Latest Article
Mendidik dan Membesarkan Anak (dalam perspektif Iman Kristen)

Mendidik dan Membesarkan Anak (dalam perspektif Iman Kristen)

Pengantar

Mendidik dan membesarkan anak merupakan suatu kesadaran yang mendalam bahwa setiap anak adalah penerus generasi dan para pribadi yang dihadirkan dalam rencana Allah. Kegagalan setiap orang-tua dan guru dalam mendidik dan membesarkan anak akan berakibat masa depan umat manusia akan dipenuhi oleh generasi yang bermasalah bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat. Tugas mendidik dan membesarkan anak adalah tugas yang sangat mulia dan bermakna secara imaniah sebab mencakup keseluruhan realitas keselamatan dalam hidup manusia.

Tujuan utama mendidik dan membesarkan anak dalam lingkup yang lebih luas berkaitan dengan kelangsungan generasi yang berkualitas mengembangkan diri seutuhnya. Sebab apa artinya kita menjadi suatu generasi yang sukses dan terhormat tetapi gagal mendidik dan membesarkan mereka sehingga kelak di kemudian hari anak-anak kita tersebut ditolak dan dihukum oleh anggota masyarakat. Kelangsungan generasi yang berkualitas adalah agar mereka menjadi manusia seutuhnya. Mendidik anak-anak menjadi generasi yang berkualitas merupakan program vital setiap pribadi dan keluarga. Kita berharap agar setiap anak, para cucu dan keturunan kita dapat menjadi generasi yang takut akan Tuhan. Tanpa spiritualitas yang takut akan Tuhan, maka mereka akan gagal menjadi generasi yang membawa berkat dan menghadirkan keselamatan bagi sesamanya.

Makna Kelangsungan Generasi

Makna kelangsungan generasi yang diturunkan dari orang-tua kepada anak-anak bukanlah kelangsungan yang sifatnya nominal dan biologis semata. Di Kejadian 1:28 Allah berfirman: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Tetapi makna berkat dan mandat Allah di Kejadian 1:28 dikaruniakan kepada manusia tentunya bukan sekadar untuk beranakcucu, bertambah banyak dan penuhilah bumi dan menaklukkan mahluk hidup yang lain. Karena perintah Allah tersebut harus ditempatkan dalam konteks Kejadian 1:26, yaitu: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”

Nilai kelangsungan hidup manusia ditempatkan dalam hakikat penciptaan manusia yaitu menurut gambar dan rupa Allah. Makna kelangsungan hidup manusia yang bertolak-belakang dengan hakikatnya hidup menurut “gambar dan rupa Allah” akan menghasilkan para pribadi yang cerdas secara intelektual tetapi memiliki kepribadian dan perilaku bagai monster yang akan merusak dan membahayakan kehidupan sesama.

Diciptakan Menurut Gambar dan Rupa Allah

Dalam konteks Kejadian 1:26, kita menjumpai dua kata yang dipakai, yaitu “gambar” (tselem) dan “rupa” (demut). Kata “tselem” dalam Perjanjian Lama dipakai sebanyak 17 kali. Makna kata “gambar” (tselem) adalah menunjuk pada replika suatu bentuk atau bayangan dari bentuk aslinya. Kata “tselem” berasal dari kata “tsal” yang artinya: bayangan. Dalam Perjanjian Baru, kata “tselem” (gambar) diterjemahkan menjadi “eikon.” Kata “eikon” dipakai di Kolose 1:15 untuk menunjuk pada jati-diri Kristus, yaitu: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” Kristus adalah Gambar Allah yang sesungguhnya, sedangkan manusia hanyalah diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah.” Gambar diri yang negatif atau rusak adalah gambar diri yang tidak sesuai dengan tabiat dan karakter Kristus. Di dalam Kristus, kita mendidik dan membesarkan anak-anak agar mereka memiliki gambar diri yang telah dipulihkan dalam pendamaian yang holistik dengan Allah, sesama dan diri sendiri.

Kata “rupa” (demut) sebenarnya berasal dari akar kata “darah” atau “damah” (דם). Karena itu makna kata “demut” dipakai untuk menunjuk keturunan berdasarkan darah, sebab seseorang yang lahir dari suatu keturunan akan memiliki watak yang mirip. Anak mewarisi watak ayah atau ibunya karena itu ia memiliki kesamaan atau kemiripan dalam bentuk tubuh, wajah dan tingkah-lakunya. Demikian pula manusia yang diciptakan Allah menurut rupa-Nya seharusnya juga memiliki bentuk dan perilaku yang sesuai dengan Sang Pencipta-nya. Salah satu watak yang utama dari Allah adalah kasih, adil, dan kudus. Karena itu seharusnya setiap umat memiliki watak Allah yaitu cinta-kasih, keadilan dan kekudusan. Dengan sikap kasih, adil dan kudus seseorang mampu berdamai dengan diri sendiri sebab ia memberlakukan kasih, keadilan dan kekudusan kepada dirinya sendiri.

Menurut Gambar dan Rupa Adam Pertama

Di Kejadian 5:3 makna gambar dan rupa secara signifikan dipakai dalam konteks keturunan Adam, yaitu Set. Kesaksian Kejadian 5:3 menyatakan: “Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya.” Apabila manusia pertama Adam dan Hawa diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya, tetapi keturunan mereka disebut lahir menurut gambar dan rupa Adam. Pesan teologis dari kesaksian Kejadian 5:3 adalah karena kelangsungan hidup manusia tidak lagi berpola menurut gambar dan rupa Allah, maka keturunan manusia selanjutnya mengikuti pola keberadaan Adam yang telah jatuh di dalam dosa. Tetapi ternyata anugerah Allah lebih besar daripada keberdosaan manusia, sehingga di dalam Kristus Allah menganugerahkan keselamatan. Di dalam dan melalui Kristus, Allah menciptakan manusia baru yang terus berproses sampai kedatangan Kristus yang kedua dalam kemuliaan-Nya.

Kristus adalah gambaran Adam kedua yang memutuskan mata-rantai kelangsungan hidup manusia yang telah dibelenggu oleh kuasa dosa. Di Roma 5:15 menyatakan: “Tetapi karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran Adam. Sebab, jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.” Kejatuhan manusia pertama yaitu Adam tidak dapat dipulihkan melalui upaya rohani, agama, kepercayaan dan kekuatan moral manusia. Pemulihan dari kuasa dosa dilakukan Allah dengan pengorbanan Kristus, sehingga di dalam Kristus tersedia anugerah keselamatan dan pengampunan dosa.

Hambatan dalam Gap-Generation

Penghalang komunikasi orang-tua dengan remaja tentu melibatkan berbagai faktor, misalnya: kematangan rohani, kualitas kearifan, pola asuh, suasana keluarga, hubungan para anak remaja dengan teman-teman sepergaulan, dan pandangan hidup. Namun juga disebabkan faktor perbedaan generasi dalam menafsirkan realitas. Ada beberapa klasifikasi tipe generasi yang perlu dikenali, yaitu: (1). Generasi Baby-Boomers (1946-1964) dengan ciri-ciri: mengutamakan proses daripada hasil, work-alkoholic (pekerja keras), suka berkomunikasi langsung dan menjalin relasi. (2). Generasi X (1965-1979) dengan ciri-ciri: relasi dengan orang-tua yang baik, mendapatkan pendidikan yang cukup baik, mulai mengenal komputer dan kecanggihan teknologi. (3). Generasi Y (1980-1995) dengan ciri-ciri: teknologi dan internet yang semakin berkembang, sehingga mereka sangat terampil dalam mengoperasikan, lebih optimis dan percaya diri, kurang menghargai peran/otoritas orang tua, dan kreatif-ambisius. (4). Generasi Z (1996-2010) dengan ciri-ciri: mereka mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik, lebih mengutamakan kepentingan luar dan produk yang bermerk, menganggap generasi orang-tua sebagai generasi yang kolot, terpengaruh dengan media sosial dan kecanduan.

Semakin besar rentang antar generasi semakin besar kemungkinan tingkat kesulitan komunikasi antara orang-tua dengan generasi anak-anak tersebut. Namun tidak berarti tidak ada jalan keluar. Kekuatan kasih dan hikmat dalam pengajaran firman Tuhan yang dinyatakan dalam keteladanan orang-tua adalah cara yang paling efektif. Apapun tipe dan karakter dari generasi anak-anak kita, mereka tetap menghargai keteladanan orang-tua dalam kehidupan sehari-hari. Sebab setiap anak dan generasi keturunan kita membutuhkan model yang konkret sehingga mereka mengikuti pola-pola pendidikan yang diwariskan orang-tua. Mereka pengenalan dan pengalaman berjumpa dengan Allah yang hidup di dalam Kristus melalui kehidupan orang-tua mereka.

Tujuan Pendidikan Iman Kristen

Tujuan pendidikan iman Kristen pada hakikatnya menyadari keberdosaan manusia di hadapan Allah dan menyambut anugerah keselamatan Allah di dalam karya penebusan Kristus. Dengan demikian setiap pendidik Kristen seharusnya memiliki keyakinan yang kokoh bahwa di dalam Kristus tersedia pembaruan hidup yang dikerjakan Allah melalui Roh Kudus. Karya pembaruan Roh Kudus tersebut memampukan setiap anak diperlengkapi dengan perbuatan baik. Di Surat 2 Timotius 3:17 Rasul Paulus menyatakan: “Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Karena itu setiap pendidik yaitu orang-tua dan pelayan gerejawi (guru Sekolah Minggu) seharusnya memiliki cara pandang yang positif terhadap setiap anak bahwa melalui kasih-karunia Allah dan keteladanan mereka bahwa setiap anak akan diperlengkapi dengan perbuatan baik.

Latar-belakang anak-anak yang buruk dan traumatik serta karakter yang bermasalah tidak boleh menyebabkan para pendidik (orang-tua dan para guru Sekolah Minggu) bersikap pesimistis dan menjatuhkan vonis bahwa mereka tidak dapat berubah. Sebaliknya di dalam Kristus, semua bentuk “kenakalan” atau problem psikologis yang dialami anak-anak dapat dibarui.

Cara pandang yang positif dalam perspektif iman Kristen akan menjauhkan setiap pendidik untuk memperlakukan anak-anak secara tidak pantas, msalnya: kekerasan secara verbal dan tindakan, memperlakukan anak sekadar suatu objek belaka, diskriminatif dan sikap menghakimi. Sebaliknya setiap pendidik Kristen akan memperlakukan setiap anak dengan keteladanan yang dipenuhi oleh Buah Roh yaitu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23). Pendidikan dengan keteladanan yang dijiwai Sembilan Buah Roh tersebut akan membentuk karakter yang semakin serupa dengan Kristus. Pada pihak lain Sembilan Buah Roh tersebut harus diperlengkapi karunia-karunia Roh yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang (bdk. 1Kor. 12:4-6). Karena itu dua dimensi dalam hakikat pendidikan iman Kristen adalah membentuk karakter dan kompetensi anak-anak dalam relasi personal dengan Kristus.

Prinsip-prinsip Pendidikan Iman Kristen

Prinsip-prinsip pendidikan iman Kristen pada hakikatnya terdiri dari: a). Berpusat kepada Kristus, b). Proses pertumbuhan kepribadian, c). Pembentukan karakter dan kompetensi anak. Melalui ketiga prinsip pendidikan iman Kristen tesebut diharapkan mereka mampu menjadi manusia yang seutuhnya. Arti “manusia seutuhnya” adalah anak-anak dan generasi penerus kita mampu memiliki kualitas diri yang menyerupai Kristus (imitatio Christi). Untuk itu tugas mendidik dan membesarkan anak dilakukan dengan menerapkan nilai-nilai iman dan spiritualitas sebagai berikut, yaitu:

  1. Mendidik dan membesarkan anak agar memiliki nilai kelangsungan hidup menurut gambar dan rupa Allah. Untuk mencapai tujuan itu para pendidik mengarahkan anak-anak berfokus pada Kristus dan menempatkan Kristus sebagai sumber kebenaran, kebajikan, dan kebijaksanaan. Setiap anak dididik dalam nilai-nilai spiritualitas dalam hubungan yang personal dengan Kristus dan menghidupi nilai-nilai pengajaran serta karya Kristus.
  2. Setiap anak perlu diperkenalkan nilai-nilai pengajaran dan karya Kristus sesuai kategori usia mereka. Pendidikan iman Kristen memperhatikan setiap aspek pertumbuhan anak sebagai wujud pemeliharaan dan anugerah Allah. Setiap pendidik mampu berempati dengan anak-anak sesuai kategori usianya, sehingga tidak memaksakan suatu pengajaran atau kemampuan yang tidak sesuai dengan pertumbuhan usianya. Kesaksian Lukas 2:40 menyatakan proses pertumbuhan Yesus sebagai seorang manusia, yaitu: “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.” Umumnya disepakati bahwa proses pendidikan 0-5 tahun merupakan pondasi karakter dan kepribadian anak. Pola pendidikan dengan memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan kepribadian anak dapat memanfaatkan hasil penelitian ilmu psikologi. Bandingkan pembagian tahap perkembangan anak menurut Sigmund Freud, yaitu: Tahap 1 Masa Infantil: 0-5 tahun (Stage Oral: lahir-18 bulan, Stage Anal: 18 bulan-3 tahun, Stage Falis: 3-5tahun), Tahap II Masa Laten: 5-12 tahun (masa perkembangan kecerdasan dan pencarian jati-diri), Tahap Genital: 12 tahun sampai selanjutnya (masa pubertas).
  3. Pola pengajaran untuk membentuk dan mengembangkan karakter anak-anak, adalah: a). Relasi dengan Kristus secara pribadi, b). Pengajaran Alkitab, c). Pujian rohani/nyanyian. Dengan demikian relasi dengan Kristus diungkapkan melalui doa, nilai-nilai pengajaran iman Kristen melalui pembacaan dan pengisahan narasi dalam Alkitab, ungkapan iman dan ucapan syukur yang diungkapkan melalui nyanyian rohani.
  4. Pola pengajaran untuk mengembangkan kompetensi anak-anak adalah melalui penguasaan akan ilmu-pengetahuan sesuai tahapan, minat dan bakat dalam pendidikan sekolah. Sejak dini mereka didorong untuk mengenali dunia sekitar dengan seluruh inderawi dalam hubungannya dengan karya penciptaan, pemeliharaan, dan penyelamatan Allah. Dengan memperhatikan tahapan, minat dan bakat anak-anak maka mereka tidak lagi diukur dalam kelompok cerdas/pandai dan bodoh dari pengukuran yang hanya menekankan aspek kecerdasan secara kognitif. Sebab setiap anak memiliki jenis kecerdasannya masing-masing. Menurut Howart Gardner jenis kecerdasan manusia terbagi dalam 8 bagian, yaitu: a). Naturalis (pendaki gunung, pemburu, pemandu wisata, petani, nelayan), b). Musikal (para musisi, pencipta lagu, penyanyi), c). Logikal-matematika (ilmuwan, akuntan, programmer), d). Interpersonal (komunikator, fasilitator, guru, politisi), e). Kinetik-jasmaniah (atlet, penari, ahli bedah, pengrajin), f). Linguistik/bahasa (penulis, editor, jurnalis, penterjemah), g). Intrapersonal (guru, psikolog, pemimpin rohani, negosiator), h). Visual-spasial (para arsitek, fotografer, designer, pilot, insinyur).

Model-model Pembelajaran

Model-model pembelajaran dalam mendidik dan membesarkan anak-anak dalam perspektif iman Kristen dapat dilakukan dengan 6 pendekatan, yaitu: Perintah, Persuasi, Konsultasi, Berpartisipasi, Pendelegasian, dan Memberi kebebasan.

  1. Model Perintah merupakan pola pembelajaran yang didasari oleh otoritas orang-tua atau guru sehingga anak-anak tunduk dan taat kepada komando yang diberikan oleh orang-tua dan guru. Dalam model perintah, para pendidik mewajibkan anak-anak untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap bernilai sesuai dengan nilai-nilai iman, budaya, adat-istiadat dan kesopanan. Contoh: Pola pembelajaran yang mendisiplinkan anak dengan memberi sanksi apabila dilanggar, misal: berbohong, mengabaikan ibadah, berlaku kasar kepada saudara/teman, menyontek, dan sebagainya.
  2. Model Persuasi merupakan pola pembelajaran yang didasari pada upaya mempengaruhi dan meyakinkan orang lain. Untuk itu para pendidik akan memberikan informasi yang diperlukan sehingga anak bisa mengerti dan memahami. Jadi melalui model persuasi para pendidik menyampaikan pesan dan informasi yang diperlukan sehingga anak-anak terdorong untuk memahami dan sepakat untuk melakukannya. Contoh: Pola pembelajaran yang menjelaskan pengertian/makna pengajaran Yesus tentang bagaimana kita tidak menghakimi seperti yang dilakukan anak sulung terhadap adiknya dalam perumpamaan di Lukas 15:28-30. Kesalahan seorang anak yang menghakimi orang lain seharusnya direspons dengan model persuasi tentang kasih dan pengampunan Allah yang tanpa syarat.
  3. Model Konsultasi merupakan pola pembelajaran yang didasari pada pertukaran pikiran untuk memperoleh kesimpulan. Dalam model konsultasi para pendidik dan anak-anak saling berbicara dari hati ke hati, kesediaan mendengar nasihat dan pertimbangan serta pendalaman suatu pemahaman. Contoh: Pola pembelajaran tentang nas Alkitab tentang hidup baru dalam karya penebusan Kristus yang didiskusikan dengan model dua arah (dialogis), sehingga anak semakin memahami alasan mengapa Kristus wafat di atas kayu salib. Dengan model konsultasi tersebut anak akan mengalami makna manifestasi kasih Allah di dalam penderitaan dan wafat Kristus secara positif. Anak tidak memahami peristiwa salib sebagai tindakan Allah yang mengizinkan kekerasan.
  4. Model Partisipatif merupakan model pembelajaran yang didasari pada kesediaan diri untuk ambil bagian dalam suatu kegiatan/tindakan, sehingga anak-anak bersedia berperan-serta. Karena itu dalam model partisipatif para pendidik mampu melibatkan anak-anak secara secara mental dan emosional sehingga mereka mempraktikkan pengajaran Yesus berdasarkan kesadaran dan kesediaan diri untuk berubah. Contoh: Pola pembelajaran tentang respons mereka terhadap kisah dalam perumpamaan Yesus di Lukas 10:33-37 tentang tokoh seorang Samaria menolong seorang Yahudi yang dirampok dan dianiaya yaitu dengan bertindak menolong seorang teman yang sedang mengalami kondisi sakit atau musibah.
  5. Model Delegasi merupakan model pembelajaran yang didasari pada kepercayaan yang diberikan oleh para pendidik sehingga anak-anak mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu. Dalam model delegasi tersebut seorang pendidik memberikan mandat atau wewenang kepada anak untuk bertanggungjawab melakukan sesuatu. Contoh: Pola pembelajaran yang menggerakkan mereka untuk melakukan tugas pengutusan dengan mempraktikkan pengajaran yang telah diterima. Misalnya memaknai pengutusan Yesus di Matius 28:19-20 dengan mengajak teman menghadiri persekutuan dan kebaktian Minggu.
  6. Model Laissez-Faire merupakan model pembelajaran yang memberi kebebasan secara penuh kepada anak untuk melakukan sesuatu berdasarkan inisiatif, dorongan hati, ekspresi dan cita-citanya. Dalam konteks ini para pendidik tidak lagi menggunakan wewenang untuk intervensi dan mengatur kehidupan mereka. Pendidik mempercayai anak sebagai pribadi yang dewasa dan mampu mengambil keputusan etis. Pada pihak lain bisa terjadi karena anak mengeraskan hati dan tidak dapat menerima nasihat dari siapapun. Untuk itu pendidik (orang-tua atau guru Sekolah Minggu) memberi kesempatan kepada anak untuk bertanggungjawab konsekuensi dari sikapnya. Contoh: Pola pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil keputusan sendiri tanpa ada ancaman berupa sanksi atau teguran, sehingga mereka belajar konsekuensi dari pengalaman atas keputusan etis yang diambil.

Model-model pembelajaran tersebut merupakan pola-pola pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan situasi waktu, konteks dan kasus permasalahan, serta jenis karakter anak. Dengan demikian keenam model pembelajaran tersebut perlu dilakukan secara utuh/komprehensif sehingga anak mengalami proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan pergumulan hidupnya. Model-model pembelajaran tersebut harus dilakukan dalam spiritualitas kasih Allah yang di dalam Kristus bersedia untuk menghamba. Dengan perkataan lain enam model pembelajaran tersebut dilakukan dengan spiritualitas “servant-leadership” (kepemimpinan yang menghamba).

Makna spiritualitas servant-leadership bukanlah bertujuan memperkuat pola kepemimpinan yang hierarkhis yaitu hubungan tuan-hamba (top-down), sehingga kita menjadikan diri kita melayani para “tuan” (seseorang yang dianggap memiliki kedudukan tinggi). Sebaliknya makna spiritualitas servant-leadership dibangun atas dasar kasih Kristus dan kerendahan-hati-Nya. Itu sebabnya di Yohanes 13:34, Tuhan Yesus berkata: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula harus saling mengasihi.” Makna “perintah baru” (mandatum novum) dalam pengajaran Yesus adalah sikap mengasihi yang dilandasi oleh kerendahan-hati. Kasih sejati hanya dapat diwujudkan dalam hubungan/relasi personal yang setara dan tidak meninggikan diri. Spiritualitas servant leadership merupakan pola kepemimpinan yang didasarkan pada kesediaan melayani berdasarkan kerendahan-hati sebagaimana yang telah dilakukan Kristus, sehingga mampu berempati kepada setiap orang-orang yang kita layani.

Jikalau kita melaksanakan enam model pembelajaran tersebut dengan kerendahan-hati dan kasih Kristus, maka kita akan dimampukan untuk memahami dan berempati dengan anak-anak dalam berbagai tahapan perkembangannya. Pada pihak lain anak-anak akan merasakan kehadiran dan pola pembelajaran kita kepadanya sebagai suatu keteladanan. Kita tidak dianggap anak-anak sebagai seorang yang hanya fasih memberi perintah dan teguran, tetapi juga sebagai seorang pribadi yang mampu berempati dalam kasih, pengampunan dan kebijaksanaan. Dengan demikian model pembelajaran yang kita terapkan akan efektif sebab otoritas kita dihargai anak-anak berdasarkan pada integritas dan sikap kasih kepada Kristus.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono