Nilai Dasar | Fleksibel (Adaptable) |
Judul | Spiritualitas Adaptif yang Kreatif dan Transformatif (1Kor. 9:19-27) |
Tujuan Operatif | Umat mampu mempraktikkan spiritualitas fleksibel yang adaptif, sehingga di tengah-tengah perubahan zaman mampu bersikap kreatif-inovatif, dan menjadi agen-agen pembaruan dalam karya penebusan Kristus. |
Abstrak:
Nilai fleksibilitas (kemampuan adaptif) sebagai spiritualitas yang memampukan manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang didasarkan pada pembaruan budi dalam karya penebusan Kristus. Sikap adaptif mampu menerima dan menyesuaikan diri, sekaligus bersifat kritis dan kontrukstif. Sebab di dalam sikap adaptif yang otentik manusia dipanggil untuk menurut kehendak dan rencana Allah, yaitu kuasa Injil Kristus yang membebaskan dan menyelamatkan. Karena itu adaptive skills yang meliputi 7 aspek, yaitu curiosity, learning, resourcefulness, communication skills, organizational skills, teamwork skills, resilience bukan sekadar memampukan manusia sekadar relevan dengan situasi riil, tetapi utamanya untuk menghadirkan keselamatan Allah di dalam Kristus.
Kata kunci: adaptive-skills, metamorfosis, kritis-konstruktif
Insan yang Adaptif
Manusia mampu bertahan melewati berbagai bencana, dan perubahan iklim adalah karena kemampuan adaptifnya. Secara fisik hewan dinasaurus lebih kuat dan besar dibandingkan manusia. Tetapi menurut beberapa ahli, dinasaurus bukanlah mahluk yang mudah beradaptasi. Populasi dinasaurus menurun drastis saat terjadi perubahan iklim yang ekstrem. Apalagi saat bumi pernah dihujani oleh asteroid atau meteor. Menurut hipotesis Alvares, meteor yang begitu besar pernah menabrak bumi sehingga terjadi perubahan iklim. Kondisi iklim yang tidak kondusif itu menyebabkan po[ulasi dinausaurus semakin menurun dan akhirnya punah. Sebaliknya manusia mampu mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi. Itu sebabnya manusia sebagai spesies yang mampu bertahan sampai saat ini.
Kemampuan adaptif manusia lebih kompleks. Manusia tidak hanya mampu beradaptasi secara fisiologis, tetapi juga fungsional. Dengan kemampuan adaptasi secara fungsionalnya manusia secara perlahan melakukan perubahan sistem organ, morfologi, komposisi biokimia, anatomi, dan komposisi tubuhnya. Lebih lanjut manusia memiliki kemampuan epigenetik, yaitu kemampuan untuk merespons perubahan lingkungan. Kemampuan epigenetik tersebut memberikan toleransi dan bertahan hidup secara individual dan populasinya. Seluruh kemampuan tersebut dianugerahkan Allah sebagai potensi. Karena itu tidak secara otomatis setiap orang mampu memiliki kemampuan adaptif. Potensi yang dianugerahkan Tuhan tersebut perlu diaktualisasikan dengan berbagai ragam belajar dan pelatihan. Untuk mencapai tujuan jangka panjang, kemampuan adaptif melalui berbagai ragam belajar dan pelatihan kemudian dilestarikan dalam budaya dan adat-istiadat.
Mentalitas Sikap Adaptif
Grossman dalam tulisannya yang berjudul Classification in mental retardation menyatakan bahwa perilaku adaptif hanya terjadi apabila seseorang memiliki kapasitas kemampuan yang memadai, sehingga ia dapat memenuhi tuntutan situasi sosial dan lingkungan sekitarnya, termasuk pengembangan dirinya (Grossman, 1983). Dengan kapasitas kemampuan yang dikembangkan itu ia mampu bersikap mandiri, menjalin relasi sosial, dan berperan sesuai keberadaan dirinya. Karena itu menurut Sparrow dalam Vineland Adaptive Behavior Scale menyatakan bahwa sikap adaptif dinyatakan dalam 4 jenis kemampuan, yaitu:
- Komunikasi: kemampuan mengekspresikan diri dan pikiran secara lisan dan tertulis, sekaligus mampu menyerap pemikiran atau pendapat orang lain (expressive, receptive, written),
- Keterampilan hidup sehari-hari: kemampuan mengurus dan mengatasi persoalan hidup sehari-hari secara personal, dalam lingkup keluarga dan masyarakat (personal, domestic, community),
- Sosialisasi: kemampuan menjalin relasi secara horisontal dalam berbagai keragaman, tanpa mengurangi kemampuan untuk menikmati serta memaknai hidup (interpersonal relationship, play and leisure), dan
- Keterampilan motorik: kemampuan motorik yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas fisikal dan seni (gross, fine)
Namun dalam praktik tidak setiap orang mampu mewujudkan 4 kemampuan adaptif tersebut. Kemampuan adaptif dipengaruh oleh berbagai faktor, yaitu:
- Pola asuh dan relasi dalam keluarga: setiap orang bertumbuh di dalam dan melalui keluarga. Karena itu nilai-nilai, pola pikir, dan cara pandang dipengaruhi oleh keluarga yang membentuknya. Keluarga yang harmonis, terbuka, dan penuh kasih akan memampukan seseorang untuk tumbuh dengan kemampuan adaptif yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang broken-home.
- Pengalaman dalam interaksi sosial: Melalui interaksi sosial seorang individu dimampukan untuk mengenal realitas kehidupan yang lebih luas. Pergaulan dengan teman sebaya dan sekolah akan memampukan seseorang untuk mengembangkan adaptasinya. Seseorang akan mengalami maladaptif (ketidakmampuan beradaptasi) karena trauma yang dialaminya, misalnya: bullying (perundungan) secara verbal dan/atau fisik.
- Perspektif personal terhadap realitas: Berbagai ragam peristiwa yang dialami seseorang akan mempengaruhi pola pikir atau perspektifnya terhadap realitas. Kompleksitas perspektif personal tersebut dipengaruhi pula temperamen yang diwarisi, misalnya respons setiap individu berbeda-beda walau mengalami suatu peristiwa yang bersamaan. Respons seorang sanguinis akan berbeda dengan mereka yang memiliki temperamen flegmatis, choleris, atau melancholis.
- Relasi personal dengan Tuhan: sebagai mahluk religius manusia membutuhkan relasi dengan Tuhan. Relasi dengan Tuhan akan memampukan seseorang untuk mengalami kepenuhan hidup. Dimensi spiritualitasnya akan bertumbuh secara sehat, sehingga memampukan dia untuk beradaptasi dalam situasi yang sulit. Iman kepada Tuhan memampukan dia untuk tabah, sabar, dan mencari jalan keluar secara tranformatif.
- Tingkat kematangan/kedewasaan: Kemampuan beradaptasi secara kreatif dan transformatif walaupun kondisi sulit yang ekstrem. Ia tidak mudah menyerah, putus-asa, dan menyalahkan diri atau lingkungan.
Spiritualitas Sikap yang Adaptif
Dalam iman Kristen, sikap adaptif merupakan nilai spiritualitas yang utama. Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (kidmutenu). Artinya setiap orang/manusia dipanggil hidup selaras dan menyesuaikan diri dengan kehendak dan karakter Allah. Kejadian 1:26 menyatakan: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, atas ternak dan seluruh, serta atas segala binatang yang melata di bumi.” Hakikat penciptaan manusia adalah diciptakan menurut (kid) gambar (tselem) dan rupa (demut) Allah. Dalam konteks ini manusia wajib menyesuaikan diri pada rancangan dan tujuan ilahi. Dengan menyesuaikan atau mengikuti kehendak dan rencana Allah, maka mereka diberi kemampuan untuk berkuasa (rada) atas semua ciptaan Allah yang lain. Kegagalan menyesuaikan diri atau mengikuti kehendak Allah akan menyebabkan mereka menyalahgunakan kekuasaan, sehingga terjadi kerusakan keutuhan ciptaan dan ekologis. Manusia mengalami penderitaan, peperangan, penyakit, dan berbagai kejahatan.
Melalui karya penebusan Kristus, keberadaan manusia yang berdosa dipulihkan. Namun anugerah Allah dalam penebusan Kristus tersebut akan efektif menghasilkan pembaruan apabila direspons dengan sikap iman. Pembaruan akan terjadi apabila umat percaya bersedia beradaptasi dalam pembaruan budinya. Di Roma 12:2 rasul Paulus berkata, “Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.” Firman Tuhan menegaskan agar setiap umat yang telah ditebus oleh Kristus tidak beradaptasi dengan pola pikir atau skema dunia ini. Kata “serupa” (syschēmatizesthe) dengan dunia ini menunjuk pada arti: sesuai, sistematika yang diberlakukan oleh prinsip-prinsip kuasa dunia. Kecenderungan untuk beradaptasi dengan pola dunia tersebut justru harus dilawan. Sebab setiap umat percaya dipanggil untuk berubah (metamorphousthe) oleh pembaruan budi. Sikap maladaptif terjadi saat umat percaya beradaptasi menurut sistematika dunia.
Sikap beradaptasi dalam konteks ini dilakukan dengan metamorfosis, yaitu perubahan dari suatu wujud yang buruk menjadi wujud yang unggul. Indikator dari hasil metaformosis (perubahan) oleh pembaruan budi adalah umat mampu membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna. Adaptasi dalam spiritualitas iman Kristen tidak bersifat pasif menyesuaikan diri dengan situasi, tetapi justru mampu mengubah situasi sesuai dengan kehendak Allah. Spiritualitas adaptasi senantiasa dimulai dari pembaruan budi, mengenal kehendak Allah, tahu persis nilai yang baik, berkenan sesuai firman Tuhan, dan sempurna. Karena itu makna beradaptasi bukan sekadar fleksibel dengan situasi, tetapi membarui situasi dengan nilai-nilai kebenaran dan firman Tuhan. Spiritualitas adapatasi dalam iman Kristen bersifat kritis-kreatif dan transformatif.
Tipe-tipe Adaptive Skills
Dalam tulisannya yang berjudul 7 Types of Adaptability Skills that’ll help you grow professionally, Madeline Miles menyatakan bahwa kemampuan beradaptasi membutuhkan keahlian (skill) yang harus dilatih dan dikembangkan secara progresif. Kemampuan beradaptasi (adaptability skills) terdiri 7 tipe, yaitu:
- Curiosity (sikap ingin tahu) yang mendorong seseorang untuk bersikap terbuka (open-mindedness) dan pola pikir yang terus berkembang (growth mindset) untuk melakukan penelitian dan pencarian kebenaran, sehingga ia terus terdorong untuk melakukan eksplorasi dan inovasi. Dalam konteks ini seseorang akan melakukan 3 prinsip, yaitu:
- Calculated risk-taking (mengkalkulasi risiko): kemampuan untuk memperhitungkan setiap risiko dengan perhitungan yang baik.
- A positive attitude (sikap yang positif): Dengan sikap yang positif seseorang menghadapi bersedia menghadapi tantangan yang besar sebagai kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya secara optimal
- Creative thinking (berpikir kreatif): Dengan kemampuan berpikir kreatif seseorang mampu berpikir out of the box sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang original dan baru.
- Learning (belajar) yang ditempuh secara mandiri dan koloborasi sehingga seseorang mampu meng-update diri. Ia mampu hadir secara relevan dengan pengetahuan dan keahlian yang terus berkembang. Untuk mencapai tujuan learning perlu ditempuh:
- Critical thinking (berpikir kritis): kemampuan untuk menganalisa informasi, mengevaluasi argumen dan membuat proses pengambilan keputusan yang tajam.
- Continuous learning (terus belajar): kemampuan untuk terus mewujudkan belajar yang berkelanjutan, haus akan kebenaran, tidak pernah berpuas diri, dan meninggalkan zona nyaman.
- Feedback acceptance (menerima masukan): kemampuan untuk meningkatkan keahlian dengan menerima masukan, saran, kritik, dan evaluasi sehingga mampu menafsirkan realitas secara utuh dan luas.
- Resourcefulness (banyak akal, cerdik): kemampuan menghadapi situasi yang sulit atau tantangan dengan banyak akal. Ia seorang yang cerdik sebab memiliki beragam langkah strategis sehingga dapat mengubah situasi yang sulit menjadi kesempatan yang bernilai. Syarat seorang yang resourcefulness adalah:
- Creative-thinking (berpikir kreatif): kemampuan menemukan dan membangun ide-ide yang kreatif dengan perspektif yang baru dan segar.
- Problem-solving (memecahkan masalah): kemampuan untuk mengindentifikasi, menganalisa dan solusi yang efektif.
- Budgeting (pembelanjaan): kemampuan untuk mengatur dan mengelola keuangan yang tersedia sehingga ia tahu kapan harus menahan diri, dan mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta mengembangkan dana yang dimiliki secara produktif.
- Communication skills: kemampuan berkomunikasi didasarkan pada kemampuan dia untuk menjadi seorang pendengar yang aktif-empatis sehingga ia mengetahui dengan utuh gagasan atau masalah yang sedang ia hadapi. Kemampuan berkomunikasi tersebut membutuhkan 3 prinsip utama, yaitu:
- Emotional intelligence (kecerdasan emosi): kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi sehingga ia mampu mengendalikan diri dalam situasi yang menekan.
- Active listening (mendengar yang aktif): kemampuan untuk hadir dan berempati dengan setiap orang yang berbicara sehingga ia berpikir secara terbuka dengan menempatkan dirinya di posisi orang lain.
- Nonverbal communication (komunikasi non-verbal): kemampuan untuk mengkomunikasikan gesture (gerak tubuh) secara tepat sekaligus juga mampu menangkap maksud nonverbal dari lawan bicara.
- Organizational skills: kemampuan berorganisasi untuk mencapai tujuan yang besar melalui efektivitas komunikasi dengan setiap orang dalam sistem organisasi tersebut, dan kemampuan untuk menjalin relasi dalam lingkup yang lebih luas. Untuk kemampuan berorganisasi tersebut membutuhkan 2 prinsip, yaitu:
- Project management: kemampuan mengelola setiap tugas dengan mendelegasikan setiap tugas kepada orang-orang yang kompeten sehingga menghasilkan proyek yang sesuai harapan.
- Time management: kemampuan mengelola waktu sehingga efesien dan setiap tugas sesuai dengan tenggat waktu (deadline) yang telah ditentukan.
- Teamwork skills: kemampuan bermitra dan berkolaborasi dengan tim, sehingga pekerjaan yang mustahil dapat diwujudkan dengan sinergisme. Kemampuan bermitra tersebut perlu ditempuh dengan 3 kemampuan, yaitu:
- Leadership skills (keahlian kepemimpinan): kemampuan memimpin yang adaptable dan menginspirasi orang-orang di sekitar, sehingga memotivasi mereka untuk melakukan setiap bidang pekerjaan dengan sukacita dan tulus.
- Compromise (berkompromi): kemampuan untuk mengalah pada hal-hal yang kurang mendasar. Sikap ini dibutuhkan agar kita tidak suka menang sendiri (pembenaran diri). Dengan rendah-hati kita membuka diri untuk memahami dan menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang-orang sekitar, sehingga kita mampu beradaptasi secara konstruktif.
- Conflict resolution (penyelesaian konflik): kemampuan untuk melakukan resolusi konflik, sehingga kita tidak terjebak oleh perasaan sakit hati, marah, dan dendam. Sebaliknya kita mampu memberi solusi bijaksana apabila terjadi perselisihan.
- Resilience (ketangguhan): kemampuan yang tahan banting menghadapi goncangan atau tekanan masalah sehingga tidak pernah menyerah dan putus-asa. Daya tangguh atau tahan banting tersebut membutuhkan 3 prinsip, yaitu:
- Self-confidence (percaya diri): kemampuan untuk menghargai dan percaya diri secara positif dan sikap respek sehingga ia tidak mudah menghakimi orang lain.
- Determination (tekad): memiliki tekad yang kokoh sehingga ia menghadapi kondisi yang tidak mudah dan penuh tantangan.
- Diligence (kerajinan, ketekunan): kemampuan untuk bertekun dan rajin mengerjakan setiap tugas dengan sukacita dan finishing-well.
Kemampuan beradaptasi tersebut di atas dapat kita wujudkan apabila secara mental kita mengalami transformasi diri, yaitu:
- To be present: Secara rohani kita tidak terjebak oleh kepahitan atau trauma di masa lalu, tetapi juga tidak dibebani oleh kekuatiran masa depan. Sebaliknya kita mampu hadir di masa kini dengan memberi kontribusi yang nyata bagi orang-orang di sekitar.
- Positive self-talk: kemampuan untuk menghargai diri sendiri, sehingga kita tidak mengecilkan diri sendiri atau sikap pandang yang negatif terhadap keberadaan dirinya.
- The bigger picture: kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih besar yaitu tujuan dan cita-cita yang mulia dan ingin diperjuangkan sehingga kita tidak mudah kecil hati saat mengalami penolakan.
- Like to experiment: kerinduan untuk melakukan eksperimen untuk menemukan hal-hal yang baru.
- Exhibit empathy: kemampuan menyatakan empati yang tulus kepada orang-orang terdekat atau dikenal, sehingga mereka merasakan kepedulian dan kasih kita yang tulus.
Jadi dengan 5 prinsip tersebut spiritualitas kita dimampukan untuk mengerjakan 7 tipe kemampuan sikap yang adaptif, yaitu: curiosity, learning, resourcefulness, communication skills, organizational skills, teamwork skills, resilience.
Refleksi Teks 1 Korintus 9:19-23
Spiritualitas rasul Paulus dalam kehidupan dan karyanya bersifat adaptif (fleksibel). Di surat 1 Korintus 9:19 rasul Paulus berkata, “Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.” Pernyataan rasul Paulus sekilas bersifat paradoks. Ia menganggap dirinya sebagai orang yang bebas bagi semua orang, namun pada saat yang sama ia menjadikan dirinya hamba bagi semua orang.
Makna pernyataan rasul Paulus tersebut akan mudah dipahami apabila kita balik susunannya dengan pertanyaan, yaitu: “Apakah rasul Paulus dapat memenangkan sebanyak mungkin orang saat ia tidak bebas dan berstatus sebagai hamba?” Tentu jawabannya “Tidak!” Kata kunci yang utama dalam konteks ini adalah justru karena rasul Paulus menjadi orang bebas, maka ia bisa beradaptasi dengan menempatkan diri sebagai seorang hamba bagi banyak orang. Kemampuan adaptasi (fleksibel) hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang secara spiritual bebas dari kuasa dosa. Kita akan gagal beradaptasi secara konstruktif apabila kondisi mental dan rohani kita masih terbelenggu oleh berbagai beban psikologis, dan/atau kuasa dosa.
Secara keseluruhan sikap adaptif rasul Paulus dinyatakan kepada: a). Semua orang, b). Orang Yahudi, c). Orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat, d). Orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, e). Orang-orang yang lemah, f). Semua orang. Tujuan sikap adaptif tersebut adalah: “Supaya ia sedapat mungkin dapat memenangkan mereka, yaitu mengenal dan percaya akan Injil Kristus.” Sikap adaptif yang dilakukan oleh rasul Paulus bertujuan untuk membawa banyak orang kepada kebenaran yang membebaskan di dalam Injil Kristus. Makna “adaptif” dalam konteks ini justru bukan untuk merelatifkan kebenaran dan kuasa Injil Kristus. Sebaliknya sikap adaptif tersebut menjadi media Allah yang efektif menyentuh hati setiap orang untuk mengenal dan menerima kebenaran Injil Kristus yang menyelamatkan. Sikap adaptif yang dilandasi oleh kebebasan yang lahir dari penebusan Kristus akan menjadi sikap adaptif yang membarui banyak orang.
Kemampuan bersikap adaptif (adaptive skills) yang ditempuh melalui 7 tipe, yaitu curiosity, learning, resourcefulness, communication skills, organizational skills, teamwork skills, resilience bukan sekadar kita dapat lebih relevan dengan situasi zaman yang terus berubah. Kita wajib adaptif (fleksibel) juga bukan sekadar survive dan memperoleh keuntungan finansial, tetapi utamanya adalah agar kita mampu berperan mengkomunikasikan kebenaran Kristus yang menyelamatkan. Tujuan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni bukan pada dirinya sendiri. Semua bidang tersebut adalah untuk memenangkan banyak orang kepada kuasa penebusan Kristus, yaitu kebenaran Allah yang membebaskan.
Referensi:
Grossman, H. K. 1983. Classification in mental retardation. American Association on Mental Deficiency. Miles, Madeline. 7 Types of Adaptability Skills that’ll help you grow professionally. BetterUp (https://www.betterup.com/blog/types-of-adaptability-skills)
Sparrow, S., Balla, D., & Cicchetti, D. (1984). Vineland Adaptive Behavior Scale. A.G.S., Inc. Richison, Grant. 2002. 1 Corinthians 9:19-23 https://versebyversecommentary.com/2002/10/12/1-corinthians-919-23/
Rahmat Sabuhari.2020. Pengaruh Fleksibitas Sumberdaya Manusia dan Kompetensi Karyawan Terhadap Kinerja Karyawan dengan Adaptasi Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Mediasi.Universitas Brawijaya. Malang
Agung Aprianto,dkk.2021. Pengaruh Pembelajaran berbasis masalah dengan penguatan Keterampilan Fleksibilitas Terhadap hasil belajar kognitif.Jurnal Edcomtech Vol. 6 no.2http://journal2.um.ac.id/index.php/edcomtech/article/view/16457
Lengsi Manurung,dkk.2018. Fleksibilitas Strategi dalam era globalisasi.Jakarta.
https://jurnal.peneliti.net/index.php/JIWP/article/view/882
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono