Latest Article
Erotisisme dalam Iman Kristen (Tarian Kasih Ilahi)

Erotisisme dalam Iman Kristen (Tarian Kasih Ilahi)

Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN! (Kid. 8:6).

Pengantar

Makna “erotis” umumnya berkaitan dengan: hasrat, relasi personal dengan cinta seksual, kasih yang saling memberi. Ungkapan erotis Kidung Agung 8:6 menyatakan: “Cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan.” Karena itu si pencinta menegaskan agar ia dimeteraikan di hati dan lengan yang dicintainya. Erotisisme dimanifestasikan dalam cinta yang kuat, penuh gairah, menyala-nyala seperti api yang tidak bisa padam. Api yang berkobar dalam cinta tidak dapat dipadamkan. Di Kidung Agung 8:7 menyatakan bahwa api yang berkobar dalam cinta tidak dapat dipadamkan oleh air yang banyak, yaitu: “Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, namun ia pasti akan dihina.” Cinta tidak dapat dibeli dengan harta atau uang yang berlimpah, sehingga seseorang dengan cinta yang tulus kepada kekasihnya tidak akan memilih pria/perempuan yang lain walau diiming-imingi dengan kekayaan dan kedudukan sosial.

            Erotisisme (cinta) bagian yang esensial dalam kehidupan ini. Tanpa erotisisme (cinta), hidup kita akan hambar. Erotisisme dibutuhkan dalam kehidupan rohani dan iman kepada Tuhan. Tanpa gairah kasih kepada Tuhan, kehidupan rohani dan iman akan terasa tandus, kering dan membosankan. Tetapi tanpa rahmat dari Tuhan, yaitu cinta-Nya yang menggelora, erotisisme kita akan mematikan. Demi semangat cinta yang kuat seperti maut sehingga menyala seperti api, erotisisme umat beragama membakar dengan membinasakan orang-orang yang dianggap tidak sejalan dan seiman dengan dia. Setiap umat manusia membutuhkan api cinta Tuhan yang menyala-nyala dalam kerahiman, pengampunan, belas-kasihan, dan kesediaan berkurban bagi orang lain. Cinta dari Tuhan senantiasa bersifat memberi diri dan berkurban (sacrifice), bukan menjadikan sesama yang berbeda sebagai korban (victim).

            Pembahasan dalam artikel ini tidak dimaksudkan untuk menafsirkan secara khusus erotisisme (cinta) dalam kitab Kidung Agung. Tetapi pokok pembahasannya adalah sejauh mana makna “cinta” (erotisisme) dalam iman Kristen dibangun secara teologis? Premis (dasar pemikiran) apakah yang menjadi landasan makna dan hakikat cinta dalam iman Kristen? Lalu bagaimana bentuk atau wujud cinta yang dilandaskan pada diri Allah Trinitas? Relasi cinta yang bagaimanakah digambarkan dan dijadikan penghayatan dalam iman Kristen?

Premis: “Kasih yang Kekal”

Dasar pijakan teologis yang utama adalah kasih/cinta bersumber pada Allah. Premisnya: “Allah adalah kasih” (1Yoh. 4:8). Lebih khusus lagi premis “Allah adalah kasih” dinyatakan dalam relasi personal, intim, eksklusif dan menyeluruh antara Yesus dengan Allah. Kedudukan Yesus dalam konteks ini bukan sekadar manusia. Ia memiliki kodrat insani, tetapi sungguh-sungguh juga memiliki kodrat ilahi. Yesus adalah inkarnasi Sang Firman Allah. Yohanes 1:1 menyatakan: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Sang Firman itu adalah Allah (Theos en ho logos). Firman yang adalah Allah itulah yang berinkarnasi menjadi manusia bernama Yesus Kristus (Yoh. 1:14). Relasi kasih yang tiada taranya antara Yesus selaku Sang Firman dengan Allah diungkapkan Yohanes 10:30, yaitu: “Aku dan Bapa adalah satu” (ego kai ho Pater hen esmen). Pernyataan Yesus ini diulang beberapa kali di Yohanes 17:11, yaitu: “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita” (hina osin hen kathos hemeis en). Lihat pula Yohanes 17:22 yaitu: “Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” Frasa “ sama seperti Kita adalah satu” (hina osin hen kathos hemeis en) merupakan penegasan bahwa Yesus selaku Sang Firman Allah yang menjelma menjadi manusia memiliki kesatuan yang hakiki dan ilahi dengan Allah.

Teks Yunani di Yohanes 10:17 menyatakan: “ho Pater agapa hoti ego …” (Bapa mengasihi Aku). Sebaliknya di Yohanes 14:31 Yesus berkata: “Tetapi supaya dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku.” Pernyataan “Aku mengasihi Bapa” (hoti agapo ton Patera) dan “Bapa mengasihi Aku” (ho Pater agapa hoti ego) merupakan premis utama untuk memahami makna erotisisme menurut iman Kristen. Erotisisme ilahi hanya mungkin terwujud apabila kedua belah pihak saling mencintai, memberi dan menghidupi.

Kasih yang Saling Berkelindan

Di 2 teks Injil Yohanes, Yesus menegaskan relasi personal-Nya dengan YHWH sebagai cinta-kasih ilahi yang saling memberi dan berkelindan dalam kesatuan. Bukankah relasi cinta secara erotis diwujudkan dalam kesatuan menubuh (persetubuhan), kedua pribadi menyatu tanpa melebur namun tetap dengan identitasnya masing-masing?

            Relasi kasih yang saling berkelindan dalam Alkitab tidak hanya antara YHWH (Bapa) dengan Yesus (Firman Allah), tetapi juga dengan Roh Kudus. Di Yohanes 16:14 menyatakan: “Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” Roh Kudus sebagai Roh Kebenaran (pneuma tes aletheias) pada hakikatnya “memuliakan” Kristus dan mengajarkan apa yang telah diajarkan oleh Yesus. Sosok Roh Kebenaran tersebut di Yohanes 16:15 dibingkai dalam relasi intim antara Yesus dengan YHWH (Bapa), yaitu: “Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.” Segala sesuatu yang Allah punya pada saat yang sama juga menjadi kepunyaan Yesus. Realitas ini hanya dapat terjadi apabila terjadi relasi yang personal dan saling mengasihi antara Yesus dengan Roh Kudus. Roh kebenaran (pneuma tes aletheias) tersebut disebut oleh Yohanes 14:16 sebagai Penolong yang lain (allon parakleton).  

            Allah yang esa dalam relasi YHWH (Bapa)-Yesus (Sang Firman)-Roh Kudus bukanlah sesuatu yang baru muncul di Perjanjian Baru. Di Kejadian 1:1-3, kita melihat kehadiran 3 pribadi ilahi, yaitu Allah (YHWH), Firman Tuhan (Dabar Adonai) dan Roh (Ruakh). Sosok sang Firman (Dabar Adonai) secara khusus terlihat dalam ungkapan: “Firman TUHAN yang datang kepada Yoel bin Petuel” (Yl. 1:1). Atau di Yunus 1:1 menyatakan: “Datanglah firman TUHAN kepada Yunus bin Amitai.” Frasa “datanglah Firman Tuhan…” (dabar Adonai aser hayyah). Demikian pula sosok Roh Kudus atau Roh Allah dalam narasi kitab Hakim-hakim (14:6, 14:19, 15:14), dan kitab 1 Samuel 11:6, 16:13 dinyatakan dengan ungkapan: “berkuasalah Roh Tuhan…” (Adonai ruah alaw wattislah). Roh Kudus juga memberi karunia keahlian, pengertian dan pengetahuan: “dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah, dengan keahlian dan pengertian dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan” (Kel. 31:3; 35:31). Iman Kristen ditempatkan dalam pengakuan kepada Allah yang esa dalam Bapa-Firman-Roh Kudus.

Relasi Perikhoresis

Makna “erotisisme” dalam Alkitab bersumber pada relasi kasih Allah yang esa dalam Bapa-Firman-Roh Kudus. Ketiga pribadi ilahi tersebut adalah Allah yang esa, sehakikat, dan kekal. Namun pada saat yang sama ketiga pribadi Allah tersebut tidak bercampur dan tidak melebur sekaligus tidak terpisahkan. Ketiga-Nya adalah esa dan saling mendiami. Yesus berkata: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya” (Yoh. 14:10). Frasa “bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (hoti ego en to Patri, kai ho Pater en emoi estin) menunjuk hubungan personal yang saling mendiami, tidak terpisahkan tetapi juga tidak melebur. Ilustrasi yang dipakai untuk menggambarkan keesaan Allah dalam tiga Pribadi-Nya adalah sebutir telur yang terdiri dari kulit, putih dan kuning telur. Ketiganya saling berkelindan, menyatu tetapi tidak melebur. Hakikat Allah yang esa namun saling berkelindan dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus disebut dengan perikhoresis.

            Inti “erotisisme” dalam Alkitab adalah perikhoresis Allah Trinitas. Disebut “erotisisme” sebagai relasi dan manifestasi saling mengasihi hanya terjadi dalam keesaan yang relasional. Karena itu hakikat diri Allah yang esa dipakai istilah ekhad. Lawan kata dari ekhad (esa) adalah yakhid (eka). Makna ekhad menunjuk pada kesatuan gabungan, sebaliknya kata yakhid menunjuk pada kesatuan secara nominal. Makna kata “esa” tidaklah sama dengan kata “eka.” Ekspresi dan manifestasi kasih tidaklah mungkin lahir yakhid (kesatuan secara nominal). Seseorang yang tersesat dan terpaksa tinggal seorang diri di pulau terpencil tidaklah dapat mengekspresikan cinta kepada tanaman dan hewan di sekitar. Bandingkan dengan kisah manusia pertama yaitu Adam yang tidak menemukan penolong yang sepadan saat berelasi dengan berbagai hewan (Kej. 2:19-20). Barulah Adam menemukan teman yang sepadan yaitu Hawa (Kej. 2:22-23). Cinta hanya lahir dari relasi personal yang setara dan sehakikat. Pria dan wanita dapat saling mengasihi karena keduanya satu kodrat dan setara dengan kepribadian yang berbeda. Di surat 1 Yohanes 4:8 menyatakan:  “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” Frasa “Allah adalah kasih” (Theos agape estin) hanyalah bisa terwujud sebagai kasih apabila terdapat lebih dari satu Subjek. Dalam hal ini subjek Bapa mengasihi Anak, Anak mengasihi Bapa, Bapa mengasihi Roh Kudus, Roh Kudus mengasihi Bapa, dan Roh Kudus mengasihi Anak, serta Anak mengasihi Roh Kudus sehingga membentuk “tarian kasih ilahi.”

Tarian Kasih Ilahi

Tarian kasih ilahi antara Bapa-Anak (Firman)-Roh Kudus melahirkan daya cipta dalam penciptaan alam semesta dan seluruh isinya, memberikan daya hidup bagi semua mahluk, dan terang ilahi dalam bentuk pewahyuan dan inspirasi. Pada intinya tarian kasih ilahi Allah Trinitas bergerak ke dalam (ad-interna) dan bergerak ke luar (ad-externa). Gerak ad-interna adalah relasi eksklusif dan intim di antara Bapa-Firman-Roh Kudus. Sedangkan gerak ad-externa adalah relasi kasih Allah Trinitas yang tertuju kepada seluruh ciptaan, mahluk dan manusia. Setelah frasa “Allah adalah kasih” di surat 1 Yohanes 4:8 dilanjutkan pernyataan dalam ayat berikutnya, yaitu: “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya.” Relasi kasih yang personal dan eksklusif dalam Allah Trinitas bergerak keluar, yaitu melalui peristiwa inkarnasi Sang Firman dalam diri Yesus. Tujuan kasih Allah yang bergerak keluar dalam diri Yesus adalah: “supaya kita hidup oleh-Nya” (hina zesomen di autou).

            Allah Trinitas adalah kekal, mulia, suci dan tak terjangkau (transenden). Karena itu terdapat jurang yang tak terjembatani antara Allah dan manusia. Dalam konteks transendensi Allah tersebut tidaklah mungkin manusia mampu mengasihi Allah. Sebagai pribadi Allah yang mahakuasa, Allah dapat mengasihi manusia dengan memberikan rahmat dan pemeliharaan-Nya. Jembatan yang tak terjembatani tersebut dapat diatasi melalui manifestasi kasih Allah yang dinyatakan dalam peristiwa inkarnasi Sang Firman menjadi diri Yesus. Karena itu surat 1 Yohanes 4:10 berkata: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” Kasih diawali dari inisiatif Allah lebih dahulu dengan jalan mengutus Sang Firman (Anak) menjadi manusia. Misi inkarnasi Kristus adalah melakukan karya penebusan bagi pendamaian dosa, yaitu dengan memberikan nyawa-Nya di atas kayu salib. Pengurbanan Kristus di atas kayu salib sebagai penebus dosa (asyam) merupakan puncak atau titik kulminasi kasih Allah yang paling agung. Ekspresi dan manifestasi kasih Allah melalui inkarnasi dan penebusan Kristus diungkapkan oleh Yohanes 3:16, yaitu: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Perbandingan makna kulminasi kasih Allah dalam diri Yesus tersebut dalam konteks “erotisisme” bukan dengan perspektif seksualitas, misalnya pengalaman orgasme antara pria dengan perempuan sebagai suami-istri; tetapi dalam perspektif pengorbanan seorang suami/istri demi keselamatan anggota keluarganya sehingga ia rela kehilangan nyawanya.

Kasih yang Berkurban

Manifestasi kasih Allah dalam peristiwa salib oleh Alkitab dipahami sebagai pemberian atau penyerahan nyawa. Yesus wafat di atas kayu salib tidak pernah ditempatkan sebagai korban (victim), sebaliknya sebagai suatu pengurbanan (sacrifice). Di Yohanes 10:17 Yesus menyatakan: “Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali.” Dalam teks ini terdapat 2 pernyataan, yaitu: “Bapa mengasihi Aku” (Pater agapa me), dan “karena Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerima-Nya kembali (hoti ego tithemi ten psyche mou). Yesus menyerahkan nyawa-Nya dalam konteks relasi kasih dengan Bapa-Nya, yaitu Allah. Kematian Yesus di kayu salib bukan karena Ia menjadi korban dengan dicabut nyawa-Nya oleh manusia, tetapi karena Ia memberikan dengan kerelaan. Yohanes 10:18 menyatakan: “Tidak seorangpun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang Kuterima dari Bapa-Ku.” Jadi tidak ada seorang pun yang berkuasa mencabut nyawa Yesus. Kematian-Nya terjadi karena Ia memberikan menurut kehendak-Nya sendiri. Ia memiliki kuasa untuk memberikan nyawa, dan juga berkuasa untuk mengambil-Nya kembali.

            Makna “erotisisme” dalam konteks kematian Kristus tidak akan terjadi apabila Ia berstatus sebagai korban (victim). Sebagai korban, Allah atau manusia tidak mungkin mampu mengasihi dengan total. Bandingkan apabila kita menjadi korban (pencurian, penganiayaan, perkosaan, pembunuhan) tidaklah mungkin mampu mengasihi si pelaku. Seseorang korban berada di posisi yang lemah, tidak berdaya, diintimidasi, dipersikusi, dan dilecehkan.  Sebaliknya nilai erotisisme dalam perspektif spiritualitas menjadi bermakna apabila dengan bebas kita terdorong untuk mempertaruhkan nyawa demi keselamatan orang-orang yang kita kasihi. Tindakan mempertaruhkan dan menyerahkan nyawa (sacrifice) adalah tindakan kasih yang luhur dan ilahi. Markus 10:45 menyatakan: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Pernyataan “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” berhubungan erat dengan “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Karena itu makna “erotisisme” dalam iman Kristen tidak pernah bermuara pada kenikmatan dan kepuasan bagi diri sendiri, tetapi pada kasih yang berkurban bagi orang lain.

Berdampak pada Pendamaian

Pengurbanan (sacrifice) dilakukan oleh Allah dalam penebusan Kristus untuk mewujudkan pendamaian (rekonsiliasi) dengan Allah, sesama dan diri sendiri. Kolose 1:20 menyatakan: “Dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.” Penyerahan nyawa Kristus adalah untuk memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya. Karena itu frasa “ dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya” (kai di’ autou apokatallaxai ta panta eis auton) menjadi dasar relasi manusia dengan Allah yang dipulihkan. Umat yang ditebus dan diperdamaikan oleh penebusan Kristus dijadikan Allah sebagai mempelai perempuan. Pendamaian dalam penebusan Kristus, memampukan manusia menjadi mempelai Kristus.

Erotisisme dalam iman Kristen ditempatkan dalam makna relasi anggota jemaat (umat) sebagai mempelai perempuan dan Kristus sebagai mempelai laki-laki. Secara eksplisit Yesus menempatkan diri-Nya sebagai mempelai laki-laki dan umat sebagai mempelai perempuan. Di Markus 2:19 Yesus berkata: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” Makna “waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka” menunjuk pada peristiwa Yesus wafat sehingga secara fisik Ia tidak ada lagi di tengah-tengah umat. Karena itu kebangkitan Kristus menjadi kepastian dan jaminan bahwa umat percaya sebagai mempelai Kristus akan menikmati Perjamuan Kawin yang abadi khususnya dalam kemuliaan Allah.

Erotisisme dalam Perjamuan Kawin

Kitab Injil-injil menggambarkan relasi umat percaya dengan Kristus dalam konteks perjamuan kawin. Misalnya Matius 22:2 menyatakan: “Hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja, yang mengadakan perjamuan kawin untuk anaknya.” Makna “erotisisme” ditempatkan dalam konteks perjamuan kawin. Karena itu “erotisisme” tidak pernah terjadi di luar perkawinan secara lahiriah dan spiritual. Bahkan makna “perjamuan kawin” dipahami secara metafor (simbolik) dalam konteks realitas dan kehadiran Kerajaan Sorga. Melalui inkarnasi dan penebusan Kristus sesungguhnya realitas Kerajaan Sorga telah hadir di dalam kehidupan umat manusia. Jadi perjamuan kawin antara umat dengan Allah sesungguhnya sudah terjadi di dalam kehidupan masa kini (kedatangan Kristus yang pertama) yang bergerak ke depan sampai kedatangan Kristus yang kedua.

Perjamuan kawin yang paripurna akan terjadi pada Akhir Zaman yaitu kedatangan Kristus yang kedua. Wahyu 19:7 berkata: “Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia.” Makna “erotisisme” dalam iman Kristen di Akhir Zaman tidak dipahami secara seksual, tetapi relasi intim dan personal sebagai mempelai perempuan yang dikasihi oleh mempelai laki-laki. Umat percaya (gereja) sebagai mempelai perempuan akan menikmati persekutuan kasih ilahi bersama Kristus selaku mempelai laki-laki yang memuji, menyembah dan mempermuliakan Allah. Wahyu 4:9 memberi gambaran kehidupan di sorga selaku mempelai Kristus, yaitu: “Dan setiap kali makhluk-makhluk itu mempersembahkan puji-pujian, dan hormat dan ucapan syukur kepada Dia, yang duduk di atas takhta itu dan yang hidup sampai selama-lamanya.”

Apabila kita cermati sebagian besar para mempelai (pengantin) perempuan yaitu umat percaya dalam Kitab Wahyu adalah orang-orang yang menjadi martir karena imannya. Di Wahyu 6:11 menyatakan: “Dan kepada mereka masing-masing diberikan sehelai jubah putih, dan kepada mereka dikatakan, bahwa mereka harus beristirahat sedikit waktu lagi hingga genap jumlah kawan-kawan pelayan dan saudara-saudara mereka, yang akan dibunuh sama seperti mereka.” Tepatnya orang-orang yang menjadi mempelai (pengantin) Kristus adalah orang-orang yang dianiaya dan dibunuh karena iman dan kesetiaannya. Pilihan mereka untuk menderita aniaya dan kematian karena iman yang mengikuti model Mempelai Laki-laki yaitu Kristus. Ia yang telah dianiaya dan disalibkan. Wahyu 14:13 menyatakan: “Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. Sungguh, kata Roh, supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” Frasa “berbahagialah orang-orang yang mati dalam Tuhan” lebih ditempatkan umat percaya yang memilih wafat karena mempertahankan iman kepada Kristus dengan cara tidak melawan kekerasan dengan kekerasan. Kontras dengan motif dan pernyataan para teroris yang menyebut diri mereka sebagai “pengantin” dengan cara membunuh orang-orang yang dianggap kafir.

Ginosko: Kasih yang Menyeluruh dan Intim

Umumnya makna mempelai laki-laki dan mempelai perempuan dikaitkan memiliki hubungan seksual sebagai suami-istri. Jika demikian, bagaimana gambaran secara rohani makna mempelai laki-laki dan perempuan khususnya dalam kehidupan abadi dalam Kerajaan Sorga? Penulis hanya menunjukkan 2 ayat yang berkaitan bagaimana isi relasi intim sebagai mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki, yaitu Yohanes 14:7 dan Yohanes 17:3. Di Yohanes 14:7, Yesus berkata: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” Dalam teks Yohanes 14:7 disebutkan 3x menggunakan kata “mengenal.” Lalu di Yohanes 17:3 Yesus berkata: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Di teks Yohanes 17:3 juga menggunakan 2 kata kerja “mengenal.”

Kata “mengenal” yang dimaksud berasal dari kata ginosko, artinya: pemahaman yang personal, relasional dan intim. Berbeda dengan kata eido yang artinya: pengetahuan berdasarkan fakta atau informasi tentang seseorang atau sesuatu. Penggunaan kata ginosko dan eido dalam contoh sehari-hari, misalnya: “Saya mengenal (eido) istri saya, tetapi barulah semakin mengenal (ginosko) setelah melewati usia pernikahan selama 35 tahun. Relasi umat percaya (gereja) selaku mempelai perempuan dengan Kristus selaku mempelai laki-laki seharusnya bukan eido, tetapi ginosko.

Yada: Pusat Cinta Allah

Sebenarnya makna kata ginosko memiliki akar teologis dalam Perjanjian Lama, yaitu kata yada. Kata “yada” dipakai sebanyak 947 kali dalam Perjanjian Lama. Misalnya di Kejadian 4:1 menyatakan: “Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain….” Kata “bersetubuh” di Kejadian 4:1 ini berasal dari kata yada. Makna kata yada menunjuk pada pengetahuan yang mendalam, personal, intim, dan menyeluruh. LAI menterjemahkan kata yada dengan bersetubuh, sebab pada kalimat selanjutnya Hawa mengandung. Dengan demikian kata yada (Ibr.) dan ginosko (Yun.) menunjuk pada relasi yang intim, eksklusif, mendalam dan menyeluruh. Relasi umat percaya dengan Kristus seharusnya dalam pengertian yada atau ginosko, bukan eido. Apabila relasi kita hanya berdasarkan “eido” maka sesungguhnya kita belum mengenal Kristus secara mendalam dan personal.

Sumber relasi Allah Trinitas: Bapa-Anak-Roh Kudus di dalam relasi yada. Karena itu seharusnya setiap umat percaya juga memiliki jalinan relasi yang personal, mendalam, menyeluruh dan intim dengan Kristus. Relasi yada dalam Allah Trinitas itulah hakikat dari perikhoresis yaitu kasih yang saling mendiami, berkelindan, intim, menyeluruh dan mendalam. Di dalam iman kepada Kristus, umat percaya dipanggil untuk mengasihi dengan kasih Allah. Kasih itulah yang memampukan umat untuk mengasihi sesama bahkan para musuh secara total. Tuhan Yesus berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:44-45).

Apabila “yada” (ginosko) merupakan roh kasih ilahi, maka seharusnya makna kasih agape, philia, eros dan strorge tidak disusun secara hirarkhis. Di dalam dimensi hati Allah yang mengasihi dalam relasi yada, maka kasih agape (bersedia berkurban), philia (persahabatan), eros (asmara) dan storge (orang-tua) diperdalam kepada pengenalan akan Kristus selaku mempelai laki-laki. Kasih yang dijabarkan sebagai agape, philia, eros dan storge tidak akan terwujud apabila relasi yang intim dan mendalam (yada) dengan Kristus terputus. Karena itu manifestasi dan makna kasih agape, philia, eros dan storge pada hakikatnya adalah satu dan sejauh ditempatkan dalam relasi yada/ginosko kepada Kristus. Kasih agape, philia, eros dan storge senantiasa kontekstual dan fungsional. Apabila seluruh relasi didasarkan pada yada kepada Kristus, maka umat dimampukan untuk menghayati dan mempratikkan perikhoresis dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Yesus berkata menjelang Ia disalibkan: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh. 13:34). Kata “kasih” (agape) dalam konteks ini ditempatkan dalam relasi (ginosko) atau yada dengan Kristus.

Relevansi

Erotisisme (cinta) bersumber pada Allah yang relasional, yaitu Allah yang esa dalam diri Bapa-Anak-Roh Kudus. Allah adalah kasih. Erotisisme cinta ilahi yang relasional tersebut menjadi pondasi, pijakan iman dan penggerak bagi seluruh umat manusia untuk mengasihi secara relasional kepada sesamanya. Melalui erotisisme (cinta) Allah Trinitas yang dimanifestasikan dalam karya penebusan Kritus dan pembaruan Roh Kudus, setiap umat percaya dipanggil mempraktikkan kasih dalam 4 orientasi, yaitu: kasih kepada Tuhan, kasih kepada sesama, kasih kepada diri sendiri dan seluruh ciptaan. Sebagaimana Allah Trinitas dalam tarian kasih-Nya bergerak ke dalam (ad-interna) dan bergerak ke luar (ad-externa), umat percaya di dalam karya penebusan Kristus dan pembaruan Roh Kudus mampu mengasihi dan berdamai dengan diri sendiri. Selain itu umat percaya juga harus bergerak ke luar mengekspresikan cintanya kepada Tuhan, sesama dan keseluruhan ciptaan.

            Iman sejati kepada Allah yang benar dinyatakan dalam kasih yang berkobar-kobar sebagai identitasnya yang otentik. Pernyataan kitab Kidung Agung: “Cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan” (Kid. 8:6) dalam kehidupan sehari-hari ditujukan kepada Allah Trinitas. Semakin kita mengasihi Allah, semakin kita dimampukan untuk mengasihi diri sendiri, sesama dan ciptaan secara utuh. Si Pencinta adalah pribadi yang ingin mendatangkan kebaikan, berkat, keselamatan dan perdamaian. Untuk itu si pencinta bersedia untuk mempertaruhkan dan mengorbankan kehidupannya untuk orang-orang yang dikasihinya. Allah di dalam Kristus bersedia menyerahkan nyawa-Nya sebagai sacrifice. Sebaliknya si Pecundang adalah pribadi yang ingin memanipulasi, mengambil keuntungan, dan mengorbankan orang-orang di sekitarnya. Sosok si Pecundang tidak menemukan figur ilahi yaitu Allah yang berbelas-kasihan dan penuh rahmat. Sebaliknya ia menemukan Allah yang manipulatif, otoriter, tidak relasional dalam diri-Nya, dan menuntut pengorbanan dari penganutnya. Bagaimana dengan orientasi spiritualitas Saudara? Si Pencinta ataukah pecundang?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono