Keluaran 16:1-24
“Di padang gurun itu bersungut-sungutlah segenap jemaah Israel kepada Musa dan Harun; dan berkata kepada mereka: Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan” (Kel. 16:2-3).
Makan kenyang tapi berstatus sebagai budak, ataukah lebih memilih kesulitan makan tapi menjadi bangsa yang bebas? Pertanyaan reflektif inilah yang menjadi dasar narasi Keluaran 16. Apabila umat Israel lebih memilih bisa makan kenyang tapi berstatus sebagai budak, maka tepatlah keluhan atau sungut-sungut umat Israel di Keluaran 16:3, yaitu: “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan.” Di Mesir umat Israel sebagai budak memang bisa makan dengan kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang. Tetapi saat mereka menjadi bangsa yang bebas, di padang gurun mereka sering menghadapi kelaparan. Di padang gurun makanan dan minuman serba langka. Sebab di padang gurun tidak tersedia pabrik roti dan toko yang menjual berbagai kebutuhan. Apabila saudara diminta untuk memilih di antara dua kemungkinan tersebut di atas, apakah yang akan saudara pilih? Pilih makan kenyang tapi berstatus sebagai budak, ataukah kesulitan makan namun menjadi bangsa yang bebas?
Pilihan pada salah satu kemungkinan tersebut merupakan keputusan etis atas nilai hidup yang kita hidupi. Apabila kita menghidupi nilai makan dan yang penting tetap kenyang, maka kita tidak akan terlalu mementingkan status sebagai budak atau orang merdeka. Sebaliknya apabila kita lebih memilih untuk menghidupi nilai kebebasan di atas semua nilai materi, maka kita akan memilih lebih baik lapar daripada menjadi budak bangsa lain. Pilihan atas nilai tersebut mencerminkan sejauh mana kualitas martabat atas kemanusiaan kita dibangun. Martabat yang luhur tentunya tidak berorientasi pada dimensi fisik, seperti makanan, seks, kedudukan, dan kenikmatan inderawi. Sebaliknya martabat yang luhur berorientasi pada tanggungjawab, kesetiaan, kebebasan yang otentik dan nilai-nilai etis. Pilihan etis tidak terlepas dari paradigma, kesadaran, hati-nurani, panggilan hidup, dan sikap iman kepada Tuhan. Dalam konteks ini sikap umat Israel yang bersungut-sungut karena tidak tersedianya daging dan roti mencerminkan orientasi hidup mereka yang jauh dari nilai-nilai martabat luhur. Mereka lebih mengutamakan nilai makan dan perut kenyang daripada status sebagai bangsa yang dimerdekakan oleh Tuhan. Namun mengapa umat Israel lebih memilih nilai makan dan perut kenyang? Bukankah mereka telah dipilih dan melihat karya keselamatan Allah yang begitu besar?
Melalui Musa, Allah telah melepaskan umat Israel dari tanah perbudakan di Mesir. Mereka mengalami pertolongan Tuhan yang begitu luar-biasa sehingga bisa melewati laut yang terbelah. Umat Israel telah menyaksikan peristiwa mukjizat dalam peristiwa hidup mereka. Tetapi peristiwa mukjizat dan pertolongan Tuhan tersebut ternyata tidak secara otomatis mengubah sikap mentalitas mereka sebagai budak. Proses internalisasi mentalitas sebagai budak selama 430 tahun telah membentuk diri mereka sebagai pribadi yang lebih mengutamakan kenyamanan makanan dan minuman. Karena itu ketika di padang gurun umat Israel tidak memperoleh roti dan daging yang cukup mereka bersungut-sungut kepada Musa dan Harun. Kondisi tidak bisa makan roti dan daging di padang gurun Sin seperti saat mereka berada di Mesir dianggap sebagai peristiwa yang malang dan mencelakakan. Di Keluaran 16:3 umat Israel berkata bahwa lebih baik mereka mati di tanah Mesir di tengah-tengah kuali yang berisi daging dan roti daripada hidup di padang gurun ini. Bagi mereka apa artinya kebebasan tetapi tidak cukup makanan. Karena itu situasi zona nyaman di Mesir sebagai budak dianggap umat Israel lebih penting daripada hidup di padang-gurun sebagai bangsa yang bebas.
Untuk mengubah mentalitas budak membutuhkan proses yang menyakitkan. Peristiwa mukjizat yang luar biasa dengan peristiwa laut Teberau yang terbelah menjadi dua ternyata tidak membawa dampak perubahan karakter yang berarti. Memang setelah berhasil selamat melewati Laut Teberau di Keluaran 15:1-21 umat Israel bersama dengan Musa menaikkan pujian syukur kepada Tuhan. Dalam pujian tersebut terlihat dengan sangat kuat bagaimana ucapan syukur yang lahir dari iman kepada Tuhan. Tetapi sangat mengejutkan baru saja umat Israel memuji Tuhan di Keluaran 15:1-21 namun mereka segera bersungut-sungut kepada Musa dan Harun. Mereka bersungut-sungut sebab air yang mereka minum di Mara sangat pahit (Kel. 15:24). Perubahan ucapan syukur menjadi sikap bersungut-sungut begitu cepat. Bahkan tampaknya umat Israel lebih mudah bersungut-sungut kepada Musa dan Harun daripada bersyukur atas karya keselamatan Tuhan yang telah mereka alami. Mereka lebih cepat bersikap reaktif dalam bentuk kemarahan, kekesalan, dan kekecewaan saat menghadapi situasi yang tidak sesuai harapan. Kemudian di Keluaran 16 umat Israel kembali bersungut-sungut karena tidak bisa makan roti dan daging. Tampaknya proses pembaruan harus mereka lewati melalui padang gurun. Di tempat yang panas, kering, gersang dan mematikan itulah karakter umat Israel ditempa dan dimurnikan.
Kualitas karakter manusia akan teruji saat ia berada di tempat yang sulit dan membahayakan. Sangat sulit seseorang menyembunyikan watak aslinya di saat rasa aman dan nyamannya sedang diganggu. Sikap tidak sabar, impulsif, agresif dan defensif akan terekspresikan manakala seseorang tidak menghidupi sikap bersyukur yang tulus. Karena itu sikap bersungut-sungut merupakan pilihan otentik dan ekspresi spontan sebab lahir dari batin yang terdalam. Pemulihan dan pembaruannya tidaklah cukup melalui media pengajaran, nasihat dan ritual agama namun haruslah melalui pengalaman yang nyata dan edukatif di padang gurun. Sebab melalui pengalaman eksistensial saat seseorang mengalami “situasi batas akhir,” mereka menemukan kerapuhan dirinya. Ia akan semakin menyadari keterbatasan, kefanaan, dan kekurangan dirinya. Karena itu ia akan merendahkan diri seraya mohon kemurahan dan rahmat Tuhan. Segala keangkuhan, kesombongan dan kekuatan yang dibanggakan tidak berarti apa-apa saat menghadapi kengerian “situasi batas akhir.” Apakah saat seseorang mengalami kondisi sakit yang kritis, mulai tergantung dengan peralatan medis, musibah kecelakaan, bencana alam, dan sebagainya. Tetapi bisa juga seseorang justru bersikap jauh dari sikap iman saat menghadapi “situasi batas akhir” sebagaimana dilakukan oleh umat Israel. Mereka lebih memilih untuk memberi respons dengan sikap bersungut-sungut. Makna sikap bersungut-sungut dalam konteks ini bukan sekadar berkeluh-kesah, tetapi mengandung nada menyalahkan Tuhan yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir.
Sesungguhnya kecenderungan umat Israel untuk bersungut-sungut dan menyalahkan Tuhan merupakan kecenderungan setiap orang dalam menghadapi persoalan dan kesulitan yang terjadi. Penyebabnya adalah kegagalan manusia untuk melihat secara holistik dan seimbang seluruh peristiwa yang pernah terjadi. Padahal dalam seluruh rangkaian pengalaman hidupnya berulangkali mereka mengalami diselamatkan dan dipelihara oleh Tuhan. Data-data faktual tentang karya keselamatan dan pemeliharaan Tuhan tidak direkam secara objektif. Tetapi sebaliknya data-data faktual yang positif dalam sejarah hidup mereka tersebut “terblokir” sehingga tidak terbaca oleh sistem memori, nurani dan spiritualitas mereka. Itu sebabnya saat menghadapi persoalan atau kesulitan, data-data negatif dan subjektif saja yang terbaca. Dengan kondisi yang demikian mereka merespons setiap masalah dan kesulitan dengan bersungut-sungut. Sebaliknya sikap bersyukur merupakan sistem dalam spiritualitas seseorang yang secara bersengaja merawat rekaman dan memori iman secara utuh tentang karya keselamatan Allah yang pernah mereka alami. Karena itu sistem rohani mereka menyeleksi dan membuang semua bentuk rekaman atau memori yang subjektif dan tidak membangun. Mereka melihat secara objektif bagaimana karya keselamatan Allah begitu nyata, sehingga tidak memiliki alasan untuk bersungut-sungut.
Walau pun umat Israel saat berada di padang gurun Sin bersungut-sungut, ternyata Allah tidak merespons dengan hukuman. Sebaliknya Allah menunjukkan kepedulian dan menjawab keluh-kesah mereka. Di Keluaran 16:4 Allah berfirman kepada Musa: “Sesungguhnya Aku akan menurunkan dari langit hujan roti bagimu; maka bangsa itu akan keluar dan memungut tiap-tiap hari sebanyak yang perlu untuk sehari, supaya mereka Kucoba, apakah mereka hidup menurut hukum-Ku atau tidak.” Kebutuhan umat Israel akan roti dipenuhi. Allah berkenan menurunkan makanan yang kemudian disebut dengan nama “manna” yang artinya: “Apakah itu?” Keluh-kesah umat Israel yang menginginkan daging juga didengarkan dan dikabulkan Allah. Di Keluaran 16:13 menyatakan: “Pada waktu petang datanglah berduyun-duyun burung puyuh yang menutupi perkemahan itu; dan pada waktu pagi terletaklah embun sekeliling perkemahan itu.” Umat Israel kini dapat menangkap burung puyuh sehingga kebutuhan akan daging dapat terpenuhi secara berlimpah. Teologi Perjanjian Lama mendeskripsikan diri Allah sebagai seorang Bapa yang penuh dengan kemurahan dan belas-kasihan. Sikap keluh-kesah dan bersungut-sungut umat Israel direspons oleh Allah dengan rahmat-Nya. Di tengah-tengah situasi batas akhir umat Israel belajar akan makna pemeliharaan Allah. Providentia Dei. Pada pihak lain providentia Dei tersebut sekaligus sebagai ujian, apakah setelah umat Israel mengalami pemeliharaan Allah mereka mampu memperlihatkan kesetiaan, sikap iman dan spiritualitas bersyukur. Umat Israel akan menghidupi sikap bersyukur apabila data-data providentia Dei direkam dalam memori iman. Sebaliknya umat Israel akan kembali bersungut-sungut apabila data-data providentia Dei “diblokir” sehingga sistem spiritualitas iman mereka tidak mampu membaca data-data tersebut dan memberi respons iman secara tepat.
Data-data peristiwa yang dialami oleh umat beriman senantiasa ditempatkan dalam keterbukaan dan kesetiaan terhadap firman Tuhan. Karena itu data-data peristiwa yang direkam dalam memori umat percaya senantiasa membawa perubahan dalam kehidupan karakter mereka. Dalam konteks ini kita dapat melihat 3 bagian yang saling terjalin, yaitu: a). Data-data peristiwa yang pernah dialami, b). Firman Tuhan yang dipersaksikan Allah dalam Alkitab, c). Respons iman. Tanpa memiliki kemampuan merespons dengan iman, maka umat tidak mampu memaknai data-data peristiwa yang pernah dialami sebagai khasanah yang bermakna. Data-data peristiwa yang pernah dialami hanya sekadar sekumpulan catatan historik dan tidak memiliki kaitan yang nyata dengan realitas kehidupan sekarang. Selain itu tanpa memiliki kemampuan merespons dengan iman, maka umat tidak mampu membuat hubungan atau benang-merah teologis antara data-data peristiwa yang pernah terjadi dengan berita Firman Tuhan. Akibatnya firman Tuhan yang dibaca dan direnungkan akan terputus dengan data-data peristiwa yang pernah ia alami. Karena itu kita dapat menyimpulkan bahwa respons iman merupakan titik temu dan titik sambung yang mengaitkan data-data peristiwa yang pernah dialami dengan berita firman Tuhan. Ucapan syukur terjadi karena respons iman. Sebaliknya sikap bersungut-sungut merupakan tanda keterputusan (diskontinuitas) antara data-data peristiwa yang pernah terjadi dengan berita firman Tuhan. Penyebabnya adalah karena ia tidak memiliki iman. Jadi sikap bersungut-sungut merupakan manifestasi seorang yang tidak beriman kepada Allah walau pun ia tidak pernah terlepas dari kegiatan ritualitas keagamaan/ibadah.
Di dalam iman kepada Kristus, umat percaya tidak sekadar mengalami pemeliharaan Allah berupa pemberian “roti dan daging” seperti yang terjadi di padang gurun Sin. Pemeliharaan Allah secara jasmaniah senantiasa berlangsung di tengah-tengah “situasi batas akhir” padang gurun dunia. Tetapi lebih utama lagi adalah Allah di dalam Kristus telah mengaruniakan providentia Dei berupa “roti dan daging” dari surga. Di Yohanes 6:51, Yesus berkata: “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” Di dalam inkarnasi Kristus, umat percaya mengalami pemeliharaan Allah berupa “roti dan daging” dari surga yang memberi kekuatan dan jaminan keselamatan. Khususnya melalui peristiwa salib, umat mengalami karya penebusan Allah yang sempurna sehingga dilimpahi oleh anugerah “roti dan daging” yang mampu membawa kepada hidup yang kekal. Fakta karya penebusan Allah di dalam Kristus inilah yang seharusnya menjadi dasar ucapan syukur umat percaya. Karena itu rasa syukur umat percaya bukan ditempatkan dalam ranah spiritualitas menurut ukuran pada umumnya misalnya: kekayaan, kedudukan sosial, kesehatan yang baik, dan prestasi di berbagai bidang. Sikap bersyukur umat percaya seharusnya lebih terarah pada respons iman bagaimana membalas kebaikan dan kemurahan Allah yang telah berkenan mengaruniakan keselamatan di dalam penebusan Kristus. Jadi sikap bersyukur atas apa yang telah diperoleh umat seharusnya ditransendensikan kepada pemberian Allah melalui inkarnasi dan penebusan Kristus. Dengan mentransendensikan semua anugerah yang diperoleh, umat percaya akan mengalami spiritualitas bersyukur yang otentik dan bermakna. Sebab apa artinya umat percaya berhasil memiliki kekayaan yang berlimpah, kedudukan sosial yang tinggi, kesehatan yang baik dan prestasi di berbagai bidang tetapi tanpa Kristus. Kehidupan tanpa Kristus merupakan kehidupan yang sia-sia belaka.
Dari uraian di atas kita dapat melihat bahwa Kristus merupakan dasar dan tujuan hidup umat manusia yang sesungguhnya. Di dalam iman kepada Kristus, umat menemukan bagaimana hidup bermakna itu diperoleh. Melalui wafat dan kebangkitan Kristus, umat percaya mengalami bagaimana anugerah sukacita yang memampukan mereka bersyukur di tengah penderitaan, kesulitan dan kematian. Di Roma 8:35 Rasul Paulus membagikan pengalaman hidupnya yang telah dipenuhi oleh karya penebusan Kristus, yaitu: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Umat Kristen perdana dan sepanjang sejarah telah membuktikan bahwa sikap bersyukur tidak ditentukan oleh seberapa banyak materi yang mereka miliki, kedudukan sosial yang paling terkemuka, atau prestasi yang spektakuler. Sebaliknya sikap bersyukur ditentukan seberapa banyak mereka telah mempersembahkan hidup untuk Kristus, yaitu: seberapa berapa banyak mereka berkurban bagi sesama, seberapa berapa luas mereka menanamkan pengaruh nilai-nilai Injil yang membawa pembaruan dalam peradaban, dan seberapa besar kasih mereka kepada sesama yang dilayani. Jika demikian, kita patut bersyukur kepada Tuhan apabila kehidupan kita menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan kasih Kristus dan menghadirkan keselamatan Allah yang memberi pengharapan. Kita bersyukur sebab hidup kita menjadi berkat bagi karya Allah di tengah-tengah sesama. Sebaliknya kita akan bersungut-sungut apabila hidup kita hanya serba menuntut, konsumtif, egoistis, dan melekat dengan apa yang kita miliki.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono