Latest Article
Hari Raya Natal Tahun C

Hari Raya Natal Tahun C

Belarasa Allah dalam Terang-Nya (Lukas 2:8-20)

Dari sudut liturgi, hari raya Natal disebut dengan “Siklus Cahaya.” Sebab melalui peristiwa Natal yaitu inkarnasi Kristus yang hadir di dalam dunia bagaikan cahaya ilahi yang menyinari semesta. Dengan sangat tepat Injil Yohanes menyatakan: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5). Melalui kelahiran Kristus, Allah menghadirkan terang di tengah-tengah kegelapan dan kekelaman dosa. Dimensi cahaya ilahi tersebut terlihat dari konteks peristiwa kelahiran Kristus yaitu para gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam, yaitu: “tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan” (Luk. 1:8-9). Konteks kelahiran Kristus adalah waktu malam sebagai simbolisasi kekuatan maut dan kekelaman dosa menguasai manusia. Namun di tengah-tengah suasana malam yang pekat itu, tiba-tiba seorang Malaikat menampakkan diri kepada para gembala dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka. Dengan terang ilahi tersebut suasana malam tidak lagi menjadi biasa, tetapi menjadi malam yang bermakna yaitu malam yang menyampaikan harapan dan keselamatan. Dari sudut waktu memang terang ilahi tersebut hanya sebentar saja, tetapi menimbulkan jejak yang abadi dalam sejarah kehidupan manusia. Jejak yang abadi itulah yang menjadi dasar mengapa kita merayakan hari raya Natal, yaitu kelahiran Kristus di atas muka bumi ini.

Menurut kalender Yudaisme masa kini, bulan Nopember-Desember disebut dengan Tevet. Bulan Tevet adalah Puncak Hanukkah. Hari raya Hanukkah (Chanukah) adalah merayakan kemenangan terang melawan kegelapan, kemurnian melawan hidup yang bercela dan spiritualitas melawan materialisme. Latar-belakang perayaan Hanukkah adalah pengudusan kembali Bait Allah di Yerusalem yang dinajiskan oleh kekaisaran Seleucid. Dengan kemenangan Makkabe, maka Israel dapat merebut kembali Bait Allah yang telah dinajiskan oleh penjajah kekaisaran Seleucid. Perayaan Hanukkah ditandai dengan penyalaan kandil di Bait Allah yang terdiri dari 9 tangkai. Kandil dengan 9 tangkai itu disebut dengan Menorah atau Hanukiah. Jadi sangat bersamaan makna antara hari raya Natal yang merayakan kelahiran Kristus dengan hari raya Hanukkah, sebab keduanya merayakan kemenangan terang atas kegelapan, kekudusan atas kecemaran dosa, dan kebenaran atas kejahatan.

Selain itu di tanggal 24 Desember 2015 malam ditandai dengan bulan purnama yang menerangi perayaan Natal. Bulan Purnama tersebut tentu menambah semarak suasana Malam Natal. Selain itu kehadiran bulan purnama tersebut memberi makna sukacita bahwa kemenangan Allah atas kejahatan semesta telah tiba. Sebab bulan purnama tersebut bukan hanya menerangi umat Kristen yang merayakan peristiwa kelahiran Kristus, namun juga bagi seluruh umat yang tidak mengenal batasan etnis, suku, budaya, agama, dan kepercayaan. Seluruh umat di malam Natal 24 Desember 2015 mendapat sinar bulan purnama yang cerah bagaikan menyampaikan janji keselamatan bahwa Allah akan bertindak mengalahkan kuasa kegelapan dan kuasa dosa dalam kehidupan manusia. Bulan Purnama di 24 Desember 2015 malam juga memberi janji bahwa di dalam Kristus, Allah akan terus berkarya sehingga seluruh umat manusia hidup dalam kuasa penebusan-Nya.

Terang yang diterima oleh para gembala adalah peristiwa teofani. Makna teofani adalah Allah berkenan hadir dan melawat umat-Nya. Peristiwa Natal adalah peristiwa Allah yang melawat umat-Nya yang sedang kehilangan harapan sebab kuatnya cengkeraman kuasa dosa dalam realitas kehidupan. Pesan Allah yang melawat umat-Nya adalah: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat yaitu Kristus Tuhan di kota Daud” (Luk. 2:10-11). Lawatan Allah adalah lawatan ilahi yang menghadirkan sukacita dan bukan ketakutan. Sebaliknya lawatan dunia adalah lawatan yang menghadirkan kecemasan, kegelisahan dan penderitaan. Lawatan dunia tidak menghadirkan terang namun kegelapan yang semakin pekat, sehingga banyak orang yang semakin sedih dan putus-asa. Tidaklah demikian dengan tujuan perlawatan Allah. Lawatan Allah mampu menghadirkan sukacita sebab dalam lawatan Allah tersebut mengandung belarasa-Nya yang tidak terbatas. Allah berbelas-kasihan dengan keberadaan manusia yang terperangkap oleh kuasa dosa.

Di dalam Kristus, Allah mendirikan gereja-Nya agar belarasa dan keselamatan Allah diwujudkan dalam lingkup dan dimensi kehidupan yang semakin luas. Namun gereja tidak secara otomatis menjadi media teofani, yaitu penyataan kemuliaan Allah. Di dalam gereja kita masih harus berperang dengan nafsu insani dalam diri kita masing-masing yang dikuasai oleh nilai-nilai duniawi. Gereja gagal berperan menjadi media teofani Allah sebab gereja membiarkan diri dijadikan cabang-cabang dari empire (penguasa) duniawi. Itu sebabnya di dalam gereja kita tidak lagi mendengar kabar sukacita tetapi intrik, penyebaran kebencian dan permusuhan. Daripada memilih sikap belarasa Allah, gereja memilih kasih dalam bentuk simpati yaitu perhatian dan kepeduliaan yang sesaat. Gereja merasa telah berkarya membangun dunia dengan bantuan yang sifatnya karitatif saja. Diakonia karitatif adalah bantuan yang memberi bantuan secara langsung kepada orang-orang yang membutuhkan, seperti memberi makan, menghibur orang sakit, memberi pakaian dan lain sebagainya. Tetapi diakonia karitatif tidak pernah menyapa pergumulan yang terdalam seseorang.

Pada tingkat yang lebih lanjut dari diakonia karitatif adalah diakonia reformatif. Makna dari diakonia reformatif adalah bentuk pelayanan gerejawi yang menyediakan fasilitas dan pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan sehingga mereka mampu hidup secara mandiri. Namun dalam lingkup ini pelayanan gerejawi masih sebatas pelayanan sosial belaka. Tanpa harus menyandang gelar “gerejawi” semua lembaga sosial juga mampu melakukan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Karena itu selain diakonia reformatif, juga dikembangkan diakonia transformatif atau juga disebut diakonia pembebasan. Makna diakonia transformatif adalah pelayanan gerejawi yang mengusahakan penyadaran dan pemberdayaan karunia serta bagaimana mengelola suatu kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Namun bukankah tanpa sebutan “gerejawi” setiap lembaga sosial mampu melakukan pengembangan dan pelatihan diakonia transformatif? Pelayanan gereja dalam diakonia karitatif, diakonia reformatif dan diakonia transfomatif bukanlah sesuatu yang menyentuh hakikat dari belarasa Allah apabila tidak dilandasi oleh kekudusan (yang dilambangkan oleh terang) dan firman yang membebaskan (yang dilambangkan dengan berita sukacita). Tanpa dimensi kekudusan dan firman yang membebaskan yaitu cinta-kasih ilahi dalam seluruh diakonia atau pelayanan yang karitatif, reformatif dan karitatif hanyalah kegiatan sosial yang tidak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh dunia pada umumnya. Jadi ketiga pelayanan tersebut harus diresapi oleh pengudusan dan kasih sehingga menjadi media yang membebaskan dan mendatangkan berkat keselamatan bagi orang-orang di sekitar kita.

Peristiwa Natal bukan sekadar berita sukacita yang membebaskan namun juga kehadiran Sang Putra Allah, yaitu Yesus Kristus. Dalam peristiwa kelahiran Kristus, Sang Raja Yang Mahamulia menjadi bayi. Dalam kisah dunia pada umumnya sering diceritakan bayi yang kelak menjadi raja. Namun dalam peristiwa Natal sebaliknya, yaitu Sang Raja Ilahi berkenan menjadi bayi manusia. Dalam tulisannya yang berjudul Reconstructing Honor in Roman Philippi – Carmen Christi as Cursus Pudorum, Joseph H. Hellerman menginterpretasikan Surat Filipi 2:7 sebagai cursus pudorum. Maksud dari cursus pudorum adalah: Pertama, Yesus turun dari kesetaraan dengan Allah. Kedua, Kristus berinkarnasi menjadi manusia dengan berstatus sebagai doulos (hamba). Ketiga, Kristus bersedia mati di kayu salib. Dengan pola ini rasul Paulus menunjukkan sikap yang berbeda antara Kristus dan pemerintah Romawi.

Pemerintah Romawi senantiasa lebih cenderung memperoleh kehormatan dan kemuliaan dengan meningkatkan kedudukan dan status seseorang (cursus honorum). Sebaliknya Kristus bersikap sebaliknya. Ia turun dari kedudukan dan statusnya sampai ke titik terendah bahkan sampai pada status yang paling hina dengan mati di kayu salib, dengan tujuan berkurban memberikan nyawa-Nya bagi umat manusia (cursus pudorum). Kesediaan Kristus mengosongkan diri adalah agar Ia dapat memberikan hidup-Nya sehingga umat memperoleh hidup yang berlimpah. Prinsip teologis ini dikemukakan oleh Injil Yohanes tentang tujuan utama kedatangan Tuhan Yesus, yaitu: “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10b).

Sikap Kristus yang memilih mengosongkan diri (cursus pudorum) tidak berarti Ia kehilangan hakikat ke-Ilahian-Nya. Kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah tidak tanggal saat Ia menjadi manusia. Sebagaimana telah saya kemukakan sebelumnya, yaitu pengosongan diri Kristus tidak berarti Ia meniadakan keilahian-Nya. Keilahian Kristus tidak dapat ditiadakan dengan inkarnasi diri-Nya menjadi manusia. Sebaliknya dengan mengosongkan diri-Nya, Kristus selaku Anak Allah yang mulia dan ilahi mendapat tambahan natur, yaitu natur kemanusiaan. Makna pengosongan diri Kristus bukan pengurangan, justru sebaliknya, yaitu penambahan natur yang memungkinkan kehidupan manusia terhisab dalam persekutuan dengan Allah. Dengan perkataan lain pengosongan diri Kristus justru membuka ruang bagi kemanusiaan untuk diintegrasikan ke dalam realitas ilahi. Ruang kemanusiaan tersebut menjadi ruang yang tidak lagi dibatasi oleh kompartementalisme, yaitu sekat-sekat etnis, kepercayaan, agama, ideologi, tingkat sosial, dan sebagainya.

Henri Nouwen adalah seorang guru besar di 3 universitas yang terkemuka di Notre Dame, Yale Divinity School dan Harvard Divinity School. Namun suatu hari ia tergerak untuk melayani anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental dan cacat tubuh, sehingga ia meninggalkan kariernya sebagai guru besar dan menjadi pastor yang melayani anak-anak yang terbelakang secara mental dan cacat tubuh. Sikap Henri Nouwen adalah manifestasi belarasa Allah kepada mereka yang lemah dan tidak berdaya. Namun saat Henri Nouwen melayani di L’Arche Daybreak Community di Richmond Hill, Ontario, apakah kualitas Henri Nouwen sebagai guru besar hilang? Tentunya tidak akan hilang! Sebaliknya Henri Nouwen selain guru besar juga mendapat gelar tambahan yaitu seorang gembala Tuhan yang berbelarasa. Demikian pula belarasa Allah dalam kelahiran Kristus. Keilahian Kristus tidak berkurang sebaliknya bertambah, yaitu Dia mendapat tambahan kodrat manusia. Justru sebagai manusia, Kristus dapat menjembatani kerapuhan dan kelemahan manusia dengan Allah sehingga ia mampu memulihkan kemanusiaan manusia dalam anugerah keilahian.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono