana Mazmur sebagai kumpulan puji-pujian umat. Karena puji-pujian umat dalam kitab Mazmur dihayati secara teologis tentang diri Allah yang bertakhta di atas puji-pujian (Mzm. 22:3). Puji-pujian dihayati berada di pusat keberadaan hidup manusia, karena hanya umat yang hidup saja dapat memuji Allah (Mzm. 6:5). Sangat menarik, bahwa kitab Mazmur juga menempatkan semua ciptaan untuk memuji Allah (Mzm. 148:7-13). Karena itu dalam kerangka liturgis kitab Mazmur, seluruh dunia ciptaan berperan dalam pujian-pujian kepada Allah, sehingga mereka menemukan makna keberadaannya. Di kitab Keluaran, kita dapat melihat bagaimana liturgi Paskah. Dalam kisah yang dipaparkan bukan bermaksud menyampaikan kisah historis, tetapi profetis. Demikian pula kisah di Kel. 15:16 saat Musa membawa umat Israel menyeberang Laut Merah. Tekanannya bukanlah historis, tetapi bagaimana umat mengalami penyelamatan Allah. Kitab Ulangan juga merupakan contoh dari kitab yang bersifat liturgis sebab perayaan dan pengajaran menjadi satu kesatuan. Perjanjian Lama yang terdiri dari “Tanakh” (Torah, Nebiim dan Ketubim) membentuk struktur “konsentris”, di mana Torah sebagai pusatnya. Demikian pula Torah baru yaitu Injil sebagai pusat, surat-surat rasuli berfungsi seperti nebiim dan kitab Wahyu sebagai ketubim. Di kitab Wahyu, kita dapat melihat liturgi menyaksikan umat mengaku dan memuji di hadirat Allah bahwa hanya Dia saja yang menjadi penguasa atas segala sesuatu, dengan demikian puji-pujian kepada Allah akan mematahkan daya tarik dunia. Liturgi dalam penghayatan ini ditempatkan dalam konteks sorgawi yang dilakukan oleh para malaikat, 24 tua-tua, orang-orang kudus dan keempat mahluk hidup. Jadi liturgi di bumi pada hakikatnya merefleksikan kemulian dari liturgi sorgawi. Kedua perjanjian tersebut menyatu secara konsentris kepada Kristus. Itu sebabnya Kristus datang untuk “menggenapi”. Arti “menggenapi” di sini adalah “memulihkan kembali, atau memulihkan ke maksud yang seharusnya.
Pembaruan dalam Sakramen Perjamuan Kudus
Hal sakramen Perjamuan Kudus, khususnya bagi Calvin memiliki tempat yang sama pentingnya dengan pemberitaan firman. Calvin pada hakikatnya menghendaki suatu pembaruan ibadah sesuai kesederhanaan Perjamuan Kudus yang terdapat dalam Injil. Khususnya Calvin, dia menolak ekaristi sebagai “transubstansiasi” (perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus). Gereja Roma Katolik secara perlahan telah mengubah pelayanan meja menjadi altar (tempat persembahan kurban). Gereja Roma Katolik menolak ajaran Agustinus tentang makna roti dan anggur dalam sakramen Perjamuan Kudus. Karena itu pada tahun 1215, Paus Innocentius III menetapkan ajaran transubstansiasi sebagai dogma gereja, di mana tubuh dan darah Kristus benar-benar ada dalam bentuk roti dan anggur saat dilakukan konsekrasi. Walaupun Calvin menolak ajaran “transubstansiasi”, dia tetap menekankan hadirnya Kristus secara sungguh (presentia realis) dalam tanda-tanda sakramen, yaitu bahwa Kristus sungguh-sungguh bersekutu dengan umat melalui tanda-tanda yang dihadirkan. Dalam hal ini Calvin berbeda pendapat dengan Zwingli yang hanya menganggap roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus sebagai suatu tanda kehadiran Kristus secara kiasan belaka. Sebab bagi Calvin, korban Kristus telah dipersembahkan hanya satu kali saja untuk selama-lamanya. Sesuai surat Ibrani: “Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang. (Ibr. 9:27). Karena itu umat perlu merayakan sakramen Perjamuan Kudus sesering mungkin. Dalam pengertian, umat mengalami kehadiran Kristus melalui tanda-tanda yang dinyatakan dalam sakramen Perjamuan Kudus.
Perlunya Ibadah Kontemporer Yang Alkitabiah
Ibadah atau liturgi pada yang dikembangkan oleh para bapa reformator pada abad XVI bukanlah dimaksudkan suatu bentuk liturgi yang kaku, bersifat tetap dan tidak dapat berubah. Sesuai dengan prinsip gereja reformatoris, yaitu: “ecclesia reformata, ecclesia simper reformanda” (gereja reformasi adalah gereja yang senantiasa diperbarui). Namun harus diingat pula pembaruan liturgi tidak dimaksudkan suatu pembaruan yang lahir dari “manasuka”. Pembaruan liturgi tidak boleh dilepaskan dari akar yang mendasar yaitu Alkitab, pola hidup jemaat perdana, dan para bapa gereja. Pembaruan liturgi pada zaman modern memiliki suatu cita-cita yang mulia, yaitu gereja pada masa kini dan sepanjang zaman mampu untuk menjelmakan kembali Kristus dalam kehidupan riel. Karena itu pembaruan liturgi pada hakikatnya suatu keharusan teologis, agar melalui pembaruan liturgi tersebut Kristus dihayati secara nyata dan eksistensial. Sebagaimana Kristus pernah hidup sebagai suatu bangsa tertentu, yaitu bangsa Yahudi, maka pembaruan liturgi gereja hendak menghadirkan inkarnasi Kristus dalam suatu bangsa tertentu dalam konteks tertentu. Dengan demikian melalui pembaruan liturgi, inkarnasi Kristus dapat dialami oleh setiap suku, bangsa, dan budaya serta adat-istiadatnya masing-masing. Inkarnasi Kristus yang nyata dalam pembaruan liturgi akan menghasilkan keanekaragaman namun menyentuh secara mendalam, personal dan eksistensial bagi umat. Ini berarti pula pembaruan liturgi sama sekali “tidak dimaksudkan untuk menghapus dan mengurangi nilai-nilai cultural dan spiritual yang merupakan warisan yang tak terkatakan” [7] Dengan demikian esensi liturgi yang utama, yaitu pribadi Kristus dan misteri Paskah akan senantiasa menjiwai dan menginspirasi berbagai ungkapan liturgi kontemporer yang beranekaragam. Penyesuaian-penyesuaian liturgi berkaitan dengan upaya konstekstualisasi, di mana gereja dalam melaksanakan ibadahnya mampu berakar kepada nilai-nilai budaya setempat. Kontekstualisasi merupakan suatu upaya teologis agar pembaruan bukan hanya sekedar suatu pembaruan di bagian permukaan saja, seperti menggunakan arsitektur dan nyanyian suatu budaya, tetapi tidak mampu menangkap “jiwa” (spirit) yang ada di dalamnya. Pembaruan liturgi kontemporer bukan sekedar tampilan fisik, tetapi juga mampu mengungkapkan “roh” (spiritualitas) yang terkandung di dalamnya. Roh/spiritualitas inilah yang perlu ditampilkan secara murni dalam sikap iman kepada Kristus dan kuasa kebangkitanNya. Dengan sikap teologis demikian, umat akan dimampukan untuk menghayati Kristus yang hidup sesuai dengan konteks hidupnya.
Keanekaragaman adat, budaya dan ungkapan dalam liturgi kontemporer sebagaimana dipahami di atas berpusat kepada Kristus yang hidup. Dengan demikian liturgi kontemporer perlu sungguh-sungguh memperhatikan pula derap gereja yang esa. Liturgi kontemporer tidak boleh dilepaskan dari gerakan ekumenis. Upaya mengingkarnasikan Kristus dalam liturgi kontempoerer seperti: penyesuaian liturgis, kontekstualisasi, indigienisasi, inkulturasi, akulturasi, dan adaptasi tidak boleh meniadakan mendorong umat ke arah kehidupan spiritual yang eksklusif dan indiviualistis. Sebaliknya umat yang telah mengalami karya keselamatan Allah dalam inkarnasi Kristus harus mampu bersikap inklusif yang terbuka dan mampu bersinergi. Karena itu arus gerakan liturgi kontemporer mengarah kepada bentuk satu pola tetapi memiliki variannya masing-masing. Dengan prinsip konvergensi tersebut akan memampukan gereja-gereja sesuai dengan konteksnya untuk mengalami pendalaman penghayatan spiritualitasnya. Untuk itu gerakan liturgi kontemporer berupaya melakukan penggalian ke sumber-sumber Alkitab dan tradisi gereja. Dewan Gereja-gereja se-Dunia telah melakukan penelitian dan hasilnya dilaporkan dalam dokumen Baptism, Eucharist and Ministry. Penggalian ke sumber-sumber Alkitab dan tradisi gereja tersebut minimal ditemukan 4 prinsip dasar (ordo) ibadah, yaitu: Berhimpun, Pelayanan Firman, Pelayanan Meja dan Pengutusan. Dengan keempat ordo ini, gereja dipersatukan dari segala abad dan tempat walaupun memiliki latar-belakang budaya, adat-istiadat, bahasa dan tradisi yang berbeda-beda.
Liturgi kontemporer perlu memperhatikan pula tentang pentingnya hari-hari raya gerejawi. Karena melalui hari-hari raya getrejawi tersebut, gereja belajar secara mendalam kehidupan dan karya Kristus. Karena inkarnasi Kristus dan karya keselamatanNya juga memperhatikan soal waktu. Contoh: Yohanes di pulau Patmos menerima penyataan Allah pada hari Tuhan (= hari Minggu). Di Why. 1:10 menyaksikan: Pada hari Tuhan aku dikuasai oleh Roh dan aku mendengar dari belakangku suatu suara yang nyaring, seperti bunyi sangkakala”. Dalam kisah kebangkitan Kristus terjadi pada hari Paskah, yang kita tahu adalah Paskah umat Israel Perjanjian Lama. Kristus bangkit dari kematian pada “kairos” yang khusus. Karena itu melalui hari raya gerejawi, umat dapat menghayati secara eksistensial bagaimanakah karya keselamatan Allah dinyatakan dalam sejarah hidup mereka. Yang mana hari raya gerejawi di lingkungan gereja-gereja Protestan semula hanya dibatasi dengan Adven, hari raya Natal, masa Pra-Paskah, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan Tuhan dan Pentakosta. Tetapi kini hari raya gerejawi diupayakan dapat dihayati lebih utuh. Umat juga diajak untuk menghayati Masa Epifani (arti harafiah: manifestasi, penampakan diri, atau pewahyuan ilahi). Perayaan Epifani dilaksanakan gereja pada tanggal 6 Januari. Umat juga diajak untuk menghayati ibadah Minggu Yesus Dibaptis. Kisah baptisan Tuhan Yesus diambil dari Injil-Injil Sinoptis, yaitu Mat. 3:13-17, Mark. 1:4-11 dan Luk. 3:15-17, 21-22. Melalui baptisan di sungai Yordan, Yesus ditahbiskan sebagai Mesias, yaitu “yang diurapi Allah”. Itu sebabnya Yesus disebut dengan nama “Kristus” yang identik dengan gelar “Mesias”. Melalui baptisan Yesus di sungai Yordan, tampaklah jati-diri Yesus sebagai Anak Allah yang esa dengan Allah dan Roh Kudus. Minggu Transfigurasi Yesus (arti harafiah “transfigurasi” dipergunakan kata “metamorphose” yang artinya berubah (meta) bentuk (morphe). Ibadah Rabu Abu sebagai awal dari masa Pra-Paskah. Semula sebutan Rabu Abu dalam bahasa Latin, yaitu “Dies Cinerum” (harafiah “hari abu”). Ibadah Kamis Putih sebagai akhir dari masa Pra-Paskah dan menjadi awal bagi umat untuk memasuki “Trideum” (tri hari suci), yakni: Jumat Agung, Sabtu Sunyi dan Paskah. Kamis Putih sering disebut dengan “Maundy Thursday”. Kata “maundy” berasal dari kata Latin: “mendicare” yang artinya: aku meminta, karena Tuhan Yesus di Yoh. 13:34 berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu” (= “Mandatum novum do vobis ut diligatis invicem sicut dilexi vos“). Dalam Minggu Trinitas, gereja secara khusus setelah hari Pentakosta merayakan misteri diri Allah yang menyatakan hakikatNya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Dan ibadah Kristus Raja yang mengakhiri Minggu biasa dan satu minggu sebelum memasuki masa Adven.
Selain itu dalam liturgi kontemporer kini mulai memperhatikan apa yang dicanangkan oleh para bapa reformator dengan sebutan “lectio selecta” yang terdiri dari: Perjanjian Lama (Tanakh), surat rasuli (epistle) dan Injil (evangelium. Liturgi kontemporer dalam pemberitaan firmannya perlu menggunakan leksionarium yang susunannya juga: Perjanjian Lama, Surat Rasuli dan Injil yang mana Mazmur menjadi Antar Bacaan. Perlunya penggunaan leksionarium [8]adalah:
- Untuk menyediakan suatu pola umum (common pattern) dan keseragaman (uniform) dari kesaksian Alkitab bagi gereja-gereja dan denominasi yang terwujud dalam kalender gerejawi.
- Menyediakan pedoman dalam penggunaan teks Alkitab yang dibaca setiap hari Minggu bagi penyelenggara ibadah (pengkhotbah, pemusik, pelayan liturgi lainnya) dan umat.
- Sebagai petunjuk dan sumber bagi penyelenggara ibadah dari berbagai jemaat untuk berbagi sumber-sumber inspirasi dan ide-ide teologis dalam menyiapkan ibadah.
- Sebagai sumber bagi mereka yang menerbitkan buku panduan khotbah-khotbah ekumenis dan berbagai buku liturgi.
- Sebagai pembimbing untuk individu dan kelompok dalam membaca dan mempelajari Alkitab serta berdoa. Hal ini bisa dilakukan dengan mencantumkan daftar bacaan Alkitab untuk minggu berikutnya dalam warta jemaat, sehingga umat dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu.
Sebagaimana diketahui bahwa saat ini kecenderungan ibadah dilakukan oleh seorang pemain tunggal (one man show), yang mana khotbah menjadi sentral dan bagian-bagian liturgi yang lain hanya sebagai pelengkap belaka. Gereja-gereja Calvinis telah memetik buah dari roh zaman, yaitu pengaruh intelektualisme yang muncul sebagai sebagai suatu banjir setelah zaman Renaisans[9]. Karena itu gereja-gereja telah melegitimasikan pemilihan yang bebas akan teks bacaan Alkitab untuk pemberitaan firman. Dengan kondisi itu gereja secara tidak sadar telah berada di bawah keinginan individualisme (subyektivisme) dari si pengkhotbah. Bahkan kecenderungan umat pada masa kini akan merasa terganggu kebebasannya apabila liturgi dan doa-doa dirumuskan terlebih dahulu. Padahal kebebasan yang benar tidak pernah membahayakan gereja. Justru yang membahayakan gereja adalah sikap individualisme mendominasi kehidupan umat. Dalam hal ini umat perlu memperoleh pencerahan agar pandangannya terhadap daftar pembacaan Alkitab yang ditentukan dalam leksionari tidak dianggap sebagai pembatasan akan kebebasan mereka dalam beribadah. Tepatnya pengkhotbah dan umat bersedia menundukkan diri untuk mendengarkan apa yang difirmankan Allah melalui Alkitab.
Sikap Kritis Terhadap Kecenderungan Ibadah Kontemporer Yang Semau-Gue
Upaya ekumenis yang ingin kembali kepada akar dan tradisi gereja tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Beberapa gereja Injili dan yang independen cenderung menghayati ibadah kontemporer dengan personal-devisional, yaitu: [10]
- Nyanyian yang bersifat devosional dan personal: Nyanyian umumnya disusun bukan berdasarkan suatu pemahaman teologis dan penafsiran Alkitab atau pesan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya nyanyian disusun untuk menggugah perasaan atau emosi umat yang sifatnya sesaat, sehingga umat tidak pernah mengalami pembelajaran iman secara utuh. Selain itu karena tekanannya bersifat personal, maka nyanyian-nyanyian tersebut melumpuhkan umat untuk menghayati kehidupan iman secara komunal khususnya dalam hubungan dengan masyarakat. Umat tidak belajar bagaimana dipanggil untuk berjuang membela keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
- Doa-doa secara bebas tanpa teks: Sikap spontanitas dalam berdoa sering menggugah perasaan. Tetapi doa-doa yang diungkapkan tanpa pendalaman, perenungan dan kepatuhan akan firman Tuhan akan menjadi suatu doa yang semakin menjauh dari prinsip-prinsip iman Kristen. Sebaliknya melalui doa-doa yang dipersiapkan secara tertulis, umat akan dimampukan untuk merumuskan pemikiran, ungkapan perasaan dan arah kehendaknya secara lebih bertanggungjawab.
- Pembacaan Alkitab tanpa aturan terhadap tahun liturgi: Pola pembacaan Alkitab yang mengikuti kemauan dan keinginan umat akan melahirkan suatu “kanon di dalam kanon”. Umat akan cenderung memilih ayat-ayat yang disukai/digemari, tetapi mereka tidak dengan rendah hati berusaha mendengarkan maksud firman Tuhan secara utuh. Selain itu tanpa memperhatikan tahun liturgi, umat tidak mengalami proses pembelajaran untuk menghayati kehidupan dan karya Kristus sebagaimana yang disaksikan oleh Alkitab. Isi pembacaan Alkitab tersebut tidak lagi berfokus kepada Kristus dan firmanNya, tetapi berfokus kepada kebutuhan-kebutuhan umat yang sifat subyektif.
- Khotbah bebas bagi setiap orang yang menyampaikannya: Pola pemberitaan firman yang bebas tanpa aturan terhadap tahun liturgi tentunya bermula dari kebiasaan untuk melakukan pembacaan Alkitab secara sembarangan. Bentuk-bentuk khotbah yang demikian cenderung mengabaikan tahun liturgi yang sedang berjalan. Penggalian atau penafsiran terhadap teks Alkitab mengikuti masalah umat yang sedang trend, sehingga umat tidak diajar untuk melihat hubungan antara penyataan Allah sebagaimana disaksikan oleh Alkitab dengan penyataan Allah dalam kehidupannya sehari-hari. Pola pemberitaan firman demikian semakin mengukuhkan kecenderungan umat untuk menciptakan kanon di dalam kanon Alkitab.
- Sakramen-sakramen yang ditunjang oleh pemberitaan firman: Penyelenggaraan sakramen-sakramen didasari oleh sikap magis, seakan-akan melalui sakramen-sakramen yang diterima umat khususnya melalui sakramen Perjamuan Kudus, umat akan memperoleh berkat yang lebih istimewa. Ayat-ayat Alkitab yang dipakai untuk menunjang sakramen tersebut bukan untuk memberitakan makna sakramen yang berpusat kepada karya keselamatan Kristus, tetapi ayat-ayat Alkitab yang dipilih untuk menguatkan hati umat. Dengan demikian sakramen gereja diperalat (dimanipulasi) demi kebutuhan duniawi umat.
Pengalaman Ibadah di suatu Jemaat
Pada hari Minggu tahun yang lalu saya hadir di suatu jemaat. Saya ingin belajar mengapa gereja tersebut berkembang pesat dan yang mendorong beberapa anggota jemaat pindah di gereja tersebut. Karena itu saya berusaha hadir untuk mempelajari bagaimanakah bentuk dan pola ibadah yang dilaksanakan. Dari pengamatan yang saya lakukan, dapat disimpulkan bahwa kekuatan dari pertumbuhan gereja tersebut utamanya terletak pada nyanyian atau puji-pujian. Yang mana nyanyian atau puji-pujian tersebut ditunjang oleh peralatan musik, para penari dan multi-media yang canggih. Semua jenis nyanyian benar-benar “kontemporer” dalam pengertian: lagu-lagu yang disukai, musik yang “nge-pop” dan mudah dipelajari walaupun isi teks sama sekali tidak terlalu jelas. Karena tekanannya kepada ekspresi, maka substansi atau pesan teologis dari lagu tersebut sama sekali tidak tertangkap dengan baik. Demikian pula pemberitaan firman, sama sekali tidak mengupas atau menafsirkan teks perikop secara utuh. Pengkhotbah hanya mengupas satu atau dua ayat tanpa pendalaman teologis, tetapi dominan dengan ilustrasi dan contoh-contoh yang dianggap mengena di hati umat. Karena itu umat tidak pernah belajar tentang kehidupan dan karya Kristus secara utuh dan mendalam. Umat hanya belajar tentang contoh atau ilustrasi. Hari raya yang dikenal mereka ternyata hanya Natal, Jumat Agung , Paskah dan Kenaikan Tuhan.
Pengalaman ibadah tersebut menyadarkan saya betapa penting bahwa pertumbuhan gereja bukan ditentukan apa yang digemari oleh umat dan pengkhotbah, tetapi bagaimana umat hidup dalam ketaatan terhadap seluruh kesaksian Alkitab dan tradisi gereja, sehingga spiritualitas umat tetap mengalami kesinambungan (kontinuitas) dan pembaruan. Makna kesinambungan di sini adalah karena pemberitaan firman pada masa kini terkait erat dengan penyataan Allah sebagaimana terangkum dalam kesaksian Alkitab. Sedang makna pembaruan karena kehidupan umat perlu senantiasa diperbaharui dalam terang karya keselamatan dan penebusan Kristus. Sebagaimana kesaksian kitab-kitab Perjanjian Lama memancarkan sinar pencerahan akan hal bagaimana umat percaya seharusnya memandang Yesus, dan pada saat yang sama bagaimana sikap iman kepada Kristus dapat memperjelas jelas maksud dan tujuan Torah dan seluruh kitab nabi. Demikian pula dengan kehidupan umat pada masa kini. Melalui pemberitaan Alkitab secara utuh dan teratur sebagaimana dinyatakan dalam daftar leksionari, umat pada masa kini dapat mengalami bagaimana kekayaan firman Tuhan yang menerangi kehidupan mereka, sehingga mereka mampu memandang dan memperlakukan Yesus sebagai Tuhan dan Juru-selamatnya. Dan pada saat yang sama, umat yang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang hidup dan bangkit, mampu memandang kesaksian Alkitab dengan perspektif iman yang baru. Karena itu melalui liturgi yang mereka hayati secara rutin menurut tahun gerejawi, umat dapat menjadi agen-agen pembaruan di dalam kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
Anscar J. Chupungco, “Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya” penerbit Kanisius, 1986
Cheslyn Jones (editor), The Study of Liturgi, “Reformation Churches” by. Paul F. Bradshaw, SPCK, Holy Trinity Church, Marylebone Road, London, 1978.
Consultation on Common Texts” (CCT), www.commontexts.org
E.H. van Olts, Alkitab dan Liturgi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1998
Riemer, “Cermin Injil” (Ilmu Liturgi), 1993
Rasid Rachman, “Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010
[1] Istilah-istilah doa sebagaimana yang ditentukan dalam “Breviarium”.
[2] Cheslyn Jones (editor), The Study of Liturgi, “Reformation Churches” by. Paul F. Bradshaw, page 331, SPCK, Holy Trinity Church, Marylebone Road, London, 1978.
[3] Rasid Rachman, “Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010, hal. 138.
[4] Ibid. hal. 139
[5] G. Riemer, Cermin Injil” (Ilmu Liturgi), 1993, hal. 156
[6] Rasid Rachman, “Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010, hal. 152
[7] Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi Dalam Budaya” penerbit Kanisius, 1986, hal. 78
- Consultation on Common Texts” (CCT) merupakan suatu konsultasi ekumenis dari para ahli liturgi dan berbagai denominasi yang mewakili gereja-gereja di Amerika Serikat dan Kanada. Badan ini muncul dari hasil pertemuan ekumenis yang diselenggarakan pertengahan tahun 1960. Kemudian dari tahun 1969, badan ini menyebut diri sebagai “Consultation on Common Texts,” yang merefleksikan fokus dan perkembangan berbagai versi liturgis yang disepakati oleh gereja-gereja. Untuk itu silahkan mengunjungi web CCT di: www.commontexts.org
[9] E.H. van Olts, Alkitab dan Liturgi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1998, hal. 2
[10] Rasid Rachman, “Pembimbing Ke Dalam Sejarah Liturgi”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010, hal. 190
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono