Latest Article
Malam Natal Tahun C 2015

Malam Natal Tahun C 2015

Belarasa Allah dalam Inkarnasi Kristus (Yesaya 9:2-7; Mazmur 96; Tit. 2:11-14; Lukas 2:1-14)

Belarasa adalah kasih Allah kepada umat manusia. Allah berbelarasa karena Allah adalah kasih (1Yoh. 4:8). Kasih adalah hakikat Allah yang terdalam. Keberadaan diri Allah yang terdalam adalah kasih. Kemahakuasaan dan kekudusan Allah diresapi oleh kasih-Nya. Allah adalah kasih karena dalam diri Allah yang esa mengandung persekutuan Subjek Ilahi yang mengasihi antara Bapa-Anak-Roh Kudus. Sebab hakikat kasih adalah senantiasa tertuju di luar dirinya, sehingga dalam hakikat kasih-Nya Bapa mengasihi Anak, dan Anak mengasihi Bapa, Bapa mengasihi Roh Kudus dan Roh Kudus mengasihi Bapa, demikian pula Anak mengasihi Roh Kudus dan Roh Kudus mengasihi Anak. Dengan persekutuan ilahi di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus, Allah memperluas cakupan kasih-Nya sehingga Ia mengasihi seluruh ciptaan-Nya. Tanpa persekutuan ilahi yang saling mengasihi antara Bapa-Anak-Roh Kudus, mustahil Allah dapat mengasihi dunia dan seisinya, khususnya umat manusia. Belarasa Allah kepada umat manusia yang inklusif bersumber pada persekutuan kasih-Nya yang eksklusif-intim-tiadataranya di antara Bapa-Anak-Roh Kudus. Dalam konteks kasih ilahi yang eksklusif-intim-tiadataranya antara Bapa-Anak-Roh Kudus, Firman Allah menjelma menjadi manusia di dalam diri Yesus Kristus. Surat 1 Yohanes 4:9 menyatakan: “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya.”

Belarasa Allah dinyatakan dalam ruang dan waktu. Sebab belarasa Allah tidak pernah terjadi di luar ruang dan waktu. Allah adalah keberadaan ilahi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, namun dalam inkarnasi-Nya Ia berkenan masuk dalam suatu ruang dan waktu. Allah adalah kekal, sedangkan ruang dan waktu adalah fana dan terbatas. Dalam inkarnasi-Nya Sang Firman Allah yang kekal menerobos masuk realitas ruang dan waktu yang temporal. Karena itu ruang dan waktu umat manusia yang temporal diisi dan diresapi oleh dimensi kekekalan Allah. Ruang dan waktu adalah realitas sejarah kehidupan manusia, sehingga melalui inkarnasi Sang Firman Allah yang menjadi manusia, sejarah kehidupan manusia yang fana dan berdosa didiami oleh dimensi kekekalan kasih Allah. Melalui inkarnasi Yesus Kristus menjadi manusia, sejarah kehidupan kita yang fana dan berdosa ditebus oleh Allah dengan belarasa-Nya yang melampaui pengertian dan perbuatan baik manusiawi. Kristus Sang Firman Allah yang menjadi manusia benar-benar menjadi bagian dari sejarah dan kehidupan manusia. Yesus Kristus menjadi anggota umat manusia walaupun Ia adalah Sang Firman Allah, dan Sang Firman Allah adalah Allah (Yoh. 1:1).

Ruang dan waktu yang dipilih Allah untuk menyatakan belarasa-Nya melalui inkarnasi Kristus adalah ruang-waktu pada masa pemerintahan Kaisar Agustus. Lukas 2:1 menyatakan: “Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh untuk mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.” Kaisar Agustus yang memiliki nama asli Gaius Julius Caesar Octavianus mengeluarkan suatu maklumat agar semua orang yang berada dalam wilayah kerajaan Romawi didaftarkan. Tanah Israel adalah wilayah pendudukan kerajaan Romawi, sehingga penduduk Israel juga harus disensus di tempat kelahirannya masing-masing. Karena perintah kaisar Agustus tersebut, Yusuf dan Maria harus kembali ke tanah kelahiran mereka di Betlehem untuk disensus sebab mereka berasal dari keturunan Daud. Sebelum menjadi raja, Daud lahir dan dibesarkan di Betlehem (1Sam. 16:1). Dalam ruang-waktu pemerintahan kaisar Agustus, Firman Allah berinkarnasi melalui Maria sehingga Maria melahirkan Yesus di Betlehem (Luk. 2:6).

Ruang-waktu pemerintahan kaisar Agustus dari sudut sosial-ekonomi tidaklah terlalu buruk. Pemerintahan kaisar Agustus menghadirkan kerajaan Roma yang kuat dan berwibawa, sehingga kerajaan Roma waktu itu berada dalam zaman keemasan. Kerajaan Roma yang jaya dan saat itu diperintah oleh kaisar Agustus disebut sebagai Pax-Romana (Roma yang Damai). Keberhasilan kaisar Agustus yang berhasil membawa kerajaan Roma pada masa keemasan menyebabkan ia mendapat gelar Divi Fillus yang artinya: Son of Divine (Anak Dewa). Kristus Sang Firman Allah (Anak Allah) lahir di tengah pemerintahan kaisar Agustus, Anak Dewa. Walau Israel juga berada dalam kondisi aman dan makmur pada masa pemerintahan kaisar Agustus, namun secara politis mereka berada dalam situasi penjajahan bangsa asing. Bagi umat Israel, apa artinya kehidupan yang makmur dan aman namun riilnya berada dalam cengkeraman bangsa asing yang menjajah mereka sehingga kehilangan kebebasan dalam arti hidup sebagai bangsa yang berdaulat?

Namun Allah berkenan memilih ruang-waktu yang tidak kondusif yaitu masa penjajahan bangsa Romawi terhadap umat-Nya, sehingga Yesus Kristus juga berada dalam masa penjajahan. Jika demikian belarasa Allah dinyatakan di tengah situasi yang sulit dan kritis. Kasih Allah dinyatakan Allah ketika umat-Nya sedang menderita. Allah menghadirkan diri-Nya di tengah-tengah situasi umat yang sedang terjajah secara politis dan kehilangan kedaulatan serta martabatnya sebagai bangsa. Kondisi sosial-politis umat Israel yang terjajah namun dikasihi oleh Allah sesungguhnya menggambarkan situasi kita. Saat kita terjajah oleh kuasa yang begitu besar yaitu dosa, di saat itulah Allah menyatakan kasih-Nya yang tanpa syarat kepada kita. Di Surat Roma 5:8 Rasul Paulus berkata: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” Belarasa Allah tidak dinyatakan ketika kita berada dalam kondisi saleh dan merasa berkenan di hadapan-Nya. Sebaliknya belarasa Allah dinyatakan ketika kita sedang terpuruk, gagal, dan kehilangan harapan untuk selamat. Namun di titik nadir tersebut, Allah justru menyatakan belarasa-Nya yang tanpa syarat sehingga Ia merangkul dan menyelamatkan diri kita.

Namun bukankah belarasa Allah yang dinyatakan melalui inkarnasi Kristus saat itu tidak menampakkan sesuatu yang berarti dan mengubah wajah serta situasi penjajahan bangsa Romawi? Belarasa melalui kelahiran Kristus dari sudut manusiawi tampak lemah sebab Kristus saat itu tidak memperlihatkan kuasa mukjizat-Nya sebagai Anak Allah. Bahkan Yesus lahir sebagai bayi yang sederhana. Umat Israel tidak segera bebas dari penjajahan bangsa Romawi. Masa penjajahan bangsa Romawi masih sangat panjang. Justru tahun 70 M Jenderal Titus menyerang dan menghancurkan Bait Allah. Lalu pada tahun 132-135 M kerajaan Romawi berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Bar Khobha. Jika demikian, apa makna belarasa Allah dalam kelahiran Kristus? Belarasa Allah menjadi bermakna karena kasih ilahi yang kekal telah berinkarnasi dalam sejarah dan kehidupan manusia yang fana dan berdosa. Dimensi kasih Allah yang kekal berkenan berada dalam realitas kehidupan manusia yang temporal dan dikuasai oleh dosa. Melalui inkarnasi Kristus, kehidupan manusia yang fana dan berdosa tidak lagi berjalan sendirian. Melalui Kristus, Allah hadir dan menyertai umat manusia. Di dalam inkarnasi Kristus, hadirlah Sang Imanuel: “Allah beserta kita.” Realitas Allah yang menyertai membawa umat manusia kepada pengharapan, yaitu Allah menyertai setiap umat-Nya dalam seluruh pergumulan dan kompleksitas permasalahannya.

Kehadiran Allah dalam inkarnasi Kristus tidak secara otomatis menghapus setiap penderitaan, persoalan hidup yang berat dan berbagai tragedi manusia. Tetapi kehadiran Allah dalam inkarnasi Kristus berproses di mana Kerajaan-Nya mulai didirikan. Realitas Kerajaan Allah yang didirikan Allah di dalam inkarnasi Kristus seperti biji sesawi. Biji sesawi adalah biji yang paling kecil di antara tanaman dan tumbuhan yang ada di tanah Israel. Di Matius 13:32 Tuhan Yesus berkata: “Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.” Demikian pula dengan realitas Kerajaan Allah dalam inkarnasi Kristus. Pada waktu Yesus lahir dan berkarya belum tampak kuat dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tetapi dalam proses waktu realitas Kerajaan Allah melalui karya keselamatan dan penebusan Kristus perlahan-lahan semakin meluas. Dunia dan umat manusia bergerak ke arah Kristus khususnya kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan di akhir zaman.

Belarasa Allah dalam inkarnasi Kristus adalah belarasa yang nyata namun berproses dalam alur sejarah dan kehidupan umat manusia. Allah Yang Mahakuasa dan kekal adalah Allah yang menghargai proses. Sebenarnya Allah mampu menjadikan segala sesuatu langsung jadi. Bila Allah berfirman: “Jadilah, maka akan terjadi.” Tetapi Allah Yang Mahakuasa dan kekal memilih proses, dan proses selalu membutuhkan waktu dan respons manusia. Belarasa Allah dinyatakan dalam kesabaran dan kebijaksanaan sehingga kasih-Nya direspons dengan seluruh kedirian dan kebebasan yang sejati. Sebaliknya sikap yang dipilih manusia pada umumnya, yaitu “budaya instan.” Manusia cenderung tidak ingin berproses, sebab dia ingin langsung jadi sehingga tidak perlu susah atau repot. Banyak orang ingin segera sukses dan kaya, tetapi enggan berproses dalam kesulitan dan menghadapi tantangan. Mereka ingin segera menempati posisi dan penghasilan yang tinggi, tetapi enggan untuk berproses dari bawah dan ditempa oleh situasi. Budaya instan inilah yang menyebabkan banyak orang mengembangkan “mental menerabas.” Sifat mental menerabas adalah perilaku yang mengabaikan prosedur dan tatanan etis-moral yang berlaku, sehingga menghalalkan segala macam cara untuk mencapai tujuan. Karena itu tidak mengherankan dengan mental menerabas, banyak orang berani melakukan tindakan pidana seperti: mencuri, korupsi, dan manipulasi.

Nubuat nabi Yesaya di Yesaya 9:2-7 menunjuk suatu proses yang panjang. Sebelum Allah menyatakan belarasa-Nya dalam inkarnasi Kristus, terlebih dahulu Allah menyampaikan firman-Nya di zaman nabi Yesaya abad VI sM. Proses belarasa Allah diawali dengan kehadiran seorang anak, bukan seorang penguasa. Kehadiran seorang anak dalam struktur keluarga dan masyarakat tidak memiliki otoritas sama sekali. Kedudukan anak senantiasa berada dalam posisi lemah sehingga harus dilindungi. Namun melalui kehadiran seorang anak, Allah menyatakan kuasa-Nya. Nubuat nabi Yesaya berkata: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yes. 9:5). Di balik sosok anak yang tampaknya lemah dan rapuh tersebut justru terkandung kuasa pemerintahan Allah di atas bahunya dan namanya disebut: “Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Keempat gelar ilahi yang dinubuatkan nabi Yesaya tersebut kelak terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Sejarah baru kehidupan umat manusia kini diawali oleh kelahiran-wafat-kebangkitan-kenaikan Kristus dan akan berakhir oleh kedatangan-Nya kembali di akhir zaman. Makna Tahun Masehi bukan untuk menunjuk pada kalender umat Kristen, tetapi menunjuk pada era pemerintahan Allah yang dinyatakan secara sempurna dalam inkarnasi dan karya penebusan Kristus bagi umat manusia. Berita Natal adalah untuk seluruh umat manusia, baik mereka yang percaya maupun yang tidak percaya kepada Kristus. Seluruh umat manusia kelak akan dihakimi oleh Kristus sebab Dia adalah Hakim Akhir Zaman dan Raja semesta alam.

Belarasa Allah selain dinyatakan dalam ruang-waktu yang tertentu di zaman pemerintahan kaisar Agustus, juga dinyatakan kepada orang-orang yang tidak terpandang. Berita kelahiran Kristus disampaikan para Malaikat kepada para gembala yang sedang menggembalakan kambing-dombanya di padang Efrata, Betlehem. Para gembala adalah simbol kelompok masyarakat marginal, yaitu anggota masyarakat yang tersisih dan tertindas. Anggota masyarakat marginal tidak sekadar masyarakat miskin secara ekonomi dan tingkat sosial kurang mampu. Tapi anggota masyarakat marginal adalah siapa saja, yaitu orang-orang yang diperlakukan secara diskriminatif dan tidak adil. Anggota masyarakat marginal melingkupi setiap orang yang tertindas karena etnis, agama, dan status sosial-ekonominya. Karena itu kita terpanggil menyatakan belarasa Allah kepada setiap “wajah” dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan kepedulian. Dalam pemikiran Emanuel Levinas, wajah dimaknai sebagai “yang tak berhingga.” Melalui wajah, sesama menyapa kedirian kita dengan makna secara langsung, tanpa penengah dan tanpa suatu konteks. Karena itu wajah orang lain yang berada di depan kita sebagai suatu epifani, suatu realitas yang transenden yaitu suatu dunia yang asing dan tidak kita kenal. Bagi saya, makna wajah sesama adalah manifestasi kehadiran Kristus dalam realitas kehidupan ini sehingga tidak boleh diabaikan. Setiap wajah sesama yang tampil di depan kita harus disikapi dengan belarasa Allah yang empatis dan peduli.

Di Lukas 2:9 mengisahkan bagaimana para gembala tersebut didatangi oleh para Malaikat dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka. Para gembala tersebut mengalami peristiwa epifani, yaitu penyataan kemuliaan Allah. Peristiwa epifani yang begitu memesona sekaligus menakutkan untuk menyampaikan pesan utama yaitu sukacita bagi seluruh umat manusia: “kesukaan besar untuk seluruh bangsa, sebab hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan di kota Daud.” Belarasa Allah menghadirkan sukacita, bukan ketakutan. Sukacita ilahi yang dikaruniakan Allah kepada orang-orang yang tersingkir adalah sukacita yang menghadirkan cahaya kemuliaan Allah di tengah-tengah kekelaman dunia. Peristiwa epifani tersebut hanya berlangsung sebentar, namun dampaknya abadi. Peristiwa penyataan kemuliaan Allah termeterai di hati para gembala, sehingga mereka saling berkata: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita” (Luk. 2:15). Belarasa Allah yang kita nyatakan dengan tulus akan termeterai di hati orang-orang di sekitar sehingga mereka tergerak untuk berjumpa secara langsung dengan Kristus Sang Juruselamat. Untuk itu belarasa Allah menjadi kekuatan yang transformatif dalam kehidupan kita apabila kita juga mengalami peristiwa epifani sebagai pengalaman spiritual dan pengalaman personal dengan orang-orang di sekitar kita.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono