Latest Article
Mengalami Perjumpaan Yang Mengubahkan (Kis 2:36-41; Mzm. 116:1-3, 10-17; I Petr. 1:17-23; Luk. 24:13-35)

Mengalami Perjumpaan Yang Mengubahkan (Kis 2:36-41; Mzm. 116:1-3, 10-17; I Petr. 1:17-23; Luk. 24:13-35)

Bagi umat Israel, perenungan terhadap firman Allah yang tertuang dalam hukum Taurat wajib dilakukan di manapun mereka berada. Di Ulangan 6:7 terdapat perintah Allah demikian: “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”.  Itu sebabnya ketika orang-orang Yahudi melakukan perjalanan yang cukup jauh mereka umumnya menggunakan waktu selama perjalanan dengan mendiskusikan isi hukum Taurat. Dalam konteks ini makna mendiskusikan  tentang Taurat bagi umat Israel bukan sekedar untuk membuang waktu agar mereka tidak penat selama di perjalanan; tetapi secara spiritualitas mendiskusikan hukum Taurat bagi mereka dihayati dapat memberi pencerahan dan pemaknaan terhadap kehidupan ini.  Namun apabila pokok bahasan dari hukum Taurat tiba-tiba beralih ke topik lain secara intensif dan serius, pastilah topik tersebut bukan sembarangan materi sehingga layak untuk dijadikan bahan diskusi.  Dua orang dari murid Yesus ternyata tidak mendiskusikan Taurat selama perjalanan mereka dari Yerusalem menuju Emaus. Dalam perjalanan yang jaraknya sekitar 11 km tersebut justru diisi oleh mereka untuk mendiskusikan topik aktual tentang peristiwa penganiayaan dan eksekusi salib yang baru-baru ini dialami oleh Yesus dari Nazaret, guru mereka. Mereka mendiskusikan tentang kehidupan Yesus yang mereka anggap sebagai seorang nabi yang sangat berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan Allah, tetapi nyatanya Dia harus mengalami kematian yang sangat tragis yaitu mati disalibkan. Padahal mereka semula sangat mengharapkan Yesus dapat menjadi seorang Messias yang membebaskan umat Israel dari cengkeraman dan kekuasaan penjajahan kerajaan Romawi. Mungkin selama berjalan kea rah Emaus, mereka mendiskusikan bagaimana mungkin seorang nabi yang berkuasa seperti diri Yesus yang dipenuhi oleh mukjizat Allah dapat mengalami kematian di atas kayu salib. Mengapa Allah membiarkan dan tidak menolong Yesus sebagai MessiasNya? Mengapa Allah tidak menyelamatkan Yesus dari hukuman dan kematian di atas kayu salib?

Pada saat mereka sibuk berdiskusi tentang peristiwa aktual yang baru saja terjadi, muncullah seorang asing yang tiba-tiba mendekati mereka dan ikut serta berdiskusi selama perjalanan ke Emaus. Kedua murid Yesus tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa orang asing yang bersama-sama dengan mereka adalah Tuhan Yesus yang bangkit. Di Luk. 24:16 disebutkan alasan mengapa kedua murid Yesus tersebut tidak mengetahui kehadiran dari Yesus di tengah-tengah mereka, yaitu: “Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia”. Beberapa penafsir mengartikan “sesuatu yang menghalangi mata mereka” adalah karena pandangan mata kedua murid Yesus tersebut terhalang oleh sinar matahari yang akan terbenam. Karena kedua orang tersebut berjalan menuju arah Barat, maka mata mereka menjadi silau oleh sinar matahari sore hari. Ada pula yang mengatakan bahwa kedua murid tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang telah bangkit karena hati mereka saat itu diliputi oleh perasaan dukacita disebabkan kematian Yesus. Sehingga ketika Yesus bertanya kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka Lukas 24:17 memberi gambaran tentang keadaan hati dari kedua murid Yesus itu, yaitu: “Maka berhentilah mereka dengan muka muram”. Jadi karena mereka saat itu sedang muram sebagai cermin dari hati yang sedih dan berdukacita, maka mereka tidak mampu lagi mengenali diri Yesus yang sebelumnya telah mereka kenal. Itu sebabnya mereka bertanya kepada Yesus: “Apakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” (Luk. 24:18). Kemungkinan tersebut di atas memiliki dasar yang faktual sebab mereka saat itu memang berjalan ke arah Barat dan pastilah mata mereka silau terkena oleh sinar matahari senja. Demikian pula mereka saat itu memang sedang berdukacita karena kematian seorang guru yang mereka kasihi dan dianggap berkuasa sebagai nabi Allah, sehingga harapan-harapan mereka kini menjadi pudar. Tetapi semua kemungkinan tersebut tidak dapat dijadikan alasan utama, mengapa para murid Yesus saat dalam perjalanan ke Emaus tidak lagi mengenali kehadiran dari Yesus. Bukankah mereka sebenarnya juga dapat mengenali Yesus dari jenis suaraNya atau caraNya Dia berkata-kata? Bukankah mereka sempat memandang beberapa kali wajah Yesus saat Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka?

Kedua murid Yesus tersebut tidak dapat mengenali kehadiran Yesus yang bangkit, karena mereka saat itu  “pangling”. Arti dari “pangling” adalah: “tidak dapat mengenal lagi” atau “mereka lupa dan tak mengenal lagi” (fail to recognize). Selain hati mereka sedang berdukacita, kedua murid Yesus itu tidak lagi mampu mengenali diri Yesus sebelum Dia wafat. Mereka kini melihat diri Yesus dalam bentuk yang sama sekali baru, sehingga mereka “gagal untuk mengenali” identitas Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid tersebut benar-benar tidak mengenali Yesus dengan tubuh kebangkitanNya, sehingga mereka menganggap Yesus yang bangkit sebagai orang asing yang kebetulan hadir di tengah-tengah perjalanan mereka menuju Emaus. Bahkan mereka juga tetap tidak mengenali Yesus saat Yesus menegur mereka dengan perkataan yang keras, yaitu: “Hai orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga  kamu tidak percaya segala sesuatu yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Messias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaanNya?” (Luk. 24:25-26). Bukankah kita akan sedikit tersinggung ketika orang asing yang sedang berbicara dengan kita menegur kita sebagai “orang bodoh” dan “orang yang berhati lamban”?  Bukankah saat perasaan kita terusik dapat mendorong kita untuk mencermati secara lebih mendalam orang yang menjadi lawan bicara kita? Tetapi kedua murid Yesus tersebut tetap tidak menyadari orang asing yang sedang menegur dan berbicara dengan mereka adalah Yesus yang telah bangkit. Selaput yang menghalangi mata mereka sedemikian tebalnya, sehingga kedua murid  tetap buta mata dan kesadarannya pada saat Yesus menerangkan tentang Messias sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab-kitab Musa dan kitab nabi-nabi. Kini selama sisa perjalanan, kedua murid Yesus kembali mendiskusikan hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tetapi kini mereka diajar oleh “orang asing” tentang makna dari ayat-ayat Firman Tuhan tersebut dengan perspektif yang baru dan lebih dalam! Makna hukum Taurat dan kitab nabi-nabi tidak lagi ditempatkan secara terpisah dari karya Tuhan Yesus yang telah wafat dan bangkit. Sebaliknya nubuat yang tercantum hukum Taurat dan kitab nabi-nabi menjadi penuh makna dan aktual saat nubuat Firman Tuhan tersebut ditempatkan dalam kerangka karya keselamatan Allah yang telah menentukan Yesus sebagai Messias harus menderita tetapi juga Dia akan dibangkitkan dari kematianNya.

Ketika mereka hampir sampai di Emaus, disebutkan Yesus berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalananNya. Tetapi kedua murid Yesus itu sangat mendesak Dia untuk tinggal bersa-sama mereka, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam” (Luk. 24:29). Perkataan kedua murid Yesus yang mengajak Yesus tinggal bersama mereka memberi inspirasi Henry Francis Lyte pada tahun 1847 untuk menggubah suatu syair dengan judul Abide with Me yang kemudian oleh William Henry Monk paa tahun 1861 dijadikan suatu nyanyian. Kini pujian tersebut dapat kita nyanyikan dari Kidung Jemaat nomor 329. Lagu ini terasa sangat menyentuh saat ditempatkan pada detik-detik terakhir kapal “Titanic” yang akan karam dalam film “Titanic”. Ungkapan permohonan dari kedua murid Yesus agar Yesus mau bersama-sama untuk tinggal dengan mereka memberi kesan bahwa mereka waktuitu sangat takjub dan terkesan dengan seluruh sikap dan perkataan Yesus saat Dia menjelaskan makna Kitab Suci selama di perjalanan. Dalam hal ini mereka bukan sekedar ingin memberi pertolongan kepada Yesus sebagai “orang asing”. Karena menurut kebiasaan dan tata-krama Yahudi, tidaklah pantas membiarkan seorang tamu berjalan dalam keadaan gelap di malam hari (bandingkan Kej. 19:1-11). Tetapi justru sebaliknya, mereka merasa memperoleh pertolongan berupa “pencerahan iman” saat Yesus menjelaskan makna Firman Tuhan. Pencerahan iman terhadap kebenaran Firman Tuhan tersebut sedikit banyak telah mengobati perasaan dukacita dan kesedihan hati mereka. Sebab mereka makin dapat melihat bahwa kematian Yesus pada hakikatnya telah ditentukan oleh Allah. Kematian Yesus justru dipakai oleh Allah untuk menyatakan kemuliaanNya. Dalam pengertian ini sedikit demi sedikit mereka mulai memahami berita yang tersebar tentang kemungkinan kebangkitan Yesus dari kuburNya. Tetapi saat itu hati mereka tetap belum mengenal identitas diri Yesus yang sesungguhnya. Kedua murid Yesus itu masih menganggap Yesus sebagai orang asing.

Mata rohani kedua murid Yesus baru tersingkapkan saat mereka bersama Yesus makan roti. Di Lukas 24:30-31 menyaksikan: “Waktu Ia duduk makan makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka”.  Selama perjalanan yang cukup jauh, mereka tidak mampu mengenal jati-diri Yesus yang berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi saat mereka bertiga makan bersama, yaitu saat Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecah-mecahkan roti dan memberikan roti itu kepada mereka; barulah  terbuka  mata mereka. Apakah kesadaran dan mata rohani mereka baru dapat terbuka karena mereka diingatkan akan peristiwa Perjamuan Malam Terakhir sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan? Ataukah penyingkapan diri Yesus terjadi karena saat itu mereka tidak lagi menganggap Yesus sebagai orang asing sebab mereka telah menyambut Dia untuk makan bersama? Keberadaan Yesus yang bangkit akan dapat dialami secara eksistensial ketika umat percaya mau membuka hati dengan sikap kasih kepada sesamanya yang asing. Tuhan Yesus yang telah bangkit berjanji akan hadir di tengah-tengah persekutuan yang saling mengasihi dan percaya  dalam namaNya. Di Matius 18:20, Tuhan Yesus berkata: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka”. Selama manusia memiliki sikap tidak percaya dan mengasihi Kristus maka mereka tidak mungkin dapat mengalami kehadiran Kristus yang telah bangkit. Itu sebabnya kita dapat mengerti alasan mengapa Yesus yang bangkit tidak menyatakan diriNya kepada para musuhNya, seperti para pemimpin agama Yahudi. Pada masa kini, tidak setiap orang dapat mengalami kehadiran dan kuasa Kristus yang bangkit jikalau mereka tidak mengalami perjumpaan yang personal dengan Dia. Bukankah kita sering memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai seorang asing? Dalam kehidupan sehari-hari kita sering tidak peka dengan keadaan orang asing yang berada di tengah-tengah kita. Mata hati kita sering tertutup rapat, sehingga kita tidak mampu melihat kehadiran Kristus yang tersembunyi dalam berbagai penderitaan dan kesusahan orang-orang asing di sekitar kita.

Setelah kedua murid Yesus tersebut dapat mengenali diri Yesus yang telah bangkit dan tidak lagi sebagai orang asing, maka di Lukas 24:33 menyatakan: “Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka”.  Perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit menghasilkan suatu perubahan sikap dan spiritualitas. Walaupun mereka di Emaus belum sempat beristirahat dan hari telah menjelang malam, mereka berdua  memutuskan pergi untuk kembali ke Yerusalem menemui para murid Yesus lainnya. Mereka ingin memberitakan kabar gembira tentang perjumpaan mereka dengan Yesus yang bangkit.  Apabila semula muka mereka berwajah muram penuh kesedihan dan rasa dukacita saat mereka berjalan dari Yerusalem ke Emaus, tetapi kini wajah mereka diliputi oleh perasaan sukacita yang luar biasa saat mereka kembali dari Emaus ke Yerusalem. Bagi mereka berdua berita tentang kebangkitan Kristus bukan lagi merupakan kabar “burung” sebab kini mereka telah mengalami secara personal dan langsung perjumpaan dengan Yesus yang bangkit. Kedua murid Yesus di Emaus itu tidak lagi menganggap kebangkitan Kristus hanya sebagai kabar (“news”), tetapi dialami sebagai peristiwa nyata (“events”)  yang mencelikkan atau mentransformasikan seluruh kesadaran dan mata rohani mereka. Itu sebabnya mereka terpanggil untuk bersaksi tentang makna kematian dan kuasa kebangkitan Kristus kepada orang-orang di sekitarnya. Jadi kesaksian tentang kebangkitan Kristus bukan terjadi karena kasus “cognitive dissonance”, yaitu suatu anggapan bahwa para  murid berubah menjadi pribadi yang agresif bersaksi karena kepercayaan mereka ternyata meleset. Dalam teori “cognitive dissonance” didasari oleh perasaan ragu dan tidak percaya kepada peristiwa kebangkitan Kristus.  Sebab dalam teori ini meleset atau gagalnya kepercayaan yang semula dipegang teguh oleh suatu komunitas keagamaan yaitu para murid Yesus dan jemaat perdana dalam menghadapi kematian Yesus.  Para murid Yesus dan gereja perdana mengalami tekanan psikologis karena mereka harapan utama mereka kandas. Akibat dari tekanan dan dorongan psikologis tersebut mereka justru makin termotivasi untuk lebih bersemangat dan menjadi militan karena sebenarnya mereka ingin mengurangi atau meniadakan kegagalan yang dialami sebelumnya.

Tentunya teori “cognitive dissonance” tersebut tidaklah tepat untuk dikaitkan dengan peristiwa kebangkitan Kristus. Para rasul dan jemaat perdana bersaksi tentang Kristus dengan sepenuh hati bukan didorong oleh perasaan kecewa karena harapan utama mereka menjadi kandas. Sebab inti dari pemberitaan dan kesaksian gereja perdana atau para rasul bukan sekedar memberi penghiburan dan pengharapan kosong. Isi pokok kesaksian dan pemberitaan para rasul dan gereja perdana yang telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit adalah: “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia ROH KUDUS” (Kis. 2:38). Pengalaman perjumpaan dengan Kristus yang bangkit senantiasa dikaitkan dengan panggilan untuk bertobat yaitu perubahan arah, nilai dan kualitas hidup. Melalui peristiwa kebangkitan Kristus, para rasul dan jemaat perdana telah mengalami apa artinya dilahirkan kembali. I Petr. 1:23 berkata: “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yaitu firman Allah yang hidup dan yang kekal.” Yang mana panggilan pertobatan dan kelahiran kembali tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi, sebab: “Oleh Dialah kamu percaya kepada Allah, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati dan yang telah memuliakanNya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah” (I Petr. 1:21). Jadi sangatlah jelas bahwa para rasul dan gereja perdana telah mengalami peristiwa kebangkitan Kristus secara faktual  dan eksistensial; sehingga peristiwa kebangkitan Kristus telah mengubah seluruh pola pikir, pandangan, nilai-nilai dan makna serta tujuan hidup mereka.

Jika demikian, apakah kita selaku jemaat juga telah mengalami perjumpaan dengan Kristus yang bangkit? Apabila kehidupan kita lebih sering dibelenggu oleh perasaan duka, sedih dan berpikir menurut ukuran-ukuran/nilai-nilai duniawi; maka  kita akan bersikap seperti dua orang murid dari Emaus. Dalam situasi demikian, kita akan memperlakukan Kristus yang bangkit sebagai “orang asing” yang sebenarnya sedang berjalan di tengah-tengah kehidupan kita. Sebab kita tidak lagi mampu mengenali jati-diri Kristus yang tersembunyi di tengah-tengah kehidupan bersama sesama. Ini terjadi karena hati kita lamban dan secara spiritualitas kita telah menjadi orang-orang yang “bodoh”. Akibatnya arah dan tujuan hidup kita cenderung untuk selalu berkiblat ke masa lampau dan kepada diri sendiri. Tetapi manakala hati dan mata rohani kita dicelikkan oleh Allah, maka kita akan dimampukan untuk lebih mengenal dan berjumpa  secara personal  dengan Kristus yang bangkit. Saat itulah kehidupan kita akan diubahkan secara penuh. Hidup kita mengalami pencerahan iman dan ditransformasi  oleh kuasa kebangkitanNya, sehingga dengan penuh sukacita kita menjadi saksi dari kuasa kebangkitan Kristus.  Tanda pencerahan iman sebagai saksi-saksi kebangkitan Kristus adalah pertobatan dan kelahiran baru. Jadi apakah hidup saudara saat ini  ditandai oleh pertobatan dan hidup yang baru?

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono

Leave a Reply