Latest Article
Masa Minggu Biasa II (Minggu, 5 Juni 2016)

Masa Minggu Biasa II (Minggu, 5 Juni 2016)

 

Anugerah Kehidupan Di Tengah-tengah Realitas Kematian

(1Raj. 17:17-24; Mzm. 30; Gal. 1:11-24; Luk. 7:11-17)

Pesan utama pada masa Minggu Biasa II adalah karya Allah yang menyelamatkan dengan kuasa-Nya yang membangkitkan orang mati. Karena itu inti berita bacaan Injil Lukas 7:11-17 mengisahkan Yesus yang membangkitkan seorang anak muda dari kota Nain. Inti berita Kitab 1 Raja-raja 17:17-24 adalah nabi Elia membangkitkan anak perempuan janda dari Sarfat yang telah mati. Kedua tokoh yaitu Nabi Elia dan Yesus melakukan mukjizat dengan membangkitkan orang yang telah mati sehingga mereka hidup kembali. Berita tentang karya Allah yang membangkitkan orang mati merupakan kesaksian iman tentang kuasa Allah yang melampaui seluruh akal dan pengertian manusia. Allah adalah Tuhan yang Mahakuasa. Dia pencipta dan pemilik kehidupan. Dia mampu melakukan apa yang mustahil menjadi suatu kenyataan, sehingga seseorang yang telah mati dapat bangkit kembali seperti sediakala.

Tetapi timbul pertanyaan, bukankah menurut penelitian Ilmu Pengetahuan peristiwa membangkitkan orang mati tidaklah mungkin? Bagaimana kita selaku umat percaya sekaligus rasional harus menjelaskan mukjizat kebangkitan orang mati? Bukankah sel-sel otak akan rusak dan hancur setelah 3 menit mengalami peristiwa kematian yang terjadi pada seseorang? Peristiwa kebangkitan orang mati bukan sekadar “roh” seseorang kembali ke dalam tubuhnya, tetapi juga bagaimanakah dapat terjadi proses pemulihan terhadap seluruh organ tubuh yang mengalami kerusakan permanen. Bagaimana dengan sel-sel otak yang rusak saat terjadi kematian? Bagaimanakah proses penguraian di dalam seluruh organ-organ tubuh oleh berbagai mikroba sehingga tidak memungkinkan seseorang bangkit dari kematiannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas tidak dapat terjawab. Seandainya kita memberi jawaban, maka jawaban tersebut akan bersifat spekulatif. Spekulasi pertama, peristiwa mukjizat merupakan peristiwa adikodrati (supernatural) yang tidak dapat dijelaskan oleh rasionalitas dan Ilmu Pengetahuan. Sebab peristiwa mukjizat kebangkitan orang mati adalah nyata namun Allah berkenan melakukan intervensi dengan kuasa ilahi-Nya, dan karena itu hanya dapat dipahami dengan sikap iman. Sebab melalui iman, umat dapat menerima secara “rasional” karya Allah yang melampaui rasionalitas. Spekulasi kedua, kesaksian tentang mukjizat khusus kebangkitan orang mati adalah mitos yang sebenarnya tidak pernah terjadi secara faktual. Alkitab mengisahkan peristiwa kebangkitan orang mati untuk menegaskan bahwa tokoh-tokoh yang dikisahkan adalah tokoh-tokoh yang dipakai Allah untuk menyatakan kuasa-Nya.

Dalam kitab Injil-injil Yesus membangkitkan orang mati dalam tiga peristiwa yaitu Dia membangkitkan anak muda dari kota Nain, anak perempuan Kepala Sinagoge di Nazaret (Mat. 9:18, 25), dan Lazarus (Yoh. 11:39-44). Melalui ketiga peristiwa mukjizat membangkitkan orang mati Yesus menyatakan bahwa Ia adalah Sang Mesias yang dijanjikan Allah sehingga memiliki kuasa mengaruniakan kehidupan walaupun seseorang sudah mati. Di Yohanes 11:25, Yesus berkata: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” Dalam konteks ini saya menolak spekulasi kedua yaitu peristiwa kebangkitan yang dikisahkan Injil hanyalah mitos. Makna mitos lebih mengutamakan makna walau secara faktual sebenarnya tidak pernah terjadi. Seseorang memberi tekanan utama dari pemaknaan secara mitologis tentu memiliki maksud yang baik, yaitu mengutamakan pesan dan makna teologis yang terkandung dalam suatu kesaksian peristiwa mukjizat tersebut. Tetapi persoalannya adalah mengapa kita menolak kesaksian tentang peristiwa mukjizat Yesus yang membangkitkan orang mati hanya karena pengertian dan pengalaman kita sulit menerima kemungkinan bahwa orang mati mustahil dapat bangkit kembali. Bukankah kita cenderung mengukur realitas dalam peristiwa mukjizat dengan lingkup pengertian manusiawi kita yang serba terbatas?

Apabila otak dan pengertian kita yang serba terbatas tidak sanggup memahami suatu peristiwa, bukan berarti peristiwa tersebut tidak benar-benar terjadi. Kita tidak sanggup memikirkan keluasan alam semesta yang tidak terbatas dengan hitungan matematika dan fisika, tetapi tidak berarti alam semesta hanya seluas jangkauan otak/pengertian kita. Dengan demikian saya menerima dengan sikap iman bahwa Allah dengan kuasa ilahi-Nya sanggup membangkitkan orang yang telah wafat untuk menyatakan bahwa Yesus adalah Sang Mesias yang Ia janjikan. Kesaksian Injil-injil tentang Yesus membangkitkan orang mati adalah sungguh nyata, sebab Allah berkenan melakukan intervensi dengan kuasa-Nya yang adikodrati. Makna teologis yang dibangun oleh kitab Injil-injil didasarkan pada suatu peristiwa yang faktual, dan bukan dibangun berdasarkan imaginasi dan kisah fiktif. Apalagi kisah Yesus membangkitkan orang mati tersebar dalam kitab Injil-injil dengan lokasi dan waktu yang berbeda-beda. Karena itu kisah Yesus membangkitkan orang mati adalah peristiwa historis dan dengan kuasa-Nya Yesus mengaruniakan kehidupan kepada mereka yang saat itu telah wafat agar dunia percaya bahwa Dialah Sang Kebangkitan dan Hidup.

Kisah kebangkitan orang mati yang dilakukan oleh Nabi Elia dan Yesus memiliki ciri khas, yaitu karena cinta-kasih dan belas-kasihan. Nabi Elia membangkitkan anak perempuan janda dari Sarfat karena dia adalah anak satu-satunya dan janda di Sarfat tersebut telah menunjukkan kemurahan hatinya. Yesus membangkitkan anak laki-laki di Nain karena anak laki-laki tersebut adalah anak tunggal dari seorang janda. Di Lukas 7:13 menyatakan: “Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: Jangan menangis!” Kata “belas-kasihan” berasal dari kata “splagchnizomai” untuk menunjuk pada situasi sikap seseorang yang didorong oleh perasaan kasih dan belarasa yang mendalam, sehingga ia tergerak untuk menolong.

Yesus membangkitkan anak laki-laki dari janda di Nain karena sikap kasih dan belarasa-Nya yang mendalam terhadap kesedihan wanita tersebut. Dengan demikian tekanan utama dari kesaksian Injil Lukas 7:11-17 adalah peristiwa Yesus membangkitkan anak laki-laki dari janda di Nain karena Ia ingin memberi penghiburan dengan mengembalikan kehidupan anak laki-lakinya. Jadi dalam konteks ini Yesus membangkitkan anak laki-laki dari janda di Nain utamanya bukan untuk menegaskan bahwa Dialah Sang Mesias, tetapi karena dorongan kasih-Nya untuk menolong janda yang sedang kehilangan anak satu-satunya. Justru dengan tindakan kasih Yesus tersebut sehingga anak laki-laki dari janda di Nain bangkit dari kematian, orang-orang melihat bahwa di dalam diri Yesus, Allah telah melawat umat-Nya. Kesaksian Lukas 7:16 menyatakan: “Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: Seorang nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita, dan Allah telah melawat umat-Nya.” Lawatan Allah di dalam diri Yesus menghadirkan kehidupan di tengah-tengah realitas kematian, pengharapan di tengah-tengah situasi sedih dan putus-asa. Demikian pula melalui tindakan Nabi Elia yang membangkitkan anak perempuan janda di Sarfat itu, wanita itu mengalami perlawatan Allah, sehingga ia berkata: “Sekarang aku tahu, bahwa engkau abdi Allah dan firman TUHAN yang kauucapkan itu adalah benar” (1Raj. 17:24).

Melalui karya Yesus dan Elia Allah menyatakan kehadiran dan perlawatan-Nya di tengah-tengah realitas penderitaan dan kematian yang dialami umat-Nya. Namun karya dan kehidupan Yesus adalah manifestasi diri Allah sendiri, sedangkan Elia adalah Nabi yang menyatakan kuasa Allah. Yesus sebagai wujud dan manifestasi diri Allah. Karena itu melalui hidup dan karya-Nya umat mengalami kehadiran Allah yang langsung dan riil. Di Yohanes 14:9 Yesus berkata: “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” Melalui diri Yesus dengan kuasa mukjizat-Nya yang membangkitkan orang mati, Allah menyatakan bahwa di dalam iman kepada-Nya tersedia kehidupan kekal. Karena itu makna kisah Yesus yang membangkitkan orang mati merupakan simbolisasi bahwa di dalam diri Yesus Allah akan menganugerahkan keselamatan. Sebaliknya Elia dipakai Allah karena ia adalah abdi-Nya untuk menyatakan kebesaran dan kuasa-Nya agar orang-orang percaya bahwa Yahweh adalah satu-satunya Allah. Dalam konteks ini kita menemukan dua esensi teologis yang berbeda namun saling berkaitan, yaitu:

  1. Melalui Yesus Allah menyatakan kehadiran dan kepribadian-Nya yang berinkarnasi menjadi manusia sehingga terjadi keselamatan dalam relasi personal kasih-Nya.
  2. Melalui Elia Allah menyatakan kuasa-Nya agar umat Israel bertobat kepada Yahweh dengan meninggalkan Baal dan Asyera.

Karya keselamatan Allah melalui tindakan Yesus dan Nabi Elia yang membangkitkan orang mati tidaklah dimaksudkan bahwa umat percaya tidak akan mengalami kematian. Kematian merupakan realitas yang harus kita alami sebagai manusia. Namun apakah sebelum kematian merenggut kehidupan kita telah bertobat kepada Allah dengan meninggalkan semua berhala yang telah memengaruhi diri kita sehingga kita terhalang untuk mengalami keselamatan yang menyeluruh di dalam kasih Kristus? Realitas kematian menyadarkan bahwa kehidupan kita sangatlah fana, karena itu sikap pertobatan merupakan orientasi spiritualitas yang menempatkan Kristus sebagai sumber keselamatan. Sebab kenyataannya di tengah-tengah kefanaan hidup, kita cenderung lebih memilih sikap yang melawan Allah sehingga hati kita jauh dari anugerah kasih Kristus walaupun secara institusional gerejawi kita adalah umat percaya. Anugerah kasih Kristus seharusnya menjadi roh yang menghidupi setiap bagian dalam kehidupan kita, bahkan saat kita menghadapi kematian sehingga hidup kita selalu terarah kepada kehendak Allah. Dengan demikian baik hidup kita sekarang maupun kematian kita tidak pernah terpisah dari kasih Kristus, sebab Dia adalah Kebangkitan dan Hidup.

Melalui kesaksian Alkitab tentang karya keselamatan Allah melalui peristiwa mukjizat yang dilakukan oleh Nabi Elia dan Yesus menyadarkan kita juga bahwa kehidupan yang fana ini sangat bernilai. Peristiwa kematian bagi umat percaya dihayati sebagai peristiwa umat mengalami akhir kehidupannya di dunia dan ia akan kembali kepada Allah Sang Pencipta untuk mengalami kehidupan yang abadi dalam persekutuan kasih-Nya. Tetapi pada pihak lain setiap orang dan umat percaya akan bersyukur apabila dia terluput dari kematian. Demikian pula janda di Nain dan di Sarfat bersyukur bahwa anak-anak mereka yang semula mati kini dapat hidup kembali. Tindakan Yesus dan Nabi Elia membangkitkan anak-anak janda yang telah mati berarti Allah mengaruniakan kesempatan bagi anak-anak tersebut melanjutkan kehidupan mereka ke depan. Kesaksian Mazmur 30:4-5 mengungkapkan sukacita dan ucapan syukur, yaitu: “TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur. Nyanyikanlah mazmur bagi TUHAN, hai orang-orang yang dikasihi-Nya, dan persembahkanlah syukur kepada nama-Nya yang kudus!” Sekalipun melalui kematian umat percaya memiliki harapan mengalami persekutuan yang abadi dengan Allah, namun dapat lolos dari kematian adalah anugerah dari Tuhan. Kenyataan ini menegaskan bahwa kehidupan kita yang fana ini bernilai. Karena itu setiap orang dipanggil untuk merawat dan menghayati kehidupan ini dengan cara yang benar agar berumur panjang dan hidup sejahtera, yaitu: pola hidup sehat, makanan dan minuman yang sehat, menjauhkan diri dari risiko kecelakaan, mampu menikmati liburan, menikmati kebersamaan dan persahabatan dengan sesama, mengelola waktu, produktif dan kreatif. Anugerah kehidupan dinyatakan dalam kehidupan umat sehari-hari namun di dalamnya dilandasi oleh spiritualitas iman yaitu persekutuan personal dengan Allah di dalam Kristus.

Dalam perspektif teologis Surat Galatia, kita diajak untuk menghayati anugerah kehidupan dengan menjauhkan diri dari spiritualitas keagamaan yang kaku dan menghalalkan kekerasan. Rasul Paulus semula memiliki pola hidup dan pola pikir “tanpa batas menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya” (Gal. 1:13). Dengan menganiaya dan membinasakan orang, berarti dahulu Rasul Paulus berupaya menghalangi, memperpendek dan menghilangkan kehidupan orang lain. Padahal dari sudut nilai-nilai agama yang dihayatinya, tindakan menganiaya dan membinasakan jemaat Allah tersebut justru dianggap Saulus sebagai suatu kemajuan sebab ia rajin memelihara adat-istiadat nenek moyang umat Israel (Gal. 1:14). Dalam perspektif iman kepada Kristus, Rasul Paulus akhirnya berubah menjadi seorang pribadi yang menghadirkan keselamatan Allah dan kehidupan yang berkualitas sehingga ia memperkaya setiap orang yang dijumpainya dengan anugerah keselamatan Kristus.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono