Hakikat Pernikahan
Hakikat pernikahan Kristen dihayati sebagai karya Allah yang menyatukan dua insan, pria dan wanita yang saling mengasihi dalam lembaga rumah-tangga yang bersifat monogamis dengan perjanjian seumur hidup (Tata Laksana pasal 27:1). Dengan demikian setiap umat percaya yang membentuk keluarga melalui pernikahan Kristen dipanggil untuk hidup setia dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya dan miskin sebagaimana ikrar yang diucapkan saat mereka diteguhkan dan diberkati pernikahannya. Mereka dipanggil oleh Kristus untuk saling mengasihi, menolak setiap bentuk kekerasan yang sifatnya fisik dan kata-kata, setia kepada pasangannya, memberi nafkah yang menjadi tanggungjawab, dan mengasuh anak-anaknya dengan kasih-sayang, serta menghormati orang-tua dari suami dan istri (bdk. Ef. 5:22-29, Kol. 3:18-21).
Ikatan Pernikahan antara Suami-istri
Ikatan pernikahan suami-istri adalah berlangsung seumur hidup, tidak terceraikan kecuali oleh kematian. Ikatan pernikahan suami-istri dalam iman Kristen pada prinsipnya tidak dapat diceraikan saat mereka masih hidup. Sebab pada hakikatnya Allah membenci perceraian: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel – juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!” (Mal. 2:16). Allah sendiri yang menyatukan seorang pria dan wanita dalam ikatan suami-istri dalam lembaga pernikahan. Tuhan Yesus berkata: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19:6). Karena itu setiap anggota jemaat yang akan mengambil keputusan untuk menjalin kasih dan akan menjadikan seseorang sebagai calon pasangan hidupnya seharusnya memerhatikan karakter, kesamaan iman, track-record, latarbelakang keluarga, dan tanggungjawab dalam pekerjaan sehingga tidak menyesal di kemudian hari. Kegagalan dalam pernikahan terjadi karena masing-masing pihak kurang cermat, dibakar oleh perasaan cinta sesaat, dorongan hawa-nafsu, pengenalan yang masih minim terhadap karakter pasangannya, dan mengabaikan peran Allah dalam rencana hidupnya.
Realitas Kegagalan dengan Perceraian
Tindakan Allah yang menyatukan dalam pernikahan sebagai suami-istri pada praktiknya dapat gagal sehingga terjadi pisah-rumah dan perceraian. Realita tersebut merupakan suatu kenyataan yang sangat menyakitkan bagi mereka yang bersangkutan, anak-anak, anggota keluarga, anggota jemaat, dan tentunya Allah di dalam Kristus. Kegagalan pernikahan dalam bentuk perceraian bukan disebabkan karena rencana Allah gagal, namun manusia melalui tindakan dan keputusannya berusaha menggagalkan rencana Allah. Mereka melupakan janji pernikahan yang telah diucapkan sebagai ikrar suci untuk saling setia seumur hidup. Kegagalan dalam bentuk perceraian ini terjadi karena penyatuan yang dilakukan oleh Allah tidak bersifat mekanis, tetapi bersifat organis. Maksud mekanis adalah penyatuan Allah dalam pernikahan dibayangkan seolah-olah manusia sekadar sebagai objek sehingga tidak terbuka respons bagi manusia untuk berperan dengan kehendak bebasnya. Padahal Allah memperlakukan manusia sebagai subjek dengan kehendak bebasnya.
Penyatuan Allah dalam Pernikahan bersifat Organis
Makna penyatuan Allah dalam pernikahan bersifat organis adalah pengakuan iman akan tindakan Allah yang menyatukan dua insan pria dan wanita sebagai suami-istri, sehingga setiap suami-istri wajib bersikap responsif-imaniah dan bertanggungjawab penuh untuk saling setia. Jikalau terjadi kegagalan dalam pernikahan merupakan kegagalan mereka di hadapan Allah, keluarga dan sesamanya. Di Matius 19:6, Tuhan Yesus berkata: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Perkataan Tuhan Yesus tersebut ditempatkan dalam konteks yang organis, yaitu memberi ruang kepada respons manusia. Di satu pihak Allah telah menyatukan pria dan wanita sebagai suami-istri, namun di pihak lain manusia juga memiliki peran yang menentukan.
Penyatuan Allah dalam pernikahan tersebut dapat batal apabila salah satu atau kedua belah pihak jatuh dalam perzinahan. Karena itu di Matius 19:9 Tuhan Yesus berkata: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” Perhatikan kalimat “kecuali karena zinah.” Dengan perkataan lain peristiwa perzinahan memungkinkan ikatan Allah dalam pernikahan tersebut terurai. Perceraian suami-istri dalam suatu kasus menjadi tidak terelakkan. Jadi Tuhan Yesus sendiri menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah dapat diuraikan apabila mereka jatuh dalam perzinahan. Pernyataan Tuhan Yesus ini tentunya tidak dimaksudkan bahwa setiap pasangan yang berzinah harus diselesaikan dengan perceraian. Gereja perlu mendampingi umat agar mereka mampu mempertahankan keutuhan rumah-tangganya dengan anugerah Allah yang mengampuni.
Namun perceraian apapun alasannya menempatkan seseorang di bawah penggembalaan khusus. Proses penggembalaan khusus terjadi saat mereka diketahui melakukan proses perceraian dan hasil keputusan perceraian yang dinyatakan oleh Pengadilan Negara.
Proses Penggembalaan Khusus
Proses penggembalaan khusus pada hakikatnya bertujuan untuk memulihkan seseorang yang kelakuannya dan/atau paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GKI sehingga ia menjadi batu sandungan bagi orang lain. Acuan proses penggembalaan khusus adalah Tata Laksana pasal 38. Proses penggembalaan khusus dinyatakan selesai apabila yang bersangkutan bersedia menyesal dan menampakkan sikap pertobatan secara menyeluruh. Dalam Tata Laksana pasal 40 dinyatakan bahwa proses penggembalaan khusus paling lama terjadi enam (6) bulan. Jika dalam waktu 6 bulan yang bersangkutan tidak bertobat, maka yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk membaptis anaknya, mengikuti perjamuan kudus, menerima pelayanan pernikahan gerejawi, untuk memilih dan dipilih menjadi pejabat gerejawi, dan untuk diproses menjadi anggota badan pelayanan jemaat/klasis/sinode wilayah/sinode (Tata Laksana 40:4). Pelaksanaan penggembalaan khusus tersebut dilaksanakan tanpa batas waktu sampai yang bersangkutan bersedia menyesal dan bertobat.
Pertobatan dan Pemulihan
Pertobatan dan pemulihan seseorang merupakan kerinduan Allah dan gereja-Nya (bdk. Luk. 15:11-31). Karena itu jika yang bersangkutan dalam waktu paling lama enam (6) bulan menyatakan penyesalan dan pertobatan, maka sebagai gereja Tuhan Majelis Jemaat wajib menerima pertobatan seseorang dengan memulihkan dia ke dalam persekutuan umat percaya. Sebab gereja adalah satu-satunya lembaga Tubuh Kristus yang menjadi manifestasi pintu anugerah Allah.
Setelah bangkit Tuhan Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh. 20:22-23). Gereja diberi wewenang oleh Kristus untuk menyatakan dosa seseorang tetap berlaku, dan dosa seseorang diampuni. Berdasarkan wewenang atau otoritas yang dikaruniakan Kristus tersebut, seseorang yang bersalah khususnya yang gagal dalam mewujudkan pernikahan dengan perceraian dimungkinkan untuk dipulihkan. Pengampunan Allah mengikuti sikap pertobatan dan kehidupan baru yang dikaruniakan kepada seseorang. Atas dasar itu gereja kemudian mengumumkan bahwa penggembalaan khusus terhadap dia dinyatakan selesai. Karena itu mereka diizinkan mengikuti sakramen Perjamuan Kudus, membaptis anak-anaknya, menerima pelayanan pernikahan gerejawi, memilih dan dipilih menjadi pejabat gerejawi dalam lingkup setempat/klasis dan sinode wilayah/sinode (Tata Laksana 40:3).
Pernikahan Gerejawi dengan Bidston
Bagaimanakah anggapan beberapa orang yang menyatakan bahwa penggembalaan khusus bagi calon mempelai yang dianggap bersalah dengan bidston di rumah atau suatu tempat di luar gereja? Mereka yang berpandangan bahwa bidston sebagai suatu jalan tengah untuk memberi solusi kepada calon mempelai yang berada di bawah penggembalaan khusus, karena gereja adalah kudus sehingga tidak boleh meneguhkan dan memberkati mempelai yang dianggap berdosa dalam suatu kebaktian.
Keberatan saya terhadap pelaksanaan pernikahan gerejawi dengan bidston adalah:
- Bidston merupakan persekutuan rumah-tangga yang tidak memiliki legalitas liturgis sebab fungsinya adalah persekutuan intern keluarga.
- Pernikahan gerejawi dalam bentuk bidston menempatkan pernikahan dua insan antara pria dan wanita dalam tingkat yang tidak setara dengan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan sebagaimana lazimnya.
- Secara sosial, pelaksanaan pernikahan gerejawi melalui bidston membawa efek mempermalukan kedua calon mempelai bersama keluarga mereka. Padahal fungsi penggembalaan khusus yang utama adalah membawa kesadaran, pemulihan dan pertobatan kepada seseorang yang bersalah agar ia mampu hidup baru dalam anugerah penebusan Kristus.
- Pelaksanaan pernikahan gerejawi melalui bidston tidak sesuai dalam aspek hukum, sebab melalui pernyatan Akta Gerejawi dinyatakan bahwa kedua calon mempelai telah diberkati dan diteguhkan dalam kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan di gereja. Padahal dalam praktiknya mereka berdua tidak pernah diteguhkan dan diberkati pernikahan mereka di gereja.
- Secara teologis dinyatakan bahwa pernikahan secara gerejawi sah bila dilaksanakan “di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya.” Makna kata “jemaat” menunjuk kepada kehadiran umat dalam suatu kebaktian yang secara legal-formal dilaksanakan sesuai Tata Gereja yang berlaku. Padahal dalam persekutuan bidston, umat yang hadir tidak mewakili persekutuan sebagai jemaat Tuhan.
- Rumusan liturgis peneguhan dan pemberkatan yang lazim dibacakan oleh seorang pendeta dalam kebaktian pernikahan secara gerejawi tidak dilakukan dalam bidston, tetapi pendeta hanya mendoakan mereka. Jika demikian, para mempelai tersebut sebenarnya tidak pernah diteguhkan dan diberkati oleh gereja, sehingga mereka belum sah secara gerejawi dalam status suami-istri.
- Gereja adalah kudus, namun sebagaimana Kristus yang kudus berkenan berinkarnasi menjadi manusia untuk menghadirkan keselamatan dan pengampunan dosa (Yoh. 3:17). Kekudusan gereja bukan ditentukan oleh ukuran dan penilaian manusia tetapi oleh pertobatan, pengampunan dan pembenaran dalam penebusan Kristus.
Landasan Yuridis Pernikahan Gerejawi melalui Bidston
Bilamana kita meneliti dengan cermat, maka landasan yuridis pernikahan gerejawi melalui bidston pada hakikatnya tidak didasarkan pada Tata Gereja GKI yang berlaku. Karena landasan yuridis pernikahan gerejawi menurut Tata Gereja GKI adalah dilaksanakan dalam Kebaktian Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan di tempat kebaktian jemaat (Tata Laksana 27:2). Rumusan dan pernyataan Tata Gereja GKI Tahun 2009 tersebut sesuai dengan Tata Gereja sebelumnya, yaitu sebelum GKI Wilayah Jabar menyatu dengan Sinode GKI. Dalam Tata Gereja dan Tata Tertib GKI Jawa Barat Tahun 1992 pasal 11 hal Peneguhan dan Pemberkatan Nikah ayat 1-3 menyatakan: “Nikah gerejawi adalah nikah yang dilakukan di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya atas dasar pengakuan bahwa permulaan hidup nikah adalah di dalam nama Kristus. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka nikah gerejawi dilaksanakan dalam suatu kebaktian. Gereja melaksanakan peneguhan dan pemberkatan nikah bagi mereka yang yang sudah sah nikahnya menurut hukum.”
Lalu bagaimana sikap dan ketentuan bagi calon mempelai yang dianggap tidak layak (berada di bawah penggembalaan khusus) menurut Tata Gereja dan Tata Tertib GKI Jawa Barat tahun 1992? Dalam Tata Gereja dan Tata Tertib GKI Jawa Barat tahun 1992 pasal 14:2 menyatakan: “Peneguhan dan pemberkatan nikah bagi mereka yang telah melakukan hubungan suami-istri sebelumnya, dan sudah disahkan nikahnya secara hukum, dapat dilaksanakan setelah yang bersangkutan menyatakan penyesalannya di hadapan Majelis Jemaat atau satu dua orang yang mewakilinya.”
Dalam Tata Gereja dan Tata Tertib GKI Jawa Barat Tahun 1992 sama sekali tidak ada ketentuan tentang pernikahan gerejawi melalui bidston bagi mereka yang dianggap bermasalah atau tidak layak. Sebab bidston mempunyai fungsi sebagai kebaktian rumah-tangga dan yang sama sekali tidak pernah dibuka peluang untuk pernikahan gerejawi.
Penggembalaan Khusus dan Kebaktian Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan
Sebagaimana telah dinyatakan bahwa penggembalaan khusus memiliki fungsi untuk menyadarkan seseorang ke dalam pemulihan dan pertobatan sehingga ia mampu hidup dalam anugerah Allah yang menyelamatkan. Proses penggembalaan khusus untuk menentukan seseorang menyatakan sikapnya adalah selambat-lambatnya selama enam (6) bulan (Tata Laksana 40:3). Namun bila dia tidak bertobat, maka penggembalaan khusus tersebut berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas. Ini berarti dia tidak akan pernah diteguhkan dan diberkati pernikahannya sampai kapanpun bila tidak bertobat. Sebaliknya apabila seseorang bertobat, maka gereja harus menyatakan penggembalaan khusus tersebut telah selesai. Dia harus kembali dipulihkan, sehingga pernikahannya diteguhkan dan diberkati menurut Liturgi Pernikahan GKI. Jadi landasan sikap dan keputusan gereja untuk meneguhkan dan memberkati pernikahan anggota jemaat yang dianggap berdosa adalah pengampunan dan kerahiman Allah yang mengaruniakan rahmat hidup baru dalam karya penebusan Kristus.
Pelaksanaan Penggembalaan Khusus yang Kredibel
Dalam realitas kehidupan ini tidak ada seorangpun yang menjamin bahwa dirinya mampu hidup benar dan kudus. Kita semua telah berdosa, dan hidup berdasarkan kemurahan dan kerahiman Allah semata-mata. Karena itu sebagai gereja, kita dipanggil menyatakan, bahwa: ”dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem” (Luk. 24:47). Demikian pula saat kita harus menyikapi suatu kesalahan dan dosa yang terjadi dalam kehidupan jemaat, khususnya mereka yang gagal dalam pernikahan dan menginginkan kehidupan pernikahan yang lebih sehat. Tugas kita bukan menghukum dan menghakimi, namun menggembalakan mereka dengan roh lemah-lembut dan kasih sehingga mereka mengalami rahmat Allah yang mengampuni dan memulihkan.
Tugas penggembalaan tersebut kita lakukan dengan mengikuti pedoman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, yaitu: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai” (Mat. 18:15-17). Karena itu proses persiapan pernikahan gerejawi perlu kita lakukan dengan rentang waktu yang lebih panjang. Bila Tata Gereja GKI menetapkan pengajuan pernikahan sedikit-dikitnya tiga (3) bulan, maka Majelis Jemaat GKI Perniagaan menetapkan sedikit-dikitnya enam (6) bulan. Tujuannya apabila ada permasalahan, kita dapat menggembalakan mereka dengan proses penggembalaan yang lebih matang dan kredibel. Melalui proses penggembalaan khusus tersebut umat mengalami hajaran dan edukasi Tuhan (Ibr. 12:5-7) sehingga umat menghargai otoritas gereja yang menyatakan hukuman sekaligus belas-kasihan/pengampunan Allah.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono