Latest Article
<strong>Keluarga yang hidup dalam Nilai Pengurbanan Kristus</strong>

Keluarga yang hidup dalam Nilai Pengurbanan Kristus

(Ibrani 7:23-28; Markus 10:46-52)

Fenomena dan kecenderungan kehidupan keluarga pada masa kini adalah ditandai oleh perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Data yang diambil dari Media Indonesia, di daerah Kabupaten Bandung selama tahun 2021 menyatakan bahwa jumlah perceraian mencapai 2.115 pasangan yang mengajukan gugatan di Pengadilan Agama.

Data yang menarik adalah jumlah yang mengajukan gugatan perceraian ternyata dari pihak istri. Sebanyak 1.675 perempuan yang mengajukan gugatan cerai. Dari pihak suami atau laki-laki yang mengajukan cerai sebanyak 480 orang.  Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung, Rita Verita mengungkapkan, sepanjang 2021 ini kasus kekerasan terhadap anak terpantau cukup tinggi. Sampai bulan Mei 2021 ada sebanyak 75 kasus kekerasan terhadap anak. Sedangkan kekerasan terhadap istri sebanyak 56 kasus. Mengapa orang-tua sampai tega menganiaya anak-anak yang mereka rindukan dan asuh?

            Dari hasil laporan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa banyak keluarga khususnya di masa pandemi mengalami perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga. Keluarga di masa pandemi justru hidup yang jauh dari kesediaan berkurban bagi pasangan dan anggota keluarganya. Sebaliknya banyak keluarga yang mengalami penderitaan sebagai korban, baik sebagai korban perceraian maupun sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga.

            Kita perlu membedakan antara arti posisi sebagai korban (victim) dengan kesediaan berkurban (sacrifice).

            Posisi sebagai korban (victim) adalah orang-orang yang menderita sebab mengalami penindasan, kekerasan, kekejaman, ketidakadilan dan perlakuan yang sewenang-wenang. Mereka tidak berdaya dan tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan. Misalnya: para isteri yang tidak berdaya saat dianiaya oleh suaminya sendiri, anak-anak tidak bisa melindungi diri saat dianiaya oleh orang-tuanya.

            Sebaliknya posisi sebagai pribadi yang bersedia berkurban (sacrifice) adalah orang-orang yang bersedia sesuai kerelaan dan hati-nuraninya melakukan tindakan untuk menyelamatkan orang-orang di sekitar khususnya anggota keluarga dengan kesediaan berkurban. Bentuk pengurbanan yang dilakukan dalam beberapa bentuk, misalnya: bekerja keras untuk memberi nafkah atau menahan derita karena kasih yang tulus. Orang-orang yang bersedia berkurban pada hakikatnya dilandasi oleh cinta-kasih yang tulus dan tanpa syarat agar sesama atau anggota keluarganya  memperoleh perlindungan, kesejahteraan dan keamanan. Mereka benar-benar mempertaruhkan hidupnya dengan kasih yang tulus, walau pengurbanan mereka sering tidak dipedulikan.

            Di Ibrani 7:27 menyatakan: “yang tidak seperti imam-imam besar lain, yang setiap hari harus mempersembahkan korban untuk dosanya sendiri dan sesudah itu barulah untuk dosa umatnya, sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” Perhatikan kalimat dari bagian surat Ibrani 7:27, yaitu: “Sebab hal itu telah dilakukan-Nya satu kali untuk selama-lamanya, ketika Ia mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban.” Kristus tidak menempatkan diri-Nya dalam posisi korban (victim) yang tidak berdaya dan lemah. Sebaliknya Kristus dengan kesediaan dan kasih-Nya Ia mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban (sacrifice).

Dengan bercermin pada role-model Kristus tersebut setiap komunitas termasuk keluarga yang menempatkan anggotanya sebagai korban, pastilah tidak menempatkan Kristus selaku Juruselamat dan Tuhan dalam kehidupan mereka. Apabila terjadi dalam rumah tangga, maka pastilah suami-isteri tersebut akan bercerai dan menyebabkan anak-anaknya mengalami “broken-home.” Sebaliknya setiap komunitas termasuk keluarga dengan role-model dari Kristus seharusnya saling berjuang dengan menempatkan dirinya sebagai pihak yang berkurban. Dengan kesediaan dan kerelaan berkurban, maka pastilah komunitas dan keluarga tersebut menjadi komunitas dengan karakter unggul. Keluarga tersebut akan menjadi teladan dan mampu mewariskan nilai-nilai iman kepada generasi penerusnya.

            Peran suami atau ayah dalam keluarga adalah pemimpin atau kepala keluarga. Tentu tidak salah menempatkan isteri sebagai pasangan hidup yang setara. Namun kesetaraan relasi antara suami-isteri tidak dimaksudkan merelatifkan peran suami atau ayah sebagai seorang kepala keluarga. Peran tersebut bukan sekadar posisi, tetapi tanggungjawab yang besar untuk menjaga dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Gugatan cerai dari pihak isteri sebanyak 1.675 perempuan menunjukkan bahwa masyarakat kita sering hanya menempatkan pihak laki-laki sebagai suami tanpa kapasitas sebagai pemimpin yang memadai dan representatif bagi anggota keluarganya. Kepemimpinan bukan soal posisi dan kedudukan, tetapi kualitas rohani yang kuat sehingga mampu memimpin anggota keluarganya menuju masa depan yang lebih baik.

            Di pihak lain peran isteri atau para perempuan yang berkeluarga adalah pemimpin yang mampu mengelola setiap pendapatan (income) dari suami dengan sikap yang bertanggungjawab. Dalam konteks ini para isteri tidak akan terjebak dalam kecenderungan materialistik dan hedonistik. Mereka adalah para isteri yang rajin, menghadirkan keceriaan, semangat iman dan pengharapan.  Dalam beberapa kasus para suami dapat menjadi “mata gelap” karena tuntutan dari isteri mereka yang melampaui batas kemampuan mereka dalam mencari uang.

Namun sayangnya konsep dan pemahaman tentang kepemimpinan sering dibatasi dalam dunia kerja dan pelayanan di gereja. Kita lupa bahwa kepemimpinan yang paling berpengaruh terjadi di dalam kehidupan keluarga yang berkaitan dengan relasi suami-istri, orang-tua dan anak, serta hubungan antar saudara. Kemampuan mengelola keuangan bukan hanya dalam dunia kerja dan pelayanan gerejawi tetapi utamanya juga dalam kehidupan keluarga.

            Keberhasilan atau kegagalan dalam hidup berkeluarga ditentukan oleh kemampuan kepemimpinan dan mengelola keuangan dilandasi oleh spiritualitas yang bersedia berkurban. Sebaliknya kemampuan kepemimpinan dan mengelola keuangan akan gagal total apabila dalam kehidupan keluarga dijiwai oleh nilai-nilai duniawi yang mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya sendiri.

            Model kepemimpinan suami-istri dan orang-tua terhadap anak-anaknya adalah sosok Kristus selaku Imam Besar yang bersedia berkurban. Suami bersama isteri adalah imam bagi anak-anaknya, sebaliknya para suami harus menyadari bahwa mereka adalah imam bagi isteri mereka. Karena itu peran suami dan figur seorang ayah sangat penting. Kita mengakui bahwa peran seorang isteri dan mama begitu penting. Berulangkali dalam pelbagai kesempatan peran mama ditonjolkan. Hubungan batin antara anak dengan  mama atau ibu sangat kuat karena mengandung selama 9 bulan. Tetapi yang sering dilupakan adalah figur seorang ayah dan suami yang baik tidak boleh diabaikan. Sebab faktanya berbagai kasus perceraian dan self-image seorang anak menjadi buruk karena gereja dan masyarakat kurang menekankan pentingnya figur seorang ayah dan suami yang baik. Kesetaraan relasi suami-istri tidak berarti meniadakan peran fungsional dari masing-masing pihak. Setara tidak berarti suami dan isteri memiliki peran yang sama dalam kepemimpinan. Mereka masing-masing memiliki fungsinya yang khas. Penelitian terhadap para tokoh atheis ternyata umumnya mereka memiliki latar-belakang kekurangan dan kehilangan figur seorang ayah. Peran dan gambar diri yang negatif terhadap ayah menyebabkan mereka kehilangan figur Allah yang berwibawa dan penyayang.

            Kristus sebagai Imam Besar memiliki karakter ilahi. Di Ibrani 7:26 menyatakan: “Sebab Imam Besar yang demikianlah yang kita perlukan: yaitu yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga.” Karakter Kristus selaku Imam Besar adalah saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga. Model kepemimpinan dengan karakter kudus, setia dan berintegritas merupakan model spiritualitas yang seharusnya dimiliki dalam peran suami-isteri, ayah dan ibu.

Nilai-nilai yang bersedia berkurban menjadi efektif apabila didasari oleh kekudusan, kesetiaan dan integritas. Suami-isteri atau ayah-ibu tidak mungkin mampu berkurban seperti Kristus apabila tidak didasari oleh spiritualitas kekudusan, kesetiaan dan integritas. Orang-orang dunia juga bisa berkurban bagi orang lain tetapi dengan motivasi dan cara yang salah. Mereka membela agama dan komunitasnya dengan cara kekerasan atau membunuh orang-orang yang dianggap lawan atau musuh. Sebaliknya karakter dan spiritualitas kekudusan, tanpa noda dan adil akan mencegah setiap orang untuk melakukan kekerasan kepada sesama yang berlawanan secara ideologis, teologis dan filosofis. Sebab hati-nurani dan pemikiran mereka telah dicelikkan oleh karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh Kudus.

            Pikiran yang dicelikkan merupakan media untuk mengenal kepemimpinan dan spiritualitas Kristus. Selama agama-agama tidak mengalami pikiran yang dicelikkan, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang buta secara rohani. Padahal Bartimeus, anak Timeus walau pun dalam kondisi buta secara fisik mampu mengenali kehadiran Kristus. Di Markus 10:47 mempersaksikan: “Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Dalam kondisi mata yang buta, Bartimeus dapat merasakan kehadiran Kristus, sehingga ia berseru menyampaikan permohonan untuk memperoleh belas-kasihan Kristus. Namun apakah orang-orang dunia dengan pola pikirannya yang melegitimasikan kekerasan demi kebenaran menyadari kebutaan hatinya? Apakah dalam kebutaannya mereka berseru mohon belas-kasihan Kristus agar dicelikkan?

            Tanpa dicelikkan oleh Kristus, mata rohani setiap orang akan tetap buta walau pun ia intensif membaca dan mempraktikkan firman Tuhan sebagaimana tertulis dalam Kitab Sucinya. Dalam kebutaan rohani tersebut ia akan berperan sebagai pelaku kekerasan yang menyebabkan sesama menjadi para korban dari kekejaman dan kekerasannya. Dia melukai siapa pun, termasuk pula anak-anak dan isteri atau pasangan hidupnya. Ia juga tidak pernah segan menganiaya orang-orang yang dianggap menghambat ambisi dan hawa-nafsunya.  Orang-orang dengan karakter yang kasar dan tanpa belas-kasihan tersebut di hadapan anak-anak mereka akan dipandang sebagai monster yang menakutkan. Bagi isteri-isteri, orang-orang dengan tipe tersebut dianggap sebagai sosok yang berbahaya dan kejam.

            Sebaliknya saat seseorang telah mengalami belas-kasihan dan kemurahan Kristus, ia dengan penuh kerinduan mohon dipulihkan dan dicelikkan. Di Markus 10:51 mempersaksikan: “Tanya Yesus kepadanya: Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?”Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!” Kebutuhan setiap keluarga agar dapat hidup dengan nilai-nilai pengurbanan Kristus dapat terwujud apabila diawali dengan kerinduan dicelikkan dari kebutaan rohani. Baru setelah itu mereka dapat mengikuti dan meniru role-model kepemimpinan Kristus selaku Imam Besar. Makna “dicelikkan” berarti kita dimampukan untuk melihat realitas dari sudut pandang Allah sehingga kita tidak lagi menilai dan memahami realitas dari sudut pandangan keinginan dan hawa-nafsu duniawi.

            Keluarga membutuhkan pencelikkan dari kebutaan rohani, sebab setiap keluarga akan menghadapi, yaitu:

  1. Relasi dan komunikasi yang tidak selalu stabil, walau suami-isteri saling mencintai. Sebab sebagai manusia mereka mengalami saat yang membosankan.
  2. Penyesuaian (adaptasi) yang membutuhkan proses panjang dengan kebiasaan buruk dari pasangan hidupnya.
  3. Kondisi perekonomian yang pasang-surut, bahkan menghadapi kondisi yang sulit sebab suami atau pasangan hidupnya terkena PHK atau kegagalan dalam usaha pekerjaan yang ditempuh.
  4. Kegagalan mengelola kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan penting baik untuk memenuhi kebutuhan primer dan biaya studi untuk anak-anak.
  5. Sakit atau kecelakaan yang menimpa salah seorang anggota keluarga sehingga membutuhkan biaya, perawatan dan kesabaran ekstra.
  6. Godaan untuk mengikuti pola kehidupan orang lain secara materialistis dan hedonistis, sehingga terjebak oleh perasaan iri-hati dan tidak bersyukur.
  7. Kemalasan, pasif dan tergantung dari salah seorang anggota keluarga, sehingga tidak mampu berkarya sesuai dengan kemampuan dan talentanya.

Kondisi-kondisi di atas menimbulkan keprihatinan dan kesedihan sehingga berpengaruh pada rendahnya kualitas relasi di antara suami-isteri, orang tua dengan anak-anak. Dalam konteks ini setiap keluarga yang mengalami membutuhkan pencelikkan dari Kristus agar mata rohani mereka dipulihkan. Tanpa pemulihan dari Kristus, maka kebutaan mata rohani akan menyebab setiap keluarga berada dalam krisis yang berbahaya. Dalam kondisi tertentu krisis tersebut dapat menjadi peristiwa kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.

Sebaliknya saat pemulihan dari Kristus terjadi, maka para anggota keluarga akan menjadi pribadi-pribadi yang semakin diteguhkan dalam kasih. Mereka akan menjadi pribadi yang dewasa, mandiri, dan kreatif sehingga mengetahui bagaimana berperan sesuai dengan tugasnya masing-masing. Mereka akan menjadi anggota keluarga yang menghadirkan kepemimpinan Kristus selaku Imam Besar dengan mempraktikkan nilai-nilai kekudusan, kesetiaan dan integritas. Lebih jauh lagi masing-masing anggota keluarga akan terpanggil untuk saling berkurban agar anggota keluarga yang lain dapat hidup dengan selamat dan sejahtera.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono