Latest Article
<strong>Spiritualitas <em>Mendoakan Orang Lain</em></strong>

Spiritualitas Mendoakan Orang Lain

(Peran umat dalam menaikkan Doa Syafaat)
(Filipi 1:3-11)

Pengantar
Topik “mendoakan orang lain” merupakan suatu upaya yang luhur dan sikap orang beriman yang rindu mengimplementasikan kasih dan belarasa Tuhan kepada sesama yang mengalami pergumulan. Melalui doa sesungguhnya kita menghadirkan keberadaan dan pergumulan orang lain di dalam kehidupan kita. Tindakan “mendoakan orang lain” merupakan wujud kasih dan kepedulian kepada sesama dengan menyerahkan kepada pertolongan Tuhan yang sanggup menolong, memulihkan dan menyelamatkan sesama khususnya mereka yang sedang mengalami kesulitan, sakit, kegagalan, sikap ragu-ragu dan bimbang akan imannya. Karena itu tindakan “mendoakan orang lain” menempatkan kita untuk menaikkan doa syafaat.

            Peran sebagai “juru-syafaat” sesungguhnya bersumber pada diri Yesus Kristus. Karena Kristus adalah juru-syafaat sekaligus juruselamat. Di dalam diri Kristus, Allah menghadirkan diri-Nya di tengah-tengah persoalan dan pergumulan kita selaku insan yang lemah, tidak berdaya dan berdosa. Kristus adalah Sang Pengantara tunggal. Firman Tuhan: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim. 2:5). Dia menjadi juru-syafaat yang setia. Itu sebabnya Kristus menjadi role-model sebagai juru-syafaat. Sebagaimana Kristus berkenan menjadi juru-syafaat, maka setiap umat percaya juga dipanggil menjadi “juru-syafaat” bagi sesamanya.

Doa sebagai Pijakan Teologis
Dalam tugas kerasulannya, rasul Paulus selain memberitakan firman dia juga menjadi seorang juru-syafaat. Berulangkali rasul Paulus mengawali surat-suratnya dengan menaikkan doa kepada Tuhan untuk jemaat yang ia layani.

Roma 1:8Pertama-tama aku mengucap syukur kepada Allahku oleh Yesus Kristus atas kamu sekalian, sebab telah tersiar kabar tentang imanmu di seluruh dunia.
1 Korintus 1:4Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus.
2 Korintus 1:3-4Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.
Efesus 1:3Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.
Filipi 1:3-4Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.
Kolose 1:3Kami selalu mengucap syukur kepada Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, setiap kali kami berdoa untuk kamu
1 Tesalonika 1:2Kami selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu semua dan menyebut kamu dalam doa kami.
2 Tesalonika 1:3Kami wajib selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara. Dan memang patutlah demikian, karena imanmu makin bertambah dan kasihmu seorang akan yang lain makin kuat di antara kamu

            Struktur penulisan surat-surat rasul Paulus kepada jemaat-jemaat senantiasa diawali dengan doa syafaat sebelum ia memberitakan firman atau memberi nasihat. Kita dapat menyimpulkan bahwa pemberitaan firman atau surat-surat pastoral yang ia sampaikan pada hakikatnya didasarkan pada doa syafaat dan ucapan syukur. Karena itu makna dan tujuan mendoakan orang lain adalah menjadi media bagi setiap umat percaya untuk menyampaikan firman Tuhan dan memberi nasihat pastoral. Upaya “mendoakan orang lain” tidak berhenti hanya pada doa, tetapi pada aksi menyampaikan firman Tuhan dan nasihat pastoral agar sesama yang kita doakan mengalami perjumpaan dan mengenal kebenaran firman Tuhan yang membebaskan.

Doa sebagai Nafas Hidup
Doa menjadi dasar dan landasan spiritualitas dalam seluruh aspek perilaku kita dalam menjalin relasi, bekerja, mengembangkan diri, dan kepemimpinan serta tanggungjawab yang Tuhan percayakan kepada kita. Sangat tepat doa seharusnya menjadi nafas hidup yang di dalamnya kita memaknai keberadaan, arti dan tujuan hidup kita. Tanpa spiritualitas doa, maka seluruh aktivitas dan langkah-langkah yang kita tempuh akan berorientasi pada kepentingan diri sendiri. Karena itu tanpa doa, apa pun yang kita kerjakan akan bersifat duniawi walau pun kita sedang mengerjakan hal-hal yang rohaniah atau pelayanan gerejawi. Mendoakan orang lain juga tidak dapat kita lakukan, apabila hidup kita jauh dari relasi yang intim dengan Tuhan. Sebab bagaimana mungkin kita dapat mendoakan orang lain apabila kita sendiri tidak memiliki hubungan yang personal dan akrab dengan Allah yang adalah Bapa kita? Bukankah kita sering menjadi orang-orang yang munafik dengan bergairah mendoakan orang lain, tetapi kehidupan rohani dan batin kita sedang hampa dan jauh dari persekutuan dengan Tuhan? Dalam kondisi yang demikian lebih bijaksana apabila kita sementara “berhenti” mendoakan orang lain agar kita membereskan terlebih dahulu relasi yang kurang akrab dengan Tuhan. Kita perlu menata kualitas relasi dengan Tuhan, barulah kita dapat menjalin relasi yang akrab dan mendalam dengan anggota keluarga dan sesama di sekitar.

            Makna “mendoakan orang lain” bukan sekadar media untuk menyatakan bahwa kita adalah orang-orang yang saleh dan peduli kepada sesama padahal hati kita yang terdalam tidak mengalami persekutuan dan rahmat dari Tuhan. Sebaliknya makna “mendoakan orang lain” merupakan persembahan hati yang lahir dari ungkapan iman yang murni kepada Tuhan. Dalam konteks ini kita dapat melihat dua aspek yang utama dalam mendoakan orang lain, yaitu: persembahan hati dan ungkapan iman yang murni kepada Tuhan. Mendoakan orang lain bagi umat beriman bukan bertujuan untuk menambah pahala di sorga tetapi sebaliknya merupakan persembahan yang lahir dari hati yang mengasihi. Pada saat yang sama hati yang mengasihi hanya bermakna apabila dilandasi oleh sikap iman yang murni kepada Allah Trinitas.

Dasar Doa: Allah Trinitas
Dalam seluruh surat-suratnya rasul Paulus mengawali setiap salam dan doanya di dalam nama Allah Trinitas. Di Filipi 1:2 rasul Paulus menyatakan: “Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.” Model rumusan “Allah Trinitas” tersebut menjadi landasan dalam seluruh tulisan dan sapaannya kepada setiap jemaat. Jemaat perdana menempatkan Allah yang esa dalam Bapa-Anak-Roh Kudus sebagai dasar imannya yang fundamental. Melalui Allah Trinitas, jemaat perdana menghayati bahwa Allah yang esa itu sesungguhnya adalah Allah persekutuan. Pada sisi lain Allah persekutuan adalah Allah yang mengasihi. Jikalau Allah itu bukan Allah persekutuan, mustahil Ia adalah kasih. Kasih terwujud di dalam persekutuan. Sebab kasih hanya mungkin terjadi di dalam relasi yang setara atau sehakikat. Allah di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus sehakikat dalam kuasa, kemuliaan, kekekalan, dan karya-karya-Nya. Karena itu umat yang percaya kepada Allah Trinitas dimampukan untuk mengalami anugerah kasih ilahi. Setiap umat yang mengalami anugerah kasih ilahi akan mengalami damai-sejahtera yang tidak dapat diberikan oleh dunia (Yoh. 14:27).

            Implikasi etis sebagai juru-syafaat adalah setiap umat yang mendoakan orang lain dikaruniai kasih ilahi sehingga mereka menyalurkan damai-sejahtera Allah kepada anggota jemaat yang didoakan. Bukankah kebutuhan utama dari setiap orang adalah anugerah damai-sejahtera Allah sehingga melalui doa dapat meneguhkan dan menguatkan mereka saat menghadapi berbagai pergumulan, penderitaan, sakit dan kegagalan? Setiap umat percaya akan mampu menanggung penderitaan yang paling berat ketika mereka pada saat yang sama mengalami anugerah damai-sejahtera dari Allah. Tetapi saat mereka kehilangan atau jauh dari damai-sejahtera maka kesulitan dan sakit yang paling sederhana akan menjadi penderitaan yang tidak tertanggungkan. Jadi definisi berat atau ringannya suatu penderitaan sebenarnya ditentukan oleh persepsi, daya tahan mental dan spiritualitas seseorang. Semakin dewasa atau matang rohani dan iman seseorang, maka penderitaan yang dialami mampu dihadapi dengan sikap tabah dan kreatif.  

Intensitas Relasi yang Personal
Di Filipi 1:4 rasul Paulus menyatakan: “Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.” Makna kata “setiap kali aku berdoa untuk kamu” (pantote en pase deesei mou) menunjuk pada tindakan yang terus-menerus. Sebab kata “pantote” memiliki arti “selalu, senantiasa.” Kata “berdoa untuk kamu” menunjuk pada doa permohonan yang dinaikkan kepada Tuhan untuk pihak lain. Pernyataan doa di Filiipi 1:4 sangat jelas menunjuk bahwa rasul Paulus adalah seorang pendoa syafaat yang bersungguh-sungguh, sehingga dalam setiap doa syafaatnya ia menyampaikan permohonan untuk kesejahteraan dan keselamatan bagi orang yang didoakan. Karena doa syafaat tersebut dipanjatkan oleh rasul Paulus dengan segenap hati, maka tindakan doa permohonan itu dilakukan dengan penuh sukacita.

Model spiritualitas doa rasul Paulus tersebut menjadi tolok ukur dan evaluasi bagi setiap jemaat, apakah benar kita melakukan doa syafaat dengan sukacita? Apakah doa syafaat untuk kepentingan dan kebutuhan orang lain yang dilakukan secara intensif menjadi beban ataukah kegairahan dan kerinduan? Doa syafaat menjadi sukacita akan terjadi apabila kita memiliki intensitas relasi yang personal dengan orang-orang yang kita doakan. Sebaliknya doa syafaat akan menjadi beban apabila kita terhambat menjalin relasi dengan orang-orang yang hendak kita doakan.  

Penghargaan dan Memotivasi
Di Filipi 1:5 rasul Paulus berkata: “Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini.” Pengucapan syukur yang dinaikkan rasul Paulus di Filipi 1:5 berkaitan dengan kehidupan jemaat Filipi yang memelihara relasi kasih dalam persekutuan dengan sesama anggota jemaat. Persekutuan jemaat Filipi didasarkan pada Berita Injil yang dihayati dan dihidupi sejak mereka mengenal Kristus sampai sekarang. Persekutuan dengan anggota jemaat bukan sekadar komunitas yang saling terhubung karena kebiasaan dan kebutuhan insani, tetapi karena Berita Injil. Karena itu Berita Injil menjadi pusat dan dasar persekutuan. Berita Injil sebagai kabar baik yang membawa kesegaran rohani, kekuatan yang lahir dari kasih-karunia Allah dan pembebasan dari kuasa dosa dibutuhkan oleh umat sepanjang masa. Pola hidup jemaat Filipi ini dihargai oleh rasul Paulus. Karena itu rasul Paulus memberi motivasi agar mereka tetap bertekun dalam persekutuan yang dijiwai oleh firman Tuhan.

            Di masa kini persekutuan jemaat sangat dibutuhkan di tengah-tengah situasi keterasingan dan kecenderungan egoisme manusia. Pola persekutuan seluruh umat percaya telah mengalami perubahan yang mendasar di masa pandemi dan pasca pandemi Covid-19. Kecenderungan persekutuan di masa kini lebih dominan dilakukan secara daring. Tetapi tidak berarti kita tidak dapat melakukan persekutuan secara personal. Kita tetap dapat bersekutu dalam kelompok kecil. Model persekutuan jemaat di masa kini perlu diperdalam dan dikuatkan dalam kelompok wilayah atau cell-group. Namun seluruh pola persekutuan tersebut harus dihayati dengan penuh kerinduan untuk mempelajari dan memperdalam firman Tuhan. Karena itu issue-issue yang terjadi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya perlu ditempatkan dalam terang firman Tuhan.

Percaya akan kelanjutan pekerjaan Tuhan
Di Filipi 1:6 rasul Paulus berkata: “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” Pemikiran teologis rasul Paulus didasarkan pada refleksi imannya dalam memahami karya keselamatan yang dilakukan Allah sebagaimana dipersaksikan oleh Tanakh (Torah, Nebiim dan Ketubim). Karya keselamatan Allah tidak pernah terputus atau gagal walau pun manusia berusaha untuk menghalangi. Sebaliknya karya keselamatan Allah senantiasa terus berlanjut (kontinyu) dan progresif untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai-Nya. Karena itu segala sesuatu yang diawali oleh Tuhan akan terus bekerja dan berlanjut sampai pada akhirnya, yaitu pada saat kedatangan Kristus.

            Karya Tuhan yang terus berkelanjutan dan progresif ke arah eskatologis pada hakikatnya terjadi karena Allah senantiasa konsisten dan setia. Allah di dalam Kristus adalah Allah yang memegang janji-Nya. Karena itu umat Israel menghayati dan mengimani bahwa YHWH adalah Allah Perjanjian. Karya keselamatan di dalam karya penebusan Kristus terus berlanjut walau dalam perjalanan sejarah manusia kuasa kegelapan berusaha untuk membelokkan atau melumpuhkan-Nya. Demikian pula karya keselamatan Allah kepada setiap umat percaya. Allah di dalam Kristus tidak berubah atau abai terhadap pergumulan dan persoalan setiap umat percaya. Segala sesuatu yang sudah dimulai dalam kehidupan umat percaya akan diwujudkan walau kelemahan dan keberdosaan sebagai manusia sering berupaya mengalihkan atau membatalkan karya keselamatan Allah tersebut. Sejauh umat merespons dengan sikap percaya bahwa Allah itu setia, sehingga mereka dimampukan untuk setia di tengah-tengah persoalan hidupnya maka pastilah karya keselamatan Allah tersebut akan terwujud.

Pelayanan yang dimeteraikan dalam kasih
Di Filipi 1:7 rasul Paulus berkata: “Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil.” Jemaat Filipi menerima anugerah Tuhan melalui pelayanan rasul Paulus. Realitas anugerah Tuhan terjadi dalam konteks yang nyata dan situasi konkret umat percaya. Melalui pelayanan rasul Paulus, jemaat di Filipi mengenal anugerah keselamatan Allah di dalam Kristus. Itu sebabnya kehadiran dan peran rasul Paulus termeterai di hati jemaat Filipi. Pada pihak lain, jemaat Filipi juga termeterai di hati rasul Paulus. Dalam konteks ini kita dapat melihat suatu relasi kasih yang personal antara rasul Paulus dengan jemaat Filili. Di Filipi 1:8 rasul Paulus berkata: “Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.”

            Relasi personal akan semakin akrab melalui ketulusan untuk saling mendoakan di antara anggota jemaat dan pendeta selaku gembala. Melalui doa bersama, Kristus hadir di tengah-tengah umat yang berdoa. Sebab melalui doa yang dilakukan oleh umat percaya semua pihak terhubung secara roh. Itu sebabnya di dalam dan melalui doa, Kristus menganugerahkan rahmat-Nya yang memampukan setiap orang menembus batas insani yang lemah dan berdosa. Karena itu di dalam dan melalui doa, Allah menganugerahkan kasih ilahi. Bahkan melalui dan di dalam doa, Allah memampukan setiap umat percaya untuk mengampuni. Kita dapat melihat bahwa doa sebagai media perjumpaan Allah dan umat percaya sehingga menjadi sumber kekuatan kasih dan pengampunan. Bukankah saat kita mau mendoakan seseorang yang melukai hati, sebenarnya kita telah mengampuninya? Doa memampukan setiap umat percaya menembus batas kemarahan, kebencian dan dendam.

            Pelayanan yang menyentuh hati jemaat apabila mereka didoakan dan dimotivasi untuk mendoakan sesama atau orang-orang yang melukai hati. Sering pelayanan menjadi kering dan tidak berdampak sebab tidak dilandasi oleh intensitas doa. Program-program pelayanan gerejawi terasa hambar sebab tidak didasarkan pada intensitas dan kesungguhan berdoa secara komunal. Karena itu pelayanan yang kurang dilandasi oleh doa menjadi kering dan tidak berdampak sebab mengandalkan kepada kekuatan manusiawi. Sebaliknya pelayanan yang dilandasi oleh doa akan membawa dampak yang begitu besar sebab mengandalkan kepada kekuatan ilahi. Spiritualitas pelayanan rasul Paulus dilandasi oleh doa, sehingga pelayanannya berdampak dan termeterai di dalam hati setiap jemaat yang dilayaninya.

Kasih yang melimpah dalam pengetahuan dan pengertian
Di Filipi 1:9-11 rasul Paulus berkata: “Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” Kekhasan makna “kasih” dalam iman Kristen tidak pernah terlepas dari pengetahuan (epignosei) dan pengertian (aisthesei). Kata epignosei dalam Perjanjian Baru digunakan sebanyak 20 kali dan maknanya menunjuk pada “pengetahuan yang tepat dan benar.” Sebab tidak setiap pengetahuan dilandasi oleh dasar yang tepat dan sebaliknya menyimpang dari kebenaran. Kasih Allah di dalam Kristus justru menuntun umat kepada kebenaran yang tepat dan benar. Tanpa Kristus manusia akan hidup dalam pengetahuan yang menyesatkan. Karena itu pengetahuan (epignosei) akan memampukan mencapai tingkat pengertian (aisthesei). Makna kata aisthesei menunjuk pada kemampuan rohani untuk berlaku secara bijaksana/arif.

            Dalam praktik hidup sehari-hari makna “kasih” sering dipahami hanya sekadar dorongan perasaan (emosi) dalam sikap iba, kasihan, dan sedih dengan penderitaan orang lain. Tetapi apakah perasaan iba, kasihan dan sedih dengan penderitaan orang lain tersebut membawa dampak yang positif? Makna “kasih” akan bermakna apabila didasari oleh pengetahuan (epignosei) yaitu pemahaman yang tepat dan benar, sehingga mampu bersikap secara bijaksana (aisthesei). Kedua sikap kasih yang dilandasi oleh pengetahuan yang benar dan tepat serta kebijaksanaan akan memampukan umat percaya “dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” Kasih yang tidak menghasilkan buah kebenaran, kekudusan dan memuliakan Allah bukanlah kasih ilahi, tetapi kasih duniawi.

            Doa yang dihidupi oleh umat percaya seharusnya menghasilkan kasih yang dilandasi oleh pengetahuan dan pengertian, sehingga memampukan umat percaya untuk menghasilkan buah kebenaran, kekudusan dan memuliakan Allah. Melalui doa, pertumbuhan rohani dan iman dinyatakan dalam pembaruan karakter dan perilaku.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono